Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

GANGGUAN OBSESIF-KOMPULSIF
PADA ANAK

Pembimbing:
dr.Lenny Gustaman, spKJ.

Oleh:
Dian Araminta Ramadhania
(2010-061-034)

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


DAN PERILAKU

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA


JAYA
JAKARTA 2011
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
II.1 Definisi..................................................................................................2
II.2 Etiologi..................................................................................................2
II.3 Diagnosis dan gejala klinis....................................................................4
II.4 Diagnosis banding.................................................................................7
II.5 Tatalaksana............................................................................................7
II.6 Prognosis...............................................................................................9
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................iii

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1...............................................................................................................3
Gambar 2...............................................................................................................5
Gambar 3...............................................................................................................5
Gambar 4...............................................................................................................6
Gambar 5

ii

BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan obsesif-kompulsif sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.


Namun, seringkali seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif ini tidak menyadari
bahwa dirinya mengalami gangguan, sehingga diagnosis secara benar dan penangannya
terlambat. Gangguan obsesif-kompulsif merupakan salah satu jenis gangguan ansietas.
Gangguan ansietas adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya kecemasan yang
berlebihan dan muncul dalam berbagai gejala. Pada gangguan obsesif-kompulsif, gejala
dapat berupa pikiran yang terus berulang tanpa bisa dikendalikan (obsesif), tindakan
berulang yang tidak bisa dikendalikan untuk menjalankan pikiran obsesif (kompulsif)
yang menganggu produktifitas sehari hari. Gejala gangguan obsesif-kompulsif pada
anak-anak dan dewasa sebenarnya hampir sama, hanya saja anak-anak tidak menyadari
bahwa pikiran atau perilaku yang mereka tunjukkan tidak memiliki alasan yang jelas.
Prevalensi gangguan obsesif-kompulsif pada anak-anak berkisar antara 2-4%,
sama seringnya seperti pada orang dewasa. Angka kejadian gangguan obsesifkompulsif meningkat seiring pertambahan usia, dengan prevalensi 0,3% pada usia 5-7
tahun dan 0,6% pada usia remaja. Pada usia muda, angka kejadian gangguan obsesifkompulsif lebih tinggi dibandingkan skizofrenia maupun gangguan bipolar. Onset ratarata pada usia 6-11 tahun, dengan predominansi kejadian pada pria yang menjadi sama
dengan wanita saat usia remaja. Saat ini dipercaya bahwa, hingga 80% gangguan
obsesif-kompulsif pada dewasa pertama kali muncul saat masa kanak-kanak.
Pada

penelitian

mengenai gangguan

obsesif-kompulsif pada

anak-anak

didapatkan data bahwa pada pasien anak-anak dengan gangguan ansietas tersebut,
mempunyai efek penatalaksanaan yang optimal dengan agen serotonergik beserta terapi
kognisi dan terapi perilaku (Cognitive and Behavioral Therapy).1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Obsesi adalah pikiran, ide, impuls atau bayangan pikiran yang timbul berulangulang dalam bentuk yang sama (menetap). Umumnya hal tersebut dirasakan
mengganggu (karena umumnya berupa hal-hal yang bersifat kekerasan, menjijikkan
atau merupakan hal sepele yang tidak berarti) dan merupakan produk dari pikiran
individu itu sendiri. Kompulsi adalah perilaku stereotipik yang diulang berkali-kali
untuk menetralkan, mencegah atau mengurangi ansietas, biasanya dilakukan sebagai
respons terhadap pikiran obsesif.
Gangguan obsesif-kompulsif ditandai dengan adanya pikiran obsesi atau tindakan
kompulsif berulang yang menyebabkan penderitaan, menghabiskan waktu dan
menyebabkan ketidakberdayaan.2,3
II.2 Etiologi
Etiologi dari gangguan obsesif-kompulsif pada anak-anak terdiri dari beberapa
faktor yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu :
1. Faktor genetik
Pada penelitian terhadap keluarga-keluarga, didapatkan peningkatan risiko
terjadinya gangguan obsesif-kompulsif empat kali lipat pada keluarga turunan
pertama.1
2. Neurokimia
Beberapa sistem neurotransmiter seperti sistem serotonin dan dopamin,
diperkirakan memiliki keterlibatan dalam terjadinya gangguan obsesif-kompulsif.
Hilangnya gejala gangguan obsesif-kompulsif dengan pemberian serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs) dan perubahan sensitivitas dengan pemberian 5hydroxytryptamine (5-HT) agonist mendukung keterlibatan sistem serotonin. Sistem
dopamin juga diperkirakan memiliki keterlibatan karena seringnya komorbiditas
gangguan obsesif-kompulsif dengan gangguan tic pada anak-anak.1,2
3. Neurostruktural
Analisis volumetrik dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed
Tomography (CT scan) menunjukkan segmen basal ganglia yang lebih kecil pada
2

