OLEH
DIAH AYU LARASATI
NIM 11.022
Diajukan kepada
Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program D III
bidang Farmasi
OLEH
DIAH AYU LARASATI
NIM 11.022
ABSTRAK
Larasati, Diah Ayu. 2014. Mutu Fisik Sediaan Salep Ekstrak Daun Ubi Jalar
Ungu (Ipamoea batatas L.) Sebagai Antiinflamasi. Karya Tulis Ilmiah
Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang. Pembimbing Ayu Ristamaya Y.
Amd. S.T.
Kata kunci : antosianin, ekstrak daun ubi jalar ungu, formula salep, mutu fisik.
Daun ubi jalar ungu (Ipamoea batatas L.) merupakan salah satu tanaman yang
mengandung antosisanin yang termasuk dalam golongan flavonoid. Antosianin
dapat digunakan sebagai antiinflamasi dengan mekanisme kerja menghambat
sintesis prostaglandin dari jalur COX-2 dan menghambat produksi NO. Penelitian
ini bertujun untuk mengetahui mutu fisik sediaan salep. Pengambilan antosianin
menggunakan metode maserasi dengan pelarut metanol dan asam asetat 3%
(perbandingan 2;1). Penelitian menggunakan tiga konsentrasi yaitu konsentrasi
5%, 10% dan 15%. Masing-masing sediaan diuji mutu fisiknya meliputi uji ph,
homogenitas, organoleptis, daya sebar, cycling test, kadar air, daya lekat, dan
viskositas. Dari data hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa sediaan salep yang
dibuat telah memenuhi persyaratan uji mutu fisik sediaan salep yang baik.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
yang berjudul Mutu Fisik Salep Ekstrak Daun Ubi Jalar Ungu (Ipamoea batatas
L.) Sebagai Antiinflamasi ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan Karya Tulis Ilmiah ini adalah sebagai persyaratan untuk
menyelesaikan program Diploma III di Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang.
Sehubungan dengan selesainya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Lailiyatus Syafah, S.Farm., Apt. selaku Direktur Akademi Farmasi Putra
Indonesia Malang dan dosen penguji II
2.
3.
4.
5.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN LUAR .........................................................................................
ii
iii
vi
vii
1
3
3
3
4
4
4
2.2 Antosianin.........................................................................................
2.3 Inflamasi............................................................................................
10
14
2.5 Simplisia............................................................................................
15
2.6 Ekstraksi............................................................................................
17
2.7 Ekstrak...............................................................................................
20
2.8 Salep..................................................................................................
22
24
28
29
31
32
32
33
33
33
34
35
39
39
40
46
46
46
47
LAMPIRAN ....................................................................................................
48
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel...........................................................
34
35
39
40
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Kimia Antosianin............................................................
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Bahan.......................................................................
49
50
52
53
54
55
56
58
59
60
61
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ubi jalar terbesar.
Namun, hingga saat ini pemanfaatan ubi jalar ungu hanya pada umbinya saja,
sedangkan untuk pemanfaatan daunnya masih kurang. Daun ubi jalar ungu
memiliki banyak kandungan senyawa yang berkhasiat. Salah satunya adalah
kandungan antosianin yang dapat digunaan sebagai antiinflamasi.
Antosianin yang termasuk dalam golongan flavonoid merupakan senyawa
yang banyak terdapat pada tanaman berwarna merah, biru dan ungu. Senyawa ini
termasuk anggota polifenol yang memiliki aktivitas biologis yang luas,
diantaranya adalah antioksidan, antimikroba, antikanker, membantu
perkembangan kesehatan mata, neuroprotektif, mencegah oksidasi LDL,
meningkatkan stabilitas kapiler, menghambat destruksi kolagen, meningkatkan
kadar vitamin C intraseluler, menormalkan sintesis mukopolisakarida dan sebagai
antiinflamasi (Sekarani et al.,2012).
Inflamasi yang sering disebut orang awam radang atau bengkak
merupakan suatu kerusakan jaringan atau reaksi tubuh terhadap mikroorganisme
dan benda asing yang ditandai oleh demam, bengkak dan nyeri. Pengobatan
antiinflamasi sintetis mempunyai dua tujuan utama. Pertama, meringankan rasa
nyeri yang sering merupakan gejala awal yang terlihat dan kedua, memperlambat
atau membatasi proses perusakan jaringan. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid
3
kemudian diuji mutu fisiknya, meliputi uji ph, homogenitas, organoleptis, daya sebar,
Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai khasiat ekstrak daun
Bagi institusi
2. Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar. Bahan obat harus larut dan terdispersi homogen dalam
dasar salep yang cocok.
