Anda di halaman 1dari 27

REFERAT ILMU BEDAH

ACHALASIA ESOFAGUS
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Bedah RS Bethesda pada Program Pendidikan Dokter Tahap Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh :
NOVITA CHANDRA
42150008

BAGIAN ILMU BEDAH RS BETHESDA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas
rahmat

dan

penyertaan-Nya,

penulis

dapat

menyelesaikan

referat

berjudul

ACHALASIA ESOFAGUS. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi sebagian


syarat kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Bedah RS Bethesda pada program pendidikan
dokter tahap profesi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana.
Dengan penuh rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesarbesarnya kepada :
1. dr. Gapong Sukowiratmo, Sp.B. selaku dosen pembimbing referat yang telah
banyak memberikan bimbingan, motivasi dan pengarahan dalam penyusunan referat
ini.
2. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu mendukung dan memberikan semangat
kepada penulis dalam penyelesaian referat ini
3. Selvi, Imma, Dimas, Marcel, Randolf, Marselino, dan Dyah sebagai teman satu
kelompok atas segala bantuan dan dukungannya.
Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Penulis juga
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan masukan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Yogyakarta, 21 Juli 2016


Penulis

Novita Chandra

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akalasia merupakan gangguan motorik esophagus dan sfingter esofagus yang
jarang. Insiden berkisar 1/100.000 pertahun dan angka prevalensinya 10/100.000. Di
Indonesia sendiri, tercatat hanya ada 48 kasus selama tahun 1984-1988. Data tersebut
merupakan pasien pada Rumah Sakit Cipto Mongunkusumo Jakarta (Bakry, 2006).
Kejadian akalasia sulit untuk diketahui karena gejala awal penyakit ini
terselubung, sehingga pasien baru berobat setelah stadium lanjut. Ada beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mendiagnosa akalasia, misalnya manometri esofageal,
barium esophagram, esophagoduodenoskopi, esophageal CT-scan, hingga yang terbaru
yaitu manometri resolusi tinggi, yang dapat mengklasifikasikan akalasia menjadi 3 tipe
(tipe I, II, dan III) (Chuah, 2011). Sangat penting untuk mendeteksi akalasia sejak awal
karena hal ini dapat mengurangi angka kesakitan pasien. Selain itu, beban biaya yang
ditanggung pasien akan lebih minimal.
Saat ini, terdapat beberapa cara untuk menangani akalasia. Beberapa pilihan yang
tersedia diantaranya adalah melalui intervensi farmakologi, endoskopi, pembedahan
dengan intervensi minimal, dan pembedahan radikal. Masing-masing dari cara
penanganan tersebut memiliki kelebihannya sendiri, sehingga kita sebagai dokter harus
dapat menentukan mana yang terbaik bagi setiap pasien dengan mempertimbangkan
berbagai macam kondisi pasien. Beberapa kondisi pasien yang harus diperhatikan dalam
menentukan cara penanganannya diantaranya adalah usia pasien, keparahan penyakit,
penanganan sebelumnya, dan kondisi sosisal ekonomi (Kurniawan, 2013).

B. Perumusan Masalah
1.
2.
3.
4.

Apa definisi Achalasia esofagus?


Apa saja etiologi dari Achalasia esofagus?
Bagaimana penegakan diagnosis Achalasia esofagus?
Bagaimana penatalaksanaan terhadap Achalasia esofagus?

C. Tujuan Penulisan
1. Dokter muda memahami definisi mengenai Achalasia esofagus.
2. Dokter muda memahami etiologi dari Achalasia esofagus.
3. Dokter muda mengetahui dasar penegakan diagnosis Achalasia esofagus.
4. Dokter muda mampu memahami penatalaksanaan Achalasia esofagus.

