Anda di halaman 1dari 13

Laporan Individu

Rabu, 2 Mei 2016

LAPORAN TUTORIAL MODUL II


MODUL KEPUTIHAN
BLOK REPRODUKSI

Disusun Oleh :
Nama

: Dwi Indah Chandrasari

Stambuk

: 14 777 039

Tutor

: dr. Moh. Ali Palandro

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2016

BAB I
I.

SKENARIO 1
Wanita, 33 tahun, PIIA0, datang ke poliklinik dengan keluhan keputihan
yang berbau dan banyak. Menurut pasien, bau ini makin bertambah terutama
setelah berhubungan seksual dengan suami.

II.

KATA SULIT
1. PIIA0 : sudah mengalami partus 2 kali dan tidak pernah abortus
2. Keputihan adalah cairan yang keluar dari alat genetalia wanita yang
normalnya tidak berbau, tdk berwarna dan tdk gatal

III.

KATA KUNCI
1. Wanita 33 tahun
2. Riwayat PllA0
3. Keputihan yang berbau dan banyak
4. Bau bertambah setelah berhubungan seksual

IV.

PERTANYAAN
1. Jelaskan keputihan secara fisiologis dan patologis !
2. Apakah etiologi dari keputihan ?
3. Jelaskan anatomi dan fisiologi sistem genetalia wanita !
4. Bagaimana langkah-langkah penegakan diagnosis ?
5. Mengapa bau bertambah setelah berhubungan seksual ?
6. Apakah faktor resiko dari keputihan ?
7. Bagaimanakah pencegahan dari keputihan ?
8. DD

V.

JAWABAN
1. Keputihan secara fisiologis dan patologis
A. Keputihan Fisiologi
Ciri-cirinya :
Biasanya jernih / putih
Tidak gatal
Tidak mewarnai pakaian dalam
Tidak berbau dan
Terdiri atas cairan yang kadang kadang berupa mukus yang
mengandung banyak epitel dengan leukosit jarang5
B. Keputihan Patologis
Terjadi peningkatan volume (khususnya jika membasahi pakaian),
terdapat bau yang khas, perubahan konsisten maupun perubahan
warna. Dan penyebab utama adalah infeksi
Ciri-cirinya :
Pada cairan banyak mengandung leukosit
Warna agak kekuning-kuningan sampai hijau
Kental, berbau
Dan gatal
2. Etiologi Keputihan
A. Penyebab Non Patologis :
Saat menjelang Menstruasi, atau setelah Menstruasi
Rangsangan Seksual, saat wanita hamil
Stress, baik fisik maupun psikologis
B. Penyebab Patologis :
Infeksi Jamur (kebanyakan jamur Candida albicans)

Infeksi bakteri (kuman E. coli, Sthaphylococcos)


Infeksi Parasit jenis Protozoa (umumnya Trichomonas vaginalis)
Penyebab lain bisa karena infeksi Gonorhoe (GO / Kencing
nanah), Bisa pula karena sakit yang lama, kurang gizi, anemia, dan
faktor hyegiene (kebersihan). Hal lain yang juga dapat menyebabkan
keputihan antara lain: pemakaian celana dalam terlalu ketat, alat
kontrasepsi, rambut yang tak sengaja masuk ke vagina, pemakaian
antibiotika yang terlalu lama dan lain-lain.
3. Anatomi dan fisiologi organ genatalia wanita
Gambar 1:
Anatomi

Vagina

dan Uterus
A. Vagina
Secara

anatomis

vagina

memiliki 3 lapisan yakni lapisan


mukosa, muskularis dan adventisia.
Mukosa pada vagina berikatan kuat
dengan lapisan muskularis. Di
lapisan epithelial mukosa terdapat
2 lipatan utama longitudinal. Salah satunya di anterior sedangkan sisanya
di posterior. Masing-masing lipatan ini membentuk lipatan-lipatan yang
lebih kecil yang meluas secara transversal pada vagina dengan kedalaman
lipatan yang berbeda-beda. Lipatan-liptaan ini berkembang baik ketika
seorang wanita belum pernah melahirkan.
Secara histologis, epitel yang terdapat pada vagina adalah epitel
squamosa tidak bertanduk. Setelah masa pubertas, epitel pada vagina
mengalami penebalan dan kaya akan glikogen. Tidak seperti mamalia lain,
epitel vagina pada manusia tidak mengalami perubahan secara signifikan
selama siklus menstruasi. Tapi yang mengalami perubahan hanyalah kadar

glikogen yang meningkat pada masa setelah ovulasi dan berkurang pada
saat akhir masa siklus.
Produksi glikogen pada epitel vagina dipengaruhi oleh estrogen.
Hormon ini menstimulasi epitel vagina sehingga dapat memproduksi dan
menyimpan glikogen dalam jumlah yang besar, yang kemudian dilepaskan
pada lumen vagina untuk membasahi daerah sekitarnya. Secara alami,
flora normal vagina akan memetabolisme glikogen membentuk asam laktat
yang bertanggung jawab dalam merendahkan suasana pH vagina, terutama
saat pertengahan siklus menstruasi. Suasana asam ini sangat berperan
dalam mencegah invasi bakteri patologis.

B. Cervix Uterus
Cervix uterus merupakan bagian yang menghubungkan vagina dengan
tuba tuerina melalui ostium external canalis cervicalis yang dilapisi oleh
membran mucosa yang disebut endocervix. Bagian ini mengandung mucus
yang disekresikan oleh kelenjar tubular yang dilapisi oleh epitel kolumner
dan dipenuhi oleh sel silia.
Aktivitas sekresi kelenjar pada endocervix diregulasi oleh estrogen
dan mencapai jumlah maximal pada masa ovulasi. Fungsi sekret
endocervicalis adalah memberi lubrikasi selama hubungan seksual terjadi
dan berperan sebagai sawar yang melindungi dari invasi bakteri.
Selama ovulasi, mukus pada cervix menjadi lebih encer, berair dan
pHnya lebih alkali disbanding sebelumnya, kondisi ini dibuat sedemikian
rupa agar dapat mendukung migrasi sperma. Selain itu terjadi pula
peningkatan jumlah ion dalam mukus sehingga terbentuk kristal kristal
yang menyerupai pakis. Secara klinis, hal ini dapat digunakan sebagai
pendeteksi saat yang tepat untuk melakukan fertilisasi.Setelah masa
ovulasi, mukus cervix menjadi lebih kental dan asam.
Ada sejumlah flora normal pada vagina dan cervix, namun yang
paling sering ditemui adalah Lactobacillus acidophilus. Bakteri ini mampu

memproduksi asam laktat dengan jalan memecahkan glikogen yang


berasal dari sekret vagina dan cervix. Asam laktat ini membentuk
semacam lapisan asam (pH 3,0), yang dapat mencegah proliferasi bakteri
patologis. Jadi secara umum, keputihan merupakan hal yang fisiologis.
Namun kondisinya dapat berubah menjadi patologis ketika jumlah bakteri
yang menginvasi traktus genitalia meningkat ataupun karena penurunan
daya tahan tubuh pejamu.
4. Langkah- Langkah Diagnosis
Anamnesis
Beberapa anamnesis tambahan yang dapat diberikan pada pasien
ini untuk dapat menegakkan diagnosis antara lain:
a. Onset: untuk mengetahui sejak kapan gejala seperti ini dialami
dan apakah ini merupakan gejala berulang atau pertama kalinya.
b. Warna dan konsistensi: hal ini sangat penting ditanyakan sebab
warna sekret dan konsistensi dapat menjadi petunjuk patogen
penyebab timbulnya gejala. Namun untuk memastikannya harus
dilakukan pemeriksaan sekret vagina.
c. Gejala lain: Keputihan patologis biasanya selain ditandai bau
amis, ada juga sejumlah gejala lain yang menyertai seperti rasa
gatal pada daerah trigonum genitalia. Gejala lain yang perlu
ditanyakan adalah ada tidaknya rasa panas pada saat buang air
kecil dan nyeri abdomen. Hal ini untuk memastikan apakah
penyebaran penyakit telah mencapai organ urinarius atau viseral.
Selain itu perlu juga ditanyakan apakah pada sekret vagina
terdapat nanah ataupun darah.
d. Siklus haid: pada umumnya sekret vagina mengalami peningkatan
pada saat ovulasi dan akhir masa menstruasi sehingga penting
ditanyakan pada pasien apakah saat ini dia sedang haid atau tidak,
dan apakah siklus haidnya teratur.

e. Aktivitas seksual: pertanyaan yang menyangkut hal ini cukup


sensitif namun harus ditanyakan karena banyak penyakit kelamin
menular melalui aktivitas seksual yang tidak sehat.
f. Perilaku menjaga kebersihan organ genitalia: sangat penting
menanyakan perilaku higienitas pasien sebab salah satu faktor
yang dapat memicu meningkatnya penyakit kelamin adalah
ketidaktepatan saat membersihkan organ genitalia.
g. Riwayat penyakit sebelumnya dan penggunaan obat antibiotik.
Pemeriksaan fisis
Inspeksi : kekentalan, bau dan warna leukore
Warna kuning kehijauan berbusa : parasit ( trichomonas)
Warna kuning, kental : GO
Warna putih : jamur
Warna merah muda : bakteri non spesifik
Palpasi : pada kelenjar bartolini
Pemeriksaan Ginekologi
Inspekulo
Pemeriksaan bimanual
Laboratorium
Pemeriksaan PH vagina pH normal vagina : 3,8 4,5
Pulasan dengan pewarnaan gram
Pemeriksaan dengan larutan garam fisiologis dan KOH 10%
Kultur

5. Bau bertambah setelah berhubungan(coitus) karena terjadi penurunan


keasaman vagina sehingga bakteri semakin banyak yang berkembang, atau
karena coitus yang tidak bersih yaitu salah satunya karena penis tidak
disirkum.
6. Faktor resiko dapat mengantarkan keputihan pada keadaan patologis
antara lain:
a. Peningkatan produksi mucus cervix

b. Pencucian vagina
c. Pemakaian antibiotic
d. Hubungan seksual
e. Perubahan hormon saat hamil dan menstruasi
f.
7. Pencegahan terjadinya keputihan :
Pola hidup sehat yaitu diet yang seimbang, istirahat yang cukup,
hindari

rokok

dan

alkohol

serta

hindarai

stres

yang

berkepanjangan.
Selalu setia pada pasanga. Hindari promiskuitas atau gunakan
kondom untuk mencegah penularan penyakit menular
Selalu menjaga kebersihan daerah pribadi dengan menjaganya agar
tetap kering dan tidak lembap misalnya dengan menggunakan
celana dengan bahan yang menyerap keringat, hindari pemakainan
celana yang terlalu ketat. Biasakan untuk mengganti pembalut,
pentylainer pada waktunya untuk mencegah bakteri berkembang
biak.
Biasakan membasuh dengan cara yang benar tiap kali buang air
yaitu dari arah depan ke belakang.
Penggunaan cairan pembersih vagina sebaiknya tidak berlebihan
karena dapat mematikan flora normal vagina. Jika perlu lakukan
konsultasi medis dahilu sebelum menggunakan cairan pembersih
vagina.

Hindari pengguanaan bedak talkum, tissue, atau sabun pewangi


pada daerah vagina karena dapat menyebabkan iritasi.
Hindari pemakian barang-barang yang memudahkan penularan
seperti meminjam perlengkapan mandi. Sedapat mungkin tidak
duduk diatas kloset di Wc umum atau biasakan mengelap dudukan
kloset sebelum menggunakannya.
8. DD
a) Bakterial Vaginosis
b) Tricomoniasis Vaginalis
c) Candidiasis Vulvovaginalis
d) Ghonore

BAB II
TROKOMONIASIS VAGINALIS
Definisi

Trikomoniasis adalah infeksi saluran urogenital yang dapat bersifat akut


atau kronik dan disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah T.vaginalis yang pertama kali ditemukan
oleh donne pada tahun 1836. Merupakan flagellata berbentuk filiformis,
berukuran 15-18 mikron, mempunyai 4 flagela, dan bergerak seperti gelombang.
Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat
hidup dalam suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50o C akan mati dalam beberapa menit,
tetapi pada suhu 0 o C dapat bertahan sampai 5 hari.
Ada dua spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu T.
Tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang hidup
dalam kolon, yang pada umumnya tidak menimbulkan penyakit.
Insidens
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin tetapi dapat juga melalui
pakaian, handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu trikomoniasis ini terutama
ditemukan pada orang dengan aktivitas seksual tinggi, tetapi dapat juga ditemukan
pada bayi dan penderita setelah menopause. Penderita wanita lebih banyak
dibandingkan dengan pria.
Patogenesis
T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel.
Masa tunas rata-rata 4 hari sampai 3 pekan. Pada kasus yang lanjut terdapat
bagian-bagian dengan jaringan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan
dalam lapisan subepitel yang menjalar sampai ke permukaan epitel. Di dalam
vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman-kuman dan benda lain
yang terdapat dalam sekret.
Gejala Klinis

1.

Trikomoniasis pada wanita


Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut maupun kronik.

Pada kasus akut terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuning-kuningan,


kuning hijau, berbau tidak enak ( malodorous ), dan berbusa. Dinding vagina
tampak kemerahan dan sembab. Kadang-kadang terbentuk abses kecil pada
dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi berwarna merah dan
dikenal sebagai strawberry appearance dan disertai gejala dispareunia, perdarahan
pascakoitus, dan perdarahan intermenstrual. Bila sekret banyak yang keluar dapat
timbul iritasi pada lipat paha atau di sekitar genitalia eksterna. Selain vaginitis
dapat pula terjadi uretritis, bartholinitis, skenitis, dan sistitis yang pada umumnya
tanpa keluhan. Pada kasus yang kronik gejala lebih ringan an sekret vagina
biasanya tidak berbusa.
2.

Trikomoniasis pada laki-laki


Pada laki-laki yang diserang terutama uretra, kelenjar prostat, kadang-kadang

preputium, vesikula seminalis, dan epididimis. Pada umumnya gambaran klinis


lebih ringan dibandingkan dengan wanita. Bentuk akut gejalanya mirip uretritis
non gonore misalnya disuria, poliuria, dan sekret uretra mukoid atau
mukopurulen. Urin biasanya jernih tetapi kadang-kadang ada benang-benang
halus. Pada bentuk kronik, gejalanya tidak khas ; gatal pada uretra, disuria, dan
urin keruh pada pagi hari.
Diagnosis
Diagnosis kurang tepat bila hanya berdasarkan gambaran klinis, karena T.
Vaginalis dalam saluran urogenital tidak selalu menimbulkan gejala/keluhan.
Uretritis dan vaginitis dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab, karena itu
perlu diagnosis etiologik untuk menentukan penyebabnya.
Untuk mendiagnosa trikomoniasis dapat dipakai beberapa cara, misalnya
pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, dan sediaan hapus serta pembiakan.
Sediaan basah dicampur dengan garam faal, dan dapat dilihat pergerakan aktif

parasit. Pada pembiakan dapat digunakan bermacam-macam perbenihan yang


mengandung serum.
Pengobatan
Pengobatan dapat diberikan secara topikal atau sistemik
Secara topikal, dapat berupa ;
1. bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-2 % dan
larutan asam laktat 4 %.
2. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat trikomoniasidal.
3. Jel dan krim, yang bersifat trikomoniasidal
Secara oral/ sistemik obat yang sering digunakan tergolong derivat nitromidazol
seperti :
Metronidasol : dosis tunggal 2 gram atau 3 X 500 mg per hari selama 7 hari.
Nimorazol

: dosis tunggal 2 gram

Omidazol

: dosis tunggal 1,5 gram

Pada waktu pengobatan perlu beberapa anjuran pada penderita :


1. Pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasangan seksual untuk mencegah
jangan terjadi infeksi pingpong.
2. Jangan melakukan hubungan seksual selama pengobatan dan sebelum
dinyatakan sembuh.
3. Hindari penggunaan barang-barang yang mudah menimbulkan transmisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. Patofisiologi. Edisi 6.


Jakarta: EGC. 2005.
2. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology (e-book). Germany:
Georg Thieme Verlag. 2000.
3. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. 2000.
4. Mansyur, Arif.2003.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta
5. Ramali, Ahmad. 1996. Kamus Kedokteran Edisi revisi. Jakarta : Djambatan.
6. Djuanda, Adhi dkk. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III jilid 4.
Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai