Anda di halaman 1dari 2

PERKARA YANG TIDAK ADA DI AL QURAN DAN HADITS

Memutus Perkara yang Tidak Ada dalam Al-Qur'an dan Hadits


Sabtu, 28 Mei 2016 14:00
Oleh Nadirsyah Hosen
Tahun 1932 Pengadilan Inggris harus memutuskan kasus yang tergolong unik.
Nyonya Donoghue meminum bir jahe (ginger beer) yang dibeli temannya. Ternyata
di dalam botol dia menemukan Snail (Bekicot) dan dia mengklaim mengalami sakit
setelah meminum botol berisi bekicot itu. Donoghue memutuskan menggugat
Stevenson, perusahaan pembuat bir jahe. Saat itu tidak ada aturan hukum yang
bisa menjerat Stevenson. Tidak ada kontrak atau perjanjian antara penjual dan
pembeli. Apa dasar hukumnya menghukum Stevenson? Apakah gugatan Donoghue
harus ditolak?
Dalam tradisi common law pada pengadilan Inggris, mereka melihat pada kasuskasus sebelumnya untuk memutuskan hukum. Ini yang disebut dengan teori
preseden. Memutuskan kasus baru dengan mencari cantolan pada keputusan
sebelumnya. Preseden dalam tradisi common law ini mirip dengan analogi atau
qiyas yang digunakan mayoritas ulama dalam tradisi hukum Islam. Ternyata sistem
hukum Barat, khususnya common law, punya kemiripan dengan syariah. Kalau kita
luaskan bacaan kita, kita akan melihat banyak persamaan di antara keduanya,
ketimbang sibuk mencari perbedaan dan kemudian menistakan yang satu dengan
lainnya.
Para ulama juga harus mencari cantolan hukum ke belakang, yaitu Al-Qur'an dan
Hadits, untuk memecahkan kasus baru. Di sinilah para ulama secara brilian
mengenalkan konsep qiyas sehingga hukum Islam selalu bisa menjawab
perkembangan zaman. Apa yang dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadits itu terbatas.
Wahyu sudah terhenti. Nabi Muhammad sudah wafat. Tapi kasus-kasus baru terus
bermunculan. Maka Qiyas menjadi jawabannya.
Qiyas ini sebenarnya menggunakan logika. Ini analogi berdasarkan prinsip logika
deduktif. Semua minuman yang memabukkan itu haram, whiskey itu memabukkan,
maka whiskey hukumnya haram (meski sampai gondrongpun anda mencari dalam
Al-Qur'an dan Hadits tidak akan ditemukan kata whiskey). Tentu saja para ulama
menjustifikasi penggunaan Qiyas ini dengan sejumlah ayat dan hadits. Tapi susah
menolak fakta bahwa bangunan qiyas ini dipengaruhi logika artistoteles. Artinya,
mereka yang teriak-teriak tidak boleh pakai akal atau logika dalam memahami kitab
suci dapat dipastikan mereka tidak sadar bahwa qiyas itu jelas berdasarkan logika
deduktif. Dan ternyata, metode ini diterima juga oleh empat Imam Mazhab
terkemuka (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali), meski mereka berbeda-beda dalam
intensitas melakukan qiyas ini.
Namun bagaimana caranya memutus perkara kalau cantolannya tidak ada? Qiyas
mengasumsikan bahwa ada hukum asal sebagai pijakan analogi. Tapi kalau hukum
asalnya
tidak
ada,
bagaimana?
Para
ulama
kemudian
menggunakan istidlal (mencari dalil) melalui kaidah kebahasaan: ibaratun nash,
isyaratun nash,dan dilalatun nash. Para ulama menganalisa sejumlah indikasi
(wajah istidlal) dalam nash untuk mengeluarkan berbagai kaidah ushuliyah dan

fiqhiyah guna menjawab kasus-kasus baru yang tidak ada hukum asalnya. Inilah
proses pengambilan hukum berdasarkan prinsip induktif. Misalnya dalam kasus
asuransi,
para
ulama
menjawabnya
dengan
menganalisa
kata maysir, riba, gharar yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits untuk
kemudian mengeluarkan prinsip hukum: tidak boleh ada spekulasi atau
ketidakpastian, bunga ataupun penipuan.
Bagaimana bila aspek kebahasaan dan analogi tidak juga meng-cover kasus baru
yang ditanyakan? Contohnya penggunaan facebook. Tidak bisa dilakukan qiyas dan
juga al-istidlal bil qawa'id al-lughawiyah.Lalu apa yang harus dilakukan para ulama?
Tidak bisa mengatakan cukup dengan Al-Qur'an dan Hadits karena dicari sampai
botak pun gak ada kata 'facebook' dalam Al-Qur'an dan Hadits, dan belum ada
kasus yang mirip di jaman dahulu untuk dilakukan qiyas.
Di sinilah para ulama menjawab dengan melakukan ijtihad istislahi, yang
berdasarkan konsep kemaslahatan. Ditimbang-timbang mana yang lebih besar
maslahat atau mudaratnya. Prinsip kemaslahatan ini bertumpu pada maqasid alsyari'ah dengan memperhatikan aspek dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyat.Dalam
titik ini, para ulama tetap berusaha merujuk ke nash Al-Qur'an dan Hadits, bukan
dari aspek kebahasaan atau hukum asal, tapi tujuan hukum Islam itu sendiri.
Ini juga yang dialami oleh Pengadilan Inggris dalam kasus Donoghue di atas. Para
hakim Inggris melakukan ijtihad melihat kemaslahatan kasus ini. Kalau tidak
dihukum, maka Stevenson dan perusahaan lainnya tidak akan menunjukkan
kepedulian (duty care) terhadap produk mereka. Hak-hak konsumen terabaikan
hanya karena tidak ada kontrak atau perjanjian jual-beli. Lord Atkin, hakim Inggris
dalam pengadilan tersebut, memutuskan Stevenson bersalah dengan mengajukan
argumen "neighbour principle". Gemparlah dunia hukum saat itu menyimak
terobosan hukum (ijtihad) yang dilakukan Lord Atkin. Sejak itu berkembanglah
kajian Negligence dalam hukum Inggris, dan kasus-kasus berikutnya mengikuti
argumen (illat hukum) apa yang diputuskan Lord Atkin.
Nadirsyah Hosen
(Ra'is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Australia-New
Zealand dan Dosen Senior Monash Law School Melbourne VIC 3000,
Australia)
Sumber:
http://www.nu.or.id/post/read/68560/memutus-perkara-yang-tidak-ada-dalam-alquran-dan-hadits

Anda mungkin juga menyukai