Anda di halaman 1dari 22

1

I.

Pendahuluan
Sebagaimana organ lain yang terpapar oleh lingkungan luar, permukaan mata

merupakan situs kolonisasi mikroorganisme komensal, diantaranya adalah virus.


Walaupun secara relatif mata bersifat impermeabel terhadap mikroorganisme,
infeksi pada mata dapat terjadi akibat trauma, tindakan bedah, penyakit sistemik,
pemakaian obat steroid jangka panjang, defek sistem imun, serta faktor-faktor lain
yang menyebabkan terganggunya integritas permukaan mata. 1, 2
Virus merupakan parasit obligat intraselular yang tergantung pada sel inang
untuk dapat melangsungkan replikasinya, dan merupakan parasit pada level
genetik. Kebanyakan infeksi virus bersifat self-limiting dan relatif asimtomatik.
Namun, pada beberapa kondisi, infeksi virus dapat menyebabkan morbiditas yang
tinggi, dalam hal ini adalah pada mata, serta dapat mengancam penglihatan. 3, 5
Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk memaparkan virologi medis dan
infeksi virus pada mata bagian luar secara umum. Pengamatan dan pembelajaran
yang berkelanjutan mengenai virologi pada mata adalah hal yang penting guna
memprediksi tipe infeksi mata di masa yang akan datang, serta menentukan
penanganan yang tepat terhadap infeksi virus tersebut.
Dikarenakan banyaknya jenis virus yang dapat menyebabkan infeksi pada
mata, dalam kajian ini akan dibahas virologi dan infeksi pada virus yang paling
sering bermanifestasi terhadap mata bagian luar, antara lain : HSV, VZV,
adenovirus, picornavirus, dan virus molluscum contagiosum .
II.
1.

Virologi pada Mata


Definisi dan Klasifikasi Virus
Virus didefinisikan sebagai molekul asam nukleat yang menginvasi sel inang,

bereplikasi di dalam sel, dan mengkode protein yang dapat membentuk selubung
protektif yang mengelilingi virus tersebut. . Virus tidak mampu bereplikasi dengan
fisi biner. Untuk dapat mengekspresikan informasi genetik, virus harus menjalani
proses transkripsi dan translasi di dalam sel hidup. 3, 5
Virus adalah suatu unit infeksius yang sangat kecil (diameter 10-400 nm),
mengandung satu atau dua rantai genom asam nukleat dan

protein kapsid ,

dengan atau tanpa selubung (envelope). Hanya dapat mengandung satu jenis asam

nukleat (DNA atau RNA), dengan dinding protein kapsid yang berfungsi
menstabilkan asam nukleat virus terhadap lingkungan ekstrasel serta memudahkan
perlekatan dan penetrasi dengan sel inang. 3,4
Virus diklasifikasikan berdasarkan faktor genetik, fisikokimia, dan biologis.
Faktor yang menentukan klasifikasi virus antara lain ukuran dan strukturnya, serta
metode replikasi dari genom asam nukleatnya. 5
Tabel 2.1 dan 2.2 merupakan daftar klasifikasi virus yang dapat menyebabkan
infeksi pada mata.
Tabel 2.1 Klasifikasi Virus DNA Penyebab Infeksi pada Mata
Karakteristik
dsDNA

Virus

Virus Penyebab Infeksi Mata

Berselubung

Poxvirus
Iridovirus
Herpesvirus

Variola, vaccinia, virus molluscum

Tidak berselubung
ssDNA
Tidak berselubung
Sumber : Tabbara 3

Virus Herpes Simplex, CMV, VZV,


EBV, HHV-6
Human Adenoma Virus
HPV

Adenovirus
Papovavirus
Hepadnavirus
Parvovirus

Beberapa famili virus memiliki selubung dua lapis lemak yang melingkupi
protein kapsid, yang sangat rentan terhadap kerusakan oleh sinar ultraviolet,
deterjen, alkohol, dan larutan antiseptik. Virus seperti HSV dan HIV yang
memiliki selubung ini, cenderung sangat rentan terhadap lingkungan luar dan
waktu hidupnya hanya sebentar di luar sel. Virus berselubung sulit untuk
ditransmisikan lewat alat medis atau penularan secara tidak langsung. Biasanya
penularan terjadi lewat kontak langsung, berbeda dengan virus tidak berselubung
yang lebih kuat terhadap ancaman lingkungan luar, misalnya adenovirus. 4

Tabel 2.2 Klasifikasi Virus RNA Penyebab Infeksi pada Mata


Karakteristik
dsRNA
Tidak berselubung
ssRNA
Berselubung, tidak ada step DNA

Virus

Virus Penyebab Infeksi Mata

Reovirus
Burnavirus

Pada hewan

Genom positif
Genom negatif
Genom tidak bersegmen

Genom bersegmen
Berselubung, DNA step
Tidak berselubung

Togavirus
Koronavirus

Arbovirus Grup A dan B


Pada hewan

Paramyxovirus

Mumps, virus measles , virus


Newcastle disease
Virus Rabies

Rhabdovirus
Filovirus
Orthomyxovirus
Bunyavirus
Arenavirus
Retrovirus
Picornavirus
Calicivirus

Virus Influenza
Virus demam Rift Valley
HIV
Poliovirus,
Virus
Coxsackie,
enterovirus 70, Rhinovirus

Sumber : Tabbara 3

2.

