Anda di halaman 1dari 5

Melampaui Manusia

wordpress.com
Oleh Reza A.A Wattimena
Pendiri Program Sudut Pandang (www.rumahfilsafat.com)
Mengapa saya menulis kata manusia dengan tanda kutip? Ini untuk menerangkan,
bahwa manusia sebagai sebuah realitas tidaklah pernah ada. Ia dianggap ada sebagai bagian
dari kesepakatan sosial untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti misalnya berkomunikasi.
Namun, sebagai sebuah kenyataan yang utuh dan kokoh, ia tidak pernah ada. Ia adalah ilusi,
yakni seolah ada, namun sebenarnya tak ada.
Manusia
Di balik kata manusia, ada sebuah tradisi pemikiran yang telah berkembang lama, terutama di
Eropa dan Timur Tengah. Manusia dilihat sebagai mahluk yang istimewa, lebih daripada mahluk
hidup lainnya, sehingga punya hak untuk menguasai bumi. Tentu saja, yang merumuskan
pandangan tersebut juga manusia. Ada konflik kepentingan di dalamnya yang harus terus
ditanggapi secara kritis.[1]

Namun, banyak peradaban lainnya punya pendapat berbeda. Manusia dilihat sebagai bagian dari
alam. Tidak lebih tinggi, atau lebih rendah. Ia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut
sebagai semesta (Universum). Pandangan semacam ini kini semakin banyak diterima, terutama
karena dianggap lebih sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan lebih ramah
lingkungan.
Lebih dari itu, berbagai penelitian ilmiah terbaru menegaskan, bahwa manusia tidak memiliki
inti di dalamnya. Tidak ada tuan atau aku yang menjadi penentu keputusan. Tidak ada
subyek yang menjadi pengendali dari gerak pikiran dan tubuh. Konsep jati diri lebih
merupakan ilusi untuk kepentingan sehari-hari, dan bukan kenyataan yang utuh dan kokoh.[2]
Pandangan ini ditopang oleh kebijaksanaan Timur yang sudah berkembang lebih dari 10.000
tahun. Di dalam pandangan ini, manusia adalah semata kumpulan dari berbagai unsur yang
saling terhubung. Ketika salah satu unsur rusak, maka semua unsur yang lain juga akan
terganggu. Apa saja unsur-unsur tersebut?
Unsur-unsur Pembentuk
Unsur paling dasar (lima unsur) adalah panca indera, yakni mata, telinga, hidung, kulit dan lidah.
Dengan panca indera ini, manusia terhubung ke dunia. Namun, kelima panca indera ini
amatlah rapuh. Sedikit gangguan, misalnya luka, akan mengaburkan fungsinya. Karena mereka
begitu rapuh, informasi yang diperoleh dari kelima panca indera ini pun tidak boleh dipercaya
begitu saja.
Unsur keenam adalah tubuh. Tubuh memiliki kesadarannya sendiri.[3] Jantung berdetak. Paruparu bergerak. Darah mengalir. Semua tanpa diperintah, melainkan terjadi secara alamiah. Sel-sel
seluruh tubuh manusia juga hancur dan memperbaharui dirinya sendiri setiap saat.
Unsur ketujuh adalah pikiran. Dalam arti ini, pikiran adalah unsur yang memungkinkan manusia
merumuskan konsep-konsep. Misalnya konsep piring. Ada berbagai piring di dunia dengan
macam-macam bentuk. Namun, kita bisa mengenali, bahwa itu adalah piring, walaupun warna
dan bentuknya berbeda. Kita bisa melakukan ini, karena kita memiliki konsep piring di dalam
pikiran kita.
Unsur ke delapan adalah penilaian. Setiap hari, kita membuat pilihan dalam hidup. Pilihan
tersebut mengandaikan, bahwa kita bisa membuat pertimbangan tentang apa yang baik dan
buruk, serta apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, demi alasan keamanan, atau moralitas.
Kita menjauhi api, karena api berbahaya untuk kulit kita. Kita juga tidak membunuh orang,
karena itu bertentangan dengan hukum dan moralitas, serta membuat orang lain menderita.
Pertimbangan dan penilaian semacam itu menjadi mungkin, karena unsur ke delapan ini.
Unsur ke sembilan adalah ingatan. Ingatan memungkinkan kita untuk belajar. Kita tidak lagi
mengulang kesalahan yang sama. Kita juga bisa mengumpulkan informasi, lalu
menggunakannya untuk memenuhi kepentingan kita, dan mewariskannya ke generasi
mendatang. Namun, ingatan juga bisa menjadi perusak, ketika ia tidak terkendali, terutama
ingatan tentang berbagai peristiwa buruk yang pernah kita alami.