anak-anak dengan gangguan obsesif-kompulsif. Ditemukan juga volume talamus


yang membesar. Pada suatu studi juga ditemukan adanya hipermetabolisme dari
jaringan frontal kortikal-striatal-talamo-kortikal pada individu dengan gangguan
obsesif-kompulsif yang belum diterapi. Menariknya, studi imaging sebelum dan
sesudah terapi menggambarkan adanya pengurangan laju metabolisme pada orbit
frontalis dan kaudatus baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa.
Pemeriksaan dengan

Positron Emission Topography

(PET) menunjukkan

peningkatan aktivitas metabolisme dan aliran darah pada lobus frontalis, ganglia
basalis, dan singulum pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Terapi
farmakologis dan perilaku telah dilaporkan dapat memperbaiki kelainan
tersebut.1,2,4,5

Gambar 1. Tampak perbedaan aliran darah di otak pada orang normal dibandingkan orang dengan
gangguan obsesif kompulsif.

4. Neuroimunologi
Sindrom gangguan obsesif-kompulsif dapat timbul setelah infeksi grup A hemolitik streptokokus yang melibatkan aktivasi sistem imun yang menyebabkan
inflamasi ganglia basal dan gangguan fungsi kortikal-striatal-talamo-kortikal.
Disfungsi ganglia basal dapat menyebabkan gerakan choreiform, tic, obsesi,
kompulsi dan hiperaktivitas. Gangguan obsesif-kompulsif akibat infeksi ini disebut
pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders associated with streptococcus
(PANDAS). PANDAS memiliki karakteristik onset yang tiba-tiba pada masa kanakkanak dengan pola episodik atau menyerupai gigi-gergaji (saw-toothed course).1,2,5
II.3 Diagnosis dan gejala klinis

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III


(PPDGJ III) gangguan obsesif-kompulsif (F42.-) termasuk ke dalam gangguan
neurotik, gangguan somatoform dan gangguan terkait stress (F40-F48), dengan
pedoman diagnostik sebagai berikut:

Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan


kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya

dua minggu berturut-turut.


Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu
aktivitas penderita.
Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri;
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita;
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan hal
yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari
ketegangan atau ansietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti
dimaksud di atas);
d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).3,6

Anak-anak dan remaja dengan obsesi atau kompulsi sering dibawa berobat karena
banyaknya waktu yang mereka habiskan demi pikiran mengganggu dan ritual berulang.
Obsesi yang paling sering dilaporkan pada anak-anak adalah ketakutan akan
kontaminasi, terpapar sesuatu yang kotor, terpapar kuman, ataupun terpapar penyakit;
ketakutan akan hal yang membahayakan, diri sendiri, anggota keluarga, maupun orang

lain karena kehilangan kontrol terhadap impuls agresif. Sering pula dilaporkan pikiran
obsesif terhadap kesimetrisan atau keakuratan, menyimpan benda berharga dan
kepedulian religius serta moral yang berlebihan. Ritual kompulsif yang sering
ditunjukkan anak-anak adalah membersihkan, mengecek, menghitung, perilaku
berulang atau menyusun benda-benda. Gejala penyerta yang mendukung ke arah
gangguan obsesif-kompulsif pada anak-anak meliputi penolakan, tidak dapat
memutuskan, ragu-ragu, dan lambat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Pada
sebagian besar kasus obsesif-kompulsif pada anak-anak, obsesi dan kompulsi
ditemukan keduanya.1,2
Gambar 2. Gejala gangguan obsesif-kompulsif pada anak-anak.2

Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan obsesif-kompulsif pada anak-anak


sama seperti pada orang dewasa, dengan modifikasi pada anak-anak tidak diperlukan
utuk mengenali bahwa obsesi atau kompulsi-nya berlebihan atau irasional.

