Anda di halaman 1dari 11

SARI PUSTAKA

CEDERA KEPALA / TRAUMA KAPITIS

Oleh:
Gandar Kusuma
NPM: H1AP10029

Pembimbing:
dr. Julian Famil, Sp. B, FICS, FINACS

BAGIAN BEDAH RS BHAYANGKARA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU
2016

CEDERA KEPALA
A. Definisi
Cedera kepala atau yang sering disebut trauma kapitis merupakan trauma yang
disebabkan oleh adanya ruda paksa tumpul/tajam atau wajah yang berakibat
disfungsi serebral sementara. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kecacatan dan kematian terbanyak pada kelompok usia 6 bulan-2 tahun, usia 15-24
tahun dan lanjut usia, yang sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.1
B. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala dapat diklasifikasikan beradasarkan:
1. Mekanisme Cedera
a. Cedera Kepala Tumpul
Cedera kepala tumpul dapat terjadi dengan kecepatan tinggi (biasanya
berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas) atau kecepatan rendah
(biasanya berhubungan dengan jatuh dari ketinggian atau dipukul dengan
benda tumpul).1,2 Pada keadaan ini, duramater masih utuh dan tidak ada
jaringan otak yang terbuka atau terpapar pada lingkungan luar.1-3
b. Cedera Kepala Tembus
Cedera kepala tembus dapat disebabkan oleh luka tembak, luka bacok
atau luka tembus lainnya yang menyebabkan isi tengkorak terbuka atau
terpapar terhadap lingkungan luar.1-3
2. Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara
klinis/kuantitatif beratnya cedera kepala.1 Komponen penilaian GCS antara
lain respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik/gerakan.1,4

Beratnya cedera kepala diklasifikasikan sebagai1,3:


Cedera kepala ringan: pasien dengan nilai GCS 13-15
Cedera kepala sedang: pasien dengan nilai GCS 9-12
Cedera kepala berat: pasien dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
3. Morfologi
Cedera kepala dapat meliputi:
a. Fraktur Tulang Tengkorak
Fraktur tulang tengkorak/kranium dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak.1,2,5
Fraktur kranium
Terdapat beberapa bentuk fraktur tulang tengkorak, yakni linear (garis)
atau stelata (bintang), depresi atau non depresi dan fraktur terbuka atau
tertutup.1,2,5
Fraktur linear merupakan bentuk fraktur terbanyak dari semua
fraktur tulang kepala, yakni sekitar 80% dan umumnya tidak
memerlukan tindakan khusus.5

Fraktur Basis Kranii


Fraktur tulang dasar tengkorak pada umunya terjadi pada os petrosum,
atap orbita atau pada basis oksiput.5

Tanda-tanda klinis fraktur basis cranii antara lain:


a. Ekimosis periorbital/raccoon eyes sign
Fraktur basis cranii anterior terjadi sekitar 70% dari seluruh kejadian
fraktur basis cranii.6 Bagian basis cranii anterior disusun oleh sinus
paranasal, cribriform plate dan atap orbita.6 Struktur anatomi
terpenting yang terdapat dibawahnya adalah orbita.7 Pada bagian
posterior tulang orbita terdapat kanalis optikus, fisura orbitalis
superior dan fisura orbitalis inferior (tempat lewatnya berbagai saraf
kranial dan pembuluh darah) dan dinding posterior ini merupakan
bagian yang tipis.7 Jika terjadi fraktur pada basis cranii anterior, maka
struktur dibawahnya ikut terkena dan dapat terjadi robekan pada
pembuluh darah disekitar mata sehingga terjadi kebocoran darah yang
menumpuk disekitar mata (raccoon eyes).5,6,8

b. Ekimosis retroaurikuler/battle sign

Fraktur pada bagian petrosum tulang temporal (bagian dari basis


cranii media) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada
pembuluh darah sehingga darah keluar dari pembuluh darah ke
jaringan disekitarnya, sehingga tampak daerah berwarna keunguan
pada kulit dibelakang telinga/daerah mastoid.2,5,9
c. Kebocoran CSF melalui hidung/rhinorrhea dan telinga/otorrhea
Kebocoran CSF dari basis cranii anterior lebih sering dibandingkan
dengan kebocoran pada basis cranii media maupun posterior, karena
perlekatan yang kuat antara duramater dan basis cranii anterior 10
Fraktur pada basis cranii anterior dapat menyebabkan terjadinya
robekan duramater sehingga terjadi kebocoran CSF ke sinus sfenoid,
sinus frontalis dan sinus ethmoidalis ataupun cribriformis yang
bermanifestasi sebagai rhinorhea.10 Fraktur pada tulang temporal juga
dapat menyebabkan terjadinya kebocoran dari CSF hingga keluar dari
lubang telinga atau otorrhea.5,10
b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai:
Lesi Fokal
a. Memar Otak/Kontusio Serebri1,11,12
Kontusio adalah perdarahan di parenkim otak superfisial akibat
trauma tumpul. Otak terapung dalam CSF diruang subarakhnoid dapat

meluncur ke arah anteroposterior dan lateral dengan jarak tertentu.


Gerakan ke anteroposterior terbatas karena terdapat perlekatan vv.
Cerebri superiores dengan sinus sagittalis superior. Pergeseran otak ke
lateral dibatasi oleh falx cerebri. Tentorium cerebelli dan falx cerebelli
juga membatasi pergerakan otak.
Bila secara tiba-tiba mendapatkan gaya gerak didalam tengkorak,
bagian otak yang bergerak menjauhi dinding tengkorak akan
mendapatkan pengurangan tekanan karena CSF tidak mempunyai
cukup waktu untuk mengakomodasi gerakan otak. Keadaan ini
menimbulkan efek hisapan pada permukaan otak yang mengakibatkan
ruptur pembuluh darah superfisial.
Benturan

pada

kepala

yang

keras

dan tiba-tiba,

dapat

menimbulkan kerusakan pada kedua sisi otak, yaitu pada titik


benturan dan pada kutub otak yang berlawanan dengan titik benturan,
bagian otak yang terlempar ke dinding tengkorak. Keadaan ini disebut
cedera countrecoup.

b. Hematoma Epidural5,11,12
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk ke dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam
os temporal. Robeknya arteri ini menimbulkan hematom epidural dan
desakan oleh hematom akan memisahkan duramater dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar.
Tanda-tanda klinisnya:
i.

Lucid Interval
ketika kepala terbentur, penderita pingsan sebentar kemudian
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa menit sampai jam,
kesadaran berangsur menurun.

ii.

Pupil Mata Anisokor (pupil ipsilateral melebar)


hematoma yang besar akan menekan korteks serebri. Bila tekanan
pada hemisfer sudah cukup besar maka bagian medial lobus
temporalis akan terdorong ke arah tentorial sehingga akan
menekan nervus okulomotorius (n. III) yang berjalan sepanjang
tentorium.

Serabut-serabut

parasimpatis

yang

berfungsi

melakukan konstriksi pupil mata berada pada permukaan nervus


okulomotorius,

sehingga

bila

terjadi

penekanan

dapat

menyebabkan dilatasi pupil.


c. Hematoma Subdural5,11,12
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang arakhnoid. Pada sebagian besar kasus,
hematom ini disebabkan oleh kerusakan vena penghubung (bridging
veins) yang berjalan dari permukaan otak ke sinus dura. Pembesaran
hematom memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa
minggu. Hematom subdural dibagi menjadi hematom subdural akut
bila gejala timbul pada hari pertama sampai ketiga, subakut bila
timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul
sesudah minggu ketiga. Bila mengenai vena besar, bekuan darah
subdural membesar dengan cepat dan timbul gejala-gejala akut seperti
epidural bleeding, namun bila perdarahan tidak terlalu besar, terbentuk
bekuan darah kecil yang kemudian akan menarik cairan secara
osmosis dalam beberapa bulan sehingga terbentuk kista hemoragik
yang berangsur membesar dan menimbulkan gejala penekanan.

d. Hematoma Intraserebral5
perdarahan yang terjadi pada memar otak dapat membesar menjadi
hematom intraserebral. Lebih dari 50% hematom intraserebral juga
disertai hematom epidural atau subdural. Hematom ini paling banyak
terjadi di lobus frontalis dan lobus temporalis, gambaran klinis pun
bergantung pada lokasi dan besarnya hematom.
Lesi Difus:
a. Gegar Otak/Komosio Cerebri11
Komosio merujuk pada penurunan kesadaran dan paralisis luas yang
transien, kadang-kadang disertai oleh kejang, diikuti oleh pemulihan
dalam waktu beberapa jam hingga hari. Keadaan ini menyebabkan
kelainan morfologi minimal.
b. Cedera Akson Difus11
Kondisi ini merupakan penyebab sebagian besar kasus demensia pasca
trauma dan bersama dengan cedera hipoksik-iskemik, menjadi
penyebab sebagian besar kasus keadaan vegetatif persisten. Lesi
terjadi akibat gaya deselerasi atau akselerasi mendadak yang cukup
besar untuk meregangkan atau merobek prosesus sel saraf di dalam
substansia alba serebrum.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fildes, John. Meredith, J. Kortbeek, John. Kaufmann, Christoph. Ali, Jameel.
Brasel, Karen. Et al. Advanced Trauma Life Support for Doctors Eight Edition.
2008. Komisi Trauma IKABI.
2. Kowalak, Jennifer P. Welsh, William. Mayer, Brenna. Buku Ajar Patofisiologi.
2011. Jakarta: EGC.
3. Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu. Setiowulan, Wiwiek. Wicaksono,
Aditya. Hamsah, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Dua. 2007.
Jakarta: FKUI.
4. Lumbantobing, S. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. 2010.
Jakarta: FKUI
5. Sjamsuhidajat, R. Karnadihardja, Warko. Prasetyono, T. Rudiman, Reno. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. 2011. Jakarta: EGC.
6. Martinez, Leonel. Siddiqui, Farrah. Quin, Francis. Basillar Skull Fractures.
2013. Galveston: The University of Texas Medical Branch
7. Joshi, Arjun. Sadeghi, Nader. Katjhu, Sandeep. Wahan, Serv. Mercandetti,
Michael. Talavera, Francisco. Skull Base Anatomy. 2013. Medscape.
8. Diunduh dari http://neurosurgery.stanford.edu/patient_care/head_spine.html
9. Diunduh dari http://m.wisegeek.org/what-is-battle-sign.htm
10. Prosser, J. Vender, John. Solares, Arturo. Traumatic Cerebrospinal Fluid Leaks.
2011. Otolaryngol Clin N Am (44): 857-873.
11. Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi, Robbins, Stanley. Buku Ajar Patologi Robbins
Edisi 7. 2007. Jakarta: EGC
12. Snell, Richard S. Neuroanatomi Klinik Edisi 5. 2007. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai