Anda di halaman 1dari 4

5 Fakta tentang Fatmawati Soekarno, Sang

Merpati dari Bengkulu

Kebaya merupakan busana kenegaraan saat Presiden melakukan lawatan ke luar negeri, seperti
yang dikenakan Fatmawati dan Dewi Soekarno
Liputan6.com, Bengkulu - Sosok Fatmawati tidak bisa dilepaskan dari Soekarno, presiden
pertama Republik Indonesia. Ia berdiri di belakang suaminya saat sang proklamator
mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia pula yang berjasa menjahit bendera pusaka yang
dikibarkan pada 17 Agustus 1945.
Di balik penampilannya yang anggun, perempuan kelahiran Bengkulu itu memiliki ketegasan
yang tak mudah ditaklukan Soekarno. Ia menolak untuk dimadu hingga mengajukan syarat berat
kepada Bung Karno yang hendak mempersunting dirinya.
"Ceraikan istrimu jika ingin menikahi aku. Pernyataan ini yang menjadikan dia sebagai sosok
anti-poligami," ujar sejarawan Bengkulu Alcala Zamora di Bengkulu, Senin (18/4/2016).
Syarat itu akhirnya dipenuhi dengan menceraikan Inggit Garnasih, perempuan asal Bandung
yang telah mendampingi Soekarno selama memperjuangkan kemerdekaan. Kisah cinta segitiga
itu kemudian banyak diangkat ke dalam film. Salah satunya berjudulSoekarno yang disutradarai
Hanung Bramantyo.
Selain kisah itu, ada fakta lain tentang sekelumit kehidupan Fatmawati, sang merpati dari

Bengkulu. Sebutan itu diberikan dalam buku Bung Karno Masa Muda terbitan Pustaka Antar
Kota pada 1978. Berikut fakta-fakta tentang Fatmawati Soekarno:

1. Keturunan Bangsawan
Putri tunggal keluarga Hassan Din dan Siti Chadijah itu lahir pada Senin, 5 Februari 1923, pukul
12.00 WIB di Bengkulu. Nama aslinya adalah Fatimah.
Tidak banyak yang tahu bahwa Fatmawati sebenarnya keturunan Kerajaan Indrapura
Mukomuko. Sang ayah, Hassan Din, adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur.
Putri Bunga Melur berarti putri yang cantik, sederhana, dan bijaksana. Tidak mengherankan bila
Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi.
Walau berdarah bangsawan, Fatmawati kecil tidak dimanjakan. Ayahanda Fatmawati, Hassan
Din, semula bekerja sebagai pegawai perusahaan Belanda, Bersomij, di Bengkulu, memilih
menanggalkan jabatannya karena tak mau keluar dari Muhammadiyah. Sejak itu, Hassan Din
sering berganti usaha dan berpindah ke sejumlah kota di kawasan Sumatera bagian Selatan.
2. Menikah Diwakilkan
Soekarno dan Fatmawati menikah pada 1943. Saat menikahi Fatmawati yang berusia 20 tahun,
Bung Karno masih sibuk dengan kegiatannya di Jakarta, sementara Fatmawati berada di
Bengkulu. Maka itu, pengucapan ijab kabul dengan ayahanda Fatmawati diwakili kerabat Bung
Karno, Opsetter Sardjono.
Pada 1 Juni 1943, Fatmawati dengan diantar orangtuanya berangkat ke Jakarta melalui jalan
darat. Sejak itu, Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Perjalanan sepasang merpati penuh cinta itu akhirnya dikaruniai lima putra-putri,
yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.
Fatmawati dan Bung Karno tidak pernah merayakan ulang tahun perkawinan. Alasannya
sederhana, keduanya tidak pernah ingat kapan menikah. Sebab, saat pernikahan berlangsung,
perang juga gencar dilaksanakan.
"Kami tidak pernah merayakan kimpoi perak atau kimpoi emas. Sebab, kami anggap itu soal
remeh, sedangkan kami selalu dihadapkan pada persoalan persoalan besar dan hebat," begitu
cerita Ibu Fatmawati di buku Bung Karno Masa Muda.
3. Pandai Menari

Mayoritas tahu jika Bung Karno adalah sosok pengagum karya seni. Kekaguman terhadap seni
pula yang membuatnya jatuh hati pada sosok Fatmawati. Saat itu, Fatmawati muda menjadi
pemeran utama dalam Sendratari Rainbow (Poetri Kentjana Boelan) yang dipentaskan sanggar
pertunjukan Monte Carlo.
Sendratari itu mengisahkan seorang gadis yatim piatu dari keluarga bangsawan kerajaan Sungai
Lemau yang diangkat menjadi anak oleh seorang pembesar pasukan penjajah Inggris. Dalam
sendratari itu, Fatmawati menunjukkan kebolehannya menari, khususnya tari Melayu.
Sementara, Bung Karno saat itu hadir karena menjadi pembina sanggar.
Keahliannya itu ternyata menitis pada diri dua putrinya, Rachmawati dan Megawati. Kemampuan
tari keduanya bahkan beroleh pujian dari Soekarno, sang ayah, yang menyebut tarian mereka
menggairahkan.
4. Pindah ke Kebayoran Baru
Fatmawati merupakan seorang yang anti-poligami. Prinsip itu dipegangnya kuat saat Soekarno
menikah kembali dengan Hartini. Ia memilih meninggalkan istana dan pindah ke sebuah rumah
di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Padahal, ia masih dalam penyembuhan
setelah melahirkan Guruh.
Menurut Fatmawati, praktik poligami menginjak martabatnya sebagai perempuan. Sekitar 1955,
Fatmawati memilih hidup tanpa sosok suami dan tinggal di rumah pribadinya meski status
pernikahannya belum terputus atau diceraikan.
Setelah keluar dari istana kepresidenan dan meninggalkan aturan-aturan protokoler yang kaku,
Fatmawati memilih berbaur hidup di tengah-tengah masyarakat biasa. Penduduk setempat
sering menyaksikan Ibu Negara itu naik becak dan sepeda di sekitar tempat tinggalnya. Ia pun
tetap menjalankan kegiatan-kegiatan sosial seperti sebelumnya.
5. Harapan Terakhir
Fatmawati meninggal pada 14 Mei 1980 di General Hospital Kuala Lumpur karena serangan
jantung seusai ibadah umrah di Mekah. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Sebelum meninggal, Fatmawati masih memikirkan Indonesia dalam benaknya.
Ia mengucapkan, "Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku. Saban hari aku
melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat
kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan, keberanian dan melanjutkan

perjuangan fi sabilillah. Aku berdoa untuk cita-cita seperti semula, yaitu cita-cita Indonesia
Merdeka. Jangan sampai terbang Indonesia Merdeka."
Atas pengabdiannya kepada negara, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 118/TK/2000 pada 4 November 2000 menganugerahi gelar Pahlawan Nasional
kepada Ibu Fatmawati. Nama Fatmawati juga diabadikan sebagai nama jalan dan rumah sakit.
Tak hanya itu, di Kota Bengkulu sebagai kota kelahiran Fatmawati, pemerintah setempat
mengenangnya dengan mengabadikan nama Fatmawati sebagai nama bandara yang
menggantikan nama sebelumnya bernama Bandar Udara Padang Kemiling pada 14 November
2001. Peresmian perubahan nama itu dilakukan oleh putrinya yang menjabat Presiden Republik
Indonesia, Megawati Soekarnoputri.

http://regional.liputan6.com/read/2486539/5-fakta-tentang-fatmawati-soekarnosang-merpati-dari-bengkulu

Anda mungkin juga menyukai