Anda di halaman 1dari 16

A.

DEFINISI
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang

cenderung

menginfiltrasi

jaringan

sekitarnya

dan

menimbulkan

metastasis.

(DORLAND.2002).
Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di
Cina bagian selatan (DORLAND.2002).
B.

ETIOLOGI

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :


1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa
rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius
dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan
jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan
sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa
deengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara
tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau polipoid
jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil.
Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai
adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis
ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga
nasofaring. Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh

kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik


berupa limfasarkoma.
C.

GEJALA KARSINOMA NASOFARING

Gejala nasofaring yang pokok adalah :


1. Nasal sign :
Pilek lama yang tidak sembuh
Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Ear sign :
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi,
karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan
dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.
Gangguan pendengaran hantaran
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Eye sign :
Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV

dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita. Gejala ini berupa :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX,
N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum

o Faring atau laring


o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus
D.

PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid

icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di
daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara
saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara
berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).
Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21
dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai
dari masuknya EBV

ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan

limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun
demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam
sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan
yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus
mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat
terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas
sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam

mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan


LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat
siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C).
Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen
HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin
dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin
merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan
perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan
yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara
mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
E.

DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari
mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan
xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan

dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah
nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa
tumor akan terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell


Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang

dan buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa

tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.


Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe
ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya

batas sel tidak terlihat dengan jelas.


Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu
radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan
oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat
dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor

pada daerah nasofaring


Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerha nasofaring


Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi
polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan
bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan
tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan
pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan
sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam
mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto
polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas
pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahanperubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor
nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai
pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada
tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41

pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA
VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai
1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi
spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai
1280 dan terbanyak 160.
F.

STADIUM

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan
N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang
sudah

melekat pada jaringan sekitar.


M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh


M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I

: T1 N0 M0

Stadium II

: T2 N0 M0

Stadium III

: T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IV

: T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat,
tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
dindinglateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau
keduanya).
G.

KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang
memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu


nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran
listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing
dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N.
IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior


serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai


gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese


palatum mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa


penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati
10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.

H.

PENATALAKSANAAN

1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal
(Co60) atau dengan akselerator linier (linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan
pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran
getah bening leher atas, bawah serta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap
dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar.
Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga
nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor
primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya.
Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna
maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi
yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit
mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT (Intersified Modulated Radiotion Therapy)
telah digunakan dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose
Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat paa
khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel
menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan
menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium
profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah
nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring
sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah.
Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga
hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada
penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi
harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang

untuk menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas
ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada
penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai
dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000
rad.
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer
di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
-

Xerostomia - Mual-muntah
Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa)
kadang diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan

palatum
Anoreksi
Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar

parotis yang terkena radiasi)


Eritema

b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
-

Kontraktur
Penurunan pendengaran
Gangguan pertumbuhan

2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
-

kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.

pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi
mendahului pembedahan dan radiasi)
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan
atau radiasi )
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah
anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan
kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum
tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.

Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih
lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah
satu efek samping pemberian kemoterapi.
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.
Manfaat Kemoradioterapi adalah
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan
hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel
hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen.
Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel
hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah
sempat terpapar radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping
itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik
seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV
dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response )

sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa
radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation).
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap
radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah
resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery
DNA pada sel kanker yang sublethal.
Kelemahan Kemoradioterapi
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi
tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk
meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika
yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate
15%-47%.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu
pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

Anda mungkin juga menyukai