Anda di halaman 1dari 27

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Gagal Ginjal Kronis

2.1.1

Pengertian
Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang progresiv, ireversibel dan terjadi secara menetap,
yang dalam perjalanannya akan berakhir dengan gagal ginjal terminal (Mohani,
2015). Menurut Sukandar (2013), gagal ginjal kronis merupakan kelainan struktur
atau fungsi ginjal 3 bulan dengan atau tanpa penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerulus).
Menurut The Kidney Desease Improving Global Outcomes (KDIGO,
2002) dalam Sukandar (2013), gagal ginjal kronis diklasifikasikan berdasarkan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sebagai berikut:
Derajat 1 : kerusakan ginjal yang disertai LFG normal atau meningkat (LFG > 90
ml/menit/1.73m2)
Derajat 2 : kerusakan ginjal disertai penurunan ringan LFG (LFG <60 89
ml/menit/1.73m2)
Derajat 3: kerusakan ginjal disertai penurunan moderat LFG (LFG 30 59
ml/menit/1.73m2)
Derajat 4: kerusakan ginjal disertai penurunan berat LFG (15 29
ml/menit/1.73m2)
Derajat 5 : gagal ginjal tahap akhir dengan LFG < 15ml/menit atau dialisis

15

Menurut Suwitra ( 2006, dalam Sudoyo 2006) klasifikasi penyakit ginjal


kronis didasar atas dua hal, yaitu atas dasar stadium penyakit dan atas dasar
diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar penyakit , dibuat dasar LFG yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
(140-umur) X berat badan
LFG (ml/mnt/1,73m2) = ___________________________
72 X Kreatinin plasma (mg/dl)
Pada pasien perempuan dikalikan 0, 85
Gagal

ginjal terminal (GGT) merupakan penyakit ginjal tahap akhir

dimana fungsi ginjal terganggu secara progresiv dan ireversibel sehingga tubuh
tidak mampu untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, yang menyebabkan uremia (Smelttzer & Suzanne, 2013).
2.1.2

Penyebab
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit multifaktorial, penyebabnya

bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain. Berdasarkan laporan
Indonesia Renal Registry (2013), penyebab terbanyak pasien gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis tahun 2013 di Indonesia adalah penyakit ginjal hiprtensi
yaitu sebanyak 31% dan nefropati diabetika sebanyak 26%.
Menurut Sukandar (2013), gagal ginjal kronis pada umumnya disebabkan
oleh penyakit intrinsik difus dan menahun. Glomerulonefritis, hipertensi esensial
dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering, yaitu sekitar 60%
glomerulonefritis yang berhubungan dengan diabetes melitus juga sering dijumpai
dan berakhir dengan gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis yang berhubungan
dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya sekitar 15 20 %.

16

Kira kira kurang dari 10 % pasien dengan gagal ginjal kronis disebabkan oleh
penyakit ginjal hipertensi. Penyakit kongenital seperti sindrom Alport, penyakit
Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik dan amioloidosis
juga merupakan penyebab gagal ginjal kronis , dengan insidens kejadian sekitar
10% 15%.
Gagal ginjal terminal (GGT) dapat disebabkan oleh penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang
tidak terkontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, penyakit ginjal
polokistik, gangguan vaskuler, infeksi, medikasi dan agen toksik (Smeltzer &
Suzzane, 2013).
2.1.3

Patofisiologi
Proses awal dari penyakit ginjal kronis diawali dengan adanya

pengurangan sejumlah nefron. Berkurangnya nefron nefron tersebut akan


menjadi beban bagi nefron yang sehat untuk melakukan proses kompensasi yaitu
mempertahankan agar fungsi ginjal tetap terjaga. Berkurangnya masa nefron
menyebabkan terjadinya peningkatan aktifitas dengan diproduksinya sejumlah
growth faktor dan sitokin oleh sel sel ginjal, sehingga terjadi perubahan struktur
dan fungsi ginjal dari nefron yang tersisa dan masih sehat. Proses ini akan terus
berjalan diikuti dengan proses nefrosklerosis dan fibrosis dari nefron yang tadinya
masih sehat, yang menyebabkan jumlah nefron akan semakin berkurang.
Berkurangnya jumlah nefron ini bersifat progresif. Bila laju filtrasi glomerulus
(LFG) < 60ml/menit/1.73m2, maka berbagai faktor akan berpengaruh terhadap
progresivitas penurunan fungsi ginjal (Mohani , 2015).

17

2.1.4

Gambaran Klinik
Pasien gagal ginjal kronis dengan ureum kurang dari 150 mg%, biasanya

tanpa keluhan dan gejala, seringkali ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin.
Pada gagal ginjal kronis tahap awal dengan LFG kurang dari 25% dari normal,
gambaran klinik yang muncul sangat minimal, kelainan yang sering ditemukan
hanya albuminuria, hiperurikemia, dan hipertensi.
Gambaran klinik gagal ginjal kronis berat disertai syndrome azotemia
yang sangat kompleks, meliputi
1) Kelainan hemopoesis
Anemia pada gagal ginjal kronis bersifat komplek, mungkin berhubungan
dengan anemia normokrom normositer, anemia hemolisis dan anemia akibat
defisiensi besi.
2) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
diduga berhubungan dengan dekompresi flora usus sehingga terbentuk
ammonia (NH3) yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung
dan usus. Sering terjadi hiccup yang mengganggu dan sulit diatasi, kecuali
dengan rangsangan selaput faring. Stomatitis azotemia, pembesaran kelenjar
parotis dan pancreatitis juga sering ditemui pada pasien dengan gagal ginjal
kronis.