3. Mutu fisik adalah karakeristik mutu bahan produk yang dapat dinilai melalui
beberapa pengujian seperti uji ph, homogenitas, organoleptis, daya sebar,
kadar air, daya lekat, viskositas dan cycling test.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Jalar Ungu (Ipamoea Batatas L.)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Menurut ilmu taksonomi, tanaman ubi jalar ungu dimasukkan dalam
klasifikasi tumbuhan (plantae) yang termasuk dalam subkingdom tumbuhan
berpembuluh (tracheobionta). Ubi jalar ungu merupakan tumbuhan yang dapat
menghasilkan biji (spermatophyta) dan termasuk tumbuhan berbunga
(magnoliophyta). Ubi jalar ungu masuk dalam kelas dicothyledonae, bangsa
Solanales, suku covolvulaceae, dan marga Ipamoea (Anitasari, 2012).
2.1.2 Kandungan Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar ungu merupakan bahan pangan sumber energi dalam bentuk gula
dan karbohidrat. Umbi ini mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh
tubuh, antara lain kalsium dan zat besi, vitamin A dan C (Anitasari,2012). Tidak
hanya itu, ubi jalar ungu juga mengandung zat warna yaitu pigmen antosianin
2.2 Antosianin
berwarna merah hingga biru. Pada pH < 2, antosiani berada dalam bentuk kation
(ion flavilium), tetapi pada pH yang sedikit asam, bentuk kuinonoid yang
terbentuk. Bentuk ini dioksidasi dengan cepat oleh udara dan rusak. Oleh karena
itu, pengerjaan terhadap antosianin aman dilakukan dalam larutan yang asam.
(Nuraini, 2013).
Sifat fisika dan kimia dari antosianin dilihat dari kelarutan antosianin yang
larut dalam pelarut polar seperti etanol, methanol, isopropanol, aseton atau dengan
air (aquadest), asam asetat, asam formt atau asam askorbat (Nuraini, 2013).
Antosianin stabil pada pH 3,5 dan suhu 50C, mempunyai berat molekul 207,08
gram/mol dan rumus molekul C15H11O (Anitasari, 2012). Antosianin mempunyai
panjang gelombang maksimum 515-545 nm, bergerak dengan eluen BAA
(nbutanol-asam-asetat-air) (Harborne, 1987).
Ekstrak antosianin dari tumbuhan adalah dengan menggunakan pelarut
asam asetat atau asam hidroklorida dan larutannya harus disimpan ditempat gelap
serta sebaiknya didinginkan (Nuraini, 2013). Cara yang dianjurkan untuk
mengekstrak antosianin dari tumbuhan adalah sedikit daun bunga berwarna yang
segar diekstraksi dengan cara menghancurkannya dalam tabung merujung
memakai sesedikit mungkin methanol yang mengandung HCl pekat 1%. Hasilnya
berupa ekstrak (dalam waktu 10-15 menit) yang cukup pekat untuk langsung
dikromatografi kertas. Cara lain, jaringan tumbuhan yang jumlahnya banyak dapat
dimaserasi dalam pelarut yang mengandung asam, lalu maserat disaring. Ekstrak
10
kemudian dipekatkan pada tekanan rendah dan suhhu 34-40C sampai volumenya
kira-kira seperlima ekstrak asal (Harborne, 1987).
11
12
13
2.3 Inflamasi
2.3.1 Definisi Inflamasi (Radang)
Radang merupakan respon terhadap cedera jaringan atau infeksi. Ketika
proses radang berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan elemen darah,
sel darah putih (leukosit) dan mediator kimia berkumpul pada tempat jaringan
yang cedera atau infeksi. Proses radang merupakan suatu mekanisme
perlindungan dimana tubuh berusaha menetralisir dan membasmi agen-agen yang
berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk
perbaikan jaringan. (Lumbanraja, 2009)
Meskipun ada hubungan antara radang dan infeksi, istilah-istilah ini tidak
boleh dianggap sama. Infeksi disebabkan oleh mikroorganisme dan menyebabkan
radang, dan tidak semua radang disebabkan infeksi.
Inflamasi ini dapat mengakibatkan menginaktivasi atau merusak
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda.
