ACHALASIA ESOFAGUS
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Bedah RS Bethesda pada Program Pendidikan Dokter Tahap Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Disusun Oleh :
NOVITA CHANDRA
42150008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas
rahmat
dan
penyertaan-Nya,
penulis
dapat
menyelesaikan
referat
berjudul
Novita Chandra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akalasia merupakan gangguan motorik esophagus dan sfingter esofagus yang
jarang. Insiden berkisar 1/100.000 pertahun dan angka prevalensinya 10/100.000. Di
Indonesia sendiri, tercatat hanya ada 48 kasus selama tahun 1984-1988. Data tersebut
merupakan pasien pada Rumah Sakit Cipto Mongunkusumo Jakarta (Bakry, 2006).
Kejadian akalasia sulit untuk diketahui karena gejala awal penyakit ini
terselubung, sehingga pasien baru berobat setelah stadium lanjut. Ada beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mendiagnosa akalasia, misalnya manometri esofageal,
barium esophagram, esophagoduodenoskopi, esophageal CT-scan, hingga yang terbaru
yaitu manometri resolusi tinggi, yang dapat mengklasifikasikan akalasia menjadi 3 tipe
(tipe I, II, dan III) (Chuah, 2011). Sangat penting untuk mendeteksi akalasia sejak awal
karena hal ini dapat mengurangi angka kesakitan pasien. Selain itu, beban biaya yang
ditanggung pasien akan lebih minimal.
Saat ini, terdapat beberapa cara untuk menangani akalasia. Beberapa pilihan yang
tersedia diantaranya adalah melalui intervensi farmakologi, endoskopi, pembedahan
dengan intervensi minimal, dan pembedahan radikal. Masing-masing dari cara
penanganan tersebut memiliki kelebihannya sendiri, sehingga kita sebagai dokter harus
dapat menentukan mana yang terbaik bagi setiap pasien dengan mempertimbangkan
berbagai macam kondisi pasien. Beberapa kondisi pasien yang harus diperhatikan dalam
menentukan cara penanganannya diantaranya adalah usia pasien, keparahan penyakit,
penanganan sebelumnya, dan kondisi sosisal ekonomi (Kurniawan, 2013).
B. Perumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
C. Tujuan Penulisan
1. Dokter muda memahami definisi mengenai Achalasia esofagus.
2. Dokter muda memahami etiologi dari Achalasia esofagus.
3. Dokter muda mengetahui dasar penegakan diagnosis Achalasia esofagus.
4. Dokter muda mampu memahami penatalaksanaan Achalasia esofagus.
BAB II
DASAR TEORI
Esofagus mendapat darahnya dari banyak arteri kecil. Bagian atas dari
esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah dari arteri tiroidea
inferior, beberapa cabang arteri bronkialis dan beberapa arteri kecil dari aorta.
Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari arteri frenika
inferior kiri dan cabang arteri gastrika kiri.
Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosa esofagus. Di esofagus
bagian atas dan tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan melalui vena
esofagus ke vena azygos dan vena hemiazygos untuk kemudian masuk ke vena cava
superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk ke dalam vena
koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara
sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui vena
lambung tersebut. Hubungan ini yang menyebabkan timbulnya varises esofagus bila
terjadi bendungan vena porta.
sebelah kiri belakang esofagus untuk turun kembali dan masuk ke dalam vena
subklavia kiri.
2.2. Fisiologi Esofagus
Motilitas yang berkaitan dengan esofagus adalah menelan. Menelan dimulai
ketika suatu bolus secara sengaja didorong oleh lidah ke bagian belakang mulut
menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan di faring yang
kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di medula. Pusat menelan
kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot yang terlibat dalam proses
menelan. Menelan adalah suatu contoh refleks all-or-none yang terprogram secara
sekuensial dengan berbagai respons dipicu dalam suatu rangkaian waktu spesifik;
jadi, sejumlah aktivitas yang sangat terkoordinasi dipicu dalam pola teratur selama
periode waktu tertentu untuk melaksanakan tindakan menelan. Menelan dimulai
secara volunter, tetapi setelah dimulai proses tersebut tidak dapat dihentikan.
Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap orofaring dan tahap esofagus.
Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan bolus dari
mulut melalui faring dan masuk ke esofagus. Saat masuk faring sewaktu menelan,
bolus masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata lain,
makanan harus dicegah untuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, dan
masuk ke trakea. Semua ini dilaksanakan melalui berbagai aktivitas terkoordinasi
berikut ini:
Makanan dicegah kembali ke mulut selama menelan oleh posisi lidah menekan
langit-langit
Uvula terangkat dan tersangkut di bagian belakang tenggorokan, sehingga
saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung.
Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan
erat pita suara melintasi lubang faring, atau glotis. Bagian awal trakea adalah
laring, tempat pita suara terentang di dalamnya. Selama menelan, pita suara
melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi otot-otot
laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain, sehingga pintu
masuk glotis tertutup. Selain itu, bolus menyebabkan suatu lembaran kecil
jaringan ikat, epiglotis, tertekan ke belakang menutupi glotis yang menambah
10
2.3.1. Pengertian
Achalasia esofagus adalah gangguan motorik pada otot polos esofagus, yang
memiliki karakteristik berupa kegagalan spinchter esofagus bawah untuk
berelaksasi dan tidak adanya gerakan peristaltik pada esofagus.
Achalasia dideskripsikan pertama kali pada tahun 1672 oleh Sir Thomas
Willis. Pada tahun 1881, von Mikulicz mendeskripsikan penyakit ini sebagai suatu
kardiospasme, di mana gejalanya lebih disebabkan oleh suatu gangguan fungsional
daripada suatu gangguan mekanik. Pada tahun 1929, Hurt dan Rake menyatakan
bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh kegagalan spinchter esofagus bawah untuk
berelaksasi. Mereka lalu menyebutnya sebagai achalasia, sebuah kata dari bahasa
Yunani yang berarti gagal untuk berelaksasi.
2.3.2. Etiologi
Achalasia esofagus dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau secara
sekunder. Achalasia esofagus primer diduga terjadi akibat tidak adanya seluruh atau
11
2.3.3. Epidemiologi
Insiden achalasia esofagus di Amerika Serikat sekitar 1 per 100.000 orang
per tahun, dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1:1. Achalasia esofagus lebih
12
sering terjadi pada orang dewasa, terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anakanak, penyakit ini juga sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan
hubungan. Kurang dari 5% dari kasus terjadi pada anak-anak, di mana mengenai
anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, dengan rasio 6:1.
2.3.4. Patofisiologi
Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:5
Terjadi
abnormalitas
neurogenik
primer
yang
disertai
dengan
tidak
Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga disebabkan
oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit Chagas, dan infeksi
virus.
Abnormalitas motorik pada achalasia esofagus merupakan hasil dari
penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus
intramural. Secara fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan
neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter
esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan
vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita achalasia esofagus
kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam
transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya
tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.2,4
2.3.5. Manifestasi Klinis
Pasien-pasien yang terdiagnosis dengan achalasia esofagus, biasanya
memiliki riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, baik ketika menelan
makanan padat maupun makanan cair, yang diperburuk dengan stress emosional
atau cara makan yang terburu-buru. Disfagia ketika menelan makanan cair
merupakan manifestasi klinis yang pertama terjadi. Regurgitasi makanan dapat
terjadi karena terdapat retensi sejumlah besar makanan pada esofagus yang
13
berdilatasi. Regurgitasi ini sering terjadi pada malam hari karena posisi pasien yang
telentang ketika tidur, dan hal ini berpotensi menyebabkan suatu pneumonia
aspirasi. Kadang-kadang, makanan dapat tertinggal pada esofagus (sebelum bagian
yang menyempit) dan biasanya pasien mengatasi hal ini dengan minum air dalam
jumlah yang besar agar meningkatkan tekanan pada esofagus dan memaksa
makanan untuk melaluinya dan masuk ke lambung. Nyeri dada retrosternal yang
berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi pada esofagus, dan para
dokter sering mendiagnosis nyeri ini sebagai nyeri yang berasal dari jantung. Gejala
heartburn-like chest pain juga ditemukan pada beberapa penderita achalasia
esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam laktat yang terbentuk dari
fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Pada penderita achalasia
esofagus, kehilangan berat badan mungkin saja terjadi karena pasien berusaha
mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di
daerah retrosternal. Jika kehilangan berat badan terjadi dengan cepat, dapat
dipikirkan suatu keganasan sebagai penyebab achalasia esofagus.
2.3.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis achalasia esofagus,
seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang bermakna.
1) Pemeriksaan radiologi
Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang dicurigai
menderita
achalasia
esofagus.
Pada
achalasia
esofagus,
foto
toraks
14
Gambar 6. Gambaran foto toraks pada achalasia esofagus. Tanda panah menunjukkan esofagus
yang berdilatasi hebat
15
2) Manometrik esofagus
Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar) untuk
mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk
menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di
dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan
kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau
hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik
esofagus, antara lain:
16
Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus
secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.
Tanda klasik achalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang
tinggi pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah
saat istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian
proksimal dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung
saat istirahat (relaksasi).
17
3) Pemeriksaan endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita achalasia esofagus,
untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction. Pada
achalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan
mengandung sisa-sisa makanan dan spinchter esofagus tidak membuka secara
spontan. Jika achalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma atau striktur
fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka dengan sedikit
memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi.
18
Gambar 10. Perbandingan achalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B. Endoskopi,
C. Esofagografi
Disfagia
pada
Dilakukan untuk
Menegakkan Diagnosis
makanan- Pemeriksaan esofagografi dan
menelan
dapat
menunjukkan
obtruksi
pada
terjadi
jika
Kehilangan
berat
badan
dengan cepat
Pemeriksaan
endoskopi
menunjukkan
esofagitis
adanya
pembengkakan
ataupun
striktur
peptikum,
tanpa
Esofagitis refluks
striktur
fibrosis
dengan
kelainan
atau
pada
endoskopi
biasanya
Pasien
mengeluhkan
rendah
dari
tambahan
disfagia
Pemeriksaan esofagografi
memiliki sensitivitas yang
heartburn
peptikum.
Terdapat perbedaan pH
pada esofagus distal jika
terjadi refluks
Pemeriksaan
Penyakit jaringan
konektif
(misalnya:
sklerosis sistemik)
dan
perubahan
pada
kulit
antinuklear,
rheumatoid,
faktor
dan
dalam
mendiagnosis
penyakit-penyakit
Spasme esofagus
menonjol
disfagia
dada
daripada
lebih
gejala
jaringan
manometri
esofagus
nyeri
kreatin
konektif.
Pemeriksaan
Gejala
antibodi
menunjukkan
yang
dibandingkan
tinggi,
dengan
Esofagitis
esofagus.
Gejala klinis berupa disfagia Biopsi
pada
esofagus
20
lapangan pandang)
Biopsi gastroskopik pada
gastroesophageal junction
(tidak
suatu malignansi
dapat
dibedakan
secara klinis)
Pseudoachalasia
infiltrasi
Penyakit
ini
disebabkan
Hasil
pemeriksaan
endoskopi,
esofagografi,
mungkin
menunjukkan
perbedaan
dibandingkan
dengan
dan cepat
achalasia
tidak
esofagus
idiopatik
Merupakan
penyakit
Selatan,
manifestasi
Penyakit Chagas
berbagai
klinis
organ
(Romana sign)
fase
akut
darah
menunjukkan
pada
berupa
Pemeriksaan mikroskopik
pada
terdapat
segar
adanya
Trypanosoma cruzi
adanya
parasit
2.3.8. Penatalaksanaan
Sifat terapi pada achalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
21
22
23
c. Pneumatic Dilation
Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahuntahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction
yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi
intak. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien
segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi
yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Pasien yang gagal dalam
penanganan pneumatic dilation biasanya diterapi dengan miotomi Heller.
2) Terapi Bedah
Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu
pemisahan serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan
bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication
untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan
kembali beraktivitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif,
terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien,
dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena
keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan
24
waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama
dalam penanganan achalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani
terapi ini, mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua, atau
pengangkatan esofagus (esofagektomi).
2.3.9. Prognosis
Prognosis achalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin sedikit
gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang
normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat baik.
Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil yang lebih
baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin botulinum
sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic
dilation dan laparoskopik miotomi Heller.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al,
editors. Harrisons principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill,
Health Professions Division; 2008.
2. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/169974
3. Williams VA, Peters JH. Achalasia of the esophagus: a surgical disease. American
College of Surgeons 2009; 208: 151.
4. Paterson WG, Goyal RK, Habib FI. Esophageal motility disorders [online]. 2006
[cited
2012
April
6].
Available
from:
URL:
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo20.html
5. Fernandez PM, Lucio LAG, Pollachi F. Esophageal achalasia of unknown etiology
in children. Jornal de Pediatria 2004; 80: 524.
6. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. h. 499-501.
7. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Grays anatomy for students. USA: Elsevier;
2007. p. 192-8.
8. Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2006. p.
220-1, 225-6.
9. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. h.
548-50.
10. Kumar P, Clark M. Gastrointestinal disease-motility disorder. In: Kumar P, Clark M,
editors. Clinical medicine 6th edition. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2009. p. 2778.
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 290.
12. Spechler SJ. Esophageal disorders. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP
Medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc; 2007.
13. Wikipedia. Achalasia [online]. 2012 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Achalasia
14. Kalloo A. Gastroesophageal reflux disease: diagnosis [online]. 2012 [cited 2012
April 12]. Available from: URL: http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?
26
CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=551CDCA7-A3C1-49E5-B6A0C19DE1F94871&GDL_Disease_ID=197E00D5-029B-48B8-9A6853077FCC9A0F
15. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm [online]. 2012
[cited
2012
April
12].
Available
from:
URL:
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html
16. Kalloo A. Swallowing disorders: causes [online]. 2012 [cited 2012 April 6].
Available
from:
URL:
http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?
CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=83F0F583-EF5A-4A24-A2AF0392A3900F1D&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76766AC830F7BA
17. BMJ Publishing Group Limited. Achalasia: differential diagnosis [online]. 2011
[cited 2012 April 12]. Available from: URL: http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/872/diagnosis/differential.html
18. Kalloo A. Swallowing disorders: therapy [online]. 2012 [cited 2012 April 12].
Available
from:
URL:
http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?
CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=AF793A59-B736-42CB-9E1FE79D2B9FC358&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76766AC830F7BA
27