18

3) Kelainan kulit
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang ditemukan timbunan kristal
urea pada kulit muka. Gatal sering mengganggu pasien, tidak jarang juga
ditemukan easy bruishing pada beberapa pasien gagal ginjal kronis.
4) Kelainan mata
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil
asimetris. Retinopati dan menurunnya visus juga sering ditemukan pada
pasien dengan gagal ginjal kronis.
5) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
gagal ginjal kronis terutama pada stadium terminal, dan merupakan salah satu
indikasi mutlak dilakukan dialysis.
6) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan sampai berat seperti emosi labil, dilusi,
imsomnia, depresi bahkan gejala psikosis sering ditemukan, umumnya gejala
ini ditemukan pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis. Kejang sering
ditemukan pada pasien yang sudah berat.
7) Kelainan sistem kardiopulmonal
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, arterosklerosis, penyebaran
kalsifikasi mengenai system vascular sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronis terutama pada stadium terminal, dapat menyebabkan gagal faal jantung.

19

2.1.5

Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien gagal ginjal kronis harus menjalani program terapi

simtomatik untuk mencegah atau mengurangi populasi gagal ginjal terminal


(GGT). Banyak faktor perlu dikendalikan untuk mencegah progresivitas
penurunan faal ginjal. Kelainan hemodinamik intrarenal seperti terdapat pada
hipertensi esensial dan nefropati diabetik merupakan faktor utama yang harus
diantisipasi dan dikendalikan untuk mencegah penyakit ginjal terminal. Intervensi
terhadap perubahan patogenesis dan patofisiologis ini merupakan kunci
keberhasilan upaya untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal yang
berakhir dengan penyakit ginjal terminal. Terdapat 2 pilihan penatalaksanaan
untuk gagal ginjal terminal (GGT), yaitu dialisis (hemodialisis dan peritoneal
dialisa) dan transplantasi ginjal.

2.2 Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan
tujuan untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan
dialisat melalui selaput membran semi permiabel yang berperan sebagai ginjal
buatan (Sukandar, 2013). Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Ada
tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke
cairan dialisat yang konsentrasinya rendah.

20

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan
kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan
melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin
dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat
mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga
tercapai isovolemia (keseimbangan cairan).

2.3

Usia Dewasa
Masa dewasa merupakan masa yang penuh tantangan, penghargaan, dan

krisis. Kemampuan berfikir pada masa ini sangat kritis. Usia ketika individu
dianggap dewasa bergantung pada bagaimna masa dewasa tersebut didefinisikan.
Menurut Kozier (2009), masa dewasa sering kali dibagi menjadi 2 fase yaitu
individu dewasa muda, didefinisikan sebagai individu yang berusia 20 40 tahun,
dan paruh baya usia 40 65 tahun. Depkes RI (2009), juga membagi masa
dewasa menjadi 2 tahap, yaitu dewasa awal 26 - 36 tahun dan dewasa akhir 36
45 Tahun
Orang dewasa biasanya sangat aktif, jarang mengalami sakit yang parah
bila dibandingkan dengan usia lanjut, dan cenderung mengabaikan gejala fisik
serta sering menunda untuk mencari pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2010).
Namun gaya hidup

seperti penggunaan tembakau dan minum alkohol bisa

menempatkan mereka pada risiko terkena penyakit dan penurunan kemampuan

21

fisik. Saat menuju usia pertengahan mulai terjadi perubahan karakteristik fisik.
Perubahan ini biasanya dalam batas normal, kecuali jika memiliki penyakit. Suatu
penyakit terutama penyakit kronis dapat mempengaruhi fungsi berbagai dimensi
dan dapat mengalami fluktuasi fungsi yang dapat mengancam jiwa. Penderita
dengan penyakit kronis menyerupai penderita cacat karena keduanya memiliki
keterbatasan dalam fungsi akibat proses patologis atau cedera. Individu dewasa
awal juga secara genetik mudah terkena penyakit kronis tertentu seperti diabetes
mellitus yang merupakan faktor risiko utama gagal ginjal kronis.

2.4

Fakor Risiko Gagal Ginjal Kronis


Faktor risiko merupakan suatu situasi, kebiasaan, kondisi sosial atau

lingkungan, fisik dan psikologis, spiritual maupun perkembangan yang dapat


meningkatkan kerentaan individu atau kelompok terhadap penyakit atau
kecelakaan (Potter dan Perry, 2010). Adanya faktor risiko bukan berarti bahwa
penyakit akan timbul, namun faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan
timbulnya suatu penyakit tertentu. Faktor risiko dapat mempengaruhi anggapan
dan perilaku kesehatan jika seseorang menyadari keberadaan faktor risiko
tersebut. Pengetahuan tentang faktor risiko merupakan komponen penting dari
promosi kesehatan, kesejahteraan, dan pencegahan penyakit. Faktor risiko
berperan penting dalam cara perawat mengidentifikasi status kesehatan klien.

22

Menurut Mohani (2015), ada beberapa faktor risiko untuk terjadinya penyakit
ginjal kronis, yaitu :
1) Suseptibilitas atau faktor predisposisi
Merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan kerentaan terhadap
kerusakan ginjal, seperti usia tua, penurunan masa ginjal, riwayat keluarga
dengan gagal ginjal, ras, gender, pendapatan dan pendidikan yang rendah,
obesitas dan berbagai faktor yang berhubungan dengan gaya hidup.
2) Inisiasi
Merupakan faktor pemicu yang secara langsung dapat menyebabkan
kerusakan ginjal, seperti diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi
saluran kencing, batu, obstruksi saluran kencing bagian bawah dan keracunan
obat.
3) Progresivitas
Merupakan faktor pemburuk yang timbul segera setelah ada kerusakan pada
ginjal, seperti penyakit hipertensi berat, diabetes mellitus yang tidak terkontrol
dan merokok
Dari ketiga faktor tersebut, ada yang bersifat tidak dapat dimodifikasi
(non-modifiabel), antara lain usia, gender, ras, genetik, dan hilangnya
sejumlah masa ginjal, dan dapat dimodifikasi (modifiable), yaitu antara lain
hipertensi, system renin angiotensin, proteinuria, glikemia, obesitas, lipid,
merokok, obstruksi saluran kemih, infeksi saluran kemih dan obat-obatan
nefrotoksik.

