Rino Sinusitis
Rino Sinusitis
TINJAUAN PUSTAKA
Prosesus
unsinatus
berbentuk
bumerang
memanjang
dari
di
anterosuperior
pada
pinggir
tulang
lakrimal
dan
di
etmoid
terletak
di
posterior
prosesus
unsinatus
dan
merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior.
Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan
infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et
al, 2003; Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993).
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding
anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior
dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya
terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi
terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus
semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari selsel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal,
sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan
membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et
al, 2001; Mangunkusumo, 2000).
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari
meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung
ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi
(Browning, 2007; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang
terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga
hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus
maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa selsel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus
maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus
anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di
meatus superior (Walsh et al, 2006).
Sinus Maksila
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi
klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut
dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah
naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga
harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006).
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami
sinus maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium
sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan
prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari
ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior
lamina papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman
pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior
(Nizar, 2000).
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi
dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Kamel, 2002;
Stammberger et al, 1993).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecilkecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Walsh et al,
2006).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel
etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat
suatu
penyempitan
yang
disebut
infundibulum,
tempat
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia
8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan
dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 %
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang (Walsh et al, 2006).
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuklekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid (Punagi, 2008; Kennedy et al,
2003; Burton, 2000; Amedee, 1993).
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral
septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior
diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus
sfenoid; yang terdiri dari
(Busquets et al,
2006).
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps (2012), rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek ( sekret
hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah,
penurunan/
hilangnya
penghidu,
dan
salah
satu
dari
temuan
172
sebanyak
34,3%,
sedangkan
jumlah
penderita
perempuan
anterior,
pemeriksaan
nasoendoskopi
dan
pemeriksaan
Anamnesis
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai
dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari
kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006.
Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada
daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu.
Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi
dan batuk (Busquets et al, 2006).
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan
paling penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat
adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala
yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan
dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat
menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini
berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata (Fokkens et al,
2012; Ballenger, 2004).
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada
atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal,
nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang
letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas
lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus
sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger, 2004).
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura
olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat
terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun
pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah
proses infeksi hilang (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).
Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda
inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang
terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai
rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001).
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan
kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya
sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil,
hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media polipoid,
konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal drip dan
septum deviasi (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006).
orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya
dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema
merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan
gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan
pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi
intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak
membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke
intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.
2. Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis
sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya
dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang
tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi
pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena.
Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses
intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat
sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu
dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan
hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi.
3. Mukokel (kista)
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering
timbul di sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila,
etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir
yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi
besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel
menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus
yang terkena.
2.2.7 Penatalaksanaan
Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non
medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian
antibiotik,
kortikosteroid,
anti
jamur,
anti
bakteri,
anti
histamin,
RINOSKOPI ANTERIOR
Polip? Tumor? Komplikasi sinusitis?
YA
TIDAK
TIDAK
YA
Faktor Predisposisi
Deviasi septum
Konka bulosa, Hipertrofi
Adenoid (pada anak)
Polip, Kista, Jamur,
Dentogenik
Terapi tambahan :
Dekongest.oral + topikal
Mukolitik, Analgetik
Pasien Atopi :
Antihist./Kortiko
steroid topikal
AB empirik (2 x 24 jam)
Lini I : Amoksil 3x500 mg
/Cotrimoxazol 2x480 mg
+ terapi tambahan
YA
YA
Perbaikan ?
Terapi tambahan :
Dekongest.oral ,Kortikost.oral
dan atau topikal, Mukolitik
Antihistamin (pasien atopi)
Diartemi,Proet,Irigasi sinus
Lini II AB (7 hari)
Amoks. klav /
Ampi. sulbaktam
Cephalosporin gen. kell
Makrolid
+ terapi tambahan
TIDAK
Ro.polos/CT scan dan /
Naso-endoskopi (NE)
RA/Naso-endoskopi
Ro polos / CT Scan
Pungsi & irigasi sinus
Sinuskopi
TIDAK
Terapi sesuai pada
episode akut lini
II + Terapi
Perbaikan ?
YA
Teruskan AB
mencukupi
7-14 hari
Perbaikan ?
SINUSITIS KRONIK
Faktor Predisposisi?
YA
Tata laksana yang sesuai
TIDAK
Lakukan
penatalaksanaan
yang sesuai
TIDAK
AB alternatif 7
hari
Atau buat kultur
Teruskan AB
mencukupi
7-14 hari
Perbaikan ?
TIDAK
YA
Kelainan ?
Kemungkinan
Sinusitis Akut
Berulang
Lakukan terapi
sinusitis kronik
Evaluasi kembali :
NE, Sinuskopi atau
CT jika belum
TIDAK
TIDAK
Evaluasi diagnosis kembali
1. Evaluasi komprehensif` alergi, LPR
(refluks)
2. Kultur pungsi sinus untuk resistensi
kuman, beri AB sesuai kultur
Obstruksi KOM
Cari alur
Diagnostik lain
YA
TINDAKAN
BEDAH : BSEF atau
Bedah Konvensional
2.3.2 Indikasi
Operasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya
dilakukan untuk penatalaksanaan
dan
neoplasia
(Xu
et
al,
2008;
Mangunkusumo,
2000;
serebrospinal,
tumor
hipofisa,
dekompresi
orbita,
kelainan
dan
kemungkinan
timbulnya
komplikasi
saat
operasi
ringan
yaitu
unsinektomi/infundibulektomi
sampai
Membuka infundibulum
Tahap awal operasi adalah membuka rongga indundibulum dengan
mengangkat prosesus unsinatus sehingga akses ke ostium sinus
maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar
atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium
sinus maksila maka drainase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali
dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan
manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap
awal operasi ini sudah cukup (Soetjipto, 2000; Stammberger et al,
1993).
Etmoidektomi retrograd
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi,
sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika disertai
sinusitis frontal. Caranya adalah sebagai berikut, setelah tahap awal tadi,
sebaiknya mempergunakan teleskop 0, dinding anterior bula etmoid
ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina
basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior (Kennedy,
2001; Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993).
Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 0 dan tampak
tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk
membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior
(umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel
dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak
diidentifikasi. Selanjutnya diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde
membersihkan sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas
superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fosa kranii anterior), batas
lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini
mempergunakan teleskop 0 atau 30. Cara membersihkan sel etmoid
anterior secara retrograd ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari
anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih
besar (Stankiewicz, 2009; Soetjipto, 2000).
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu
adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior
lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras yang
letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari
pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal. Identifikasi
arteri etmoid anterior sangat penting dan dihindari trauma pada arteri ini.
Arteri ini berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah
diseksi, arteri akan tampak dalam kanal di batas belakang atap resesus
frontal. Saat diseksi pada etmoid posterior, harus diingat adanya sel
Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi,
berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah
sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n. optikus an atau arteri
karotis interna di sisi lateralnya (Soetjipto,2000).
dihindari
untuk
mencegah
terjadinya
penyakit
iatrogenik
2.3.6 Komplikasi
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi
dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan
kemajuannya,
Etiologi :
Infeksi
Alergi
Obat-obatan
Zat iritan
Jamur
- Patensi ostium
-Jumlah silia yang berfungsi
-Kualitas sekret
Faktor predisposisi :
Deviasi septum
Konka inferior hipertrofi
Konka media paradoksal
Rinosinusitis Kronik
Gejala
Nasoendoskop
CT Scan
BSEF
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Variabel penelitian