Anda di halaman 1dari 6

Mekanisma trauma.

Sebagian besar fraktur tulang disebabkan oleh kekuatan yang berlebihan


mendadak yang dapat berupa langsung ( tulang istirahat pada titik dampak )
atau tidak langsung ( tulang istirahat agak jauh dari titik di mana memaksa
diterapkan).
Tulang bisa fraktur oleh mekanisme yang berbeda :
1. Direct violence / kekerasan langsung
pukulan langsung ke tulang mis jalan lalu lintas kecelakaan.
2. kekerasan tidak langsung
Tidak ada kekerasan yang sebenarnya atau kontak diterapkan ke situs
fraktur
fraktur yang paling sering terjadi sebagai akibat dari cedera memutar .
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien post operasi fraktur
cruris 1/3 distal antara lain (1) oedem disekitar tungkai bawah, (2) rasa nyeri
akibat adanya oedem dan luka incise post operasi, (3) keterbatasan gerak sendi
ankle, (4) gangguan aktivitas fungsional, terutama gangguan jalan dan penting
harus diperhatikan jika terjadi (5) Compartment syndrome.
Komplikasi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra, komplikasi yang
mungkin terjadi yaitu komplikasi yang berhubungan dengan setelah
dilakukannya tindakan operasi, antara lain:
a. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya terjadi akibat oedem dan fibrosis pada kapsul, ligamen,
dan otot disekitar sendi dan terjadi perlengketan antar jaringan lunak.
b. Komplikasi kulit
Immobilisasi tanpa alat pemulih, tekanan yang semestinya dan adanya aplikasi
gips pada daerah fraktur yang tidak benar dapat menyebabkan timbulnya ulkus
tekan (Garrison, 1996).
c. Infeksi
Infeksi biasanya terjadi karena luka incisi yang tidak steril yang dapat
menimbulkan adanya nyeri.
Sedangkan untuk komplikasi karena fraktur, antara lain:
a. Shorthening

Shorthening terjadi karena pemendekan pada tulang yang diakibatkan mal


union, loss of bone dan gangguan epiphysial plate pada anak anak.
b. Malunion
Mal union merupakan penyambungan yang tidak sesuai dengan posisi yang
semestinya, seperti angulasi, overlapping dan rotasi. Distribusi gaya tekan yang
tidak baik menyebabkan gangguan fungsi dan timbulnya perubahan perubahan
osteoarthritis yang lebih awal pada sendi sendi yang berdekatan. Bila ada
gangguan fungsi berat tindakan rekonstruksi harus dilakukan terhadap tulang
atau sendi yang mengalami mal union (Bloch, 1986).
c. Non union
Non union adalah keadaan dimana fragmen gagal untuk menyambung walaupun
telah diimobilisasi. Hal ini karena pembentukan callus terganggu dan ujung
ujung fragmen tertutup oleh jaringan fibrocartilago (Bloch, 1986).
d. Delayed union
Delayed union adalah terjadinya penyambungan tulang yang terlambat karena
infeksi, suplai darah tidak lancar dan adanya gerakan pada ujung fragmen.
Beberapa tempat yang sering mengalami penyambungan lambat dengan
sirkulasi yang kurang diantaranya os naviculare dari os carpalia, colum femoris
dan spertiga bagian bawah tibia (Bloch, 1986).
Penatalaksanaan
Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran
pada umumnya, yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan didasari atas
diagnosis yang tepat, pemilihan pengobatan dengan tujuan tertentu, mengikuti
law of nature, pengobatan yang realistis dan praktis, dan memperhatikan
setiap pasien secara individu.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang dilakukan
tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang
mempunyai kemampuan remodeling.
Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri,
Menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, Agar terjadi
penyatuan tulang kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti semula.
Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan imobilisasi, (tidak
menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik
imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips.1,2,4 Bidai dan gips
tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan
teknik seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal.

Berapa lama patah tulang diperlukan untuk bersatu dan sampai terjadi
konsolidasi? Tidak ada jawaban yang tepat mungkin karena faktor usia,
konstitusi, suplai darah, jenis fraktur dan faktor lain mempengaruhi sepanjang
waktu diambil.
Prediksi yang mungkin adalah timetable Perkins yang sederhana. Fraktur spiral
pada ekstremitas atas menyatu dalam 3 minggu, untuk konsolidasi kalikan
dengan 2; untuk ekstremitas bawah kalikan dengan 2 lagi; untuk fraktur
transversal kalikan lagi oleh 2.
Sebuah formula yang lebih sophisticated adalah sebagai berikut. Sebuah fraktur
spiral pada ekstremitas atas memakan waktu 6-8 minggu untuk terjadinya
konsolidasi. Ekstremitas bawah membutuhkan dua kali lebih lama. Tambahkan
25% jika bukan fraktur spiral atau jika melibatkan tulang paha. Patah tulang
anak-anak, tentu saja, menyatu lebih cepat. Angka-angka ini hanya panduan
kasar, harus ada bukti klinis dan radiologis terkait konsolidasi sebelum tekanan
penuh diperbolehkan tanpa splintage.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya
sendi.Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi tanpa
reposisi dan imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi dengan cara
manipulasi diikuti dengan imobilisasi, Reposisi dengan traksi, Reposisi diikuti
dengan imobilisasi dengan fiksasi luar, Reposisi secara nonoperatif diikuti
dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif. Reposisi secara
operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi
interna, Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis.
Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan fraktur
dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang
tidak akan menyebabkan kecacatan dikemudian hari. Contoh adalah pada fraktur
kosta, fraktur klavikula pada anak-anak, fraktur vertebrae dengan kompresi
minimal.
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi
tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara
ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius
distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat,
misalnya fraktur femur.
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada
fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan

batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara
lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi
infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi
yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk
operasi yang aman, asien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang
panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala
fraktur dengan infeksi.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator
tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi,
dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur femur, tibia,
humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan
tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi
sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi
pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan
operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali
setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur
femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa
meminimalkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit
(paraplegia, pasien geriatri).
Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis dilakukan pada
fraktur kolum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan
prosthesis. Tindakan ini diakukan pada orang tua yang patahan pada kolum
femur tidak dapat menyambung kembali.
Teknologi Intervensi Fisioterapi
Tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi pada perawatan pasca fraktur adalah
mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas normalnya (Garrison,
1996). Modalitas fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi
fraktur cruris dextra 1/3 distal dengan terapi latihan. Terapi latihan adalah suatu
usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya
menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).
Terapi latihan yang dapat dilakukan :
1. Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk
mempertahankan kestabilan tanpa disertai gerakan (Priatna, 1985). Dengan
gerakan ini maka akan merangsang otot-otot untuk melakukan pumping action

sehingga aliran darah balik vena akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran
darah baik maka oedema dan nyeri dapat berkurang.
2. Latihan pasif
Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sedangkan
otot penderita rileks (Priatna, 1985). Disini gerakan pasif dilakukan dengan
bantuan terapis.
3. Latihan aktif
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot anggota
tubuh pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktifmeningkatkan kekuatan otot (Kisner,
1996). Gerak aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot sehingga pengiriman
oksigen dan nutrisi makanan akan diedarkan oleh darah. Dengan adanya oksigen
dan nutrisi dalam darah, maka kebutuhan regenerasi pada tempat yang
mengalami perpatahan akan terpenuhi dengan baik dan dapat mencegah
adanya fibrotik.

4. Latihan jalan
Salah satu kemampuan fungsional yang sangat penting adalah berjalan. Latihan
jalan dilakukan apabila pasien telah mampu untuk berdiri dan keseimbangan
sudah baik. Latihan ini dilakukan secara bertahap dan bila perlu dapat
menggunakan walker. Selain itu dapat menggunakan kruk tergantung dari
kemampuan pasien. Pada waktu pertama kali latihan biasanya menggunakan
teknik non weight bearing ( NWB ) atau tanpa menumpu berat badan. Bila
keseimbangan sudah bagus dapat ditingkatkan secara bertahap menggunakan
partial weight bearing ( PWB ) dan full weight bearing ( FWB ). Tujuan latihan ini
agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun masih dengan
alat bantu.
Edukasi
Bila pasien sudah pulang, terapis bisa memberikan program latihan yang harus
dilakukan dan memberikan penjelasan tentang aktivitas yang harus dihindari
agar tidak terjadi refraktur. Salah satunya pasien harus melaksanakan program
latihan yang diberikan oleh terapis untuk mengembalikan kemampuan
fungsional pasien, seperti menggerakkan anggota tubuh untuk mencegah
kekakuan dan atrofi otot, mengelevasikan kaki bila terasa nyeri, menghindari
penumpuan berat badan berlebih pada tungkai yang mengalami fraktur. Dan
yang terpenting adalah melatih kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas
sehari hari sehingga tidak selalu tergantung dengan orang lain.
Prognosis
Merupakan suatu perkiraan tentang kondisi pasien selanjutnya yaiut dengan
penilaian berupa :

a. Quo ad vitam berupa penilaian tentang kesembuhan pasien.


b. Quo ad sanam berupa penilaian tentang hidup dan mati pasien.
c. Quo ad fungsionam berupa penilaian tentang fungsi dari tubuh pasien
yang mengalami gangguan.
d. Quo ad Cosmeticam berupa tampilan dari kondisi tubuh pasien yang
mengalami gangguan.
Penilaian untuk masing-masing point-nya yaitu baik, dubia ad malam
(kesembuhan ke arah jelek), dubia ad bonam (kesembuhan ke arah baik) dan
jelek.

DAFTAR PUSTAKA
1. Appley, G. A and Solomon, Louis, 1995; Orthopedi dan Fraktur Sistem
Appley; Edisi ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
2. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures
in Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331
3. Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik;
Terjemahan Hipocrates, Jakarta.
4. Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta: Salemba
Medika. 2011. p411-55
5. Salter RB. Textbook Disorders and Injuries of The Muskuloskeletal System
Third Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 1999. p417-498
6. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083

Anda mungkin juga menyukai