Namun, kadangkadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak
berbahaya seperti tepung sari, atau suatu respon imun, seperti asma dan artritis
rematoid (Mycek, 2001).
Inflamasi (radang) dibagi dalam 3 fase yaitu:
1. Inflamasi akut, merupakan respon awal terhadap cedera jaringan. Hal tersebut
melalui mediator respon inflamasi akut yang terlibat antara lain: histamin,
14
15
Lima ciri khas dari radang dikenal sebagai tanda-tanda utama radang
adalah kemerahan (rubor), panas (kalor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor)
dan penggunaan fungsi (functio laesa).
1. Rubor (Kemerahan)
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka
arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar,dengan demikian lebih banyak
darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang
sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh
dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Sylvia dan Lorraine,
1994).
2. Kalor (Panas)
Kalor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan akut. Sebenarnya, panas merupakan sifat reaksi peradangan yang
hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin
dari 37C, yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih
panas dari sekelilingnya, sebab darah yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah
yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah normal (Sylvi dan
Lorraine, 1994).
16
3. Dolor (Sakit)
Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu
seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu,
pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal
yang tanpa diragukan lagidapat menimbulkan rasa sakit (Sylvi dan Lorraine,
1994).
4. Tumor (Pembengkakan)
Segi paling menyolok dari peradangan akut adalah pembengkakan lokal
(tumor). Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial. Campuran dari cairan dan sel yang
tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi reaksi
peradangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan
yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih, atau
leukosit meninggalkan aliran darah, dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat
(Sylvi dan Lorraine, 1994).
5. Functio laesa (Perubahan Fungsi)
Functio laesa atau perubahan fungsi adalah reaksi peradangan yang telah
dikenal sepintas, lalu mudah dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri
disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal,
berfungsi secara abnormal. Namun, sebetulnya kita tidak mengetahui secara
17
mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang tersebut terganggu
(Sylvi dan Lorraine, 1994).
18
19
20
berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan ketiganya.
Simpisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni (minyak ikan
atau oleum lecoris asselli, dan madu atau mel depuratum). Sedangkan simplisia
mineral atau pelikan adalah simplisia berupa bahhan pelican atau mineral yang
belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan
kimia murni (serbuk seng dan serbuk tembaga) (Farmakope Indonesia Edisi IV,
1995).
2.5.2 Proses Pembuatan Simplisia
Pada dasarnya proses pembuatan simplisia terbagi menjadi beberapa
tahapan, yaitu mulai dari tahap pengumpulan bahan, sortasi basah, pencucian,
perajangan, pengerinagn, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan, serta
pemeriksaan mutu. Pada tahap pengumpulan bahan yang perlu diperhhatikan
adalah umur tanaman atau bagian tanaman pada waktu panen, dan lingkunagn
tempat tumbuh. Pengumpulan bahan dari masing-masing bagian tanaman berbeda,
terhgantung zat berkhasiat yang terdapat dalam tanaman. Untuk bagian bunga
baik itu berupa kuncup atau bunga mear, mahkota bunga atau daun bunga, dipetik
dengan tangan (Agoes, 2007).
Sortasi basah dilakukan setelah selesai panen dengan tujuan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dengan
yang muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Sedangkan
tujuan tahapan pencucian dilakukan untuk menghilangkan tnahh dan kotoran
21
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Sebaiknya air yang digunakan adala
air yang mengalir dan sumbernya dari air bersih seperti air PAM, air sumur atau
mata air (Agoes, 2007).
Tahapan selanjutnya yang dilakukan dalam proses pembuatan simplisia
adalah perajangan. Perajangan tidak harus selalu dilakukan. Pada dasarnya proses
ini untuk mempermudah proses pengeringan. Jika ukuran tanaman atau bagian
tanaman yang digunakan cukup kecil atau tipis, maka proses ini dapat diabaikan.
Tahap pengeringan dilakukan agar memperoleh simplisia yang tidakmudah rusak,
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Penegeringan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami dan buatan. Pengeringan alami
dapat dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari baik secara langsung
maupun ditutupi dengan kain hitam. Sedangkan pengeringan secara buatan
dilakukan dengan oven (Agoes, 2007).
Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan asing seperti
bagian tanaman yang tidk diinginkan dan kotoran lain yang masih ada dan
tertinggal di simplisia kering. Tahapan akhir dari pembuatan simplisia adalah
pengepakan dan penyimpanan (Agoes, 2007).
2.6 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisahh dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair (Depkes
RI,2000). Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat
dalam tanaman. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat
22
padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar mua,
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Nuraini, 2013).
2.6.1 Jenis Ekstraksi secara Dingin
1. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat
aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke
luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lainlain. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air etanol atau
pelarut lain. Bila cairan penyari diguanakan air maka untuk mencegahh timbulnya
kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian
(Depkes RI, 1986).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara
maserasi adalah penegrjaannya lama dan penyaringannya kurang sempurna.
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bgian simplisia dengan
23
derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan
75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama lima hari sari diserkai,
sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Beana ditutup, dibiarkan
ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama dua hari. Kemudian endapan
dipisahkan (Depkes RI, 1986)
Pada penyarian dengn cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan.
Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk
simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat
perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan di
luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu
tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak
diperlukan tetapi ikut terlarut dalam caian penyari seperti malam dan lain-lain.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakuakn dengan mengalirkan
cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Proses perkolasi
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes RI, 1986). Keuntungan metode ini adalahh
tidak memerlukan langkah tambahan memisahkan residu dari ekstrak karena
residu telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat
tidak merata atau terbatas.
2.6.2 Jenis Ekstraksi Secara Panas
24
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan
adanya pending balik (Depkes RI, 2000). Keuntungan dari metode ini yaitu dapat
mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan
pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut
yang besar.
2. Soxhletasi
Soxhletasi adalah penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam
klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini yaitu dapat digunakan untuk sampel
dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhhadap pemanasan secara langsung,
karena pemanasannya dapat diatur. Kerugian dari metode ini adalah pelarut didaur
ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah disebelah bawah terus-menerus
dipanaskan sehhingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas, hanya
digunakan untuk ekstraksi senyawa yang tahan panas (Nuraini, 2013).
3. Infundasi
Infundasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia
dengan air pada suhu 90C selama 15 menit. Infundasi adalah proses penyaringan
yang umumnya digunakan untuk mencari zat kandungan aktif yang arut dalam air
25
dari bahan-bahan nabati. Pencarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak
stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang
diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI,
1986).
4. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature 90C selama
30 menit. Penguapan ekstrak larutan dilakukan dengan penguap berpusing dengan
pengurangan tekanan, yaitu rotary evaporator sehingga diperolehh ekstrak yang
kental (Harborne, 1987).
2.7 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hhewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang
tersisa digunakan sebagai bahan baku (Farmakope Indonesia edisi IV, 1995).
2.7.1 Jenis-jenis Ekstrak
1. Ekstrak air
Merupakan hasil ekstrak yang diperoleh dengan cara menggunakan air
sebagai cairan pengekstraksi.
2. Tinktura
Sediaan cair yang dibuat dengan cara maserasi atau perkolasi simplisia.
3. Ekstrak cair
26
27
8. Oleoresin
Merupakan sediaan yang dibuat dengan cara ekstraksi bahan oleoresin
dengan pelarut yang sama.
2.8 Salep
Salep (unguents) adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
dihgunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut dan terdispersi homogen
dalam dasar salep yang cocok (Depkes RI, 1979).
2.8.1 Penggolongan Salep
Penggolongan salep Berdasarkan efek terapi menurut Moh.Anief (1997)
terdiri dari :
1. Salep epidermis
Berguna untuk melindungi kulit, menghasilkan efek, tidak diabsorpsi,
kadang-kadang ditambahkan antiseptik, astringensi untuk meredakan
rangsangan/anestesi local.dasar salep yang baik dasar hidrokarbon
2. Salep endodermis
Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam kulit, tetapi tidak melalui
kulit, terabsorpsi sebagian, digunakan untuk melunakkan kulit / selaput lendir.
Dasar salep yang baik adalah minyak lemak.
3. Salep diadermis
Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam tubuh melalui kulit dan
mencapai efek yang diinginkan, misalnya salep yang mengandung senyawa
merkuri, iodide beladona.
28
29
30
berlemak, keculi dalam jumlah kecil. Tetapi dasar salep yang dapat menyerap air
atau hidrofilik akan lebih sesuai dengan absorpsi atau pencampuran dari larutan
berair.