Replikasi dan Transmisi Virus


2.2.1 Replikasi Virus
Mempelajari secara sistematik mengenai replikasi virus dapat berguna untuk
mengidentifikasi situs kerja untuk mengganggu replikasi virus tersebut. Strategi
replikasi dasar virus adalah (Gambar 2.1):
a) Penempelan dan penetrasi
Penempelan virus dapat dipandang sebagai proses yang terdiri dari 2 tahap.
Pertama, virus secara acak akan melekat pada permukaan sel. Tahap ini
merupakan tahap yang reversibel, memerlukan kondisi ionik dan pH yang tepat.
Kedua, virus akan berikatan secara spesifik pada reseptor pada permukaan sel. Ini
merupakan keadaan pertama untuk keberhasilan infeksi . 3
Setelah itu, virus harus menembus membran plasma dan memasuki sel. Pada
virus tidak berselubung, proses ini terjadi melalui endositosis yang dimediasi oleh
reseptor, atau pelepasan langsung ke sitoplasma. Sedangkan pada virus
berselubung, dapat melalui endositosis yang dimediasi reseptor, atau dengan fusi

membran viral dan selular pada sel inang. 3


b) Uncoating protein kapsid dan selubung sehingga genom viral dapat memulai
proses transkripsi dan tranlasi. Enzim lisosomal dari sel inang turut berperan
dalam proses ini. 3
c) Sintesis makromolekular,
d) Pembentukan dan pelepasan virus baru.

Pelepas
an
virus
baru

Prote
in
selu
bung
Prote

Sintes
is
protei
n awal

Enz
im
Transk
ripsi
awal

Fusi dengan
membran sel
untuk
penetrasi

Gambar 2.1

R
N
A

D
N
A

in
kapsi
dTrans
kripsi
lanjut
Sin
tes
is
DN
A

Sintes
is
protei
n
lanjut

Unco
Dating
N
A

Membran
sel

Siklus replikasi virus herpes simpleks.


Sumber : Todar K 18

2.2.2 Tranmisi Virus


Transmisi antar manusia dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. HSV
dan CMV adalah contoh virus yang dapat ditularkan secara vertikal maupun
horizontal. Transmisi dari hewan ke manusia juga dapat terjadi, misalnya pada
infeksi poxvirus, virus rabies (rhabdovirus), dan virus New Castle disease (avian
paramyxovirus). 4
Penularan dapat terjadi melalui traktus respiratorius, gastrointestinal, maupun
transkutaneus. Jalur transmisi yang paling sering terjadi adalah transkutaneus,
dimana virus melakukan penetrasi ke palpebra, maupun konjungtiva. Virus juga
dapat menginfeksi mata sebagai penyebaran dari infeksi di organ lain, secara
hematogen maupun melalui jalur limfatik. 3
3.

Diagnosis Laboratorik Infeksi Virus

Deteksi virion dapat dilakukan dengan visualisasi menggunakan mikroskop


elektron, identifikasi antigen virus dengan pewarnaan imunositokimia dengan
antibodi spesifik, atau dengan melokalisasi asam nukleat virus. Lokalisasi asam
nukleat virus dapat dilakukan dengan hibridisasi in situ, atau dengan metode
amplifikasi asam nukleat seperti PCR (Polymerase Chain Reaction). 3
Isolasi virus dari spesimen klinik dapat dilakukan dengan inokulasi pada
hewan percobaan, embrio ayam, atau pada kultur sel. Hewan percobaan dan
embrio ayam dievaluasi untuk klinis penyakit yang timbul, sementara kultur sel
dievaluasi untuk efek sitopatik yang diinduksi virus. Contohnya, HSV bereplikasi
pada beberapa tipe sel dan menginduksi pembengkakan sel dengan pemanjangan
pada prosesus sel, CMV bereplikasi pada fibroblas tetapi jarang pada sel epitel. 3
Deteksi adanya respon imun spesifik terhadap virus juga merupakan hal yang
sangat penting untuk diagnosis definitif. Peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali
lipat terhadap virus spesifik pada sera berpasangan, akut, dan konvalesens
mengandung nilai diagnostik untuk infeksi akut. Beberapa cara yang dapat
dilakukan, antara lain : netralisasi, uji fiksasi komplemen, pewarnaan
imunositokimia, hemaglutinasi inhibisi, ELISA, dan metode Western Blot. 3
4.
Virus Penyebab Infeksi pada Mata
Dari semua jenis virus yang dapat menyebabkan infeksi pada mata, organisme
yang paling sering menyebabkan infeksi mata, dipaparkan pada Tabel 2.3 berikut
ini.
Tabel 2.3 Virus Utama Penyebab Infeksi Mata Bagian Luar
Jenis penyakit
Dermatoblefaritis
Blefaritis
Konjungtivitis
Keratitis
Dakrioadenitis
Sumber : AAO 4

2.4.1 Virus DNA


2.4.1.1 Herpesvirus

Virus penyebab
Herpes simplex
Varicella-zoster
Herpes simplex
Molluscum contagiosum
Adenovirus
Herpes simplex
Herpes simplex
Epstein-Barr
Mumps

Herpesvirus adalah jenis virus dengan genom dsDNA , dikelilingi oleh protein
kapsid ikosahedral, dan berselubung envelope glikoprotein. Jenis herpesvirus yang
menyebabkan infeksi pada mata antara lain : HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV,
Kaposi Sarcoma-associated herpesvirus (KSHV). Semua herpesvirus mengalami
masa laten pada sel inang. HSV-1, HSV-2, dan VZV akan mengalami fase laten
pada serabut ganglion dorsalis (serabut ganglion trigeminal), sementara EBV pada
sel limfosit B. 3,4
2.4.1.1.1 Virus Herpes Simplex
Virus Herpes simplex (HSV) merupakan virus DNA , mempunyai kapsid
ikosahedral, dan berselubung. Selubung HSV mengandung paling sedikit 8
glikoprotein. Matriks atau tegumen yang berhubungan dengan selubung maupun
kapsid, paling sedikit terdiri dari 15-20 protein (Gambar 2.2) 6

DNA

Gambar 2.2 Struktur virus herpes simpleks


Sumber : Wagner 6

Laten

Reaktiv
asi

Gangli
on
spinal

Neuron
sensori
k

a
Sel
Epitel

Infeksi Primer

Infeksi Rekuren

Gambar 2.3 Siklus hidup virus herpes simpleks (a) Infeksi primer; (b) Fase laten; (c)
Reinfeksi sel epitel yang menyebabkan lesi rekuren.
Sumber: Lachman 7

Infeksi virus herpes simpleks sangat sering terjadi pada manusia, dan
merupakan penyebab kebutaan karena infeksi kornea yang tertinggi pada negara
maju. Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan lesi terinfeksi, dan
neonatus yang lahir pervaginam dari ibu dengan infeksi genital. Manifestasi pada
mata, dapat terjadi pada infeksi primer maupun rekuren. 4,8
2.4.1.1.1.1 Infeksi HSV Okular Primer
Infeksi primer HSV merupakan pertama kalinya penderita terinfeksi oleh virus.
Biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, serta cenderung subklinis
sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Bermanifestasi secara tipikal sebagai
blefarokonjungtivitis,

maupun

keratokonjungtivitis

akut.

Inflamasi

pada

konjungtiva bersifat folikular dan disertai limfadenopati pada preaurikular. Erupsi


vesikular pada kulit sekitar dan margo palpebra merupakan penemuan penting
untuk diagnosis. 3,4,8
2.4.1.1.1.2 Infeksi HSV Okular Rekuren

Paling sering disebabkan oleh HSV-1, dan jarang oleh HSV-2. Infeksi HSV
rekuren disebabkan oleh reaktivasi virus laten pada ganglion sensorik, yang dapat
dicetuskan oleh faktor-faktor ,antara lain : demam, perubahan hormonal, paparan
sinar ultraviolet, stres psikologis, dan trauma pada mata. Selanjutnya terjadi
transpor virus ke ujung serabut saraf sensorik, dan akhirnya timbul manifestasi
pada permukaan okular. 4,8
2.4.1.1.2 Virus Varicella-zoster (VZV)
Merupakan human -herpesvirus yang menyebabkan dua penyakit : varicella
dan zoster. VZV mengalami fase laten dan dapat tereaktivasi dalam keadaan
imunosupresi (drug-induced, virus-induced, penuaan).3
Transmisi pada infeksi primer dapat terjadi lewat kontak langsung pada lesi
terinfeksi, maupun droplet sekret respiratorik. Pada infeksi primer, jarang terjadi
keterlibatan mata. Manifestasi primer sebagai konjungtivitis folikular, dan
terkadang sebagai lesi vesikular pada konjungtiva bulbar dan margo palpebra. 4
2.4.1.1.3 Virus Epstein-barr (EBV)
Virus ini mengalami fase laten pada sel limfosit B dan mukosa traktus
respiratorius sepanjang hidup manusia yang terinfeksi. Keterlibatan pada mata
jarang terjadi.

Manifestasi pada mata adalah : dakrioadenitis, konjungtivitis

folikuler pada lebih dari 38% pasien mononukleosis infeksiosa, keratitis epitelial,
iritis akut, dan korioretinitis. 3,4
2.4.1.2 Adenovirus
Adalah virus bergenom dsDNA, dengan protein kapsid ikosahedral, tidak
berselubung. Merupakan virus dengan spektrum penyakit yang luas, terbagi
menjadi 6 subgrup A-F. Subgrup D berkaitan erat dengan keratokonjungtivitis
epidemika. 3,4
Pada penelitian Tabarra, dkk. di Arab Saudi, penyebab keratitis adenoviral
tertinggi adalah oleh tipe 3, 8, dan 37. Transmisi melalu kontak dekat dengan
sekret mata maupun traktus respiratorius terinfeksi.. 4, 8, 9
2.4.1.3 Poxvirus
Merupakan famili besar virus dsDNA, dengan protein kapsid berbentuk ovoid
maupun balok, dan berselubung. Poxvirus yang paling sering bermanifestasi pada
mata antara lain virus Molluscum contagiosum . 3

2.4.2 Virus RNA


Infeksi mata oleh virus RNA lebih jarang terjadi dibandingkan infeksi virus
DNA, dan sebagian besar bermanifestasi sebagai konjungtivitis folikular yang
menyertai infeksi saluran napas.
2.4.2.1 Enterovirus
Termasuk dalam famili picornavirus, dan merupakan virus berukuran kecil
dengan kapsid berbentuk ikosahedral. Enterovirus adalah virus ssRNA bergenom
positif. Termasuk enterovirus adalah poliovirus, virus Coxsackie A, B, dan
echovirus. Virus ini dapat diisolasi dari apus konjungtiva dengan inokulasi pada
kultur sel manusia. Bersifat sangat stabil, dan resisten terhadap deterjen.
Disinfektan yang dapat menginaktikan virus ini antara lain : larutan formaldehida
0.3%, cairan pemutih 10%, HCl 0.1 N dan natrium hidroksida 2%. 3
2.4.2.2 Virus Mumps
Termasuk virus RNA negative-sense berukuran 200 nm. Virus ini memiliki
selubung dengan duri-duri di permukaannya. Infeksi yang dapat terjadi adalah
parotitis bilateral. Manifestasi okularnya yang paling sering berupa dakrioadenitis.
Jarang terjadi keratitis, episkleritis, iridosiklitis, koroiditis, dan neuritis optik. 3
III.
Infeksi Virus pada Mata
3.1 Patogenesis Infeksi Virus
Interaksi antara virus dan sel inang dapat mengakibatkan 3 tipe reaksi infeksi :
infeksi litik, infeksi laten, dan infeksi persisten. Pada tipe litik, replikasi virus
akan berakibat kematian pada sel inang. Pada infeksi laten, replikasi virus
mengkibatkan menetapnya DNA virus di dalam sel, baik sebagai elemen
ekstrakromosomal, maupun berintegrasi dengan genom sel inang. Sedangkan pada
infeksi laten, virus akan menetap dalam jangka waktu yang lama dalam bentuk
nonreplikatif. Infeksi laten dapat tereaktivasi dengan terjadinya replikasi virus
dengan kematian atau transformasi sel inang. 3
Bagaimana virus menyebabkan penyakit dapat terbagi menjadi 5 mekanisme :
(1) Lisis sel secara langsung, (2) transformasi sel, (3) perubahan pada fungsi
selular, (4) imunopatologi, dan (5) autoimunitas.
Mekanisme pertama dapat terjadi melalui 2 cara, yang misalnya terjadi pada
infeksi oleh HSV : menyebabkan lisis secara langsung pada berbagai tipe sel atau,