23

2.5

Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi

2.5.1

Faktor Suseptibilitas

2.5.1.1 Pola diet


Pola diet merupakan pengaturan jumlah dan jenis makanan dan atau
minuman yang dikonsumsi oleh seseorang yang dipengaruhi oleh pertimbangan
dan perkembangan, jenis kelamin, etnis dan budaya, keyakinan mengenai
makanan, gaya hidup dan lain-lain. Sejak beberapa dekade lalu diketahui bahwa
perubahan perilaku yang menyangkut gaya hidup terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa, antara lain konsumsi makanan tidak seimbang dengan kurangnya
aktivitas fisik dengan banyak duduk, berkaitan erat dengan peningkatan penyakit
ginjal kronis. Perubahan perilaku ini terkait dengan terjadinya transisi
epidemiologi karena berbagai faktor, antara lain urbanisasi, pertumbuhan
ekonomi, perubahan teknologi di rumah dan tempat kerja, kemudahan
transportasi, industrialisasi, dan promosi.
1). Makanan fast food
Makanan fast food yang tinggi lemak, tinggi kalori, tinggi garam dan
rendah serat, ditawarkan dengan sangat menarik melalui iklan di berbagai media
massa dengan sasaran utama anak usia remaja dan dewasa muda dan tingginya
tingkat mobilitas, membuat makanan ini lebih banyak digemari karena lebih
praktis (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kebiasaan makan pada periode remaja
dan dewasa muda ini akan mempengaruhi kebiasaan makan seseorang saat
dewasa, karena kebiasaan makan akan terbentuk sejak dini (Saufika & Alfiasari,
2012). Makanan makanan tersebut dapat memudahkan terjdinya obesitas yang
merupakan risiko penyakit ginjal. Menurut penelitian Gopinath (2015), yang

24

menyatakan bahwa konsumsi makanan yang tinggi karbohidrat dan miskin gizi,
memberikan pengaruh buruk terhadap fungsi ginjal setelah 5 tahun dikonsumsi.
Saat ini obesitas meningkat diseluruh dunia, sejalan dengan kebiasaan makan
yang berlebih tanpa diimbangi dengan pengeluaran kalori, akibatnya kelebihan
kalori itu disimpan sebagai timbunan lemak, khususnya lemak sentral (Cahyono,
2008). Obesitas merupakan masalah kesehatan yang semakin banyak terjadi pada
individu dewasa menengah. Pada umumnya obesitas tidak berdiri sendiri, tetapi
berhubungan dengan peningkatan kadar lemak darah, hipertensi dan diabetes
mellitus.
Untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas atau tidak, tidak
hanya cukup melihat bentuk tubuh saja, tetapi perlu penilaian secara objektif
dengan menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT), yang didapat berdasarkan suatu
perhitungan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter pangkat
dua. Dikatakan sangat gemuk bila IMT >27.0, gemuk bila IMT 25,1 27,0 serta
normal bila IMT 18,5-25,0 (Depkes RI, 2008).
Obesitas diketahui dapat meningkatkan risiko sejumlah penyakit kronis,
termasuk gagal ginjal kronis. Menurut penelitian Wang, Chen, Song, et.,al (2008)
yang bertujuan untuk melihat hubungan antara obesitas dengan penyakit ginjal,
didapatkan hasil bahwa dibandingkan individu dengan berat badan normal,
kelebihan berat badan memiliki risiko 40% lebih tinggi untuk penyakit ginjal, dan
orang dengan obesitas menunjukan risiko lebih tinggi. Obesitas pada wanita
mempunyai hubungan yang lebih kuat dengan penyakit ginjal dibanding dengan
kegemukan pada pria.

25

Obesitas dapat meningkatkan kerusakan ginjal secara langsung melalui


efek hemodinamik, yang dapat menyebabkan

hiperfiltrasi dan peningkatan

tekanan intraglomerular, albuminuria dan cedera sel tubular dan dapat


mengembangkan proteinuria, yang diikuti oleh hilangnya fungsi ginjal secara
progresiv. Obesitas juga dapat meningkatan kerusakan ginjal secara tidak
langsung yaitu berhubungan dengan diabetes dan hipertensi. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa obesitas dan diabetes mungkin memiliki efek yang sama pada
ginjal. Pada tahap awal disfungsi ginjal akibat diabetes, GFR (Glomerulus Filtrasi
Rate) cenderung meningkat karena peningkatan tekanan kapiler glomerulus yang
disebut glomerulus hiperfiltrasi, ini diikuti oleh peningkatan eksresi albumin urin
(mikroalbuminuria) yang menyebabkan penurunan progresiv GFR dan diikuti
dengan kenaikan albumin urin yang berakibat proteinuria, dan akhirnya kerusakan
ginjal pada tahap akhir.
2). Konsumsi makanan gorengan
Tidak hanya fast food atau makanan cepat saji, gorengan pun kini menjadi
makanan yang sudah membudaya di masyarakat, gorengan sepertinya sudah
menjadi makanan yang identik dengan masyarakat Indonesia, oleh karena itu
kebutuhan akan minyak goreng terus meningkat dari tahun ke tahun. Minyak
goreng sudah merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Masyarakat kita sangat majemuk dengan
tingkat ekonomi yang berbeda, ada masyarakat yang menggunakan minyak
goreng hanya untuk sekali pakai, namun banyak juga masyarakat yang
menggunakan minyak goreng berkali-kali. Asupan makanan yang digoreng

26

dengan minyak yang berkali-kali dapat menjadi sumber asam lemak dan radikal
bebas.
Pada proses penggorengan, minyak goreng berfungsi sebagai media
penghantar panas, penambah rasa gurih, penambah nilai gizi dan kalori dalam
bahan pangan. Sebagian besar minyak goreng yang dipasarkan dan umum
digunakan di Indonesia adalah minyak kelapa sawit. Minyak goreng mengandung
asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada rangkaian karbonnya. Mutu minyak
goreng sangat dipengaruhi oleh komponen asam lemaknya karena asam lemak
tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan stabilitas minyak selama
proses penggorengan. Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan
minyak lebih mudah rusak oleh proses menggoreng (deep frying), karena selama
proses ini minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi. Akibat
pemanasan tinggi dan berulang-ulang maka ikatan rangkap asam lemak tak jenuh
akan putus dan terbentuk lemak jenuh. Adanya kontak dengan oksigen dari udara
luar juga memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak (Setiawan, 2014).
Pemakaian minyak goreng sampai dua kali masih dapat ditoleransi, namun
jika lebih dari dua kali, terlebih jika warnanya sudah berubah menjadi kehitamhitaman, maka minyak tersebut sudah tidak baik dan harus dihindarkan (Setiawan,
2014). Penggunaan minyak goreng secara berulang dapat membahayakan
kesehatan tubuh, hal ini dikarenakan pada saat pemanasan akan terjadi proses
degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut dapat
membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun, sehingga
membahayakan tubuh. Minyak goreng yang digunakan berkali- kali, khususnya
yang dihasilkan dari proses deep frying merupakan radikal bebas dari luar tubuh

27

(eksogen), yang dapat memicu terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh. Stres
oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan
menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif, inflamasi, aterosklerosis, hingga
kanker. Selain itu pemanasan minyak goreng lebih dari dua kali pada suhu tinggi
akan membentuk asam lemak trans. Asam lemak trans dapat meningkatkan kadar
low density lipoproteins (LDL), trigliserida, dan insulin, serta menurunkan high
density lipoproteins (HDL) di dalam darah (Laeli et al., 2015).
Menutut Bhagaskara, et.,al (2015), kadar kolesterol HDL yang rendah dan
kadar kolesterol LDL yang tinggi dalam darah dapat mempengaruhi penurunan
fungsi ginjal secara tidak langsung melalui timbulnya penimbunan plak pada
dinding arteri. Plak tersebut akan menimbulkan kerusakan faal endotel dan sel
darah merah sehingga lebih mudah terbentuk fibrin. Sirkulasi darah akan
melambat

sehingga

memberi

kesempatan

pada

kolesterol

LDL

untuk

mengendapkan kolesterol dalam pembuluh darah dan mempercepat terjadinya


aterosklerosis, yang

berperan pada kerusakan glomerulus dan interstitial

parenkim ginjal. Sel-sel glomerulus mesangial dan sel otot polos pembuluh darah
memiliki kesamaan yaitu bahwa akumulasi lipid di dalam sel mesangial, analog
dengan proses aterosklerotik pada sel otot polos, dapat menyebabkan
glomerulosklerosis. LDL menyebabkan monosit berikatan dengan sel endotel, dan
ikatan ini merupakan faktor penting pada proses inflamasi gromerular.
3). Konsumsi buah dan sayur
Walaupun bukan makanan pokok yang menyumbang banyak energi,
sayuran dan buah memiliki fungsi yang penting bagi kelangsungan proses
metabolisme dan fisiologi tubuh. Secara umum sayuran dan buah disebut sebagai

28

makanan sehat. Namun hal ini tidak berlaku bagi semua individu. Selain
mengandung zat gizi dan fitokimia yang bermanfaat, sayur dan buah bisa
merugikan bagi tubuh jika dikonsumsi berlebihan saat sedang menderita penyakit
tertentu. Beberapa jenis sayur dan buah mengandung zat antigizi yang akan
mengurangi tingkat serapan unsur gizi yang lain (Lingga, 2010).
Menurut Lingga (2010), beberapa jenis sayur dan buah tertentu seperti
bayam dan beligo atau labu besar, mengandung zat gizi yang bermanfaat bagi
tubuh, namun tidak semua orang dapat memakan banyak tanpa pantangan. Bayam
dan beligo mengandung beberapa senyawa alergenik yang jika terlalu banyak
dikonsumsi akan menyebabkan gangguan kesehatan. Salah satu senyawa
alergenik yang dominan adalah oksalat. Kandungan oksalat yang terlalu tinggi
pada makanan dapat mengganggu fungsi ginjal. Di dalam tubuh, oksalat akan
bersenyawa dengan kalsium membentuk kristal yang disebut kalsium oksalat.
Kristal tersebut akan mengendap, dan jika terkumpul akan membesar membentuk
batu ginjal. Batu ginjal ini akan menghalangi saluran kencing. Batu ginjal tidak
hanya menyumbat saluran kencing, tetapi juga menurunkan fungsi organ ginjal
yang merupakan risiko terjadinya gagal ginjal kronis.
3). Konsumsi Garam Berlebih
Sumber utama garam di banyak negara adalah makanan olahan dan
makanan siap saji, selain itu garam juga banyak disajikan di meja makan. WHO
memperkirakan saat ini asupan rata-rata garam secara global sekitar 10g/hari,
sehingga WHO merekomendasikan pengurangan asupan garam kurang dari 5g/
hari. Efek garam pada fungsi ginjal adalah terkait dengan tekanan darah tinggi
dan efek langsung pada fungsi ginjal yaitu perubahan hemodinamik. Burton,