Pada metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep
dicampurkan dengan melebur bersama dan didinginkan dengan pengadukan yang
konstan sampai mengental. Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya
ditambahkan pada campuran yang sedang mengental setelah didinginkan dan
diaduk. Tentu saja bahan-bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir bila
temperature dari campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan penguraian
atau penguapan dari komponen. Banyak bahan-bahan yang telah ditambahkan
pada campuran yang membeku dalam bentu larutan, yang lain penambahan
sebagai serbuk yang tidak larut,biasanya digerus dengan sebagian dasar salep.
Dalam skala kecil proses peleburan dapat dilakukan pada cawan porselen atau
gelas beaker; pada skala besar umumnya dilaksanakan dalam ketel uap berjaket.
Sesaat setelah membeku, salep dimasukkan ke dalam gilingan salep (dalam pabrik
skala besar) atau digosok-gosokkan dengan spatula atau lumpang (skala kecil)
untuk memastikan homogenitasnya.rti etanol-etil asetat (Agoes, 2007)
31
1. Uji organoleptis
Uji organoleptis bertujuan untuk mengetahui perubahan fase salep. Uji
organoleptis dilakukan dengan melihat warna dan bentuk sediaan saat baru dibuat.
Rasa pada jari halus yang artinya semua bahan sudah homogen. Disimpan salep
selama 1 minggu. Jika terjadi perubahan fase atau berbau tengik pada salep
selama 1 minggu berarti salep tidak lulus uji organoleptis
2. Uji pH
Uji pH bertujuan untuk mengamati pH salep yang berhubungan dengan
stabilitas zat aktif, efektifitas pengawet, keadaan kulit. pH sediaan salep yang baik
harus sesuai dengan pH fisiologis kulit normal, yaitu antara 4,5-7,0.
3. Uji homogenitas
Untuk mengetahui distribusi partikel atau granul dari uji salep yang
dilakukan hasilnya homogen. Hal ini mengartikan bahwa partikel dari salep
tersebut telah terdistribusi dengan baik atau merata. Jika dioleskan pada sekeping
kaca atau bahan transparan lain harus menunjukkan susunan yang homogeny
(Depkes RI, 1979).
4. Uji daya sebar
Uji daya sebar dialakukan untuk mengetahui luas atau penyebaran sediaan.
Uji daya sebar berhubungan dengan viskositas sediaan.
32
Uji daya lekat dilakukan dengan cara meletakkan salep diatas objek gelas
yang telah ditentukan luasnya. Diletakkan objek gelas lain di atas salep tersebut.
Kemudian ditekan dengan beban 1 kg selama 5 menit. Objek gelas dipasang pada
alat tes dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah dan dilepaskan beban
seberat 80 gram. Dicatat waktu yang diperlukan hhingga objek gelas tersebut
lepas. Waktu yang diperlukan hingga objek gelas terlepas tidak kurang dari 60
detik (Anonim, 2013)
6. Uji kadar air
Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang penting dalam sediaan
semi solid, seperti salep karena air dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme dan tekstur dari sediaan salep. Kadar air yang tinggi
menyebabkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak,
sehingga akan terjadi perubahan pada suatu sediaan.
7. Uji viskositas
Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui konsistensi produk dan dimana
konsistensinya berkaitan dengan daya alir salep sehingga krim mudah dikeluarkan
dari tube dan mudah untuk dioleskan serta untuk pengamatan terhadap perubahan
yang terjadi berkaitan dengan stabilitas produk (Anitasari,2012)
8. Uji cycling test
Uji ini dilakukan dengan cara campel salep disimpan pada suhu 4C
selama 24 jam lalu dipindahkan ke dalam oven bersuhu 40-45C selama 24 jam,
kemudian diamati terjadinya pemisahan fase.
33
34
35
pembuatan serta bahannya, selain itu salep juga terpenetrasi ke dalam kulit lebih
baik dibandingkan krem.
Salep ekstrak daun ubi jalar ungu yang akan dibuat merupakan salep serap
dan lengket di kulit yang nantinya diharapkan mampu bertahan lama pada kulit
untuk mendapatkan efek terapi yang maksimal. Oleh karena itu, dalam
pembuatannya digunakan basis salep adeps lanae yang merupakan dasar salep
minyak lemak yang cocok untuk salep serap sehingga dapat bercampur dengan
ekstrak dan vaselin album yang merupakan basis salep hidrokarbon (sukar dicuci
dengan air) sehingga dapat memberikan efek terapi yang lama.