Semua unsur ini, ada sembilan jumlahnya, bersifat rapuh. Semuanya mudah berubah, dan mudah
sekali terganggu, ketika ada luka atau trauma. Luka di kepala bisa merusak kesadaran
konseptual, ingatan dan penilaian. Ketika orang mengira, bahwa kesembilan unsur ini sebagai
kebenaran yang sesungguhnya, ia jatuh pada kesalahan berpikir. Kesalahan berpikir lalu
membuahkan penderitaan, baik bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain.[4]
Sunyata
Ada satu unsur lagi yang menjadi dasar sekaligus pencipta bagi semua unsur lainnya. Unsur ini,
sebenarnya, tidak memiliki nama. Ia tidak memiliki bentuk (formless). Ia seperti ruang, yakni
jernih, bersih, dan bisa menampung segalanya, tanpa merusak dirinya sendiri. Ia menjadi awal
sekaligus akhir dari segala sesuatu, bukan hanya manusia.
Ada banyak pemikir yang berusaha menamainya. Ada yang menamainya sebagai roh absolut
(absoluter Geist-Hegel). Ada yang menamainya sebagai jiwa, atau jiwa semesta (Atman). Ada
yang menamainya sebagai kesadaran murni (reines Bewussstsein-Kant).[5] Semuanya hanyalah
nama, dan tidak menentukan isi sejatinya, yang sebenarnya tanpa isi.
Ada satu nama yang, menurut saya, paling cocok menggambarkanya, yakni Sunyata. Kata ini
berasal dari bahasa Pali yang berarti kekosongan-kepenuhan. Jika dipahami secara tepat, artinya
adalah kepenuhan yang kosong (empty completeness) sekaligus kekosongan yang penuh
(complete emptiness). Semua ini menunjuk pada unsur yang jernih, seperti ruang, yang menjadi
dasar dari seluruh alam semesta.
Dari ruang muncul segala sesuatu. Segala sesuatu berada di dalam ruang. Namun, ruang itu
sendiri tidak dapat dirusak oleh isinya. Ia tetap jernih dan bersih, walaupun mungkin diisi oleh
hal-hal jahat di dalamnya. Ia tidak pernah dilahirkan, dan tidak pernah mati. Ia bersifat tak
terbatas (Raumunendlichkeit).
Ia berada sebelum pikiran. Ia ada sebelum bahasa dan konsep. Justru, pikiran, bahasa dan konsep
lahir darinya. Semua hal lahir darinya, dan kembali ke padanya. Tradisi-tradisi agama
menyebutnya sebagai Tuhan.
Jalan Hidup
Lalu, apa dampaknya bagi hidup kita? Jika kita melekat pada sembilan unsur sebelumnya, kita
jatuh pada penderitaan. Jika kita mengira kesembilan unsur ini sebagai kebenaran, kita jatuh
pada kesalahpahaman. Namun, jika kita bisa kembali ke Sunyata, kita memasuki ranah
kejernihan, kebebasan, keabadian dan kebijaksanaan.[6]
Kita melihat diri kita sebagai ruang. Saat demi saat, ruang tersebut mendengar, melihat, merasa,
berpikir dan bergerak. Ruang tersebut berganti-ganti isinya. Terkadang ada pikiran atau emosi
yang datang. Semuanya datang dan pergi. Namun, ruang tetap ada. Ia abadi. Tidak ada aku.
Yang ada hanya ruang.

Kita lalu menemukan kebebasan, kedamaian, kejernihan serta kebijaksanaan yang sejati. Semua
ada di dalam diri kita. Setelah terlepas dari penderitaan dan mencapai kebijaksanaan, kita lalu
bisa menolong mahluk lain dengan kejernihan.
Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui. Manusia tidak punya inti. Ia semata hanya
kumpulan dari berbagai unsur. Ketika unsur itu terurai, tidak ada inti di dalamnya. Tidak ada
esensi.
Setelah terurai, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah Sunyata, yakni kekosongan yang penuh,
dan kepenuhan yang kosong. Kembali ke titik ini, maka kejernihan dan kebijaksanaan akan
datang secara alami. Melampaui manusia berarti kembali ke titik ini. Hanya dengan
melampaui manusia, kita lalu bisa sungguh hidup dalam harmoni dengan seluruh alam
semesta.
Kita lalu melihat diri kita di semua mahluk lain. Tidak ada perbedaan. Tidak ada dualitas. Tidak
ada kawan-lawan. Pada satu titik, untuk menyatakan pemahaman ini, kita hanya bisa berteriak:
KAAATZZZ!!!!
Langit biru. Awan putih. Garam asin. Gula manis. Semua apa adanya.[7]
Daftar Acuan
Wattimena Reza A.A., Tentang Manusia: Dari Pikiran, Pemahaman sampai dengan Perdamaian
Dunia, Maharsa, Yogyakarta, 2016.
, Bahagia, Kenapa Tidak?, Maharsa, Yogyakarta, 2015.
, et.al., Menjadi Manusia Autentik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.
, Melampaui Penderitaan, Menuju Kebebasan: Zen,
Pandangan Hidup Timur dan Jalan Pembebasan, Karaniya, Jakarta, 2016. (Akan terbit).
-, Filsafat Kritis Immanuel Kant: Mempertimbangkan Kritik
Karl Ameriks terhadap Kritik Immanuel Kant atas Metafisika, Evolitera, Jakarta, 2010.
Catatan Akhir
[1] Lihat, Wattimena Reza A.A., Tentang Manusia: Dari Pikiran, Pemahaman sampai dengan
Perdamaian Dunia, Maharsa, Yogyakarta, 2016.
[2] Lihat, Wattimena, Reza A.A., Bahagia, Kenapa Tidak?, Maharsa, Yogyakarta, 2015.
[3] Lihat, Wattimena, Reza A.A. et.al., Menjadi Manusia Autentik, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2012.

[4] Lihat Wattimena, Reza A.A., Melampaui Penderitaan, Menuju Kebebasan: Zen, Pandangan
Hidup Timur dan Jalan Pembebasan, Karaniya, Jakarta, 2016. (Akan terbit).
[5] Lihat, Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant: Mempertimbangkan Kritik Karl
Ameriks terhadap Kritik Immanuel Kant atas Metafisika, Evolitera, Jakarta, 2010.
[6] Lihat, Wattimena, Reza A.A., Melampaui Penderitaan, Menuju Kebebasan: Zen,
Pandangan Hidup Timur dan Jalan Pembebasan,
[7] Gaya Zen di dalam merumuskan kebenaran. Lihat, Wattimena, Reza A.A., Bahagia, Kenapa
Tidak?.

Anda mungkin juga menyukai