29

Mishra, Fink et.,al, (2006) melakukan penelitian untuk menentukan kualitas


penelitian dan hubungan antara diet garam dan perkembangan penyakit ginjal,
dengan cara mengumpulkan 7 data penelitian yang komprehensif yang
dipublikasikan antara 1 Januari 1966 sampai 31 Agustus 2004 dengan hasil,
variasi dalam konsumsi garam secara langsung berhubungan dengan albuminuria
dan peningkatan konsumsi garam dikaitkan dengan peningkatan laju filtrasi
glomerulus, sementara pengurangan konsumsi garam dapat memperlambat laju
kehilangan fungsi ginjal. Diet garam berlebih dapat menyebabkan cedera ginjal.
Dalam beberapa percobaan pada tikus, hubungan langsung antara asupan garam
dapat meningkatkan mediator fibrosis terutama mengubah pertumbuhan faktor
(TGF- ) dan stress oksidatif reaktif yang menyebabkan disfungsi vaskular tingkat
tinggi dari tekanan darah.
4). Zat Aditif
Zat aditif merupakan suatu zat yang tidak memiliki nilai gizi yang biasa
ditambahkan dalam makanan yang dapat mempengaruhi karakteristik suatu
makanan (Gowder, 2013). Zat aditif ini aman bila dikonsumsi sesuai dengan
kebutuhan dan kecukupan, tetapi bila dikonsumsi pada tingkat tinggi dapat
menyebabkan kerusakan ginjal karena efeknya yang nefrotoksik. Menurut
Salirawati (2014), zat aditif dikategorikan ke dalam bahan pengawet, pewarna,
pemanis dan penyedap rasa.
Penyedap rasa adalah bahan yang dapat memberikan, menambah, atau
mempertegas rasa makanan, atau bahan yang tidak mempunyai rasa tetapi dapat
menguatkan atau mengaktifkan rasa yang telah ada dalam makanan. Bahan
penyedap rasa yang sering digunakan adalah MSG (Monosodium Glutamate) atau

30

vetsin. MSG (Monosodium Glutamat) merupakan zat aditif yang terkandung


dalam penyedap rasa, sering digunakan untuk melengkapi makanan olahan pada
sebagian besar masakan Asia dengan cara ditaburi kedalam makanan ( Sharma,
et.,al 2014). Berdsarkan penelitian Sharma, et.,al (2014), terhadap ginjal tikus,
menunjukan bahwa asupan secara oral MSG pada jangka waktu yang lama dapat
mengubah system anti oksidan ginjal termasuk lipid peroksidasi. Selain itu
konsumsi jangka panjang MSG telah terbukti meningkatkan hipercelular
glomerulus dan infiltrasi sel-sel inflamasi pada korteks ginjal. Pembentukan
reaktif oksigen spesies (ROS) dalam ginjal dianggap sebagai penyumbang utama
efek nefrotoksik yang terjadi pada kerusakan sel dan fungsinya.
5 ). Konsumsi jengkol dan petai
Di kalangan masyarakat, khususnya orang sunda, jengkol dan petai
merupakan makanan populer yang banyak penggemarnya. Asam jengkolat
merupakan salah satu komponen yang terdapat pada biji jengkol. Strukturnya
mirip dengan asam amino (pembentuk protein), tetapi tidak dapat dicerna.
.Kandungan asam jengkolat pada biji jengkol bervariasi, tergantung pada varietas
dan umur biji jengkol. Jumlahnya antara 1 2 % dari berat biji jengkol. Asam
jengkolat ini dapat menyebabkan keracunan atau yang sering disebut jengkoleun.
Keracunan jengkol dapat terjadi dalam waktu 48 jam setelah konsumsi
jengkol penyebabnya adalah pengendapan asam jengkol dalam urin menghasilkan
urin yang kental membentuk lumpur atau kristal. Jika kristal yang terbentuk
tersebut semakin banyak, maka kelama-lamaan dapat menimbulkan gangguan
pada saat mengeluarkan air seni, dan dapat berkembang menjadi obstruktif
nefropati, terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan dapat menyumbat

31

saluran air seni. Bahkan jika terbentuknya infeksi dapat menimbukan gangguangangguan lebih lanjut.
Asam jengkolat mempunyai struktur molekul yang menyerupai asam
amino sistein yang mengandung unsur sulfur, sehingga ikut berpartisipasi dalam
pembentukan batu. Molekul itu terdapat dalam bentuk bebas dan sukar larut ke
dalam air. Karena itu dalam jumlah tertentu asam jengkolat dapat membentuk
kristal. Dalam kenyataannya memang tidak semua pemakan jengkol secara
otomatis menderita penyakiut saluran air seni sebagai akibat dari asam jengkolat.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu jumlah minimal asam jengkolat
yang dapat menyebabkan gangguan dan daya tahan tubuh dari orang itu sendiri
Secara alami, tubuh melakukan reaksi terhadap gangguan-gangguan yang
muncul dari luar. Dalam hal asam jengkolat, pH atau keasaman urin manusia
berbeda-beda, ada yang bersifat asam, ada yang netral. Pada urin yang relatif
netral, gangguan itu lebih kecil risikonya sedangkan pada urin yang lebih asam,
pembentukan kristal itu relatif lebih cepat. Bahkan pada urin yang asam, ada
kemungkinan terjadi pembentukan kristal pada ginjal manusia, yang dapat
menyebabkn batu pada saluran kemih. Hampir sama pada jengkol, petai juga
mengandung asam petai yang efek pada ginjal sama seperti asam jengkol.
6). Konsumsi minuman energi
Suplemen energi kini menjadi trend dikalangan masyarakat sebagai solusi
atas kurang energi, lemah letih dan lesu. Suplemen energi biasa dianjurkan untuk
meningkatkan kecukupan gizi dan menambah energi, namun kandungannya juga
mengandung kafein, taurine, mineral dan glukosa. Suplemen energi yang beredar
dipasaran sekarang ini banyak mengandung bahan pengawet, pewarna, perasa dan