Setelah sediaan salep ekstrak daun ubi jalar ungu terbentuk, dilakukan
pengujian mutu fisik untuk mengetahui kestabilannya. Pengujian mutu fisiknya
meliputi uji pH, homogenitas, organoleptis, daya sebar, viskositas, kadar air, daya
lekat dan cycling test. Uji pH dilakukan untuk melihat aman tidaknya sediaan
salep saat digunakan pada kulit yaitu antara 4,5 6,5. pH sediaan yang terlalu
asam atau terlalu basa dapat menyebabkan kulit iritasi, kering atau bersisik.
Organoleptik untuk menunjukkan fisik salep yang dihasilkan yaitu meliputi
bentuk, warna, dan bau. Homogenitas dilakukan untuk melihat apakah bahanbahan pada sediaan yang dihasilkan sudah tercampur merata. Uji daya sebar
dilakukan untuk mengetahui pemerataan zat aktif sediaan salep pada kulit. Uji
viskositas dilakukan untuk mengetahui kekentalan sediaan salep sehingga mudah
dikeluarkan dari tube dan memudahkan pengaplikasian pada kulit. Uji daya lekat
dilakukan untuk mengetahui seberapa lekat salep saat dioleskan pada kulit. Uji
36
kadar air dilakukan untuk mengetahui banyak hidrat atau air yang terkadung
dalam sediaan salep, karena apabila kadar air dalam salep terlalu banyak, maka
sediaan tersebut akan sanhgat mudah ditumbuhi mikroba. Uji
cycling test
dilakukan untuk mengetahui pemisahan fase minyak dengan fase air pada sediaan
salep.
2.12
Hipotesis
Sediaan salep ekstrak daun ubi jalar ungu memiliki mutu fisik yang baik.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
33
34
Alat :
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserator,
35
Subvariabel
Organoleptik
Ph
Daya sebar
Homogenitas
Mutu fisik
Viskositas
Daya lekat
Cycling test
Definisi
Keadaan fisik
salep yang
meliputi bentuk,
warna dan bau
Alat ukur
Visual
Parameter yang
menunjukan
sifat asam atau
basa sediaan
salep
Parameter yang
dilakukan untuk
mengetahui
daya sebar salep
saat dioleskan
Pengujian untuk
mengetahui
tercampurnya
bahan-bahan
yang digunakan
dalam formula
secara merata
pH indikator
Parameter untuk
mengetahui
daya lekat
sediaan salep
Banyak hidrat
atau air yang
terkandung
Parameter yang
dilakukan untuk
mengamati ada
atau tidak
pemisahan fase
minyak dan fase
air sediaan salep
Hasil ukur
Sediaan salep
bentuk setengah
padat, memiliki
bau khas (tidak
tengik)
pH salep
disesuaikan
dengan pH kulit
antara 4,5 6,5
Kaca preparat
Visual
Homogen
salep dioles
lempeng
menunjukan
yang merata
Viskometer
brookfield
2000-5000 cP
Kaca preparat
dan alat test
beban
Waktu pelepasan
dari objek glass
Neraca
Tidak banyak
mengandung air
Lemari
pendingin dan
oven
bila
pada
kaca
hasil
36
Tahap Persiapan
Tabel 3.2 Formulasi Salep Ekstrak Daun Ubi Jalar Ungu
Bahan
Ekstrak
Adeps lanae
Vaselin album
Formula (g)
5%
0,5
1
Sampai 10
10%
1
1
Sampai 10
15%
1,5
1
Sampai 10
perbandingan 2:1)
5. Dimaserasi selama lima hari didalam botol coklat yang ditutup dengan
aluminium foil dan terlindung dari cahaya, dengan sesekali diaduk.
6. Hasil maserat yang telah didapat disaring dengan menggunakan corong
Buchner
7. Ampas ditambah sisa cairan penyari sebanyak 50 ml (terdiri dari campuran
metanol dan asam asetat 3% dengan perbandingan 2:1), diaduk dan diserkai
8. Ekstrak yang dihasilkan diuapkan di waterbath dengan suhu rendah.
3.6.3 Pembuatan Salep
37
38
39
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan
Coklat tua
Khas
Kental dan lengket
4.1.2 Hasil Uji Mutu Fisik Salep Ekstrak Daun Ubi Jalar Ungu
Hasil pengamatan uji mutu fisik salep ekstrak daun ubi jalar ungu yang
meliputi uji pH, homogenitas, organoleptis, daya sebar, viskositas, daya lekat,
kadar air dan cycling test dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.
