Anda di halaman 1dari 20

Crohns Disease

Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran
Bandung
2005

BAB I

TINJAUAN KLINIS CROHNS DISEASE


1.1. DEFINISI
Crohns disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna dengan
etiologi yang tidak diketahui. Crohns disease dapat melibatkan setiap bagian dari saluran
cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon ([1]).

1.2. ASPEK SEJARAH CROHNS DISEASE


Kasus Crohns disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh Morgagni
pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan Skotlandia,
mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna. Deskripsi mengenai
gambaran klinis dan patologis yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn,
Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 (1). Meskipun penyakit ini akhirnya diberi nama
Crohns disease, namun masih belum dibedakan secara sempurna dari penyakit colitis
ulcerativa hingga tahun 1959 ([2]).
Saat ini, diagnosis Crohns disease mencakup aspek klinis, radiologis, endoskopis, patologis,
dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan menggunakan zat kontras dapat
menentukan luasnya kelainan, tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan
computed tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang untuk
menentukan keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi memungkinkan visualisasi
langsung ke mukosa dan memungkinkan pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan
pemeriksaan histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan potong
lintang terhadap individu-individu yang tidak memungkinkan menerima paparan radiasi (2).

1.3. EPIDEMIOLOGI
Secara umum Crohns disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan insidens
sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa

Utara (1). Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohns disease mencapai 2 kasus per
100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 40 kasus per 100.000 populasi (2).
Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohns disease secara dramatis di
Amerika Serikat antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada
tahun 1980-an ([3]).
Menurut jenis kelamin, insidens Crohns disease lebih tinggi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis
kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohns disease
(2)
.
Crohns disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak insidens
pertama adalah pada 18 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah antara 60 80 tahun. Pada
pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohns disease lebih banyak menyerang usus
halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohns disease lebih banyak menyerang
colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui (2,3).
Meskipun Crohns disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun terdapat
tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus
halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30%
dari seluruh kasus Crohns disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 50%
terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula
perianal (1,2).

1.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO


Etiologi dari Crohns disease masih belum diketahui (1,2,3,[4]). Terdapat beberapa penyebab
potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohns disease, yang paling
mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor
lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. (1,2,3,[5]).

1.4.1. Faktor Infeksi


Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab potensial
Crohns disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu
mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles (1). Infeksi lain
yang diperkirakan menjadi penyebab Crohns disease adalah Chlamydia, Listeria
monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus (3).

1.4.2. Faktor Imunologis


Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan Crohns
disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran
cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan
pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohns disease mencakup sitokin-sitokin, seperti
interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada

Crohns disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit
dan bukan merupakan penyebab penyakit (1).

1.4.3. Faktor Genetik


Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohns disease,
karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat
keluarga dengan Crohns disease (1). Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohns disease (20%)
mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama (3). Pada berbagai
penelitian didapatkan bahwa Crohns disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen
HLA-DR1 dan DQw5 (2).

1.4.4. Faktor-faktor Lain


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi terhadap
timbulnya Crohns disease (3). Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko
timbulnya Crohns disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan (2).

1.5. PATOLOGI
Stadium dini Crohns disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran folikelfolikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi
folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada
pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas
dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai
tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses
inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus (3,5).
Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering
menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi
semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan
pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi,
maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang
telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus
yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam
suatu cavitas abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (5).

1.6. DIAGNOSIS
1.6.1. Anamnesis
Gambaran klinis umum pada Crohns disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan
penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon.
Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang
menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (2,3,5).

1.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang dapat
disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan,
leukositosis, dan peningkatan LED (2).
Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium dini,
obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan
dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat
menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat
penyempitan lumen usus (2).
Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula cutaneus,
infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi
perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini (2,3).

1.6.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal saluran
cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis dengan CT, dan
pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang
jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras.
Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam diagnosis
Crohns disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit.
Pemeriksaan radiologi pada Crohns disease akan dibahas lebih lanjut pada Bab II.