10

menginduksi destruksi sel tertentu seperti sel Muller atau epitel pigmen retina.
Mekanisme kedua, yaitu transformasi sel inang, misalnya terjadi pada
transformasi sel B yang diinduksi EBV, atau transformasi sel T yang diinduksi
infeksi HTLV. Pada mekanisme ketiga, virus dapat menghilangkan fungsi sel,
tanpa menyebabkan kematian pada sel tersebut. 3
Kedua mekanisme terakhir melibatkan sistem imun. Imunopatologi merupakan
akibat yang sering terjadi pada infeksi virus. Produksi antibodi, formasi kompleks
antigen-antibodi, induksi sel T sitotoksik, sel NK, dapat berakibat kerusakan pada
sel inang. 3
III.2 Infeksi Virus pada Bagian Luar Mata
3.2.1 Infeksi Kelopak Mata dan Adneksa
III.2.1.1
Virus Herpes simplex (HSV)
Infeksi HSV pada kelopak mata secara khas bermanifestasi sebagai vesikel
multipel pada dasar yang eritem, edema, dan menimbul. Infeksi biasanya terbatas
pada margo palpebra, namun

kulit periorbita juga dapat terlibat dengan

penyebaran ke margo palpebra. Pasien dapat memiliki erupsi herpetik yang


konkomitan pada daerah labial atau nasal. 5
Vesikel pada palpebra dapat timbul pada minggu pertama infeksi, sedangkan
ulserasi palpebra dapat terjadi pada minggu kedua. Jika ulserasi telah terjadi, lesi
tersebut dapat menetap 2 3 minggu hingga 4 5 minggu. 5
Pada konjungtiva tarsalis dekat dengan lesi herpetik, biasanya terjadi injeksi
dan dapat terjadi konjungtivitis folikular (94%). Pewarnaan dengan fluoresen
dapat membantu menentukan luasnya lesi. Dapat terjadi pembentukan
pseudomembran pada konjungtiva forniks. 5
Manifestasi pada kelopak mata dapat terjadi pada infeksi primer, tetapi lebih
banyak terjadi pada infeksi rekuren. Pada studi prospektif Dougar, dkk. , usia ratarata terjadinya infeksi primer HSV adalah 25 tahun. 93% pasien bermanifestasi
sebagai blefarokonjungtivitis dengan vesikel dan atau ulserasi pada kelopak , dan
7 % bermanifestasi sebagai konjungtivitis folikular tanpa keterlibatan kornea. 5
Diagnosis blepharitis dapat ditegakkan secara klinis, dan dapat dilakukan
konfirmasi dengan uji laboratorium. Kultur virus dapat diambil dari apus vesikel.
Isolasi virus hampir selalu positif pada 70% kasus. Tzanck smear dapat dilakukan
pada apus vesikel untuk menemukan sel Datia Langhans. 5

11

Infeksi primer dan rekuren dapat dibedakan dengan melihat peningkatan titer
inisial dan titer kedua yang diambil 4-6 minggu setelah pengambilan sampel
pertama. Jika ditemukan jumlah yang dapat diabaikan pada titer pertama, dan
peningkatan pada titer kedua, dapat dipastikan merupakan infeksi primer.
Sementara jika ditemukan jumlah fluktuatif yang acak pada titer pertama dan
kedua, infeksi tersebut merupakan infeksi rekuren.5
III.2.1.2

Virus Varicella-zoster
Cacar air (chicken pox) merupakan bentuk primer pada infeksi VZV.

Merupakan infeksi exanthematosa difus yang ringan, terjadi pada hampir 3 juta
anak per tahun di Amerika Serikat. Puncak insidensi terjadi pada usia 5 9 tahun.
Karakteristiknya adalah ruam papulovesikular, demam, malaise, anoreksia, dan
letargis. Ruam awalnya berupa papula kecil kemerahan yang menjadi vesikel
bening di atas dasar eritem, yang akhirnya akan pecah. Daerah predileksinya
adalah badan, wajah, kulit kepala, dan ekstremitas proksimal. 5
Komplikasi okular jarang terjadi. Kelopak mata dapat terpengaruh oleh lesi
vesikular yang menjadi nekrotik atau terinfeksi sekunder.

Vesikel pada

konjungtiva, limbus, dan kornea pernah dilaporkan, tetapi biasanya ringan.


Vesikel pada kornea dapat berkembang menjadi keratitis dendritik , atau keratitis
pungtata superfisial. 5
III.2.1.3

Molluscum contagiosum
Lesi pada palpebra berupa erupsi papular multipel, kecil, berwarna merah

muda dan berumbilikasi pada kulit dan membran mukosa. Lesi molluscum
contagiosum pada palpebra dapat menyebabkan konjungtivitis folikular iritatif
kronis, dengan keratitis pungtata, panus vaskular pada superior kornea, dan oklusi
sikatriks pungtata. Lesi terletak beberapa milimeter dari margo palpebra, dan
masih dapat menyebabkan konjungtivitis folikular. 10
III.2.2 Infeksi Konjungtiva
Konjungtivitis viral merupakan penyakit pada mata yang sangat sering terjadi.
Sejumlah virus telah diketahui sebagai penyebabnya, antara lain : Virus DNA
(Adenovirus, HSV, VZV, EBV, CMV, variola dan vaccinia, Molluscum
contagiosum virus); Virus RNA (Picornavirus, Paramyxovirus, Togavirus, dan
Flavivirus) . 11

12

Tanda klinis yang khas dari konjungtivitis viral adalah reaksi folikular dari
konjungtiva. Tanda ini juga terdapat pada konjungtivitis klamidial dan toksisitas
topikal. Folikel merupakan tampilan makroskopis dari agregat limfosit yang
dikelilingi oleh plasma dan sel Mast pada stroma konjungtiva stroma. Ketika
terjadi pertambahan ukuran dari folikel, klaster sel-sel imun menggeser pembuluh
darah ke perifer. Maka temuan secara mikroskopik didapatkan penonjolan putih
kekuningan dengan pembuluh darah yang berdilatasi pada bagian perifernya. 11
III.2.2.1

Adenovirus
Secara umum diagnosis keratokonjungtivitis adenoviral dapat ditegakkan

secara klinis dengan penemuan edema konjungtiva, reaksi folikular dan


perdarahan. Pasien dapat mengeluhkan rasa gatal, nyeri, dan produksi sekret yang
meningkat. Pada kasus yang berat, dapat ditemukan membran inflamasi dan
perdarahan konjungtiva. 8
Berikut ini adalah gambaran sindroma klasik penyakit mata yang disebabkan
oleh adenovirus 4,3 :
Konjungtivitis folikular simpleks bersifat self-limiting, dan sementara.
Keterlibatan konjungtiva lebih ringan dan keratitis biasanya hanya terbatas hingga
epitel, bahkan sangat jarang terjadi. Tanda klinis berupa reaksi folikular ringan,
hiperemia konjungtiva ringan, dan sedikit edema palpebra. 11
Demam Faringokonjungtival (Serotipe 3 atau 7). Onset penyakit akut,
setelah 5-14 hari inkubasi. Gejala klinis berupa demam, nyeri kepala, faringitis,
konjungtivitis folikular, dan adenopati preaurikuler.4 Faringitis bervariasi mulai
dari nyeri tenggorokan ringan, hingga inflamasi berat dan sangat nyeri yang dapat
menyebabkan disfagia. Pemeriksaan pada orofaring posterior menunjukkan
mukosa hiperemis tanpa eksudasi. 11
Keratokonjungtivitis epidemika (serotipe 8, 19, 37 subgrup D) merupakan
manifestasi okular paling berat yang disebabkan oleh adenovirus, dan satusatunya sindroma adenoviral dengan keterlibatan kornea. Konjungtivitis folikular
dan keratitis epitelial pungtata terjadi 10 hari pasca inokulasi. Pseudomembran
atau true membrane dapat ditemukan terutama pada konjungtiva tarsalis, dan
keduanya adalah penanda dari keterlibatan konjungtiva yang berat. Membran ini

13

juga dapat menggesek kornea dan mengakibatkan ulkus geografik yang


menyerupai keratitis herpetik. 8, 11
Konjungtivitis kronis adalah bentuk infeksi adenovirus yang paling jarang
terjadi. Gejala menetap lama dan akan sembuh dalam waktu lama antara beberapa
bulan hingga tahun.

11

(a)

(b)

Gambar 3.1 (a) Konjungtivitis folikular akut pada infeksi Adenovirus tipe 3 dan 7
(b) Keratokonjungtivitis epidemika
Sumber : Seal 16

III.2.2.2

Virus Herpes-simplex
Konjungtivitis dapat merupakan komponen infeksi primer maupun rekuren

virus herpes simplex. Biasanya merupakan kondisi yang ringan, kecuali pada
neonatus, dapat berakibat fatal dan harus ditangani segera. Konjungtivitis herpetik
jarang berdiri sendiri tanpa lesi di tempat lain. 11
Berikut ini adalah perbedaan antara konjungtivitis herpes simplex dengan
adenoviral, yaitu : (1) Vesikel pada margo palpebra dan konjungtiva, atau ulkus
pada konjungtiva bulbar pada infeksi HSV ; (2) Keratitis epitelial dendritik pada
infeksi HSV; (3) Membran konjungtiva atau pseudomembran pada konjungtivitis
adenoviral.

Perjalanan klinis dari konjungtivitis HSV biasanya terbatas hingga 2 minggu.


Tanda awalnya hampir serupa dengan konjungtivitis adenoviral, tetapi biasanya
lesi unilateral. Sekret mukus, hiperemia konjungtiva, reaksi folikular, dan
limfadenopati preaurikular biasanya terjadi pada kunjungan pertama ke klinik.
Membran dan ulkus konjungtival dendritik atau dendrogeografik jarang
didapatkan. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah rasa gatal, sensasi benda
asing, dan lakrimasi.
III.2.2.3

Virus Epstein-barr (EBV)

14

Virus ini ditularkan melalui droplet sekret saluran napas atas. Merupakan agen
penyebab sindroma mononukleosis infeksiosa, yang ditandai oleh demam, nyeri
tenggorokan, limfadenopati, limfositosis, poliartritits, miositis, dan terkadang
konjungtivitis folikular. Manifestasi okular EBV termasuk episkleritis, perdarahan
subkonjungtiva, uveitis , dan keratitis. 11
III.2.2.4
Picornavirus
Acute Hemorrhagic Conjunctivitis (AHC) disebabkan oleh enterovirus tipe 70,
coxsackie virus varian A24, dan adenovirus tipe 11. Karakteristik infeksi ini
adalah onset tiba-tiba dari konjungtivitis folikular dengan bintik-bintik perdarahan
pada konjungtiva tarsal dan bulbar.4 Masa inkubasi berlangsung 18 36 jam ,
dengan onset tiba-tiba pada satu mata, diikuti mata sebelahnya pada hari yang
sama. Palpebra membengkak, fotofobia, iritasi, dan terdapat sekret seromukosa
yang menjadi cair pada hari kedua. Terdapat limfadenopati preaurikular pada 65%
pasien. Folikel kecil timbul pada konjungtiva temporal inferior dan menetap
selama 10 hari. Konjungtiva bulbi edema dan memperlihatkan perdarahan
subkonjungtiva yang dimulai pada daerah temporal superior (Gambar 3.2). 5