Gambar 3. Komorbiditas pada gangguan obsesif-kompulsif. 2

Gangguan obsesif kompulsif sering ditemukan komorbid terutama dengan


gangguan ansietas lain. Terdapat tingkat komorbiditas tinggi antara gangguan obsesifkompulsif dengan attention deficit/hyperactivity disorder [ADHD] dan gangguan tic;
termasuk sindrom Tourette. Penting untuk menemukan komorbiditas tersebut agar
dapat dilakukan penanganan optimal terhadap anak dengan gangguan obsesifkompulsif. 1,2
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Obsessive- Compulsive Disorder

A.Either obsessions or compulsions:


Obsessions as defined by (1),(2),(3), and (4):
(1) Recurrent and persistent thoughts, impulses, or images that are experienced at some time during the disturbance, as
intrusive and inappropriate and that cause marked anxiety or distress
(2) The thoughts, impulses, or images are not simply excessive worries about real-life problems
(3) The person attempts to ignore or suppress such thoughts, impulses, or images, or to neutralize them with some other
thought or action
(4) The person recognizes that the obsessional thoughts, impulses, or images are a product of his or her own mind not imposed
from without as in thought insertion
Compulsions as defined by (1) and (2):
(1) Repetitive behaviors (e.g. hand washing, ordering, checking) or mental acts (e.g. praying, counting, repeating words
silently) that the person feels driven to perform in response to an obsession or according to rules that must be applied rigidly
(2) The behaviors or mental acts are aimed at preventing or reducing distress or presenting some dreaded event or situation;
however, these behaviors or mental acts either are not connected in a realistic way with what they are designed to neutralize
or prevent or are clearly excessive
B. At some point during the course of the disorder, the person has recognized that the obsessions or compulsions are excessive or
unreasonable. Note: This does not apply to children.
C. The obsessions or compulsions cause marked distress, are time consuming (take more than 1 hour a day), or significantly interfere
with the persons normal routine, occupational (or academic) functioning, or usual activities or relationship.
D. If another Axis I disorder is present, the content of the obsessions or compulsions is not restricted to it (e.g., preoccupation with
food in the presence of an eating disorder; hair pulling in the presence of tricothillomania; concern with appearance in the
presence of body dysmorphic disorder; preoccupation with drugs in the presence of a substance disorder; preoccupation with
having a serious illness in the presence of hypochondriasis; preoccupation with sexual urges or fantasies in the presence of a
paraphilia; or guilty ruminations in the presence of major depressive disorders.
E. The disturbances is not due to the direct physiological effects of a substance (e.g., a drug of abuse, a medication) or a general
medical condition.
Specify if:
With poor insight: if, for most of the time during the current episode, the person does not recognize that the obsessions and
compulsions are excessive or unreasonable

From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorderss. 4 th ed. Text rev. Washington, DC: American
Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.

Gambar 4. Kriteria diagnosis gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM-IV-TR.1

II.4 Diagnosis banding


Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif dengan depresi.
Penderita gangguan obsesif-kompulsif, seringkali juga menunjukkan gejala

depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang (F33.-) dapat


menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode depresif-nya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya
gejala depresif umumnya dibarengi secara parallel dengan perubahan gejala
obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan
dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap
depresi sebagai diagnosis yang primer.
Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling

bertahan saat gejala yang lain menghilang.


Gejala obsesif sekunder yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom
Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai bagian dari
kondisi tersebut.3

II.5 Tatalaksana
Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, CBT atau CBT
dikombinasikan dengan farmakoterapi (SSRI) merupakan terapi lini pertama untuk
anak dengan gangguan obsesif-kompulsif. Baik terapi farmakologi maupun Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) dapat mengurangi tingkat ansietas pada anak dengan
gangguan ansietas; kombinasi kedua terapi tersebut memberikan respons yang lebih
superior.2,6
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Respons terhadap CBT dalam berbagai studi cukuplah tinggi (57-90%). Tidak
seperti farmakoterapi dimana sering terjadi relaps ketika obat dihentikan, hasil
dari CBT dapat dipertahankan setelah terapi selesai.
Protokol CBT pada anak-anak didasarkan pada terapi untuk orang dewasa
dengan gangguan obsesif-kompulsif yaitu exposure (menempatkan pasien
pada situasi yang membangkitkan ansietas yang berhubungan dengan
obsesinya); response prevention (mencegah timbulnya ritual atau perilaku
kompulsif yang ditujukan untuk mengurangi atau menghindari ansietas);
cognitive therapy (melatih pasien untuk mengenali dan mengubah hal yang
menyebabkan ansietas).
Langkah pertama dalam terapi adalah psikoedukasi mengenai gangguan
obsesif-kompulsif dan exposure and response prevention (E/RP). Penting bagi
anak dan orang tua untuk memahami alasan dari exposure dan response
8

prevention. Berikutnya, disusunlah suatu fear hierarchy, pasien dipaparkan


terhadap situasi yang paling tidak ditakuti terlebih dahulu dan diberi instruksi
untuk tidak melakukan tindakan kompulsifnya. Dengan paparan berulang,
ketakutan tersebut akan menghilang akibat habituasi autonomik dan ketika
akibat yang ditakuti oleh pasien apabila tidak melakukan tindakan
kompulsifnya tidak muncul, hal tersebut akan menghilangkan ekspektasi
pasien terhadap bahaya dan semakin menurunkan ansietas.
Untuk menguasai E/RP sehingga dapat menghilangkan gejala gangguan
obsesif-kompulsif, dibutuhkan banyak latihan sendiri di luar sesi terapi. Oleh
karena itu paartisipasi orang tua dan keluarga sangatlah penting, terutama
untuk anak-anak yang lebih kecil karena banyak anak-anak yang tidak mau
melaksanakan PR yang diberikan (entah karena ansietas, kurang motivasi

maupun distraksi). 2,6,7


Farmakoterapi

Gambar 5. Obat dan dosis untuk gangguan obsesif-kompulsif

Malfungsi sistem neurotransmiter serotonin diduga merupakan dasar dari


gangguan obsesif-kompulsif. Penderita gangguan obsesif-kompulsif dipercaya
memiliki kadar serotonin di sinaps yang lebih rendah dibanding orang normal.
Oleh karena itu agen serotoninergik (clomipramine, citalopram, fluoxetine,
sertraline, paroxetine, fluvoxamine) telah digunakan dalam penanganan
gangguan-obsesif-kompulsif.
Dulu clomipramine (antidepresan trisiklik) merupakan obat yang paling sering
digunakan dalam terapi gangguan obsesif-kompulsif. Namun efek samping
yang ditimbulkan (risiko kardiovaskular terhadap hipotensi, aritmia dan risiko
kejang) menyebabkan obat ini hanya digunakan apabila pasien tidak dapat
mentoleransi penggunaan SSRIs.

Karena efek sampingnya yang lebih ringan, saat ini Selective Serotonine
Reuptake Inhibitors (SSRIs) digunakan sebagai lini pertama. US Federal Drug
Administration (FDA) menyetujui penggunaan sertraline, fluoxetine dan
fluvoxamine (SSRIs) untuk gangguan obsesfi-kompulsif. Efek samping SSRIs
dapat berupa mual, eksaserbasi ansietas, insomnia, nyeri kepala dan asthenia.
Efek samping tersebut dapat dibatasi dengan pemberian slow-dose titration,
misalnya untuk fluoxetine dimulai dengan dosis 20 mg dan ditingkatkan
perlahan selama beberapa minggu hingga mencapai dosis standar 40-60 mg.
Respon klinis biasanya baru muncul dalam 8-12 minggu pengobatan.
Sebaiknya pemberian obat diteruskan hingga 1 tahun setelah perbaikan klinis
dicapai, kemudian dosis diturunkan perlahan.
Apabila pasien tidak merespon dengan baik terhadap pengobatan SSRIs, dapat
dilakukan strategi augmentasi. Penambahan agen dopaminergik (risperidone,
haloperidol, olanzapine) dapat meningkatkan respons terapi. Penambahan
agen SSRIs lain atau diganti dengan agen SSRIs lain dapat dilakukan, karena
banyak pasien dengan respon tidak adekuat terhadap satu agen SSRIs dapat
memberi respon yang lebih baik terhadap agen SSRIs lain.2,7
II.6 Prognosis
Gangguan obsesif-kompulsif dengan onset pada masa kanak-kanak merupakan
keadaan kronis, dengan gejala yang berfluktuasi sepanjang waktu. Studi menunjukkan
50% anak dengan gangguan obsesif-kompulsif mengalami remisi dengan gejala sisa
yang minimal. Pada studi terhadap penggunaan sertraline, 50% mengalami remisi total
dan 25% mengalami remisi sebagian. Prediktor untuk hasil terbaik adalah tidak adanya
gangguan komorbid termasuk gangguan tic dan ADHD. Sebagian besar kasus akan
menunjukkan perbaikan dengan terapi yang sesuai dengan kondisi anak tersebut.2,7

10

BAB III
KESIMPULAN
Gangguan obsesif-kompulsif adalah kondisi neuropsikiatrik yang ditandai dengan
pikiran mengganggu yang berulang-ulang (obsesi) dan tindakan atau ritual berulang
(kompulsi) yang dilakukan untuk mengurangi ansietas sebagai respon terhadap
obsesinya. Angka kejadian gangguan obsesif-kompulsif pada anak-anak sudah mulai
meningkat pada beberapa tahun terakhir ini. Gejala gangguan obsesif-kompulsif pada
anak-anak dan dewasa sebenarnya hampir sama, hanya saja anak-anak tidak menyadari
bahwa pikiran atau perilaku yang mereka tunjukkan tidak memiliki alasan yang jelas.
Gangguan ini disebabkan oleh berbagai macam faktor yang saling mempengaruhi satu
sama lain, yaitu faktor genetik, neuroimunologi, neurokimia dan neurostruktural.
Anak-anak dan remaja dengan obsesi atau kompulsi sering dibawa berobat karena
banyaknya waktu yang mereka habiskan demi pikiran mengganggu dan ritual berulang.
11

Penatalaksanaan yang paling tepat untuk anak-anak dengan gangguan obsesifkompulsif adalah kombinasi Cognitive Behavioral Therapy dengan terapi farmakologis,
yaitu dengan penggunaan obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI).
Terapi farmakologis yang sering digunakan adalah sertraline, sedangkan Cognitive and
Behavioral Therapy (CBT) cukup signifikan digunakan untuk membantu pasien dalam
menjaga keberhasilan terapi farmakologis dalam efeknya mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2007:1270-1273.
2. Lewin AB, Piacentini J. Obsessive-Compulsive Disorder in Childhood. In: Sadock
BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry 9th
ed. Vol2. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2009:3671-3678.
3. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan pertama.
Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993:182-186.
4. Gilbert AR, et al. Decrease in Thalamic Volume of Pediatric Patients With
Obsessive-compulsive Disorder Who Are Taking Paroxetine. Arch Gen Psychiatry
2000;57:449-456.
5. Amat JA, et al. Increased Number of Subcortical Hyperintensities on MRI in
Children and Adolescents With Tourettes Syndrome, Obsessive-Compulsive
Disorder, and Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Am J Psychiatry 2006;
163:11061108.
6. Walkup JT, et al. Cognitive Behavioral Therapy, Sertraline, or a Combination in
Childhood Anxiety. The New England Journal Medicine Volume 359:2753-2766.
December, 2008.
7. Storch EA, Merlo LJ. Obsessive-compulsive disorder: strategies for using CBT and
pharmacotherapy. The Journal of Family Practice 2006;55(4):329-33.

iii

Anda mungkin juga menyukai