BAB II
DASAR TEORI

2.1. Anatomi Esofagus


Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan
makanan dari rongga mulut ke lambung. Dalam perjalanannya dari faring menuju
gaster, esofagus melalui tiga kompartemen, yaitu leher, toraks dan abdomen.
Esofagus yang berada di leher adalah sepanjang lima sentimeter dan berjalan di
antara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks
setinggi manubrium sterni.
Di dalam rongga dada, esofagus berada di mediastinum posterior mulai di
belakang lengkung aorta dan membelok ke kiri dari trakea di belakang bronkus
cabang utama kiri, kemudian agak membelok ke kanan beberapa sentimeter pada
area subcarinal dan kembali membelok ke kiri dan depan aorta torakalis, dan masuk
ke dalam rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia
lambung. Panjang esofagus yang berada di rongga perut berkisar dua sampai empat
sentimeter. Diameter rata-rata esofagus pada orang dewasa sekitar 2,5 sentimeter.
Otot esofagus sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang yang
berhubungan erat dengan otot-otot faring, sedangkan dua pertiga bagian bawah
adalah otot polos yang terdiri atas otot sirkular dan otot longitudinal seperti
ditemukan pada saluran cerna lainnya.
Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang bersifat
spinchter, terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara faring dan
esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos. Penyempitan
kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan
bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat spinchter.

Gambar 1. Struktur esofagus

Gambar 2. Daerah penyempitan esofagus

Esofagus mendapat darahnya dari banyak arteri kecil. Bagian atas dari
esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah dari arteri tiroidea
inferior, beberapa cabang arteri bronkialis dan beberapa arteri kecil dari aorta.
Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari arteri frenika
inferior kiri dan cabang arteri gastrika kiri.
Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosa esofagus. Di esofagus
bagian atas dan tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan melalui vena
esofagus ke vena azygos dan vena hemiazygos untuk kemudian masuk ke vena cava
superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk ke dalam vena
koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara
sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui vena
lambung tersebut. Hubungan ini yang menyebabkan timbulnya varises esofagus bila
terjadi bendungan vena porta.

Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa, submukosa,


lapisan otot, dan tunika adventisia. Di bagian sepertiga cranial, pembuluh ini
berjalan secara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari laring ke kelenjar
di leher, sedangkan dari bagian dua pertiga kaudal dialirkan ke kelenjar seliakus,
seperti pembuluh limfe dari lambung.
Metastasis dari keganasan esofagus dapat ditemukan antara kelenjar limfe
leher dan kelenjar limfe seliakus di perut, bergantung pada letaknya, stadium dan
tingkat keganasan tersebut.
Ductus torachicus berjalan di depan tulang belakang toraks di sebelah dorsal
kanan esofagus, kemudian menjelang setinggi vertebra thorakal VI atau VII ke

sebelah kiri belakang esofagus untuk turun kembali dan masuk ke dalam vena
subklavia kiri.
2.2. Fisiologi Esofagus
Motilitas yang berkaitan dengan esofagus adalah menelan. Menelan dimulai
ketika suatu bolus secara sengaja didorong oleh lidah ke bagian belakang mulut
menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan di faring yang
kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di medula. Pusat menelan
kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot yang terlibat dalam proses
menelan. Menelan adalah suatu contoh refleks all-or-none yang terprogram secara
sekuensial dengan berbagai respons dipicu dalam suatu rangkaian waktu spesifik;
jadi, sejumlah aktivitas yang sangat terkoordinasi dipicu dalam pola teratur selama
periode waktu tertentu untuk melaksanakan tindakan menelan. Menelan dimulai
secara volunter, tetapi setelah dimulai proses tersebut tidak dapat dihentikan.
Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap orofaring dan tahap esofagus.
Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan bolus dari
mulut melalui faring dan masuk ke esofagus. Saat masuk faring sewaktu menelan,
bolus masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata lain,
makanan harus dicegah untuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, dan
masuk ke trakea. Semua ini dilaksanakan melalui berbagai aktivitas terkoordinasi
berikut ini:

Makanan dicegah kembali ke mulut selama menelan oleh posisi lidah menekan

langit-langit
Uvula terangkat dan tersangkut di bagian belakang tenggorokan, sehingga

saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung.
Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan
erat pita suara melintasi lubang faring, atau glotis. Bagian awal trakea adalah
laring, tempat pita suara terentang di dalamnya. Selama menelan, pita suara
melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi otot-otot
laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain, sehingga pintu

masuk glotis tertutup. Selain itu, bolus menyebabkan suatu lembaran kecil
jaringan ikat, epiglotis, tertekan ke belakang menutupi glotis yang menambah

proteksi untuk mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan.


Karena saluran pernapasan tertutup sementara saat menelan, pernapasan
terhambat secara singkat sehingga individu tidak mencoba melakukan usaha

yang sia-sia untuk bernapas.