Gambar 3.2

Perdarahan subkonjungtiva pada konjungtivitis hemoragik akut


oleh enterovirus tipe 70
Sumber : Seal 16

III.2.2.5

Paramyxovirus
Yang tergabung dalam famili paramyxovirus antara lain : virus cacar (measles),

virus New Castle disease, dan virus mumps.


Mumps adalah infeksi viral akut yang ditandai oleh pembengkakan (bilateral)
glandula salivatorius parotid. Nyeri dan massa pada orbita terjadi bila glandula
lakrimalis ikut terlibat. Keratitis pungtata superfisialis atau keratitis stromal dapat
terjadi. 11
III.2.3 Infeksi Kornea
III.2.3.1
Keratitis Herpes Simplex

15

Manifestasi klinisnya bervariasi, baik yang disebabkan infeksi itu sendiri dan
juga reaksi imun yang terjadi, dapat melibatkan semua lapisan kornea. Penyakit
pada kornea yang diakibatkan HSV antara dapat dilihat pada tabel 3.1. 12
Tabel 3.1 Klasifikasi Keratitis HSV
No.
I.

II.
III.
IV.

Jenis keratitis HSV


Keratitis epitelial infeksiosa
A. Vesikel kornea
B. Ulkus dendritik
C. Ulkus geografik
D. Ulkus marginalis
Keratopati neurotropik
Keratitis stromal
A. Keratitis stromal nekrotikans
B. Keratitis imun stromal (interstitial)
Endoteliltis
A. Diskiformis
B. Difus
C. Linear
Sumber : Krachmer 12

Keratitis HSV terjadi pada infeksi rekuren, sangat jarang pada infeksi primer.
Keratitis herpetik rekuren khas terjadi unilateral, hanya 3 % yang bermanifestasi
bilateral. Biasanya lesi bilateral terjadi pada usia muda, dan memiliki riwayat
atopi. Patogenesis dan pilihan terapi berdasarkan lesi pada infeksi HSV, dapat
dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Patogenesis dan Terapi Sesuai Lesi pada Infeksi HSV
Manifestasi klinik
Keratitis epitel
infeksiosa

Keratitis stromal
nekrotikans
Keratitis stroma
non-nekrotikans

Patogenesis
Terapi
Replikasi virus pada epitel ; Debridement ;Asiklovir 3% topikal
respon imun pada stroma ; lesi 5 kali per hari; Asiklovir p.o 5 x
bercabang
dengan
bulbus 400 mg (10 hari);kontraindikasi
terminalis
kortikosteroid.
Invasi langsung virus terhadap Toksik antiviral topikal, lebih
stroma; reaksi imun berat
dipilih antiviral sistemik; sensitif
terhadap kortikosteroid topikal
Mediasi komplemen Ag-Ab; Prednisolon 1% e.d setiap 2 jam
reaksi hipersensitivitas tipe (tappering off dalam 1-2 minggu)
lambat
Asiklovir profilaksis 2 x
400 mg

Sumber : American Academy of Ophthalmology 4 , Krachmer 12

3.2.3.1.1 Keratitis Epitelial Infeksiosa


Manifestasi klinik yang paling dapat dikenali adalah ulkus dendritik (Gambar
3.3a) dan geografik. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri, fotofobia, sekret yang

16

cair dan tipis. Awalnya lesi berupa vesikel kecil pada epitel, lesi ini sangat penting
untuk dikenali karena mengindikasikan suatu keratitis infeksiosa yang harus
ditangani dengan segera. Dalam 24 jam vesikel tersebut akan membentuk lesi
dendritik dan/atau lesi geografik. Pada pasien dengan gangguan fungsi imun lesi
vesikel akan menetap, tidak akan terjadi lesi dendritik maupun geografik. 12
3.2.3.1.2 Keratitis Stromal
Merupakan penyebab utama kebutaan pada infeksi kornea di negara maju.
Keratitis stromal HSV dapat bersifat nekrotikans maupun non-nekrotikans
(Gambar 3.4a, 3.4b) Terjadi pada 20 48 % dari infeksi HSV rekuren. 4, 12
Keratitis herpetik interstitial (non-nekrotikans), bermanifestasi sebagai
kekeruhan pada kornea yang unifokal maupun multifokal, tanpa adanya ulkus
(Gambar 3.3b). Disebabkan oleh inflamasi karena adanya antigen virus di dalam
stroma, yang mencetuskan reaksi komplemen antigen-antibodi. Bentuk spesifik
dari infiltrasi stroma adalah cincin Wessely, dengan epitel yang biasanya masih
intak di atasnya. 4, 12
Keratitis herpetik nekrotikans timbul sebagai akibat dari inflamasi supuratif
kornea. Perjalanan penyakitnya cepat dan progresif. Terjadi melalui invasi
langsung stroma oleh virus, dimana reaksi imun akan terjadi di dalam stroma,
yang menimbulkan kerusakan berat pada stroma. 4,12

Gambar 3.3 a) Keratitis HSV dendritik (pewarnaan fluoresens; b) Keratitis


herpetik interstitial (non-nekrotikans)
Sumber : American Academy of Ophthalmology 4

Pengobatan yang tepat adalah dengan pemberian antivirus dan antiinflamasi dosis tinggi. Tanda klinisnya antara lain nekrosis, ulserasi, dan
infiltrasi stromal padat dengan defek epitelial di atasnya. Tanda ini dapat
menyerupai keratitis bakterial atau fungal. 4,12

17

Gambar 3.4 a) Keratitis HSV diskiformis (non-nekrotikans); b) Keratitis


herpetik stroma (nekrotikans) dengan neovaskularisasi kornea
Sumber : American Academy of Ophthalmology 4

3.2.3.1.3 Keratopati neurotropik


Keratopati ini terjadi karena inervasi kornea yang terganggu, ditambah dengan
berkurangnya sekresi air mata. Penyakit ini dieksaserbasi oleh penggunaan obat
topikal jangka panjang, terutama obat antiviral.12

Gambar 3.5

Keratopati neurotropik HSV


Sumber : Donnenfeld 17

Tanda klinis yang ditemukan adalah iregularitas permukaan kornea. Erosi


epitelial pungtata dapat terjadi kemudian dan menjadi defek epitelial yang
permanen. Defek epitelial berbentuk oval, dengan batas tegas halus, berlawanan
dengan ulkus geografik yang batasnya ireguler (Gambar 3.5). Keratopati yang
menetap dapat berkembang menjadi ulkus stromal , yang disebut ulkus
neurotropik.12
3.2.3.1.4 Endotelitis
Patogenesis endotelitis HSV masih belum jelas. Diyakini akibat reaksi
imunologis pada endotel karena ditemuknnya presipitat keratik, dan iritis.
Resolusi dapat dicapai dengan pemberian steroid. Terbagi menjadi bentuk
diskiformis, difus, dan linear. 12
Bentuk diskiformis merupakan bentuk yang paling sering ditemui. Merupakan
endotelitis primer yang bermanifestasi sebagai edema stroma dan epitelial dalam
distribusi melingkar atau oval, berbatas tegas. 4

18

Endotelitis difus lebih jarang terjadi. Tanda yang dapat ditemukan adalah
presipitat keratik pada seluruh kornea, dengan edema stroma di atasnya. Pada
endotelitis linear, dapat ditemukan presipitat keratik berbentuk garis pada endotel
kornea, yang berjalan dari limbus ke arah sentral. Biasanya disertai edema stroma
dan epitel perifer di antara presipitat keratik dan limbus. 12
III.2.3.2

Keratitis Herpes Zoster


Manifestasi herpes zoster pada kornea terjadi pada dua per tiga pasien dengan

herpes zoster okular akut (HZO). Manifestasi tersebut dapat timbul dalam bentuk
keratitis

pungtata

epitelial,

pseudodendritik,

infiltrat

stromal

anterior,

sklerokeratitis, keratouveitis/endotelitis, ulserasi serpiginosa, keratitis neurotropik,


dan keratitis paparan (exposure). 13
Keratitis pungtata superfisial merupakan awal lesi HZO pada kornea. Terdiri
dari sel-sel epitel yang kasar dan bengkak, timbul pada bagian perifer kornea,
multipel, menimbul, kecil, dan fokal. Lesi tersebut dapat terwarnai oleh
pewarnaan rose bengal. 13
Pada bentuk pseudodendritik (Gambar 3.6), lesi berupa dendritik atau stelata
yang multipel dari epitel yang mengalami edema dan menimbul, terjadi dalam
beberapa hari. Secara khas lesi ini ditemukan pada perifer kornea dan mungkin
terjadi setelah keratitis epitelial pungtata. Berbeda dari lesi dendritik HSV, karena
lebih superfisial, berujung tumpul, tidak ada ulserasi sentral, dan terwarnai secara
minimal dengan fluoresen dan rose bengal. Pada uji sitologi didapatkan sel datia
dan badan inklusi. 1

Gambar 3.6

Lesi pseudodendritik pada HZO


Sumber : Seal 16

Pada bentuk infiltrat stromal anterior, terdapat lesi multipel dari infiltrat yang
berkabut, granular dan kering tepat di bawah lapisan Bowman yang terjadi dalam
10 hari. 13

19

Keratouveitis/endotelitis merupakan lipat Descemet dan edema epitelial


maupun stromal dengan onset yang tiba-tibam dalam waktu sekitar 1 minggu.
Lipatan dapat bersifat difus atau terlokalisir dan mungkin terdapat riwayat
presipitat keratik dan uveitis. 13
Ulserasi serpiginosa merupakan lesi penipisan kornea perifer berbentuk
kresentik dengan dasar putih keabuan, dapat terjadi vaskularisasi pada kornea, dan
dapat berkembang menjadi perforasi kornea. Sedangkan sklerokeratitis adalah
perluasan skleritis ke kornea yang dapat terjadi 1 satu bulan setelah onset HZO,
yang akan membentuk keratitis vaskular limbal. 13

Gambar 3.7 Keratitis diskiformis ( numularis)


Sumber: American Academy of Ophthalmology 4

Plak mukus kornea secara khas dapat ditemukan beberapa bulan setelah onset
HZO pada mata yang tenang, atau dengan keratitis minimal. Plak berupa lesi
berwarna putih keabuan yang kasar dan menimbul pada permukaan, berupa sel-sel
epitel yang edema. 13
Keratitis diskiformis (Gambar 3.7) terjadi beberapa minggu atau bulan setelah
HZO akut. Merupakan lesi berbentuk piringan (disk) dari stroma yang edema
dengan infiltrat minimal dan epitel yang intak. 13
Keratopati neurotropik adalah hilangnya sensasi kornea dengan hilangnya
integritas epitelial dan kerusakan epitelial. Biasanya terjadi satu bulan pertama
setelah infeksi akut. 13
Keratopati paparan , disebabkan oleh perubahan sikatrik dari palpebra yang
terjadi setelah infeksi HZO. Beberapa faktor penyebabnya antara lain: kontraktur
pada kulit, penebalan palpebra, iregularitas, ektropion, disfungi kelenjar meibom,
dan abrasi karena bulumata. 13
Keratitis interstitial dikarakterisasi oleh deposit lipid parasentral atau periferal
pada meridian horisontal. Keratitis ini dapat mengalami progresi untuk

20

menyebabkan opasifikasi kornea. HZO juga dapat menyebabkan edema kornea


yang sementara maupun permanen. Mekanisme yang menyebabkan edema konea
adalah destruksi endotel oleh VZV, vaskulitis, maupun reaksi imun. 13
Pemberian antiviral oral dapat menurunkan pelepasan virus pada lesi vesikular,
mencegah penyebaran sistemik, serta menurunkan kejadian komplikasi neuralgia
post herpetik bila diberikan 72 jam pasca timbulnya lesi pada kulit. 13
Rekomendasi terkini adalah famsiklovir oral 3 kali 500mg, valasiklovir 3 kali
1 g , atau asikovir 5 kali 800 mg perhari selama 7 10 hari. Kortikosteroid oral
III.3

dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. 4


Obat Antivirus
3.3.1 Idoxuridin
(5-iodo-2-deoksiuridine ;IDU; Herplex) ,suatu antimetabolit pirimidin yang
merupakan obat pertama untuk mengkontrol infeksi virus pada manusia.
Penggunaannya kini telah berkurang karena IDU telah terbukti tidak efektif dan
sangat toksik. Obat ini juga bersifat mutagenik, teratogenik, dan karsinogenik
potensial. 10
3.3.2 Trifluridin
Obat ini lebih larut dalam air dibandingkan obat lain. Dapat diberikan dalam
bentuk tetes mata ( 1% per tetes, diberikan setiap 2-4 jam), berdaya penetrasi
adekuat terhadap kornea sehingga dapat mengobati iritis herpetik. 14
3.3.3 Vidarabin
Merupakan salah satu analog nukleosid yang paling efektif dan tidak toksik.
Penggunaan pada praktek sehari-hari telah digantikan oleh asiklovir yang lebih
aman dan efektif. Salep vidarabin efektif untuk pengobatan keratitis herpes
simpleks dan vaksinia, dan pada keratokonjungtivitis herpes simpleks. 15
3.3.4 Valasiklovir
Valasiklovir telah disetujui penggunaannya untuk pengobatan infeksi herpes
zoster, tetapi tidak untuk infeksi HSV. Bioavailibilitasnya lebih tinggi dari
asiklovir (mencapai 54% dibanding 20%). Obat ini merupakan obat sistemik,
dosis yang direkomendasikan yaitu 1 gram sebanyak 3 kali sehari, selama 7 14
hari.

Memiliki

efek

imunokompromis. 14
3.3.5 Asiklovir

nefrotoksik

dan

trombositopenia

pada

pasien

21

Merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif


terhadap virus herpes. Menginhibisi pertumbuhan virus dengan 3 cara : 1) Sebagai
inhibitor kompetitif DNA polimerase virus; 2) Terminasi rantai DNA virus; 3)
Memproduksi ikatan ireversibel antara DNA polimerase virus dengan rantai DNA
yang terganggu susunannya, mengakibatkan inaktivasi permanen.

Asiklovir

efektif pada virus : HSV-1, HSV-2, VZV, dan virus Epstein-Barr. Sitomegalovirus
(CMV), resisten terhadap Asiklovir, karena virus ini telah mengalami perubahan
pada enzim timidin kinase. 14, 15
Administrasi dapat secara sistemik (intravena, oral), maupun topikal. Obat
terdistribusi ke seluruh tubuh, melewati cairan serebrospinal. Asiklovir dapat
terakumulasi dalam tubuh pada pasien dengan gagal ginjal. Pada pemberian
topikal, dapat terjadi iritasi lokal. 15
3.3.6 Famsiklovir
Sebagai pengobatan infeksi herpes zoster akut yang tidak terkomplikasi karena
telah terbukti meringankan gejala dan tanda infeksi herpes zoster akut, serta
menurunkan durasi neuralgia pasca herpes bila diadministrasikan saat stadium
akut. Dosis rekomendasinya adalah 500 mg , tiga kali sehari, selama 7 hari, secara
sistemik. 14
3.3.7 Gansiklovir
Serupa dengan asiklovir, gansiklovir juga dikonversi menjadi nukleosid
trifosfat oleh enzim virus dan sel terinfeksi, dan secara kompetitif menghambat
polimerase DNA sehingga mengurangi kecepatan sintesis DNA CMV. Obat ini
bersifat karsinogenik, embriotoksik, serta teratogenik pada hewan percobaan. 15
3.3.8 Cidofovir
Merupakan obat ketiga yang disetujui sebagai terapi retinitis CMV, dan hanya
diakui sebagai pengobatan penyakit tersebut. Cidofovir aktif terhadap herpesvirus,
poxvirus, poliomavirus, papillomavirus, dan adenovirus. Mekanisme kerjanya
adalah dengan menginhibisi sintesis DNA. 15
3.3.9 Foskarnet
Penggunaannya terbatas pada retinitis sitomegalik. Obat menghambat
polimerase DNA dan RNA secara reversibel, yang mengakhiri elongasi rantai.

22

Mutasi pada struktur polimerase virus menyebabkan terjadinya resistensi.


Foskarnet diberikan intravena berulang untuk mencegah relaps. Dapat berakibat
nefrotoksisitas,

anemia,

mual,

demam,

hipokalsemia,

hipokalemia, hipofosfatemia, kejang, serta aritmia. 15

hipomagnesemia,

Anda mungkin juga menyukai