MANAJEMEN AGROEKOSISTEM Tanah
MANAJEMEN AGROEKOSISTEM Tanah
Kelompok 1:
1) Siti Kholifah
(145040200111114)
(145040200111141)
(145040200111153)
4) Fathur Firmansyah
(145040200111167)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak.
Salah satu peluang yang cukup besar tetapi sering terabaikan adalah
pemanfaatan lahan kering yang tersedia cukup luas dan secara teknis sesuai untuk
pertanian. Lahan potensial tersebut akan mampu menghasilkan bahan pangan
yang cukup bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi
pengembangan yang tepat. Teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia,
meliputi konservasi, peningkatan kesuburan kimiawi, fisik dan biologi,
pengelolaan bahan organik, dan irigasi suplemen.
1.2
Tujuan
1.2.1 Mengetahui teknik pengelolaan tanah yang cocok untuk lahan
kering
1.2.2 Mengetahui teknik pengelolaan tanah yang cocok untuk tanaman
kedelai
1.3
Manfaat
Mahasiswa bisa mengetahui teknik pengelolaan yang cocok untuk
tanaman jagung pada lahan kering
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Lahan Kering
Istilah lahan kering digunakan oleh Kelompok Penelitian Agroekosistem
(KEPAS, 1986) sebagai padanan dry land. Uraiannya menyiratkan pengusahaan
lahan secara tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah
lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian yang
didasarkan:
1. Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land menurut salah
satu takrifnya: (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250 mm,
(b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi
sedikitpun, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan
pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial
melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual (Monkhouse & Small, 1978).
2.
Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan
rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basa alamiah lain).
3. Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.
Untuk kondisi yang pertama dapat digunakan istilah daerah kering atau
kawasan iklim kering. Sementara pada kondisi yang kedua dapat dipilih istilah
lahan atasan (upland). Kondisi yang ketiga dapat diterapkan istilah lahan
kering. Jadi, pertanian lahan kering ialah pertanian yang diusahakan tanpa
penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan perikanan kolam (air tawar
dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan,
perkebunan dan pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa
irigasi tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi lahan.
B. Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya
Tanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah,
termasuk Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol,
oxisols dan spodosol sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi et
al, 1996). Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di
dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi
maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu
rendah maka tanah akan bereaksi basa. Tanah masam adalah tanah dengan pH
rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak
ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat
menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kejenuhan ion
Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida ,dengan demikian dapat
menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007).
Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman
(reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya
konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah
yang diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah potensial ialah
banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid
tanah maupun yang terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007).
C. Tinjauan Umum Kesuburan Tanah
Sebagai sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah mempunyai dua
fungsi, yaitu : (1) sebagai sumber penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar
berjangkar. Salah satu atau kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi
Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman
merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak
optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Tanah Marginal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik (ulah
manusia). Secara alami (pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses
pembentukan tanah terhambat atau tanah yang terbentuk tidak sesuai untuk
pertumbuhan tanaman. Misalnya, bahan induk yang keras dan asam, kekurangan
air, suhu yang dingin/membeku, tergenang dan akumulasi bahan gambut, fraksi
tanah yang dihasilkan didominasi oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman.
Tanah Marginal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami,
bukan tanah yang menjadi marginal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di
dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols,
Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah
Marginal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols,
dan
Ultisols.
Secara
antropogenik
adalah
karena
ulah
manusia
yang
kualitas
suatu
tanah
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan Lahan Kering
Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya
faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal
dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan
kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%),
sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di
dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng <
15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha.
Lahan dengan lereng 1530% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha).
Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta
ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Tabel 1).
a. Kesuburan tanah
rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar
dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni
tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993;
Soepardi 2001).
b. Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung
(> 30%) dan berbukit (1530%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan
36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat
peka terhadap erosi.
c. Ketersediaan air pertanian
Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat
dilakukan sepanjang tahun, Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola
hujan yang fluktuatif.
d. Kepemilikan lahan
Tantangan yang lebih berat dan sukar diatasi adalah permasalahan sosial
ekonomi, antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit. jumlah
rumah tangga petani (RTP) meningkat secara signifikan dari 22,40 juta menjadi
27,40 juta dalam 10 tahun terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional
menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Bila luas lahan pertanian tidak
bertambah secara signifikan seiring dengan laju pertambahan penduduk maka
jumlah petani akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.
Penggunaan dan Ketersediaan Lahan Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan
pertanian Indonesia meliputi 70,20 juta ha, sekitar 61,53 juta ha di antaranya
berupa lahan kering (Tabel 2) dengan produktivitas relatif rendah, jauh di bawah
potensi hasil.
1994; 1995). Teras bangku merupakan teknik konservasi yang banyak diterapkan
di Jawa dan Bali. Teknik ini telah dikembangkansecara luas sejak tahun 1975
melalui inpres penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras bangku cukup
disukai petani dan juga efektif mencegah erosi dan aliran permukaan
(Abdurachman dan Sutono 2005).
Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti teras
gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi
vegetative seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah, teknik
konservasi vegetative memiliki keunggulan lain, yaitu dapat berfungsi sebagai
sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman
yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering
dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan
erosi (Dariah et al. 2004; Santoso et al. 2004) dan lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu
tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan
penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan
tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin
tinggi proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang
searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi. Pengolahan tanah secara
intensif merupakan penyebab penurunan produktivitas lahan kering. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak
struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et al. 1989) dan
menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al. 2004). Olah tanah
konservasi
(OTK)
merupakan
alternatif
penyiapan
lahan
yang
dapat
mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991; Wagger dan
Denton 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan
tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai
mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan herbisida
untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya.
Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi lahan
kering, antara lain dengan menanam legume penutup tanah atau tanaman
penghasilbahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley
cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik
maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.
c. Pengelolaan Air Pertanian
Kelangkaan air sering kali menjadi pembatas utama dalam pengelolaan
lahan kering. Oleh karena itu, inovasi teknologi pengelolaan air dan iklim sangat
diperlukan, meliputi teknik panen hujan (water harvesting), irigasi suplemen,
prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan pola tanam. Pemanenan air dapat
dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran permukaan pada tempat
penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan mengairi tanaman
(Subagyono et al. 2004). Oleh karena itu, pemanenan air selain berfungsi
menyediakan air irigasi pada musim kemarau, juga dapat mengurangi risiko banjir
pada musim hujan. Teknologi ini bermanfaat untuk lahan yang tidak mempunyai
jaringan irigasi atau sumber air bawah permukaan (ground water). Di daerah arid
dan semi arid banyak dipraktekkan teknik modifikasi mikrorelief seperti
pematang setengah lingkar (half moon dykes), rorak, sistem gulud menurut
kontur, gulud berblok, dan lain-lain. Embung, kedung, dan dam parit juga
merupakan teknik panen air yang telah berkembang di beberapa daerah di
Indonesia. Namun, Agus et al. (2005) menyatakan perlu analisis ekonomi yang
komprehensif tentang manfaat dan keuntungan pembuatan bangunan pemanen air
seperti embung. yang digunakan dalam pemberian dan pendistribusian air pada
lahan kering, yang mencakup dua aspek penting, yaitu besarnya air yang diberikan
dan interval pemberiannya (Agus et al. 2005). Jumlah air yang diberikan
ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air,
serta sarana irigasi yang tersedia.
Berdasarkan sarana irigasi yang digunakan, sistem irigasi suplemen terdiri
atas: 1) irigasi permukaan, 2) irigasi bawah permukaan, 3) irigasi sprinkle, 4)
irigasi tetes, dan 5) kombinasi dari dua atau lebih sistem (irigasi hybrid).
Tersedianya sarana irigasi memungkinkan pemberian air dapat dilakukan lebih
teliti. Untuk irigasi tetes atau sprinkle, pemberian air dapat dikombinasikan
dengan pemupukan. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air, konsep
management allowable depletion atau maximum allowable depletion (MAD)
dapat digunakan dalam merancang penjadwalan irigasi suplemen bagi suatu jenis
tanaman. MAD dapat didefinisikan sebagai derajat kekeringan tanah yang masih
dan
Pengembangan
Pertanian
2006),
yang
bertujuan
untuk
masam dan non masam.Lahan kering tergolong masam bila tanahnya memiliki pH
< 5 dan kejenuhan basa < 50% (Mulyani et al. 2004).
Pengembangan kedelai pada lahan kering masam di Lampung sangat
potensial, namun kondisi pH tanah, C organik, kandungan hara N, P, dan Ca
rendah serta Al dan Mn tinggi sering menjadi penghambat pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai. . Lahan kering masam tergolong suboptimal karena tanahnya
kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah
tinggi sehingga dapat meracuni tanaman.Lahan masam pada umumnya miskin
bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg.
Hasil penelitian Prihastuti dan Sudaryono (2012) yang melakukan analisis
khemis dan biologis pada lahan kering masam di 4 (empat) kecamatan di
Lampung Tengah, yaitu Bumi Nabung, Sari Bakti, Seputih Banyak dan Rumbia,
menunjukkan nilai pH masam (4,35-6,00), kandungan hara rendah (N <0,1 % dan
C <2,00 %, dan populasi mikroba tanah rendah (mengandung bakteri 17.103
29.104 cfu/g tanah dan jamur 21.101 63.102 cfu/g tanah). Ditemukan jenis-jenis
beneficialmicrobe dari lahan kering masam meliputi bakteri penambat nitrogen
non simbiotik (dengan kemampuan menambat nitrogen 0,151,53 mMol/100 ml
medium/jam), bakteri dan jamur pelarut fosfat (dengan indeks pelarutan fosfat
1,22-6,25) dan mikoriza vesikular arbuskular (dengan tingkat infeksi akar 70,5090,33 % dan jumlah spora 49-175 spora/gram tanah). Berdasarkan hasil analisis
tersebut, lahan yang diuji tersebut tergolong dalam kategori kurang sesuai untuk
pengembangan tanaman kedelai.Namun, dalam upaya ekstensifikasi kedelai di
lahan kering masam, diperlukan teknologi perbaikan sifat-sifat tanah melalui
pengapuran dan ameliorasi, serta pemakaian pupuk organik. Tindakan lain yang
memberikan prospek untuk dilakukan adalah dengan memanfaatkan aktivitas
beneficialmicrobe dalam penyediaan unsur hara nitrogen dan fosfat secara hayati.
Diperlukan upaya untuk meningkatkan populasi mikroba tanah melalui masukan
mikroba atau melalui teknik pemeliharaan dan pengembangan mikroba alami
yang berpotensi untuk dikembangkan dari lahan kering masam tersebut
Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K
merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam (Subandi,
2007). Kapur atau dolomit perlu diberikan dengan takaran dari Al-dd
(Aluminium yang dapat dipertukarkan); di berbagai daerah umumnya 11,5
ton/ha. Dolomit selain meningkatkan pH, juga menambah kandungan Ca dan Mg.
Informasi. Jika disertai pemberian pupuk kandang 2,5 ton/ha, maka takaran
pengapuran cukup 1/4 dari Al-dd (500750 kg dolomit/ha).
Pemanfaatan bakteri rhizobium yang toleran kondisi masam berkadar Al,
Mn, dan Fe tinggi dapat menggantikan sebagian besar pupuk N anorganik pada
tanaman kedelai yang ditanam di lahan masam, terutama pada lahan-lahan yang
belum pernah ditanami kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi (Balitkabi) telah merilis ultiisolat rhizobium toleran masam yang diberi
nama Iletrysoy .Balitkabi sebelumnya telah melakukan uji efektivitasnya dengan
menggunakan tanah masam Ultisol asal Lampung Timur.Multiisolat Iletrysoy
dapat membentuk bintil akar efektif dengan sangat baik. Peningkatan jumlah
bintil akar tersebut mampu meningkatkan kandungan N dan klorofil daun,
sehingga dapat meningkatkan hasil biji 14 - 21%, sepadan dengan pemberian
pupuk Urea 50 kg/ha (Harsono, 2010). Sebagai tanaman yang relatif banyak
membutuhkan hara N, pada lingkungan yang optimal sekitar 60% dari kebutuhan
hara N kedelai dapat dipenuhi dari simbiosis antara tanaman kedelai dengan
rhizobium. Efektifitas simbiosis tersebut antara lain dipengaruhi oleh populasi
rhizobium di dalam tanah. Jumlah rhizobium di dalam tanah sudah cukup apabila
populasinya 1.000 sel rhizobium/g tanah.Pada tanah yang relatif subur, inokulasi
rhizobium tidak perlu dilakukan. Hasil penelitian di 11 lokasi di Kabupaten
Probolinggo, Lumajang, Pasuruan, dan Jember yang bertanah Vertisol dan Entisol
dengan pola tanam yang beragam, ternyata populasi rhizobium sangat tinggi
antara 58.103 sampai 7.109 sel rhizobium per gram tanah, sehingga tanpa
inokulasi rhizobium tanaman kedelai mampu membentuk bintil secara memadai.
Penelitian lapangan di KP Jambegede (Malang) menunjukkan bahwa inokulasi
rhizobium pada tanaman kedelai setelah padi juga tidak diperlukan, karena
populasi rhizobiumnya masih tinggi, yakni 58.105 sel/g tanah setelah pertanaman
padi dipanen (Balitkabi, 2013). Pada lahan masam, mikoriza yang dapat
menginfeksi perakaran akan meningkatkan kemampuan tanaman menyerap P dari
tanah. Penelitian awal dalam pot di rumah kaca menggunakan tanah masam dari
Lampung
menunjukkan
bahwa
perlakuan
biji
dengan
mikoriza
dapat
meningkatkan hasil kedelai, baik pada tanah yang steril maupun yang tidak
disterilkan.Hasil penelitian ini memberikan harapan bagi pengelolaan tanaman
untuk pengembangan kedelai di Indonesia, khususnya di luar jawa yang sebagian
besar lahannya masam.
BAB IV
KESIMPULAN
Jalan keluar untuk menembus kebuntuan peningkatan produksi bahan
pangan nasional adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering
melalui: a) peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada saat ini, dan
b) perluasan lahan pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan kering
terlantar.
Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan
memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat, yaitu: a) identifikasi lahan
kering yang sesuai untuk pertanian, b) seleksi teknologi pengelolaan lahan kering
yang tepat guna, c) diseminasi teknologi pengelolaan lahan kering secara intensif,
dan d) peningkatan penelitian pertanian lahan kering, terutama budi daya padi
gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya dalam sistem usaha tani terpadu.
Untuk meningkatkan hasil kedelai pada lahan suboptimal perlu dilakukan
perbaikan dari aspek kesuburan tanahnya seperti penggunaan pupuk organik,
pupuk hayati, kapur, dll.Selain itu penggunaan varietas yang sesuai sangat
dianjurkan, seperti varietas yang cocok untuk lahan kering masam, varietas yang
toleran naungan, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman A, A. Dariah, Dan A. Mulyani.2008. Strategi Dan Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2).