32

pemanis buatan yang berbahaya bagi kesehatan ginjal dan menjadi penyebab
kejadian gagal ginjal (Djarwoto dalam Nugroho, 2015).
Minuman energi adalah jenis minuman yang ditunjukan untuk menambah
energi seseorang yang meminumnya. Bagi beberapa orang, minuman energi
diminum dengan tujuan untuk mencegah rasa kantuk. Minuman energi
mengandung berbagai macam zat gizi, dengan kandungan utamanya adalah air,
gula dan kafein. Kafein dapat merangsang syaraf untuk tetap terjaga dan menahan
rasa lelah, gula digunakan untuk membentuk energi, gula yang digunakan adalah
sukrosa dan maltrodextra, tetapi banyak produsen minuman energi menggunakan
pemanis buatan seperti sakarin, aspartm dan glutamat. Manfaat yang diperoleh
dari mengkonsumsi minuman energi adalah mengatasi kelelahan, meningkatkan
stamina, menambah tenaga dan memberikan efek menyegarkan tubuh (Hanna,
2009). Tidak hanya bermanfaat, minuman energi juga memiliki dampak yang
merugikan terhadap kesehatan jika dikonsumsi berlebihan dalam jangka waktu
yang lama, termasuk terhadap fungsi ginjal.
Menurut penelitian Nugroho (2015), terhadap 28 responden di Ruang
Hemodialisa RSUD Ibnu Sina Gresik, berdasarkan klasifikasi frekuensi konsumsi
suplemen energi : sering bila konsumsi 5 bungkus per minggu, kadang-kadang
2 - 4 bungkus per minggu dan jarang bila konsumsi 1 bungkus per minggu,
didapatkan hasil sebagian besar responden (50%) menkonsumsi suplemen energi
pada kategori sering. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi
suplemen energi dengan stadium CKD. Hal ini disebabkan karena suplemen
energi mengandung beberapa zat kimia yang berbahaya seperti bahan pengawet,
pewarna, perasa dan pemanis buatan. Jika dikonsumsi dalam jumlah banyak dan

33

waktu yang lama glomerulus akan mengalami kematian sel, kehancuran inti sel
dan kapsula bowman berongga. Sehingga semakin sering dikonsumsi dapat
menyebabkan kerusakan ginjal yang semakin cepat dan mempengaruhi stadium
gagal ginjal.
Teori lain yang mendasari hal ini menurut Hidayati (2007), adalah bahwa
beberapa psikostimulan (kafein dan amfetamin) yang terkandung dalam minuman
energi terbukti dapat mempengaruhi ginjal. Amfetamin dapat mempersempit
pembuluh darah ke ginjal sehingga darah yang menuju ginjal berkurang.
Akibatnya ginjal akan kekurangan asupan makanan dan oksigen, hal ini
menyebabkan ginjal mengalami iskemik dan memacu timbulnya reaksi inflamasi
yang berakhir dengan penurunan funngsi ginjal.
2.5.1.2 Aktifitas Fisik
Pola aktifitas latihan adalah rutinitas latihan, aktifitas, waktu luang dan
rekreasi yang dilakukan seseorang (Kozier, Erb, Berman, et.,al). Salah satu
dimensi fisik yang meliputi pemeliharaan fisik secara efektif adalah melakukan
kegiatan olah raga atau latihan fisik (exercise) secara teratur. Namun pada
kenyataannya kita sering mengabaikan keadaan fisik kita .Meningkatnya kondisi
sosial ekonomi menjadi salah satu faktor mengapa seseorang kurang melakukan
aktifitas fisik. Orang dewasa yang kurang aktif secara fisik memiliki risiko lebih
tinggi dari semua penyebab kematian. WHO merekomendasikan aktifitas fisik
sekitar 60 menit per hari atau setidaknya 150 menit per minggu. Hampir sama
dengan WHO, Center for Desease Control and Prevention (CDC, 2014)
merekomendasikan bahwa anak atau dewasa muda melakukan aktifitas / olah raga
sekitar 60 menit per hari sekurangnya 3 kali per minggu.

34

Aktifitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dalam


perkembangan dan perjalanan gagal ginjal kronis (GGK). Kurangnya aktifitas
fisik terkait dengan prevalensi albuminuria, terutama bila dikombinasi dengan
obesitas (White, 2011). Menurut Stump (2011), aktifitas fisik dapat meningkatkan
sinyal insulin vaskular, meningkatkan bioavailable nitric oxide (NO) dan
mengurangi reactive oxygen species (ROS). Selain itu dengan mengurangi
angiotensin II dan molekul inflamasi lain seperti tumor necrosis faktor (TNF) ,
latihan dapat meningkatkan respon endotel insulin. Aktifitas fisik yang teratur
telah terbukti efektif dalam meningkatkan fungsi kardiovaskuler pada pasien
dengan cardiovaskular desease (CVD), manfaat yang sama diharapkan akan
terjadi pada pembuluh darah ginjal, sehingga dapat melindungi ginjal dari
kerusakan filtrasi, albuminuria dan penurunan fungsi ginjal yang dapat
menyebabkan gagal ginjal kronis.
2.5.2

Faktor Inisiasi

2.5.2.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan keadaan yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah sistolik (TDS) maupun tekanan darah diastolik (TDD) 140/90 mm Hg
(Tejasukmana, 2012). Dalam jangka panjang peningkatan tekanan darah yang
berlangsung

kronik

akan

menyebabkan

peningkatan

risiko

kejadian

kardiovaskuler, serebrovaskuler dan renovaskuler. Hipertensi yang umum


dijumpai adalah hipertensi primer, mencakup 90% dari semua penderita
hipertensi, sisanya 10% hipertensi sekunder. Penyebab utama hipertensi sekunder
adalah gangguan yang berhubungan dengan kelainan ginjal dan sistim endokrin.
Gangguan

ginjal

dapat

disebabkan

karena

penyakit

parenkim

ginjal

35

(glomerulonefritis, polycystic kidney disease), maupun penyakit ginjal vaskular


(stenosis arteri renalis dan displasia fibromuskuler).
Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang orang berusia diatas 40
tahun, namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang usia muda.
Gaya hidup modern dengan pola makan dan gaya hidup tertentu sering merupakan
faktor risiko penting

timbulnya hipertensi pada seseorang. Sebagian besar

hipertensi primer terjadi pada usia 25-45 tahun dan hanya pada 20% terjadi
dibawah usia 20 tahun dan diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena orang pada
usia produktif jarang memperhatikan kesehatan, seperti pola makan dan pola
hidup yang kurang sehat (Anggara & Prayitno, 2013). Gaya hidup merupakan
faktor risiko penting timbulnya hipertensi pada seseorang dengan dewasa muda.
Hasil penelitian Rachmawati (2013), menunjukan bahwa ada hubungan antara
aktifitas fisik dan konsumsi garam berlebih dengan kejadian penyakit hipertensi
pada usia dewasa muda di Desa Pondok Kabupaten Sukoharjo.
Hipertensi dan gagal ginjal kronis mempunyai hubungan yang erat, hal ini
sesuai dengan penelitian Asriani (2014), yang menyatakan terdapat hubungan
antara hipertensi dengan kejadian gagal ginjal di Rumah Sakit Ibnu Sina Makasar.
Hipertensi merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronis melalui suatu
proses yang mengakibatkan hilangnya sejumlah besar fungsi nefron yang
progresiv dan irreversible. Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik pada
arteriol dan glomeruli diyakini dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh
darah glomeruli atau yang sering disebut degan glomerulosklerosis.
Penurunan jumlah nefron akan menyebabkan proses adaptif, yaitu
meningkatnya aliran darah, penngkatan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dan

36

peningkatan keluaran urin di dalam nefron yang masih bertahan. Proses ini
melibatkan hipertrofi dan vasodilatasi nefron serta perubahan fungsional yang
menurunkan tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulus di dalam nefron yang masih
bertahan. Perubahan fungsi ginjal dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan
kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi sklerotik yang terbentuk
semakin banyak sehingga dapat menimbulkan obliterasi glomerulus, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, dan berkembang secara
lambat yang berakhir sebagai penyakit gagal ginjal terminal (Guyton and Hall,
2007). Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan
darah dan lamanya menderita hipertensi. Hal ini sesuai dengan penelitian
Hidayati, et al (2008), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara lama
hipertensi dengan kejadian gagal ginjal kronis, semakin lama menderita hipertensi
maka semakin tinggi risiko untuk mengalami kejadian gagal ginjal kronis.
2.5.2.2 Diabetes Melitus
Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasen diabetes) merupakan salah
satu penyebab kematian terpenting pada dibetes mellitus yang lama. Telah
diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 40% pasen diabetes tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronis dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah
awitan diabetes. Individu dengan diabetes tipe 2 lebih sedikit yang berkembang
menjadi gagal ginjal kronis ( sekitar 10%- 20%) dengan pengecualian pada orang
Indian Pima dengan insidensi mendekati 50% (Price & Sylvia, 2006). Diabetes
mellitus menyerang srtuktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefrofti
diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada
diabetes mellitus. Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas dan dapat

37

terjadi secara difus dan nodular. Glomerulosklerosis diabetik difus, merupakan


lesi yang paling sering terjadi, terdiri dari penebalan difus merupakan lesi yang
paling sering terjadi, terdiri dari penebalan difus matriks mesangial dengan bahan
eosinofilik disertai penebalan membrane baslis kapiler. Secara klinik riwayat
penyakit faktor risiko diabetes melitus mempunyai risiko terhadap kejadian gagal
ginjal kronis 4,1 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat
penyakit faktor risiko diabetes mellitus (Pranandari & Supadmi, 2015)
2.5.2.3 Penggunaan obat-obat nefrotoksik
Terjadinya efek farmakologis yang berlebihan (efek toksik) dapat
disebabkan karena dosis yang terlalu besar bagi pasen yang bersangkutan.
Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar atau karena
adanya perbedaan respon kinetik atau dinamik pada kelompok kelompok
tertentu. Sebagian obat yang ditemukan menyebabkan nefrotoksitas menunjukan
efeknya melalui satu dan sejumlah pathogen, diantaranya adalah perubahan
hemodinamik intraglomerular, toksisitas sel tubulus, inflamasi, nefropati kristal,
rabdomiolisis dan mikroangiopati thrombosis (Syamsudin, 2011).
Menurut Sukandar (2013), penyebab gagal ginjal kronis yang dapat
dikoreksi diantaranya adalah obat-obatan , seperti aminoglikosida (antibiotik),
non steroid antiinflamasi drug (NSAID) dan remaktan. Aminoglikosida
merupakan antibiotik yang penggunaannya sangat luas terutama untuk gram
negative, namun demikian pengguaannya dibatasi karena sifatnya nefrotoksik.
Kegagalan fungsi ginjal akibat pemakaian aminoglikosida terjadi bila kenaikan
kadar kreatinin plasma > 45 umol/L selama atau setelah terapi. Aminoglikosida
masuk kedalam ginjal mencapai maksimal di korteks ginjal dan sel tubulus, mlalui

38

proses endositosis, dan sequestration, aminoglikosida berikatan dengan lisosom


membentuk myeloid body (Chasani, 2008). Beberapa bukti epidemiologi
menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan obat analgetik dan NSAID
secara berlebihan dengan kejadian kerusakan ginjal atau nefropati. Nefropati
analgetik merupakan kerusakan nefron akibat penggunaan analgetik.
Penggunaan obat analgetik dan NSAID untuk menghilangkan rasa nyeri
dan menekan radang (bengkak) dengan mekanisme kerja menekan sintesis
prostaglandin. Akibat penghambatan sintesis prostaglandin menyebabkan
vasokonstriksi renal, menurunkan aliran darah ke ginjal, dan potensial
menimbulkan iskemia glomerular. Obat analgetik dan NSAID juga menginduksi
kejadian nefritis interstisial yang selalu diikuti dengan kerusakan ringan
glomerulus dan nefropati yang akan mempercepat progresivitas kerusakan ginjal,
nekrosis papilla, dan penyakit gagal ginjal kronis. Obat analgetika dan NSAID
menyebabkan nefrosklerosis yang berakibat iskemia glomerular sehingga
menurunkan GFR kompensata dan GFR nonkompensata atau gagal ginjal kronis
yang dalam waktu lama dapat menyebabkan gagal ginjal terminal (Fored et al.,
2003 dalam Pranandari & Supadmi, 2015)
Antasida merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi gastritis
dengan cara menetralisir kelebihan asam lambung. Obat ini dapat diperoleh secara
swamedikasi sehingga dimungkinkan kurangnya informasi obat. Antasida yang
mengandung magnesium tidak boleh digunakan pada pasien dengan klirens
kreatinin kurang dari 30 ml/ menit karena ekskresi magnesium dapat
menyebabkan toksisitas. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan fungsi

39

renal normal dengan intake kalsium karbonat lebih dari 20 gram/hari dan pasien
gagal ginjal dengan intake lebih dari 4 gram/hari.
2.5.3 Faktor progresivitas
2.5.3.1 Merokok
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa kandungan racun dalam
rokok membahayakan kesehatan seseorang. Baik yang dihisap langsung saat
merokok (mainstream smoke) maupun yang keluar dari ujung rokok (sidestream
smoke) sama-sama mengandung bahan kimia beracun, seperti nikotin, ter, nitrous
oxide, formaldehyde, acrolein, formic acid, phenol, carbon monoxida dan lainlain. Bahan-bahan tersebut apabila berinteraksi dan berakumulasi secara kronis
dalam waktu lama dapat menimbulkan masalah kesehatan. Dampak rokok
terhadap kesehatan tergantung pada lama dan jumlah rokok yang dihisap.
Semakin lama dan semakin banyak yang dihisap semakin tinggi risikonya.
Seseorang dikatakan sebagai perokok ringan bila rokok yang dihisap kurang dari
10 batang / hari, perokok sedang bila 11 20 batang sehari dan perokok berat bila
menghisap lebih dari 21 batang sehari (Cahyono, 2008).
Merokok dapat mengurangi fungsi ginjal dan meningkatkan albuminuria
atau proteinuria, bahkan pada pasien diabetes merokok dapat meningkatkan risiko
nefropati dan maju ke stadium akhir gagal ginjal. Menurut penelitian
Noborisaka,et.,al (2012) merokok dalam jangka waktu lama berkontribusi dalam
pengembangan gagal ginjal kronis. Kemungkinan mekanisme yang mendasari
perkembangan gagal ginjal kronis pada perokok adalah toksikasi logam nitrat
karena menghisap asap tembakau merangsang

renin angiotensin aldosteron

40

sistem (RAAS) menyebabkan vasokontriksi intra renal yang berakibat glomerulus


hiperinfiltrasi terjadi proteinuria dan terjadilah kerusakan ginjal.

2.6 Peran Perawat


Pelayanan kesehatan kini semakin berfokus pada promosi kesehatan,
kesejahteraan, dan pencegahan penyakit. Keperawatan merupakan profesi
pelayanan kesehatan garis depan yang mempunyai peranan yang sangat penting.
Perawat memiliki posisi yang unik dalam membantu klien mencapai dan
mempertahankan kesehatan yang optimal. Peran perawat dalam promosi
kesehatan adalah mengidentifikasi faktor-faktor risiko masalah kesehatan yang
dapat dimodifikasi, menyelenggarakan edukasi bagi klien dan memberi dukungan
untuk mengurangi gaya hidup yang tidak sehat ( Fager & Melnyk, 2004 dalam
Potter & Perry, 2010). Identifikasi terhadap gaya hidup dapat membantu perawat
dan klien dalam mengenali kebiasaan yang dapat meningkatkan risiko penyakit
kronis, termasuk penyakit gagal ginjal. Menurut Mc.Clelland (2006), selain
memiliki peranan penting dalam mengidentifikasi dan mengelola pasien gagal
ginjal, perawat juga memiliki peranan penting dalam mengedukasi dan
memodifikasi gaya hidup pasien. Pendidikan kesehatan kepada pasien bertujuan
untuk mempertahankan kondisi sehat pasien, meningkatkan kesehatan, dan
mencegah terjadinya suatu penyakit dan komplikasi (Potter & Perry, 2010).

Anda mungkin juga menyukai