Dengan laring dan trakea tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk
mendorong bolus ke dalam esofagus.
Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh spinchter. Spinchter adalah struktur

esofagus ke lambung, berotot berbentuk cincin yang jika tertutup mencegah


lewatnya benda melalui saluran yang dijaganya. Spinchter esofagus atas adalah
spinchter faringoesofagus, dan spinchter bawah adalah spinchter gastroesofagus.
Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer yang mengalir dari
pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya melewati esofagus ke
lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi berbentuk cincin otot polos sirkuler
yang bergerak secara progresif ke depan dengan gerakan mengosongkan,
mendorong bolus di depan kontraksi. Apabila bolus berukuran besar atau lengket
tertelan, dan tidak dapat terdorong ke lambung oleh gelombang peristaltik primer,
bolus yang tertahan tersebut akan meregangkan esofagus dan memicu reseptor
tekanan di dalam dinding esofagus, menimbulkan gelombang peristaltik kedua yang
lebih kuat yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik di tempat peregangan.
Spinchter esofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik mencapai
bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung. Setelah
bolus masuk ke lambung, spinchter gastroesofagus kembali berkontraksi.

2.3. Konsep Dasar Achalasia Esofagus

10

2.3.1. Pengertian
Achalasia esofagus adalah gangguan motorik pada otot polos esofagus, yang
memiliki karakteristik berupa kegagalan spinchter esofagus bawah untuk
berelaksasi dan tidak adanya gerakan peristaltik pada esofagus.
Achalasia dideskripsikan pertama kali pada tahun 1672 oleh Sir Thomas
Willis. Pada tahun 1881, von Mikulicz mendeskripsikan penyakit ini sebagai suatu
kardiospasme, di mana gejalanya lebih disebabkan oleh suatu gangguan fungsional
daripada suatu gangguan mekanik. Pada tahun 1929, Hurt dan Rake menyatakan
bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh kegagalan spinchter esofagus bawah untuk
berelaksasi. Mereka lalu menyebutnya sebagai achalasia, sebuah kata dari bahasa
Yunani yang berarti gagal untuk berelaksasi.

Gambar 5. Achalasia esofagus dilihat secara anatomis

2.3.2. Etiologi
Achalasia esofagus dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau secara
sekunder. Achalasia esofagus primer diduga terjadi akibat tidak adanya seluruh atau
11

sebagian sel ganglion inhibitor pada pleksus Mienterikus (Auerbachs) pada


esofagus. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara neuron eksitatorik dan
neuron inhibitorik yang menyebabkan spinchter esofagus bawah tidak dapat
berelaksasi. Beberapa penelitian telah mencatat sejumlah ganglion mienterik pada
spesimen-spesimen penyakit esofagus dan menemukan adanya infiltrat limfositik
dan deposisi kolagen di dalam ganglion. Berdasarkan penemuan ini, agen-agen yang
dapat menyebabkan penyakit infeksi, seperti virus, dan beberapa mediator radang
akibat respon imunnya, diduga sebagai penyebab dari kehilangan ganglion, tetapi
etiologi pastinya belum diketahui. Penelitian mengenai neurotransmisi dan
penghantaran sinyal yang terjadi pada esofagus distal dan spinchter esofagus bawah
pada achalasia esofagus telah berkembang pesat. Nitrit oksida diduga telah menjadi
neurotransmitter inhibitori yang terbesar, yang mengontrol proses relaksasi dari otot
polos esofagus. Hipotesis yang timbul, bahwa pada proses achalasia esofagus,
terjadi kehilangan yang lebih besar pada neuron inhibitori nitrogenik daripada
neuron kolinergik.
Penyebab sekunder achalasia esofagus yang paling sering adalah penyakit
Chagas, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi spesies protozoa,
yaitu Trypanosoma cruzi, yang ditansmisikan oleh seekor serangga, menginfeksi
neuron intramural, dan menyebabkan disfungsi otonom. Penyakit Chagas paling
sering terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, dan diduga penyakit ini menjadi
penyebab sekunder terbanyak dari achalasia esofagus. Selain itu, penyebab sekunder
dari achalasia esofagus dapat berupa malignansi (karsinoma lambung, esofagus),
postvagotomi, pseudo-obstruksi intestinal kronik tipe neuropatik, amiloidosis,
sarkoidosis, dan penyakit Anderson-Fabrey.

2.3.3. Epidemiologi
Insiden achalasia esofagus di Amerika Serikat sekitar 1 per 100.000 orang
per tahun, dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1:1. Achalasia esofagus lebih

12

sering terjadi pada orang dewasa, terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anakanak, penyakit ini juga sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan
hubungan. Kurang dari 5% dari kasus terjadi pada anak-anak, di mana mengenai
anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, dengan rasio 6:1.
2.3.4. Patofisiologi
Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:5

Terjadi

abnormalitas

neurogenik

primer

yang

disertai

dengan

tidak

berfungsinya neuron inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari ganglion


sel

Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga disebabkan
oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit Chagas, dan infeksi
virus.
Abnormalitas motorik pada achalasia esofagus merupakan hasil dari

penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus
intramural. Secara fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan
neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter
esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan
vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita achalasia esofagus
kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam
transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya
tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.2,4
2.3.5. Manifestasi Klinis
Pasien-pasien yang terdiagnosis dengan achalasia esofagus, biasanya
memiliki riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, baik ketika menelan
makanan padat maupun makanan cair, yang diperburuk dengan stress emosional
atau cara makan yang terburu-buru. Disfagia ketika menelan makanan cair
merupakan manifestasi klinis yang pertama terjadi. Regurgitasi makanan dapat
terjadi karena terdapat retensi sejumlah besar makanan pada esofagus yang
13

berdilatasi. Regurgitasi ini sering terjadi pada malam hari karena posisi pasien yang
telentang ketika tidur, dan hal ini berpotensi menyebabkan suatu pneumonia
aspirasi. Kadang-kadang, makanan dapat tertinggal pada esofagus (sebelum bagian
yang menyempit) dan biasanya pasien mengatasi hal ini dengan minum air dalam
jumlah yang besar agar meningkatkan tekanan pada esofagus dan memaksa
makanan untuk melaluinya dan masuk ke lambung. Nyeri dada retrosternal yang
berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi pada esofagus, dan para
dokter sering mendiagnosis nyeri ini sebagai nyeri yang berasal dari jantung. Gejala
heartburn-like chest pain juga ditemukan pada beberapa penderita achalasia
esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam laktat yang terbentuk dari
fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Pada penderita achalasia
esofagus, kehilangan berat badan mungkin saja terjadi karena pasien berusaha
mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di
daerah retrosternal. Jika kehilangan berat badan terjadi dengan cepat, dapat
dipikirkan suatu keganasan sebagai penyebab achalasia esofagus.
2.3.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis achalasia esofagus,
seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang bermakna.
1) Pemeriksaan radiologi
Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang dicurigai
menderita

achalasia

esofagus.

Pada

achalasia

esofagus,

foto

toraks

menunjukkan pelebaran mediastinum yang berasal dari esofagus yang


berdilatasi dan tidak adanya gelembung udara yang normal pada lambung,
karena kontraksi spinchter esofagus bawah mencegah udara untuk masuk ke
dalam lambung.

14

Gambar 6. Gambaran foto toraks pada achalasia esofagus. Tanda panah menunjukkan esofagus
yang berdilatasi hebat

Pemeriksaan esofagografi dengan menggunakan barium, memiliki akurasi


sekitar 95% dalam mendiagnosis achalasia esofagus, dan secara khas
menunjukkan bagian esofagus yang berdilatasi dan terdapat juga bagian yang
menyempit yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau
menyerupai ekor tikus (mouse tail appereance) akibat kontraksi spinchter
esofagus bawah secara persisten.

15

Gambar 7. Pemeriksaan esofagografi pada penderita achalasia esofagus, menunjukkan


esofagus bagian distal yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau ekor tikus
(mouse tail appereance)

2) Manometrik esofagus
Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar) untuk
mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk
menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di
dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan
kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau
hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik
esofagus, antara lain:

Relaksasi spinchter esofagus bawah yang tidak sempurna

16

Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus
secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.

Tanda klasik achalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang
tinggi pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah
saat istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian
proksimal dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung
saat istirahat (relaksasi).

Gambar 8. Teknik pemeriksaan esofagus

17

Gambar 9. Gambaran manometri esofagus pada pasien dengan achalasia esofagus

3) Pemeriksaan endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita achalasia esofagus,
untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction. Pada
achalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan
mengandung sisa-sisa makanan dan spinchter esofagus tidak membuka secara
spontan. Jika achalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma atau striktur
fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka dengan sedikit
memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi.

18

Gambar 10. Perbandingan achalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B. Endoskopi,
C. Esofagografi

2.3.7. Diagnosis Banding


Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan manifestasi klinis yang
serupa dengan achalasia esofagus. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan
gejala dan tanda antara penyakit-penyakit yang memberikan gejala klinis disfagia
dengan achalasia esofagus idiopatik.17
Tabel 1. Diagnosis Banding Achalasia Esofagus Idiopatik
Pemeriksaan yang
Jenis Penyakit
Karsinoma
esofagus

Perbedaan Gejala dan Tanda

Disfagia

pada

Dilakukan untuk

Menegakkan Diagnosis
makanan- Pemeriksaan esofagografi dan

makanan padat terjadi lebih endoskopi


awal, meskipun kesulitan adanya
untuk
cair

menelan
dapat

menunjukkan
obtruksi

pada

makanan esofagus akibat adanya tumor

terjadi

jika

progresifitas penyakit sudah


lanjut
19

Kehilangan

berat

badan

dengan cepat

Pemeriksaan

endoskopi

Disfagia dapat terjadi akibat

menunjukkan

esofagitis

adanya

refluks, dengan atau tanpa

pembengkakan

ataupun

striktur

peptikum,
tanpa
Esofagitis refluks

striktur

fibrosis

dengan
kelainan

atau

Mungkin terdapat hernia

pada

hiatus yang terletak di


bawah striktur.

endoskopi

biasanya

Pasien
mengeluhkan

rendah

dari

tambahan

disfagia

Pemeriksaan esofagografi
memiliki sensitivitas yang

heartburn

dan/atau regurgitasi sebagai


gejala

peptikum.

Terdapat perbedaan pH
pada esofagus distal jika

terjadi refluks
Pemeriksaan
Penyakit jaringan

Terdapat nyeri pada otot dan

konektif

sendi, Raynauds phenomenon,

(misalnya:
sklerosis sistemik)

dan

perubahan

pada

kulit

(rash, pembengkakan kulit)

antinuklear,
rheumatoid,

faktor
dan

dalam

mendiagnosis

penyakit-penyakit

Spasme esofagus

menonjol
disfagia

dada

daripada

lebih
gejala

jaringan
manometri

esofagus
nyeri

kreatin

kinase dapat menjadi skrining

konektif.
Pemeriksaan

Gejala

antibodi

menunjukkan

kontraksi esofagus dengan


amplitudo

yang

dibandingkan

tinggi,
dengan

gambaran aperistaltik yang


ditunjukkan pada achalasia

Esofagitis

esofagus.
Gejala klinis berupa disfagia Biopsi
pada

esofagus
20

intermitten, lebih sering terjadi menunjukkan


eosinofilik

pada laki-laki muda dengan eosinofil (>15 eosinofil per


riwayat atopi

lapangan pandang)
Biopsi gastroskopik pada

Gejala klinis serupa dengan

gastroesophageal junction

achalasia esofagus idiopatik

dan kardia menunjukkan

(tidak

suatu malignansi

dapat

dibedakan

secara klinis)
Pseudoachalasia

infiltrasi

Penyakit

ini

disebabkan

Hasil

pemeriksaan

endoskopi,

esofagografi,

oleh suatu malignansi

dan manometri esofagus

Penderita biasanya berusia

mungkin

tua, dan kehilangan berat

menunjukkan

perbedaan

badan terjadi lebih besar

dibandingkan

dengan

dan cepat

achalasia

tidak

esofagus

idiopatik

Merupakan

penyakit

endemik di Amerika Tengah


dan

Selatan,

manifestasi
Penyakit Chagas

berbagai

klinis
organ

dan pembengkakan kelopak


pada

(Romana sign)

fase

akut

darah

menunjukkan

pada
berupa

Pemeriksaan mikroskopik
pada

terdapat

atonia kolon, miokarditis,


mata

segar
adanya

Trypanosoma cruzi

Pewarnaan Giemsa pada


sediaan apusan darah tepi
menunjukkan

adanya

parasit

2.3.8. Penatalaksanaan
Sifat terapi pada achalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi

21

diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi


esofagokardiotomi (operasi Heller).11
1) Terapi Non-Bedah
a. Medikamentosa
Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti
nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine,
dapat membuat spinchter esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu
membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi
spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel
blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual), dimana dapat mengurangi
tekanan pada spinchter esofagus bawah. Namun demikian, hanya sekitar
10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan
untuk pasien lanjut usia yang mempunyai kontraindikasi terhadap
pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.1,2
b. Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah,
yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin
diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam
dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45, di mana jarum
dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar
junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas
proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi
secara kaudal ke dalam spinchter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80100 unit/ml yang dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada
setiap kuadran dari spinchter esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis
yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian yang terbatas, di mana
60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan

22

setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun


setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai
tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian
gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi
menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut
usia, yang mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau
tindakan pembedahan.2,10
Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin
telah berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia. Aman dan efektif
pada kebanyakan pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah
mendapatkan tempat dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak
sesuai untuk dilakukan terapi dilatasi atau miotomi. Prosedur ini
melibatkan suntikan pada spinchter esofagus bagian bawah yang
menyebabkan denervasi kimiawi dari sphincter. Dua puluh sampai dua
puluh lima unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kuadran dari
sfingter esofagus bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan
teknik endoskopi. Meskipun yang paling aman dari teknik yang tersedia,
injeksi toksin botulinum memiliki durasi efek terbatas, yang berlangsung
rata-rata satu tahun. Pengobatan harus diulangi diperlukan untuk menjaga
efek relaksasi pada spinchter esophagus bagian bawah. Beberapa pasien
mungkin mengalami nyeri dada ringan dan terdapat ruam kulit setelah
perawatan.

23

Gambar 10. Teknik injeksi intrasphincteric pada achalasia

c. Pneumatic Dilation
Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahuntahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction
yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi
intak. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien
segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi
yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Pasien yang gagal dalam
penanganan pneumatic dilation biasanya diterapi dengan miotomi Heller.

Gambar 11. Teknik pneumatic dilation pada achalasia

2) Terapi Bedah
Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu
pemisahan serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan
bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication
untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan
kembali beraktivitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif,
terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien,
dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena
keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan

24

waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama
dalam penanganan achalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani
terapi ini, mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua, atau
pengangkatan esofagus (esofagektomi).

Gambar 12. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication

2.3.9. Prognosis
Prognosis achalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin sedikit
gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang
normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat baik.
Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil yang lebih
baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin botulinum
sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic
dilation dan laparoskopik miotomi Heller.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al,
editors. Harrisons principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill,
Health Professions Division; 2008.
2. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/169974
3. Williams VA, Peters JH. Achalasia of the esophagus: a surgical disease. American
College of Surgeons 2009; 208: 151.
4. Paterson WG, Goyal RK, Habib FI. Esophageal motility disorders [online]. 2006
[cited

2012

April

6].

Available

from:

URL:

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo20.html
5. Fernandez PM, Lucio LAG, Pollachi F. Esophageal achalasia of unknown etiology
in children. Jornal de Pediatria 2004; 80: 524.
6. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. h. 499-501.
7. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Grays anatomy for students. USA: Elsevier;
2007. p. 192-8.
8. Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2006. p.
220-1, 225-6.
9. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. h.
548-50.
10. Kumar P, Clark M. Gastrointestinal disease-motility disorder. In: Kumar P, Clark M,
editors. Clinical medicine 6th edition. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2009. p. 2778.
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 290.
12. Spechler SJ. Esophageal disorders. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP
Medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc; 2007.
13. Wikipedia. Achalasia [online]. 2012 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Achalasia
14. Kalloo A. Gastroesophageal reflux disease: diagnosis [online]. 2012 [cited 2012
April 12]. Available from: URL: http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?

26

CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=551CDCA7-A3C1-49E5-B6A0C19DE1F94871&GDL_Disease_ID=197E00D5-029B-48B8-9A6853077FCC9A0F
15. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm [online]. 2012
[cited

2012

April

12].

Available

from:

URL:

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html
16. Kalloo A. Swallowing disorders: causes [online]. 2012 [cited 2012 April 6].
Available

from:

URL:

http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?

CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=83F0F583-EF5A-4A24-A2AF0392A3900F1D&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76766AC830F7BA
17. BMJ Publishing Group Limited. Achalasia: differential diagnosis [online]. 2011
[cited 2012 April 12]. Available from: URL: http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/872/diagnosis/differential.html
18. Kalloo A. Swallowing disorders: therapy [online]. 2012 [cited 2012 April 12].
Available

from:

URL:

http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?

CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=AF793A59-B736-42CB-9E1FE79D2B9FC358&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76766AC830F7BA

27

Anda mungkin juga menyukai