1.7. DIAGNOSIS BANDING


Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohns disease antara
lain (2):
Cholangitis
Colitis iskemik
Colitis pseudomembranosa
Diverticulitis colon
Tuberculosis gastrointestinalis
Colitis ulserativa
Enteritis infeksiosa
Colitis infeksiosa

1.8. PENATALAKSANAAN

1.8.1. Terapi Medikamentosa


Penatalaksanaan medikamentosa Crohns disease dapat dibagi menjadi terapi terhadap
kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap kekambuhan akut, pemicupemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus
dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena (2).
Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohns disease mencakup antibiotika,
aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator (3).
Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon intravena sering
digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan
terapi steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat karena pada
penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti osteonekrosis, myopati,
osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang
diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang
buruk terhadap terapi kortikosteroid (2,3).
Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat merupakan
terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai obat telah digunakan, yang masingmasing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide
terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum distal dan
colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal, sementara Rowasa
secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian distal (2,3).
Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator sistem imun non-steroid
yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis dikonversi di
dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam
thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari azathioprine and
6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid (2,3).
Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap
azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri
pada saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas (2,3).
Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti TNF-,
yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan adanya
peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan penutupan fistula
secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab. Obat-obat lain
seperti mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan
oleh karena itu menghambat limfosit B dan T (2,3).

1.8.2. Terapi Bedah


Antara 70 80% pasien dengan Crohns disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi terapi
bedah pada Crohns disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya
komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan fistula atau
abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker,
dan penyakit-penyakit perianal (1,2). Terapi bedah pada pasien dengan Crohns disease harus
ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja

yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel
syndrome (1).
Anak-anak penderita Crohns disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan
tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi
usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohns disease bukan merupakan indikasi utama
terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus (1).
Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan anastomosis
merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohns disease. Alternatif prosedur lain dari
reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini
memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok untuk pasien
dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami striktura fibrotik yang mungkin
telah pernah menjalani operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel
syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup tinggi.
Prosedur-prosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses
intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi yang
padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass
(gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum, dimana prosedur
stricturoplasty maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah
dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohns disease,
namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit (3).

1.9. KOMPLIKASI
Manifestasi ekstraintestinal Crohns disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema nodosum,
osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis; osteonekrosis sebagai akibat
terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang
menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari
penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine
atau 6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah;
dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik,
penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer (1,2,3,5).

1.9.1. Abses
Abses terbentuk pada sekitar 15 20% pasien dengan Crohns disease sebagai akibat dari
pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di
mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi
tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas.
Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu
penyebab utama kematian pada Crohns disease (2).

1.9.2. Obstruksi
Obstruksi terjadi pada 20 30% pasien dengan Crohns disease. Pada awal perjalanan
penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah makan,
yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang

menetap ini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur lumen
akibat fibrostenotik (2).

1.9.3. Fistula
Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohns disease pada colon.
Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini
terjadi pada pasien dengan Crohns disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah untuk
mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya terapi
definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika
tidak ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula
dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 2% pasien (2).

1.9.4. Keganasan
Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohns disease.
Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis.
Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohns disease tidak terdeteksi
hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna,
keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit
kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga
terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohns disease (2).

1.10. PROGNOSIS
Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohns disease yang sudah menjalani
terapi bedah adalah antara 15 30%. Komplikasi bedah yang paling sering terjadi adalah
infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran anastomosis
(1,3)
.
Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami kekambuhan penyakit,
yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah
operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohns disease.
Sekitar pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang
pertama (1,3).

BAB II
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
PADA CROHNS DISEASE
2.1. X-FOTO
Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohns disease adalah terbatas. Dua keunggulan
utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi usus dan (2) untuk

mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis


lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu ginjal oksalat
yang mungkin terjadi pada penderita Crohns disease (1,2).
Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit
inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohns disease dengan colitis ulcerativa,
khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohns disease tahap
dini ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik
barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah
oleh jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions (2,5).

Gambar 2. 1. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohns disease menunjukkan
sejumlah ulkus aptosa

Gambar 2. 2. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohns disease menunjukkan
ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon kanan.
Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan membesar, lebih
dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang,
berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal
disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohns disease.
Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut
terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras
terlihat gambaran pola-pola cobblestone atau nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan
ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen (2,5).

Gambar 2. 3. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis


memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang membentuk
cobblestone appearance.
Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter lumen usus
dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai string sign (2,5).

Gambar 2. 4. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis


memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan
gambaran string sign.

Gambar 2. 5. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis


memperlihatkan gambaran string sign.
Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 50% pasien
dengan Crohns disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 20%
kasus. Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan
antara Crohns disease dengan colitis ulserativa (2).

2.2. CT-SCAN
Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohns disease telah diterima secara luas.
Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal (misalnya,
abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan
CT pada Crohns disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan
usus halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat.
Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 15 mm (2,5).

Gambar 2. 6. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohns disease, tampak penebalan
dinding ileum dan inflamasi mesenterium.
Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat adanya
lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal, fistula, dan abses
(2,5)
.

Gambar 2. 7. CT scan pada Crohns disease menunjukkan penebalan dinding usus halus, dan
inflamasi dan adenopati pada mesenterium.
Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan hilangnya
densitas lemak, yang disebut hazy fat pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak
yang lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang
melintasi mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas
campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses.
Pembesaran kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi
mesenterium (2,5).
Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan densitas
rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembunggelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul
dari infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan gas (2).

Gambar 2. 8. CT scan pada Crohns disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan
dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan.

Gambar 2. 9. CT scan pada Crohns disease fase kronis menunjukkan penebalan dinding
colon kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang
berhubungan, dan sejumlah besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan
yang memisahkan colon dari keseluruhan usus, sehingga disebut creeping
fat.
CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-pasien dengan gejalagejala akut Crohns disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding usus, organorgan abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum
membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras
barium dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohns disease. CT
Scan dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika,
limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohns disease adalah
sekitar 71% (2).

CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula digunakan
dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided percutaneous abscess
drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat memuaskan (2).

2.3. MRI
Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam pemeriksaan
abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya peningkatan gradien dan
pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen
dan pelvis pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang
optimal dengan MRI seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat
kontras positif atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal
atau rectal. Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-toleransi
pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi
gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang ter-inflamasi (2).
Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi anorectal Crohns
disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spin-echo,dapat mendeteksi adanya
fistula, saluran sinus, dan abses pada regio anorectal (2,5).
Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-weighted dan
hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal
cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah
dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted,
khususnya pada fossa ischioanal (2)
Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi fibrosa dan
lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-based. Selama fase
inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement
dideskripsikan oleh Koh et al sebagai berlapis-lapis dan spesifik untuk Crohns disease (2,)

Gambar 2. 10. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohns disease menunjukkan penebalan
dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada
pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya
deposisi lemak intramural.
Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85 89%,
spesifisitas sekitar 96 94%, dan akurasi sekitar 94 91% untuk mendeteksi penyakit akut.
Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 52%,
spesifisitas sekitar 98 96%, dan akurasi sekitar 83 84%. Hasil positif palsu paling sering
terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif
palsu paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal (2)

2.4. USG
Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung pada keahlian
pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus.
USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-manifestasi intra
dan ekstra luminal dari Crohns disease. Dinding saluran cerna yang normal terlihat sebagai 5
konsentris dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini
dikenal sebagai the gut signature. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai
ketebalan kurang dari 5 mm (2,)
Pada kasus Crohns disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5 mm hingga 2 cm
dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya, yang
merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang
hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic ditengahnya
yang berhubungan dengan penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau
menghilang, dan segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya
haustra (2).

Gambar 2. 11. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohns disease, terlihat
adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya gut
signature, dan garis hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen
usus.
USG dapat mencitrakan adanya ballooning dari segmen-segmen yang tidak terlibat, yang
terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini merefleksikan skip lesions
pada Crohns disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan
berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis
atau terinflamasi selama fase aktif penyakit (2).
Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari mesenterium yang
berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat seperti
jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini
tampak sebagai massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic
ileum terminal. Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat
lebih heterogen atau bahkan hypoechoic (2).

2.5. RADIONUKLIR
Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111 dapat digunakan
untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel disease. Dibandingkan
dengan penanda 111In, penanda 99mTc HMPAO mempunyai karakteristik pencitraan yang lebih
baik dan dapat lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan tetapi, biasanya
pencitraan harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah injeksi leukosit berlabel 99mTc
HMPAO sebagaimana telah terjadi ekskresi normal ke usus, tidak seperti leukosit berlabel
111
In, yang tidak mempunyai ekskresi ke usus (2).
Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel 99mTc HMPAO pada Crohns
disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas 91,0%, dan lebih baik
dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan, sementara
CT Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi (2).
Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit (misalnya, dari
uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes), atau aktivitas yang
berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake leukosit tidak

spesifik untuk Crohns disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-proses infeksius
atau inflamasi usus (2).

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Sabiston. Textbook of Surgery. 17th ed. Ch. 43. WB Saunders. Philadelphia. 2002. pp
888 95.
[2]. Yung-Hsin C. Crohn Disease. 2004. http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm
[ONLINE]
[3]. Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Colon, Rectum, and Anus.
Schwartz Principles of Surgery. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill. Singapore. pp 1318
28.
[4]. Crohns Disease. http://seniorhealth.about.com/cs/digestivetract/a/crohns.htm [ONLINE]
[5]. Taveras JM, Kelvin FM. Crohns Disease. Radiology on CD-ROM. Lippincott-Raven.
Philadelphia-Pennsylvania. 1994. [ONLINE]
SILAHKAN DINIKMATI, BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI
SENIOR
Diposkan oleh Makalah Referat Kedokteran di 03.33
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

2010 (84)
o Oktober (5)
o Agustus (18)
o Juli (61)

REFERAT Hipertensi Krisis Pada Anak

REFERAT Penatalaksanaan Bayi dengan Ibu HBsAg Posi...

Resusitasi pada neonatus

HIV Dalam Kehamilan

Referat Amoebiasis

Transfusi Darah Pada Anak

Meningitis TB

Campak II

REFERAT Persisten Ductus Arteriosus

Pemeriksaan Fisik Pada Anak

Glomerulonefritis Akut Pascastreptokokus

Kern Icterus

Hyalin Membran Disease (HMD)

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Demam Typhoid

Tumor Wilms

Varicella

Crohns Disease

TOXOPLASMOSIS PADA BAYI BARU LAHIR

Tetanus

TB Paru Pada Anak II

TB Paru Pada Anak I

Sepsis Neonatorum

Pertusis

Patofisiologi Demam

Morbili / Campak

Meningitis Bakterial

Laryngitis Akut

Glomerulonefritis Akut

Flu Burung (Avian Influeza)

Dengue Shock Syndrome

FILARIASIS

REFERAT SEPSIS

Ca Of Unknown Origin

REFERAT INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK

REFERAT Inflammatory bowel disease (IBD)

REFERAT DIFTERI

REFERAT BRONCHIOLITIS

REFERAT KESEHATAN MATA MASYARAKAT

REFERAT LYMPHANGIOMA

REFERAT PURPURAE TROMBOSITOPENIA IDIOPATIK (PTI) ...

REFERAT KARSINOMA HEPATOSELULER

REFERAT KELAHIRAN PRETERM PRETERM BIRTH

REFERAT PATOFISIOLOGI PENINGKATAN SGOT DAN SGP...

REFERAT PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH

REFERAT SIKLUS HAID DAN KONTRASEPSI HORMONAL

EPIDEMIOLOGI KECELAKAAN LALU LINTAS

REFERAT TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 1-5 TAHUN

REFERAT KUALITAS HIDUP QUALITY OF LIFE

DIET PADA PENYAKIT GINJAL

REFERAT ASUHAN ANTENATAL

REFERAT FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


TUMBUH K...

REFERAT SINDROM OVARIUM POLIKISTIK

REFERAT INFEKSI HIV/AIDS PADA ANAK

REFERAT PENATALAKSANAAN DIARE MENURUT WHO


TAHUN 20...

REFERAT KELAINAN GINJAL DAN SALURAN KEMIH PADA


KEH...

REFERAT PENILAIAN ANTEPARTUM ANTEPARTUM ASSES...

Epidemiologi Malaria

REFERAT PARTURITION (PROSES KELAHIRAN)

REFERAT VAGINOSIS BACTERIALIS

REFERAT PRINSIP-PRINSIP NUTRISI DI BEDAH

Mengenai Saya

Makalah Referat Kedokteran


Lihat profil lengkapku

Kunjungan

Ada yang mau ditanyakan ??


Followerzzz
2010 dr. Mantap. Template Picture Window. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai