Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TERPADU (FA4142)


MODUL 11
SISTEM PERTAHANAN TUBUH TERHADAP PARASIT

Tanggal Pelaksanaan Praktikum : 27 Oktober 2015


Tanggal Pengumpulan Laporan : 2 Desember 2015

Disusun oleh :
Eldi Soraya Choirunnisa
10712029
Mega Putri
10712030
Shella Rahmayanti
10712034
Tuti Susilawati
10712035
Asni Nuraeni
10712037
Martin
10712039
- Kelompok 4 Shift Jumat -

Asisten Praktikum : Fransiskus Samuel Renaldi (90715052)

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI
PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015

MODUL 11
SISTEM PERTAHANAN TUBUH TERHADAP PARASIT
I. Tujuan
1. Menentukan stadium parasit pada sampel eritrosit dengan cara apusan darah tebal
2. Menentukan jenis dan stadium parasit pada sampel eritrosit dengan cara apusan darah
tipis
3. Menentukan jumlah gamet terhadap 200 aseksual parasit di lapisan darah tebal pada
preparat P. falciparum yang telah diawetkan
4. Menentukan tahapan siklus hidup Ascaris suum pada media pembiakkannya
5. Menentukan mekanisme kerja anticacing ekstrak uji terhadap cacing Ascaris suum
secara in vitro
II. Pendahuluan
Penyakit malaria dapat didiagnosis melalui identifikasi Plasmodium sp. Ada beberapa
cara untuk mendiagnosis penyakit parasit. Salah satu diantaranya yaitu dengan cara
mengidentifikasi parasit melalui pembuatan preparat apusan spesimen biologi, misalnya
darah, feses, urin, cairan otak, otot, dan lain-lain. Parasit pada apusan biologi tersebut
dapat secara langsung diamati atau terlebih dahulu diwarnai dengan pewarna yang spesifik
kemudian diamati dengan mikroskop.
Plasmodium dapat diamati dengan menggunakan suspensi darah manusia melalui
pembuatan preparat apusan darah tipis dan tebal. Preparat tersebut difiksasi dengan
pewarna Giemsa dan diamati dengan mikroskop cahaya.
Parasit lain yang dapat meninfeksi manusia adalah cacing Ascaris dan menyebabkan
penyakit Ascariasis. Salah satu cara mendiagnosis Ascariasus adalah dengan
mengidnetiikasi adanya telur- telur atau cacing dewasa Ascaris sp.
Pengobatan penyakit akibat parasit cacing ini dapat dilakukan menggunakan obat
anticacing, diantaranya piperazin dan pirantel pamoat. Selain daripada obat- obat tersebut,
telah diteliti pula berbagai tumbuhan yang memiliki aktivitas anticacing. Pengujian
aktivitas suatu tumbuhan sebagai anticacing dapat dilakukan secara n vitro maupun in
vivo.
III. Metodologi
1. Pembuatan Preparat Darah Tipis
Setengah tetes suspensi eritrosit yang mengandung Plasmodium pada kaca objek
kemudian disebarkan secara merata menggunakan permukaan kaca objek lain.
Kemudian dikeringkan lalu difiksasi dengan methanol kemudian dikeringkan lagi.
Kemudian diteteskan larutan pewarna Giemsa yang terdiri dari campuran Giemsa dan
dapar fosfat pH 7,2 (1:10) sambil difiksasi selama 15 menit kemudian pewarna

tersebut dibuang dan lalu dibilas menggunakan aquades, kemudian dikeringkan di


udara terbuka dan diamati menggunakan mikroskop optik dengan perbesaran 20 x 10
dan sebelumnya telah diteteskan 1 tetes minyak imersi.
2. Pembuatan Preparat Darah Tebal
Satu tetes suspensi eritrosit yang mengandung plasmodium diteteskan di atas kaca
objek. Eritrosit disebarkan menggunakan ujung pipet pasteur hingga membentuk
lingkaran yang berdiameter kira-kira 1 cm dan dikeringkan. Setelah apusan kering,
apusan diteteskan larutan pewarna Giemsa yang merupakan campuran Giemsa dan
dapar fosfat pH 7,2 (1:10). Preparat dilakukan fiksasi selama 15 menit dan larutan
pewarna dibilas dengan aquades. Lalu, preparat diamati dengan meneteskan minyak
imersi ke permukaan preparat dan diamati di bawah mikroskop.
3. Pengamatan Preparat P.falciparum yang telah diawetkan
Tiap kelompok diberikan satu slide preparat P.falciparum yang telah diawetkan. Di
lapisan darah tebal slide diteteskan minyak imersi, lalu dihitung jumlah gamet terhadap
200 aseksual parasit. Bentuk stadium gamet dapat dilihat dari gambar yang disediakan
4. Diagnosis Ascaris
Sejumlah cairan medium pembiakkan Ascaris suum bagian dasar dipipet dan
diteteskan pada kaca objek kemudian telur diamati dibawah mikroskop
5. Uji Aktivitas Anticacing secara In Vitro
Cacing Ascaris suum diinkubasi dalam suhu 37oC dan dilakukan uji terhadap lima
ekstrak uji dengan menggunakan piperazin dan pirantel pamoat sebagai standar dan
dibuat pula kontrol. Aktivitas anticacing dilakukan dengan memasukkan cacing dalam
sampel maupun standar dan kontrol lalu diamati tipe pergerakan cacing, apakah cacing
tetap bergerak, mengalami paralisis plastik, atau paralisis flasid. Cacing yang terlihar
mengalami paralisis dimasukkan ke dalam air panas dengan suhu 40 oC- 50OC dan
dilihat apakah cacing mati, atau hanya mengalami paralisis dilihat dari tipe
pergerakannya.
IV.
Hasil Pengamatan dan Pengolahan Data
1. Apusan Darah Tipis
a

Gambar 4.1. Preparat apusan darah tipis (a) sampel-4 , perbesaran 20 x 10 dan (b) sampel-4x , perbesaran 20 x 10

2. Apusan Darah Tebal


(a) Perbesaran 20x10

(b) Perbesaran 20x10

3. Pengamatan Preparat P.falciparum yang telah diawetkan


Kelompok

Perhitungan

1-2

% parasitemia
terhadap 200
sel darah merah

Hasil
Perhitungan

Hasil Pengamatan
(Perbesaran 100 x)

% parasitemia =
13
300

100 %

% parasitemia =
4,33 %
1 dari 1 lapang pandang

3-4

Jumlah gamet
terhadap 200
aseksual parasit
di lapisan darah
tebal

5-6

Jumalh skizon
dengan inti
minimal 3
tehadap 200
aseksual parasit
di lapisan darah
tebal

2 skizon
terhadap 200
aseksual parasit

Jumlah
tropozoit dalam
200 sel darah
merah
terparasitisasi

2 tropozoit
dalam 200 sel
darah merah
terparasitisasi

8 gamet
terhadap
165 aseksual
parasit
1 dari 11 lapang pandang

7-8

1 dari 2 lapang pandang

1 dari 2 lapang pandang

4. Diagnosis Ascaris

5. Uji Ativitas Anticacing In Vitro


Zat Uji
Hanks solution
Pirantel pamoat 0,1
%

30
Paralisis spastik
cacing jantan dan
betina

Piperazin 20%
Ekstrak jahe 20%
Ekstrak akar kucing
20%
Ekstrak mengkudu
20%

Cacing betina mati


Cacing betina
paralisis flasid

Ekstrak salam 20%

Cacing betina mati

Ekstrak sirsak 20%

Cacing betina mati

Hasil Pengamatan (menit)


60
90
-

Cacing jantan dan


betina mati
Paralisis flasid
Cacing jantan
tetap hidup
Cacing betina
paralisis spastik
Cacing jantan
mati

Cacing betina
mati

120
-

Cacing jantan
tidak mati

Cacing jantan
tidak mati

V.

Pembahasan
Apusan darah tebal berfungsi untuk mendeteksi keberadaan parasit dengan waktu yang
singkat karena volume darah yang digunakan lebih banyak. Namun, apusan darah tebal
sulit untuk menentukan morfologi atau identifikasi spesies parasit karena adanya
penghancuran sel darah merah terlebih dahulu dengan menggunakan pipet Pasteur sebelum
pewarnaan. Apusan darah tipis berfungsi untuk mendeteksi keberadaan parasit dengan
volum darah yang sedikit. Dengan volum darah yang sedikit, maka akan tampak jelas jenis
parasit apa yang berada dalam darah. Apusan darah tipis ini juga digunakan untuk

menentukan jenis parasit yang berada dalam darah. Tahapan yang dapat diamati pada
apusan darah tebal adalah tingkat stadium parasit. Skizon merupakan sel yang banyak
mengandung merozoit. Trofozoit merupakan bentuk cincin merozoit. Hasil pengamatan
yang diperoleh pada sampel-4 adalah tidak ditemukannya parasit yang berarti relawan
tidak terinfeksi parasit. Namun, pada sampel-4X, parasit ditemukan dan berada dalam
stadium merozoit, trofozoid, dan skizon.
Diagnosis penyakit malaria dapat dilakukan dengan mengamati apusan darah tipis dan
tebal. Pengamatan terhadap preparat darah tipis bertujuan untuk mengamati jumlah
eritrosit yang terinfeksi plasmodium. Oleh karena itu, pada apusan darah tipis dilakukan
fiksasi dengan metanol agar eritrosit tidak lisis sehingga bentuk eritrosit tetap utuh.
Pengamatan terhadap preparat darah tipis hanya dapat dilakukan apabila terjadi
parasitemia tinggi karena akan sulit menghitung jumlah eritrosit yang terinfeksi
plasmodium yang sedikit. Parasitemia tinggi maksudnya adalah jumlah parasit yaitu
plasmodium yang menginfeksi di sel darah merah/eritrosit hospes berjumlah banyak.
Pengamatan terhadap preparat darah tebal bertujuan untuk menentukan stadium
plasmodium yang menginfeksi. Oleh karena itu, eritrosit perlu dilisis dengan cara
menyebarkan eritrosit menggunakan ujung pipet Pasteur. Apusan darah tebal biasanya
digunakan untuk mendeteksi infeksi malaria secara cepat pada pasien karena dapat
langsung menghitung konsentrasi plasmodium dalam darah pasien.
Prinsip terapi penyakit malaria antara lain perlu diketahui jenis plasmodium (P.vivax,
P.ovale, P.malariae, atau P.falciparum) yang menginfeksi, adanya resistensi plasmodium
terhadap obat antimalaria tertentu (seperti resistensi terhadap klorokuin yang bekerja
dengan cara mencegah polimerisasi dari produk hasil penguraian Hb, heme, menjadi
hemozoin) yang dapat diatasi dengan menggunakan kombinasi obat (contohnya kuinin dan
doksisiklin/klindamisin, serta kemungkinan infeksi campuran (seperti infeksi campuran
P.falciparum dan P.vivax) yang dapat diobati dengan kombinasi obat (contohnya
klorokuin dan primakin yang bekerja dengan cara membunuh plasmodium di darah dan
hati). Kepatuhan dalam pengobatan oleh pasien (misalnya apabila obat dimuntahkan, harus
diulangi pengambilan obat dengan dosis yang sama) juga penting dan secara berkala di cek
keberadaan plasmodium dalam tubuh (agar mendeteksi terjadinya kekambuhan). Perilaku
hidup bersih, pengetahuan keparahan penyakit (misalnya infeksi P.falciparum dapat
menyebabkan malaria serebral) yang diobati secara sistemik (contohnya menggunakan
kinin yang disuntikkan melalui intravena) serta kondisi patologi pasien juga perlu dimiliki.
Profilaksis kausal atau pencegahan apabila memasuki daerah endemik (misalnya di daerah
tropik dan subtropik) dimana obat digunakan secara berkala (contohnya klorokuin
dikonsumsi 2 minggu sebelum, saat sedang, dan 4 minggu setelah keluar) dilakukan juga
untuk pencegahan terjangkit malaria.
Pada percobaan ini, dilakukan pengamatan dan perhitungan stadium hidup pada empat
jenis preparat P.falciparum yang telah diawetkan. Sebelum diamati di bawah mikroskop,
keempat preparat diteteskan 1 tetes minyak imersi terlebih dahulu. Penggunaan minyak
5

imersi bertujuan untuk melindungi lensa objektif dari friksi dengan kaca objek dan
memperjelas pengamatan objek di bawah mikroskop karena minyak imersi memiliki
indeks refraksi yang lebih tinggi daripada air atau udara. Perbesaran mikroskop yang
digunakan untuk mengamati keempat preparat adalah 100 kali.
Pertama, dilakukan perhitungan % parasitemia dalam 200 sel darah merah
menggunakan slide F2382. Parasitemia adalah parasit yang menginfeksi di darah hospes
sehingga perlu dilakakukan perhitungan jumlah sel darah merah yang terinfeksi
P.falciparum terhadap 200 sel darah merah. Kedua, dilakukan perhitungan jumlah gamet
terhadap 200 aseksual parasit di lapisan darah tebal menggunakan slide NF073.
Pengamatan gamet bertujuan untuk memastikan jenis plasmodium dalam preparat adalah
Plasmodium falciparum karena bentuk gamet masing-masing jenis plasmodium berbedabeda. Ketiga, dilakukan perhitungan jumlah skizon dengan inti minimal 3 terhadap 200
aseksual parasit di lapisan darah tebal menggunakan slide G132. Keempat, dilakukan
perhitungan jumlah cincin dalam 200 eritrosit yang terparasitisasi menggunakan slide
F2382.
Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop, pada slide F2382, terdapat sekitar
4,33 % parasiteemia oleh P.falciparum. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa
eritrosit mengalami parasitemia rendah oleh P.falciparum. Pada slide NF073, terdapat
sekitar 8 gamet terhadap 165 aseksual parasit. 8 gamet yang teramati seperti gambar gamet
P.falciparum berdasarkan literatur. Hal ini membuktikan bahwa preparat yang digunakan
adalah preparat P.falciparum yang diawetkan. Pada slide G132, terdapat sekitar 2 skizon
dengan inti minimal 3 terhadap 200 aseksual parasit. Jumlah skizon merepresentasikan
tingkat keparahan dari infeksi plasmodium yaitu semakin banyak skizon, semakin parah
penyakit malaria. Obat antimalaria yang dapat memberantas plasmodium pada stadium
skizon, akan cepat menyembuhkan penyakit malaria. Pada slide F2382, terdapat 3 cincin
dalam 330 sel darah merah terparasitisasi atau kira-kira 2 cincin terhadap 200 sel darah
merah terparasitisasi. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya sedikit merozoit yang
berkembang menjadi tropozoit di dalam sel darah merah karena hanya terdapat kira-kira 2
tropozoit terhadap 200 sel darah merah terparasitisasi.
Plasmodium falciparum merupakan protozoa penyebab penyakit malaria. Patofisiologi
pada malaria belum diketahui dengan pasti. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama
berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit
yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada
mereka yang dapat tetap hidup. Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti,
tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis terjadinya demam dan peradangan. Skizon
eksoeritrositik dapat menyebabkan reaksi leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan
gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologik.
Berikut ini adalah penjelasan untuk siklus hidup Plasmodium falciparum. Sporozoit
Plasmodium, yang memulai infeksi pada manusia, diinokulasi ke dalam dermis manusia
dan memasuki aliran darah setelah gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi
6

plasmodium. Dalam beberapa menit, sporozoit menuju ke hati, di mana mereka


menginfeksi hepatosit. Proses ini memulai periode prepaten tanpa gejala, atau tahap
eksoeritrositik, yang biasanya berlangsung 1 minggu. Selama periode ini, parasit
mengalami replikasi aseksual dalam hepatosit, yang mengakibatkan produksi skizon hati.
Setelah pecahnya hepatosit terinfeksi, puluhan ribu merozoit dilepaskan ke dalam aliran
darah dan menginfeksi sel-sel darah merah. Setelah tahap eksoeritrositik awal, P.
falciparum tidak lagi ditemukan dalam hati.
Tahap eritrositik aseksual parasit malaria bertanggung jawab atas manifestasi klinis
malaria. Bagian dari siklus hidup Plasmodium ini dimulai dengan pengenalan merozoit sel
darah merah, yang dimediasi reseptor permukaan sel, diikuti invasi sel darah merah.
Setelah berada di dalam sel darah merah, merozoit berkembang menjadi bentuk cincin
yang menjadi trofozoit hingga menjadi dewasa menjadi skizon secara aseksual. Setelah
pecahnya eritrosit yang terinfeksi, skizon ini merilis 8-32 merozoit yang dapat membangun
infeksi baru dalam sel darah merah di dekatnya. Siklus replikasi eritrositik berlangsung
selama 48 jam untuk P. falciparum. Meskipun sebagian merozoit berkembang menjadi
skizon, sebagian kecil menjadi gametosit yang merupakan bentuk parasit yang infektif
bagi nyamuk. Gametosit tertelan ke dalam midgut nyamuk selama menyedot darah
terinfeksi dan kemudian berubah menjadi gamet yang dapat membuahi untuk menjadi
zigot. Zigot tumbuh menjadi ookinet, yang menembus dinding midgut nyamuk dan
berkembang menjadi ookista. Kebanyakan siklus replikasi aseksual ookista untuk
menghasilkan sporozoit terjadi dalam 10-14 hari. Sporozoit yang telah berkembang
sepenuhnya akan pecah dari ookista dan terdistribusi ke kelenjar ludah nyamuk dan siklus
P. falcinarum untuk menginfeksi manusia akan berulang
Profilaksis untuk penyakit malaria, sehubungan dengan tingginya tingkat resistensi
plasmodium falciparum terhadap klorokuin, maka Doksisiklin menjadi pilihan untuk
kemoprofilaksis. Doksisiklin dapat diberikan setiap hari dengan dosis 2mg/kgBB selama
tidak lebih dari 4-6 minggu. Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak < 8 tahun dan
Ibu hamil. Kemoprofilaksis untuk Plasmodium vivax dapat diberikan klorokuin dengan
dosis 5kg/kgBB setiap minggu. Obat tersebut diminum satu minggu sebelum masuk
daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali. Dianjurkan menggunakan klorokuin
tidak lebih dari 3-6 bulan.
Pertahanan tubuh terhadap parasit dibagi menjadi dua, yaitu makro dan mikro.
Pertahanan makro meliputi penahan kimiawi dan fisik, yakni kulit, mukus, saliva, air
mata, silia, asam lambung, aliran urin, dan flora normal bakteri yang menahan invasi
bakteri ke dalam jaringan tubuh. Bila parasit berhasil melewati pertahanan makro,
perrtahanan mikro akan teraktivasi melalui respon imun. Sel yang teraktivasi adalah sel
darah putih/ White Blood Cell (WBC). WBC yang berperan terhadap infeksi parasit adalah
eosinofil yang mencakup 2-4% WBC. Parasit akan dilapisi antibodi oleh sel B terlebih
dahulu. Kemudian, eosinofil akan menyerang parasit tersebut dengan eksositosis senyawa

toksik, termasuk oksida nitrat dan enzim sitotoksik. Jumlah sirkulasi eosinofil akan
meningkat secara dramatis selama infeksi parasit.
Salah satu jenis parasit lainnya yang dapat menginfeksi manusia adalah cacing. Dalam
percobaan ini digunakan cacing Ascaris suum. Cacing Ascaris dapat menyebabkan
penyakit ascariasis. Gejala yang timbul akibat larva di paru- paru adalah pendarahan
dinding alveolus, batuk, eosinofolia disertai demam. Dalam lingkungan yang sesuai, telur
dapat berkembang menjadi infektif dan bila tertelan manusia, akan masuk ke usus halus.
Setelah telur infektif tertelan, larva akan menetas menyerang mukosa usus dan dan dibawa
ke sistem sirkulasi ke paru-paru. Larva dewasa didalam paru-paru sekitar 10 hingga 14
hari, kemudian berpenetrasi ke dalam dinding alveolar, naik ke percabangan bronkial
hingga tenggorokan dan tertelan kembali. Selama perjalanan menuju usus halus, larva
dewasa tersebut berkembang menjadi cacing dewasa. Ascaris suum merupakan kelompok
nematoda. Dalam host nya berupa babi, telur dilepaskan oleh cacing betina ke linkungan
dalam feses inangnya. Telur infertil dapat tertelan tetapi tidak infektif. Telur fertil
terembrionasi dan menjadi infektif setelah 18 hari hingga beberapa minggu bergantung
pada kondisi lingkungan seperti kelembaban dan suhu, fase ini meliputi fase L1 dimana
larva dilapisi oleh lapisan kutikula tipis, L2, dan L3 yang merupakan fase infektif.
Pengamatan tahapan hidup telur Ascaris suum dilakukan dengan memipet bagian dasar
medium pembiakan Ascaris suum kemudian diteteskan diatas preparat lalu ditutup kaca
objek dan diamati dibawah mikroskop pada perbesaran 100 x. Hasil menunjukan bahwa
cairan medium mengandung telur pada fasa fertil yang diduga infektif dan fasa fertil
pembelahan cepat tidak infektif. Hal ini terlihat dari bentuk morfologi telur cacing yaitu
larva yang dilapisi kutikula tipis dari fasa L2 dan L3. Untuk menentukan sifat infektifnya
seharusnya sampel diamati dibawah pemindai mikroskop elektron (SEM) untuk melihat
lapisan longgar kutikula yang dibentuk oleh L1 dan L2 untuk membentuk L3, karena fasa
infeksius merupakan fasa L3 (Geenen P.L., et al. 1999).
Target kerja anticacing lainnya adalah dalam sistem produksi energi yaitu dengan
mempengaruhi kerja enzim atau substrat yang terlibat. Salah satu contohnya adalah kerja
mebendazole dengan mekanisme memblok pengambilan kembali glukosa pada parasit
sehingga parasit kekurangan cadangan glikogen. Mebendazole ini juga berkikatan dengan
-tubulin pada sel nematoda dengan afinitas yang sangat kuat bila dibandingkan dengan
afinitasnya pada tubulin pada manusia dan menghambat polimerisasinya sehingga
pembentukan mikrotubul terganggu dan berkurang, hingga hancur.
Dari hasil percobaan aktivitas antelmintik secara in vitro didapatkan untuk kelompok
kontrol yang menggunakan Hank solution yaitu larutan garam yang dicampur dengan
cairan tubuh tidak menyebabkan kematian pada cacing Ascaris sp. betina dan jantan
hingga akhir percobaan, untuk zat uji pirantel pamoat 0,1 % menyebabkan kematian pada
cacing jantan dan betina pada menit ke 30 sedangkan piperazin 20% menyebabkan
kematian cacing jantan dan betina pada menit ke 60. Ekstrak jahe 20% menyebabkan
cacing betina mati pada menit ke 30 dan pada menit ke 60 menyebabkan cacing jantan
8

paralisis, menurut suatu jurnal jahe memiliki senyawa kimia alkaloid, saponin, flavonoid,
terpen, steroid, dan minyak atsiri seperti zingiberen, bisabolene, gingerol, dan shogaol.
Saponin pada jahe dapat menyebabkan hemolisis peredaran darah terbuka seperti cacing
selain itu jahe mempunyai aktivitas antikolinergik dan antihistamin (Quian dan Liu, 1992),
antikolinergik menyebabkan pemnghambatan pelepasan asetilkolin sehingga terjadi
paralisis flasid.
Penelitian aktivitas antelmintik pada jahe telah banyak dilakukan seperti ekstrak etanol
jahe pada konsentrasi 20 mg/mL dapat menyebabkan paralisis pada menit ke 7 dan
kematian pada menit ke 11 (Singh, 2011) dan menyebabkan kematian 6 cacing setelah
diinkubasi selama 2 jam (Iqbal, dkk, 2001). Ekstrak akar kucing 20% menyebabkan cacing
betina paralisis spastik pada menit ke 30 dan tidak menyebabkan paralisis dan kematian
setelah 2 jam. Ekstrak mengkudu 20% menyebabkan paralisis spastik pada menit ke 60
dan cacing jantan tetap hidup setelah 2 jam pengamatan. Ekstrak salam 20% menyebabkan
kematian cacing betina pada menit ke 30 dan kematian cacing jantan pada menit ke 60.
Ekstrak sirsak menyebabkan kematian cacing betina pada menit ke 30 dan cacing jantan
tetap hidup setelah 2 jam pengamatan. Dari hasil pengamatan cacing betina lebih mudah
mati dan mengalami paralisis daripada cacing jantan hal ini karena cacing betina lebih
sensitif daripada cacing jantan.
Target kerja antelmintik yaitu mengganggu transmisi neuromuskular dan produksi
energi. Mengganggu transmisi neuromuskular menyebabkan paralisis spastik (kontraksi
terus menerus) dan paralisis flasid (relaksasi terus menerus). Paralisis spastik disebabkan
karena bersifat agonis asetilkolin, inhibitor kolinesterase, dan menaikan influks Ca.
Contoh obat yang menyebabkan paralisis spastik adalah pirantel pamoat yang memiliki
mekanisme memblok neuromuskular yang menyebabkan pelepasan asetilkolin dan
menghambat kolinesterase sehingga menyebabkan mengalami kontraksi terus menerus
(paralisis spastik). Paralisis flasid disebabkan karena agonis GABA dan bekerja pada ion
kanal klorida, contoh obat golongan ini adalah piperazin yang dapat memblok asetilkolin
pada myoneural junction sehingga mengalami relaksasi terus menerus dan
ketidakmampuan memposisikan tubuhnya dalam inang
Infeksi parasit dapat didiagnosis dengan identifikasi langsung dan tidak langsung.
Identifikasi langsung menggunakan spesimen biologi berupa :
1. Feses, terdiri atas 3 teknik pengujian diantaranya :
a.
Direct saline smear untuk pengujian kualitatif atau kuantitatif melalui
pengamatan dengan mikroskop.
b.
Stained smear pengujian lebih akurat untuk mendiagnosis haematoxylin dan
trikom.
c.
Parasite concentration in faeces by flotation untuk mengidentifikasi ookista
dari coccidia dan telur cacing,

2. Urin digunakan untuk mengidentifikasi Encephalitozoon cuniculi dan telur


Schitosoma.
3. Darah digunakan untuk mengidentifikasi stadium parasit yang terdapat dalam
darah dan digunakan untuk diagnosis yang dilakukan secara rutin seperti malaria,
theileriosis, babesiosis, anaplasmosis, ehrlichiosis, trypanosomiasis, dan filariasis.
Berdasarkan penggunaan dan tujuannya pemeriksaan dengan darah dapat
dibedakan menjadi dua metode yaitu metode apusan darah tipis dan apusan darah
tebal.
4. Jaringan digunakan untuk diagnosis protozoa atau cacing , jaringan yang biasa
digunakan adalah nodus limfa, limpa, hati, paru paru, sumsum tulang, dan cairan
spinal .
5. Post-mortem digunakan untuk mendiagnosis cacing, misalnya kortek otak
digunakan untuk diagnosis babesiosis (babesia bovis), teileriosis serebral, dan
cowdriosis.
Pengujian tidak langsung (serologi) dilakukan jika tidak dapat ditentukan parasit
karena siklus hidupnya seperti toksoplasmosis, ecinococcosis, dan sistiserkosis.
Pengujian serologi dapat membedakan infeksi laten atau baru terkena infeksi.
Pengujian ini meliputi complement fixation test (CFT) untuk mendiagnosis
anaplasmosis, babesiosis, helmintiasis, toxoplasmosis, dan tripanosomiasis,
imunodifusi (ID), indirect haemagglutination (IHA), indirect immunofluorecescent
antibody test (IFA), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan
radioimunoassay (RIA).
VI.
Kesimpulan
1. Sampel-4 tidak terdapat parasit, sedangkan sampel-4X terdapat parasit dalam stadium
merozoit, skizon, dan trofozoid setelah diuji dengan cara apusan darah tebal.
2. Jenis parasit yang berada dalam sampel-4X adalah Plamsomidum falciparum. Hasil
pengamatan yang diperoleh pada sampel-4 adalah tidak ditemukannya parasit yang
berarti relawan tidak terinfeksi parasit. Namun, pada sampel-4X, parasit ditemukan
dan berada dalam stadium merozoit, trofozoid, dan skizon.
3. Pada slide NF073 yang merupakan preparat P. falciparum yang telah diawetkan,
terdapat sekitar 8 gamet terhadap 165 aseksual parasit di lapisan darah tebal
4. Tahapan siklus hidup Ascaris suum pada media pembiakkannya adalah telur fertil
infektif dan telur fertil tidak infektif.
5. Ekstrak jahe dan akar kucing menyebabkan cacing paralisis flasid semntara ekstrak
mengkudu menyebabkan cacing paralisis spastik.

10

VII.

Daftar Pustaka

Brunton, Laurence, et al. 2008. Goodman & Gilmans: Manual of Pharmacology


Therapeutics. New York: McGraw Hill. pp. 1183-1185
Geenen P. L., et al. 1999. The Morphogenesis of Ascaris suum to the Infective Third-Stage
Larvae within the Egg. The Journal of Parasitology, Vol. 85, No. 4. 616-622.
Iqbal, Zafar, dkk. 2001. In Vitro Anthelmintic Activity of Allium sativum, Zingiber officinale,
Cucurbita mexicana and Ficus religiosa. Pakistan : University of Agriculture
Faisalabad. (Halaman 455).
Kadaryanto, dkk. 2006. Biologi 1: Mengungkap Rahasia Alam Kehidupan SMP Kelas VII.
Jakarta: Yudhistira, 29
Marcus, Bernard. 2009. Malaria, 2nd ed. New York: Infobase Publishing, 14-24
Martini, F. H., J. L. Nath, amd E. F. Bartholomew. 2012. Fundamentals of Anatomy &
Physiology, 9th ed. Harlow: Person Education. pp. 732
Setiowati, Tetty dan Deswaty Furqonita. 2007. Biologi Interaktif. Jakarta: Azka Press, 62.
Singh, Rohini, dkk. 2011. Anthelmintic Activity of Rhizome Extracts of Curcuma Longa and
Zingiber officinale (Zingiberaceae). India : Doctor Harisingh Gour University. (halaman
236-237)
Quian, D.S. dan Z.S. Liu. 1992. Pharmacologic studies of antimotion sickness actions of
ginger [Chinese]. Ho Tsa Chih : Chung Kuo Chung His Chieh. (Halaman 9598).
http://www.oie.int/doc/ged/D8270.PDF diakses Sabtu, 28 November 2015 pukul 21.00 WIB.
http://www.cdc.gov/parasits/ascariasis/biology.html diakses Jumat, 27 November 2015 pukul
16.30 WIB.
http://www.cdc.gov/parasits/ascariasis/biology.html diakses 27 November 2015 pukul 22:22

11

VII.

LAMPIRAN

Jawaban Soal
1. Berikan manfaat yang saudara peroleh dari materi praktikum ini.
-

Mengetahui cara diagnosis penyakit malaria dengan menggunakan prepart apusan


darah tebal dan tipis, serta stadium dan tingkat keparahan penyakit malaria.
Mengetahui mekanisme obat dalam membunuh cacing, yaitu dengan membuat otot
cacing menjadi berkontraksi terus-menerus (spastik) atau berelaksasi terus menerus
(flasid).
Mengetahui beberapa ekstrak tanaman yang dapat digunakan sebagai antelmintik
seperti jahe.

2. Berikan definisi: hospes sementara, vektor, hospes definitif, dan hospes reservoar.
- Hospes sementara adalah hospes tempat parasit berkembang biak dari salah satu atau
beberapa daur hidupnya dan bukan merupakan tempat parasit dewasa.
- Vektor adalah agen pembawa bagi parasit untuk menuju ke hospes definitif.
- Hospes definitive adalah hospes yang ditempati parasit dewasa
- Hospes reservoir adalah hewan yang mempunyai parasit yang sama dengan parasit
yang menginfeksi manusia.
3. Apa yang dimaksud dengan: parasit temporer, parasit permanen, parasitemia, dan
parasitisme?
Parasit temporer atau parasit fakultatif yaitu parasit yang meskipun memerlukan
hospes untuk kelangsungan hidup, tetap dapat hidup tanpa hospes (hidup bebas) karena
dapat memperoleh makanan dari lingkungan sekitar. Parasit permanen atau parasit
obligatif yaitu parasit yang mutlak membutuhkan hospes untuk kelangsungan hidup
sehingga sepanjang hidupnya dari awal hingga dewasa tinggal di permukaan atau
dalam tubuh hospes dan akan mati ketika dieliminasi dari tubuh hospes.
Parasitisme adalah hubungan timbal balik antara suatu spesies dengan spesies lain
dimana salah satu spesies (disebut hospes/inang) dirugikan oleh spesies lain (disebut
parasit), seperti menyebabkan penyakit, padahal spesies tersebut dihinggapi untuk
diambil makanan. Parasitemia adalah parasit yang menginfeksi di darah hospes,
misalnya parasit malaria (Plasmodium sp) yang berada di dalam darah manusia
(intaseluler) dapat merusak dan menghancurkan eritrosit dengan cara lisis. Selain
menginfeksi di dalam sel (intraseluler), parasit juga dapat menginfeksi di luar sel
(ekstraseluler), misalnya nematoda tertentu dan amoeba dapat merusak sel mukosa
intestinal dengan cara pelekatan
4. Bagaimana Saudara membedakan parasit yang mati dan hidup? Jelaskan.
Untuk membedakan parasit yang mati dan hidup yaitu melalui pergerakan parasit.
Cacing yang masih hidup akan selalu bergerak-gerak, terutama bagian kepala, ke arah
atas, sedangkan cacing yang mati tidak akan bergerak sama sekali (diam). Selain itu,
untuk membedakan parasit yang mati dan hidup yaitu dengan memasukkan cacing ke
12

dalam air panas (suhu 50 C). Apabila cacing bergerak-gerak seperti kepanasan, cacing
masih hidup. Cara ini juga dapat membedakan cacing yang mengalami paralisis akibat
obat antihelmintik dengan cacing yang mati karena sama-sama akan diam ketika diusik
dengan batang pengaduk. Namun, postur tubuh cacing yang mengalami paralisis
spastik akan lebih kaku, sedangkan cacing yang mengalami paralisis flasid akan lebih
fleksibel.
5. Faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan infeksi parasit adalah jenis dan jumlah
parasit penginfeksi, stadium parasit yang sedang menginfeksi inang, sistem pertahanan
tubuh inang, serta bagian organ tubuh yang diserang parasit.
6. Penularan infeksi parasit dapat terjadi melalui sumber infeksi, keberadaan hospes yang
akan ditulari dan cara penularannya. Cara penularan parasit dapat terjadi melalui
makanan atau air yang telah mengandung telur cacing kemudian tertelan, melalui
tanah, kotoran hewan, vektor pembawa seperti nyamuk Anopheles yang membawa
sporozoit dari plasmodium penyebab malaria, serta hospes yang terinfeksi parasit
seperti toxoplasma yang berdiam dalam kucing. Penularan parasit ini juga dapat
melalui peralatan sanitasi, transfusi darah yang mengandung parasit, transplasenta dari
ibu yang terinfeksi parasit pada janinnya seperti pada infeksi akibat Toxoplasma
gondii, dan penularan melalui hubungan kelamin seperti pada infeksi Trichomonas
vaginalis.
7. Karakteristik protozoa adalah bersel tunggal, ukuran 100-300 mikron, hidup heterotrof
(saprofit atau parasit), berkembang biak dengan mebelah diri, generatif dan konjugasi.
Penggolongan protozoa adalah sebagai berikut
Ciri
Habitat

Alat gerak
Reproduksi
aseksual/
seksual

Rhizopoda
Air laut, air
tawar, mausia
(parasit)
Kaki semu

Cilliata
Tempat
lembap,
air
tawar
Rambut getar

Flagellata
Air laut, air
tawar, manusia
(parasit)
Bulu cambuk

Membelah diri

Membelah diri/ Membelah diri


konjugasi

Sporozoa
Parasit
pada
eritrosit
Tidak memiliki
alat gerak
Sporozoit/
gametosit

8. Penggolongan/ klasifikasi cacing


a. Nematoda : bentuk silindris, rongga tubuh semu, tubuh ditutupi kutikula
b. Trematoda : tubuh tidak bersegmen, tidak memiliki rongga tubuh, hemaprodit
c. Cestoda : tubuh bersegmen, tubuh ditutupi tegument, bersifat hemaprodit
9. Kemukakan mekanisme kerja anti cacing
- Kerja mempengaruhi transmisi neurotransmitter agonis asetilkolin, inhibitor
kolinesterase, meningkatkan influx ion kalsium, depolarisasi, kontraksi otot cacing,

13

kelumpuhan spastik paralisis. Sebagai agonis GABA, kerja pada saluran ion klorida,
hiperpolarisasi, relaksasi otot cacing, dan kelumpuhan flasid paralisis.
- Kerja pada produksi energy, meliputi enzim dan substrat yang terlibat didalamnya.
10. Setelah Saudara mempelajari karakteristika dan siklus hidup parasit, dapatkah Saudara
menerapkan prinsip-prinsip dasar menanggulangi infeksi parasit? Jelaskan.
Ya, dapat. Dengan mempelajari karakteristika dan siklus hidup parasit, kita dapat
mengetahui dimana fase dimana parasit dapat menginfeksi tubuh dan distribusi
keberadaan parasit dalam tubuh sehingga dapat menentukan obat yang dapat
digunakan untuk menanggulangi infeksi parasit, misalnya profilaksis penyakit malaria
dengan obat klorokuin karena dapat terdistribusi di hati. Setelah itu, dapat dilakukan
upaya pencegahan penularan infeksi parasit atau reinfeksi parasit, misalnya
pemberantasan vektor nyamuk yang menularkan penyakit malaria.

14

LAMPIRAN GAMBAR

15

16

17

18

19

Gambar 11 : Morfologi dan daur hidup Trichinella spiralis


1.
2.
3.
4.
5.

Larva dilepaskan di jaringan manusia


Larva masuk kedalam limfe dan peredaran darah
Larva dalam otot bergaris melintang dan tumbuh menjadi kista
Di usus halus bagian proksimal, dinding kista dicerna dan larva dilepaskan
Cacing dewasa dibagian ulkus mukosa halus

Gambar 12 : Morfologi dan daur hidup Trichuris trichuria


1.
2.
3.
4.
5.

Larva penetrasi dan berkembang di mukosa


Telur dikeluarkan bersama feses (fase diagnostik)
Tahap 2 sel
Pembelahan cepat
Telur terembrionisasi (fase infektif)

20

Gambar 13 : Morfologi dan daur hidup


Taenia solium
1. Sistiserkus di paru-paru, otak
dan mata
2. Onkosfer
3. Telur terembrionisasi
4. Telur terembrionisasi
5. Onkosfer
6. Sisteserkus di otot
7. Skoleks terikat di usus
8. Dewasa
9. Progrotid (gravid)

Gambar 14 : Morfologi dan daur hidup


Fasciola hepatica
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Dewasa
Onemorynated eggs in feses
Telur terembrionisasi
Mirasidium dalam keong
Sporocyst
Redia
Serkaria
Metaserkaria
Excyste dalam duodenum

21

22

23

Pengamatan preparat P. falciparum yang telah diawetkan


Kelompok

Hasil Pengamatan
1 lapang pandang

1-2

11 lapang pandang

3-4

24

2 lapang pandang

5-6

2 lapang pandang

7-8

25

Anda mungkin juga menyukai