41
Konsentrasi
5%
10%
15%
Khas
Coklat muda
Kental
Homogen
6
5 cm
2000 cp
4,43 menit
0,36 %
Tidak terjadi
pemisahan fase
Khas
Coklat
Kental
Homogen
6
5 cm
2600 cp
5,15 menit
0,38 %
Tidak terjadi
pemisahan fase
Khas
Coklat tua
Kental
Homogen
6
5 cm
4000 cp
11,15 menit
0,52 %
Tidak terjadi
pemisahan fase
4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini bahan uji yang digunakan adalah ekstrak daun ubi jalar
ungu. Daun ubi jalar ungu terbukti dapat diguanakan sebagai antiinflamasi karena
memiliki kandungan antosianin yang termasuk dalam golongan flavonoid.
Antosianin memiliki kemampuan untuk menghambat sintesis prostaglandin dan
menghambat produksi NO. NO dapat mengaktivasi COX-1 dan COX-2 sehingga
menghasilkan sintesis prostaglandin. Dengan dihambatnya NO maka diduga
pembentukan prostaglandin juga akan terhambat sehingga dapat mengurangi
udem.
Daun ubi jalar ungu yang digunakan diekstraksi menggunakan metode
maserasi dengan pelarut polar yaitu metanol dan asam asetat 3%. Penggunaan
metode maserasi karena antosianin yang terkandung pada daun ubi jalar ungu
42
tidak tahan pemanasan serta cara ini merupakan cara ekstraksi yang paling
sederhana.
Sebelum proses ekstraksi, dilakukan pembuatan simplisia dengan cara
daun ubi jalar ungu yang sudah bersih di oven pada suhu rendah yaitu 47oC
selama 2 hari kemudian dihaluskan menggunakan blender. Tahap selanjutnya
yaitu proses maserasi dengan cara merendam simplisia selama lima hari
menggunakan botol coklat dan terhindar dari cahaya, serta sesekali diaduk.
Penggunaan botol coklat dan terhindar dari cahaya bertujuan untuk melindungi zat
aktif yang telah tersari dari kemungkinan terjadinya oksidasi. Hasil maserasi yang
telah didapat kemudian disaring menggunakan penyaring Buchner agar cairan
yang didapat lebih banyak dan lebih optimal. Setelah disaring, dilakukan proses
penguapan untuk mendapatkan ekstrak kental. Proses penguapan dilakukan
menggunakan waterbath dengan suhu 49oC.
Ekstrak kental yang telah didapat diformulasikan dalam bentuk sediaan
salep dengan tiga konsentrasi yaitu 5%, 10% dan 15%. Salep yang dibuat
menggunakan basis adeps lanae dan vaselin album. Penggunaan adeps lanae
karena adeps lanae merupakan basis salep serap yang dapat menyerap air pada
bahan aktif sehingga bahan aktif atau ekstrak dapat bercampur. Sedangkan
penggunaan vaselin album karena vaselin album merupakan basis salep
hidrokarbon yang sukar dicuci air bsehingga mampu bertahan lama dikulit dan
dapat memberikan efek terapi yang maksimal.
43
44
parameter mutu fisik salep yang baik yaitu sediaan salep harus homogen dan
bebas dari partikel asing.
Uji daya sebar salep dilakukan untuk menhgetahui kemampuan salep
menyebar pada permukaan kulit ketika diaplikasikan. Kemampuan penyebaran
salep yang baik akan memberikan kemudahan penhgaplikasian pada permukaan
kulit. Selain itu, penyebaran zat aktif pada kulit lebih merata sehingga efek yang
ditimbulkan zat aktif menjadi lebih optimal. Hasil pengujian daya sebar dari
ketiga konsentrasi salep yaitu 5cm. Hal tersebut berarti bahwa sediaan salep
ekstrak daun ubi jalar ungu dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% telah
memenuhi persyaratan daya sebar sediaan topikal yang baik yaitu sekitar 5-7 cm.
Viskositas sediaan salep menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan
karena berkaitan dengan kenyamanan penggunaan. Salep harus mudah dioleskan
dan dapat menempel pada kulit. Salep tidak boleh terlalu keras atau terlalu encer.
Pada hasil pengujian visositas salep menggunakan viscometer brokfield dengan
spindle nomor 2, didapat hasil salep dengan konsentrasi yang semakin tinggi
semakin tinggi pula viskositasnya, konsentrasi salep 5% yaitu 2000 cp,
konsentrasi 10% 2600 cp, dan konsentrasi 15% yaitu 4000 cp. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sediaan salep telah memenuhi persyaratan yang ada yaitu
2000-5000 cp. Viskositas saling berhubungan dengan daya sebar sediaan karena
selain untuk kenyamanan penggunaan juga karena pelepasan zat aktif akan lebih
merata jika sediaan memiliki daya sebar yang baik dan viskositas yang baik.
45
46
lengket dan sukar dicuci dengan air agar dapat memberikan efek terapi yang baik.
Kandungan air yang terlalu banyak pada sediaan salep juga dapat dengan cepat
ditumbuhi mikroba karena air merupakan media yang paling baik untuk
pertumbuhan mikroba.
Tujuan uji cycling test adalah sebagai simulasi adanya perubahan suhu
setiap tahun bahkan setiap harinya. Oleh karena itu, pada uji ini dilkaukan pada
suhu atau kelembaban pada interval waktu tertentu sehingga produk tersebut akan
mengalami stress. Pada pengujian cyclinhg test yang dilakukan secara visual
tersebut, didapat hasil bahwa dari ketiga konsentrasi salep tidak terjadi perubahan
fase. Hal tersebut terjadi karena ekstrak dun ubi jalar ungu dapat bercampur
sempurna dengan basisnya, sehingga dapat dikatakan sediaan salep tersebut stabil
dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.
46
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mutu fisik yang meliputi uji ph, homogenitas,
organoleptis dan daya sebar, viskositas, daya lekat, kadar air, dan cycling test
dapat disimpulkan bahwa salep ekstrak daun ubi jalar ungu telah memenuhi
persyaratan mutu fisik sediaan salep yang baik.
5.2 Saran
1. Diharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan dengan mengisolasi senyawa
antosianin untuk mendapatkan efek yang maksimal.
2. Sebaiknya saat penguapan ekstrak dilakukan menggunakan evavorator untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Agoes, Goeswin. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung: Penerbit ITB.
Anitasari, Wahyu Dewi. 2012. Stabilitas Antosianin Ubi Jalar Ungu (Ipamoea
batatas Lamk) Sebagai Zat Warna Dalam Formulasi Cat Kuku. Karya
Tulis Ilmiah tidak di terbitkan. Malang: Akademi Farmasi Putra Indonesia
Malang.
Anonim. 2002. Petunjuk Praktikum Farmakologi Dasar. Semarang: Fakultas
Farmasi Wahid Hasyim Semarang.
Anonim. 2013. Seminar Internasional. Makasar: UNHAS
47
Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Jakarta: Widya
Medika.
Republuk Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan .2006. Monografi
Ekstrak Tumnbuhan Obat Indonesia.
Sylvia, P.A, dan Lorraine M.W. 1994. Fisiologi proses-proses penyakit.
Penerjemah : peter anugerah. Edisi 4. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
48
Voight, Rudolf. Tanpa tahun. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi Kelima.
Terjemahan oleh Soendani Noerono Soewandhi. 1995. Yogyakarta:
GajahMada University Press.
49
51
4,9549 g4,9367 g
x 100
4,9549 g
= 0,36 %
b. Konsentrasi 10%
Cawan kosong
: 22,2803 g
Cawan + zat
: 26,8568 g
Cawan + zat kering
: 26,8394 g
- Bobot awal
= 26,8568 g 22,2803 g = 4,5765 g
- Bobot akhir
= 26,8394 g 22,2803 g = 4,5591 g
bobot awalbobot akhir
x 100
- kadar air =
bobot awal
4,5765 g4,5591 g
x 100
4,5765 g
= 0,38 %
c. Konsentrasi 10%
Cawan kosong
: 55,6072 g
Cawan + zat
: 60,3997 g
Cawan + zat kering
: 60,3747 g
- Bobot awal
= 60,3997 g 55,6072 g = 4,7925 g
- Bobot akhir
= 60,3747 g 55,6072 g = 4,7675 g
bobot awalbobot akhir
x 100
- kadar air =
bobot awal
52
4,7925 g4,7675 g
x 100
4,7925 g
= 0,52 %
d.
53
54
55
Salep dosis
15%
56
57
58
Konsetrasi 10%
59
Konsentrasi 15%
60
61
62
Konsentrasi 5%
Konsentrasi 10%
Konsentrasi 15%