Anda di halaman 1dari 9

Paradigma Pendidikan Indonesia Abad Ke-21

Sumber : https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2013/07/02/paradigma-pendidikan-indonesia-abad-ke21/
Paradigma Pendidikan Indonesia Abad Ke-21
Dari jaman ke jaman, pendidikan muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Dilihat dari
sejarahnya,Pendidikan Indonesia dapat dibagi secara urutan waktu kurang lebih sebagai berikut: (a)
jaman pra-kolonial: masa prasejarah dan masa sejarah, (b) jaman kolonial ketika sistem pendidikan
modern dari Eropa diperkenalkan, dan (c) jaman kemerdekaan RI yang berlangsung hingga sekarang.
Masing-masing jaman memiliki corak dan bentuk tersendiri.
Memasuki abad ke-21 sekarang ini, Pendidikan Indonesia dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan
peluang, yang tentunya berbeda dengan jaman-jaman sebelumnya. Guna mengantisipasi dan
menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang dan akan terus
berlangsung di Abad ke-21 ini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP), pada tahun 2010 telah
berupaya mengkonsepsikan pendidikan Indonesia untuk abad ke-21, yang dituangkan dalam sebuah buku
yang berjudul PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL ABAD XXI. Buku ini disusun oleh para
pakar dari berbagai disiplin ilmu.
Salah satu topik yang dibahas dalam buku ini adalah tentang perubahan paradigma pembelajaran pada
Abad ke-21 sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:

1.

Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa


Jika dahulu biasanya yang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar, menyimak, dan menulis maka saat
ini guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi.
Fungsi guru dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya.

2.

Dari satu arah menuju interaktif


Jika dahulu mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke siswa, maka saat ini harus terdapat
interaksi yang cukup antara guru dan siswa dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas
semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan dan dikelola.

3.

Dari isolasi menuju lingkungan jejaring


Jika dahulu siswa hanya dapat bertanya pada guru dan berguru pada buku yang ada di dalam kelas semata, maka
sekarang ini yang bersangkutan dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta
diperoleh via internet.

4.

Dari pasif menuju aktif-menyelidiki


Jika dahulu siswa diminta untuk pasif saja mendengarkan dan menyimak baik-baik apa yang disampaikan gurunya
agar mengerti, maka sekarang disarankan agar siswa harus lebih aktif dengan cara memberikan berbagai pertanyaan
yang ingin diketahui jawabannya.

5.

Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata


Jika dahulu contoh-contoh yang diberikan guru kepada siswanya kebanyakan bersifat artifisial, maka saat ini sang
guru harus dapat memberikan contoh-contoh yang sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan
bahan yang diajarkan.

6.

Dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim


Jika dahulu proses pembelajaran lebih bersifat personal atau berbasiskan masing-masing individu, maka yang harus
dikembangkan saat ini adalah model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu.

7.

Dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan


Jika dahulu ilmu atau materi yang diajarkan lebih bersifat umum (semua materi yang dianggap perlu diberikan),
maka saat ini harus dipilih benar-benar ilmu atau materi yang benar-benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam
secara sungguh-sungguh (hanya materi yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang diberikan).

8.

Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru


Jika dahulu siswa hanya menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi yang diajarkan guru
(mata dan telinga), maka saat ini seluruh panca indera dan komponen jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam
proses pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik).

9.

Dari alat tunggal menuju alat multimedia


Jika dahulu ilmu guru hanya mengandalkan papan tulis untuk mengajar, maka saat ini diharapkan guru dapat
menggunakan beranekaragam peralatan dan teknologi pendidikan yang tersedia baik yang bersifat konvensional
maupun moderen.

10
.

Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif


Jika dahulu siswa harus selalu setuju dengan pendapat guru dan tidak boleh sama sekali menentangnya, maka saat
ini harus ada dialog antar guru dan siswa untuk mencapai kesepakatan bersama.

11.

Dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan


Jika dahulu seluruh siswa tanpa kecuali memperoleh bahan atau konten materi yang sama, maka sekarang ini setiap
siswa berhak untuk mendapatkan konten sesuai dengan ketertarikan atau keunikan potensi yang dimilikinya.

12
.

Dari usaha sadar tunggal menuju jamak


Jika dahulu siswa harus secara seragam mengikuti sebuah cara dalam berproses maka yang harus ditonjolkan saat
ini justru adanya keberagaman inisiatif yang timbul dari masing-masing individu.

13
.

Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak


Jika dahulu siswa hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu sisi pandang ilmu, maka saat ini
konteks pemahaman akan jauh lebih baik dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.

14
.

Dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan


Jika dahulu seluruh kontrol dan kendali kelas ada pada sang guru, maka sekarang ini siswa diberi kepercayaan
untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan aktivitasnyamasing-masing.

15
.

Dari pemikiran faktual menuju kritis


Jika dahulu hal-hal yang dibahas di dalam kelas lebih bersifat faktual, maka sekarang ini harus dikembangkan
pembahasan terhadap berbagai hal yang membutuhkan pemikiran kreatif dan kritis untuk menyelesaikannya.

16
.

Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan


Jika dahulu yang terjadi di dalam kelas adalah pemindahan ilmu dari guru ke siswa, maka dalam abad moderen
ini yang terjadi di kelas adalah pertukaran pengetahuan antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan
sesamanya.

Buku ini tampaknya menjadi referensi wajib bagi setiap insan Indonesia yang terlibat langsung maupun
tidak langsung dengan dengan dunia pendidikan kita. Bagi Anda yang belum memiliki buku tersebut
silahkan download melalui tautan di bawah ini

MENELAAH PARADIGMA PENDIDIKAN


DAN KONSEP PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sumber : http://edymonthazery983.blogspot.co.id/2013/01/menelaah-paradigma-pendidikandi.html
Menelaah Definisi Pendidikan di Indonesia
Definisi pendidikan di Indonesia pada umumnya di artikan sebagai sebuah proses untuk
memanusiakan manusia, sebagaimana tertuang dalam pembukaan undang-undang alenia ke-IV yakni
mencerdeskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimaksud tentu memiliki makna
yang luas, bahwasannya negara memiliki tanggung jawab dalam menyelenggarakan proses pendidikan
guna menghasilkan manusia-manusia Indonesia seutuhnya dan mampu memberikan kontribusi dalam
menghadapi persoalan kehidupannya secara pribadi, masyarakat maupun bangsa dan negara. Pendidikan
adalah bimbingan secara sadar dan sistematis dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
anak didik menuju terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian yang utama dan ideal. Yang
dimaksud Kepribadian yang utama dan ideal adalah kepribadian yang memiliki kesadaran moral dan
sikap mental secara teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran-ajaran atau prinsip
nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun filsafat masyarakat bangsa
dan negara. Menurut pandangan John Dewey, 1957 pendidikan adalah sebagai proses pembentukan
kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi)
manusia. ( dalam Jalaludin & Abdullah Idi, 2011).
Dalam penyelenggaraannya, sejatinya pendidikan harus berdasarkan substansi pendidikan yang
sesungguhnya tanpa mereduksi makna pendidikan tersebut. Pendidik harus memiliki komitmen dalam

1.

melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pendidik dengan senantiasa menyadari dan mengembangkan


dirinya sebagai seorang yang mengemban jabatan profesi, seseorang yang memiliki jabatan profesi tentu
harus memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan tertentu. Hal tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2006 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 bahwa kompetensi guru itu mencakup kompetensi pedagogis,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Selanjutnya dalam undang-undang itu dijelaskan tentang kompetensi di atas;
Bahwa kompetensi pedagogis merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta
didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
Pemahaman terhadap peserta didik
Pengembangan kurikulum/silabus
Perancangan pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
Pemanfaatan teknologi pembelajaran
Evaluasi hasil belajar dan
Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

2.
Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang:
Mantap
Stabil
Dewasa
Arif dan bijaksana
Berwibawa
Berakhlak mulia
Menjadi teladan bagi peserta didik
Secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan
Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
3. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurangkurangnya meliputi kompetensi untuk :
Berkomunikasi lisan, tulisan, dan/isyarat
Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta
didik, dan
Bergaul santun dengan masyarakat sekitar
4.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2006 tentang guru dan dosen tersebut, maka
sudah menjadi konsekuensi bagi para pendidik untuk memiliki empat kompetensi yang harus dimiliki
oleh pendidik/guru tersebut. Sehingga menjadi guru bukanlah hanya pelabelan guru pada dirinya,
mengajar hanya untuk menggugurkan kewajibannya, dan menikmati tunjangan provesi yang cukup besar
dari pemerintah. Kebijakan pemberian sertifikasi guru dalam jabatan sejauh ini belum menjadi problem
solving atau pemecahan masalah dalam menjembatani keterpurukan pendidikan Indonesia dalam kancah
negara-negara lain. Guru-guru yang telah disertifikasi harus dimonitoring lebih intens dan dievaluasi,
karena pada realitas yang sesungguhnya masih banyak guru-guru sertifikasi belum menunjukan
kinerjanya yang baik sebagai pendidik. Apabila terbukti guru yang bersangkutan melanggar dan tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik maka pemerintah harus memberikan sangsi, sehingga memiliki efek
jera bagi yang bersangkutan dan pelajaran bagi guru-guru yang lainnya.
Paradigma Pendidikan; sebuah tinjauan
Sebuah paradigma yang mapan dan berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi mengalami malfungsi
apabila partadigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah mengalami perubahan. Paradigma
yang mengalami anomali tersebut cenderung menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut
terjadinya revolusi ilmiah yang melahirkan paradigma baru dalam rangka mengatasi krisis yang terjadi
(Kuhn, 2002). Paradigma suatu negara mengenai pendidikan tentu akan mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Paradigma pendidikan yang dibangun di
Indonesia harus mengacu pada azas-azas fundamental yang telah dimiliki oleh bangsa dalam hal ini yang
berasal dari nilai luhur budaya adiluhung bangsa. Azas pendidikan akan menjadi suatu kebenaran yang
diyakini dan dapat menjadi dasar atau tumpuan berfikir, baik pada tahap perencanaan maupun
pelaksanaan pendidikan.
Tidak bisa dipungkiri paradigma pendidikan di Indonesia juga dipengaruhi oleh konsep-konsep
paradigma masa penjajahan Belanda dan Jepang yang tentunya membawa dampak positif dan negatif
dalam perekembangan penyelenggaraannya. Dampak negatif akibat penjajahan Belanda yang bercokol di
negara ini kurang lebih 350 tahun atau 3,5 abad ini diantaranya adalah, asas sekuler-materialistik yang
lebih dominan, asas sekuler yang dimaksud adalah adanya jurang yang memisahkan antara pendidikan
dengan nilai-nilai agama. Pendidikan hanya untuk mengetahui ilmu dunia secara kognitif tapi tidak
menyentuh nilai-nilai spiritual, sedangkan materialistik lebih diartikan pada tujuan kehidupan yang hanya
berorientasi materi dan keduniaan. Konsep materialistik inilah yang melahirkan tatanan perekonomian
yang kapitalistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Dari sistem pendidikan seperti ini

maka melahirkan generasi bangsa yang cerdas dari segi kognitifnya tapi sangat kerdil ahlaknya, tak pelak
cermin sesungguhnya kita lihat dalam perkembangan realitas hari ini, baik di mendia elektronik maupun
media massa sangatlah banyak kasus-kasus pidana yang justru dilakukan oleh orang-orang yang
notabenenya adalah orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi.
Dari kondisi pendidikan Indonesia sebagaimana penjelasan sebelumnya maka kita harus kembali
pada substansi pendidikan yang sesungguhnya. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia
itu dapat dididik dan dapat pula mendidik dirinya sendiri. Manusia dilahirkan tentunya tanpa daya dan
tergantung pada orang lain kecuali faktor gen yang telah diwarisi oleh orang tuanya. Tapi di sisi lain
manusia juga memiliki potensi hampir tanpa batas yang dapat dikembangkan melalui dunia pendidikan.
Asas-asas pendidikan di Indonesia harus bersumber dari kecenderungan umum pendidikan di dunia serta
bersumber pada perjalanan sejarah dan nilai-nilai budaya adiluhung bangsa. Tiga asas pendidikan di
Indonesia yang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa lampau, kini, dan akan datang adalah
sebagaimana yang telah digagas oleh tokoh pendidikan kita yakni Ki Hajar Dewantara yang
meliputi: asas Tut Wury Handayani, asas belajar sepanjang hayat (live long education), dan asas
kemandirian dalam belajar.
Asas Tut Wuri Handayani merupakan inti dari asas Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada
tanggal 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000 dalam Wayan Santyasa, 2003). Asas pertama tersebut
berbunyi : bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan
dalam perikehidupan umum. Dari asas tersebut nampak bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh Taman
Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai. Dari asas ini juga melahirkan sistem among, dimana
guru memperoleh sebutan pamong yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan
bersemboyan Tut Wuri Handayani, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada
anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya
bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah, paksaan atau
hukuman (punishment), tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan
sendiri dengan kekuatan sendiri. ing ngarsa sung tulada adalah hal yang baik mengingat kebutuhan
anak maupun pertimbangan guru. ing madya mangun karsa diterapkan dalam situasi kurang bergairah
atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat
motivasi. Ketiga semboyan tersebut harus senantiasa dipertahankan sistem pendidikan Indonesia.
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap
pendidikan seumur hidup (live long education). Sehingga kurikulum di Indonesia harus dirancang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi
vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan tapi kesinambungan antar tingkatan
persekolahan, tetapi juga terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Dimensi horizontal
mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Maka rancangan
kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai
sumber belajar yang ada di sekitarnya.
Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yang sangat erat dengan asas Tut Wuri
Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep kemandirian mengandung makna bahwa
belajar merupakan kebutuhan yang muncul dari dalam diri sendiri sehingga cenderung bertahan
sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. (Wayan Santyasa, 2003)
Asas-asas pendidikan yang telah dirumuskan oleh Kihajar Dewantara tentu masih relevan dengan
kondisi bangsa Indonesia saat ini, olehnya sistem pendidikan Indonesia harus memasukan asas-asas
pendidikan tersebut. Tidak kalah pentingnya juga adalah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
sarat akan agama, sehingga kurikulum yang dibangunpun harus memasukan nilai-nilai agama dan ahlak
mulia. Karena pada kenyataannya penyelenggaraan pendidikan tanpa menyentuh nilai-nilai agama hanya
akan menghasilkan output/keluaran generasi yang hanya cerdas dari sisi kognitif, sedangkan kecerdasan
spiritual tidak tersentuh. Kemajuan bangsa Indonesia ke depan hanya bisa terjadi ketika generasi kedepan
memiliki berbagaimacam kecerdasan khususnya kecerdasan individual, kecerdasan sosial dan kecerdasan
spiritual.

Kesimpulan dan kritik


Sebuah paradigma pendidikan yang mapan dan berlaku dalam suatu negara biasanya akan
mengalami disorientasi fungsi apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah
mengalami perubahan. Paradigma yang mengalami pergeseran fungsi tersebut cenderung akan
menimbulkan krisis. Namun krisis tersebut akan menjadi sebuah problem yang harus dicari jalan
keluarnya dan menuntut terjadinya sebuah revolusi ilmiah yang melahirkan paradigma baru dalam rangka
mengatasi krisis yang terjadi. Paradigma pendidikan yang berlaku di Indonesia hendaknya harus
terinspirasi oleh aspek latar belakang historis yang lebih mengarah pada nilai-nilai tradisi dan budaya
adiluhung, namun di sisi lain harus terbuka dengan pengaruh budaya luar. Sisi positif budaya luar harus
diadopsi untuk mengembangkan konsep pendidikan yang ada di Indonesia.
Konsep pendidikan di Indonesia harus senantiasa bercermin dari filosofi pendidikan yang di
gagas oleh Kihajar Dewantara dengan konsep Tut Wuri Handayani. Pendidikan bertujuan untuk
memanusiakan manusia dalam artian para pendidik dengan secara sadar harus berupaya agar para peserta
didik dapat belajar mandiri baik melalui dirinya sendiri ataupun melalui lingkungannya. Selain peserta

didik digenjot kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya juga harus dibekali dengan nilai-nilai
agama dan ahlak mulia. Sehingga peran pendidikan betul-betul memanusiakan manusia bukan
menjadikan manusia yang setengah jadi.
Dalam realitas sesungguhnya pendidikan di Indonesia sebagai media strategis pengembangan
kualitas sumber daya manusia (SDM) belum terlaksana dengan baik. Persoalan-persoalan seputar aspek
kualitas guru dan siswa, relevansi dan pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh warga negara
Indonesia masih jauh api dari panggang. Digulirkannya kebijakan pendidikan wajib belajar 9 tahun dan
digelontorkannya dana bos ke sekolahpun, belum dapat mengatasi anak putus sekolah. Masih banyak
sekolah-sekolah yang secara diam-diam melakukan pungutan terhadap peserta didik, meskipun berdalih
otonomi sekolah. Kebijakan pemerintah tersebut harus senantiasaa di monitoring secara konsisten dan
dievaluasi untuk perbaikan proses dan penyelenggaraan pendidikan. Tapi kita harus yakin bahwa bangsa
ini masih punya harapan untuk menata pendidikan yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta : Rineka Cipta
Jalaluddin & Idi Abdullah. 2011. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Sanjaya, Wina. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Santyasa, I Wayan. 2003. Problematika Pendidikan Indonesia dan Gagasan menuju Paradigma Baru. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran Ikip Negeri Singaraja No.3 juli 2003.

Paradigma Pendidikan di Indonesia


Sumber : http://bem.its.ac.id/paradigma-pendidikan-di-indonesia/

Dewasa ini, ada berbagai macam harapan dan DAMPAK yang dapat di peroleh dari Pendidikan. Ada yang
berharap pendidikan dapat memberikan kebermanfaatan dengan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Ada pula yang berharap Pendidikan dapat menuntun seseorang menuju kesuksesan dengan parameter
kesejahteraan dari segi ekonomi. Namun pada prosesnya tidak jarang pendidikan membuat orang
bersemangat untuk berlomba-lomba, bersaing, dalam memenuhi standar-standar yang ada.
Apakah anda setuju? Ya, sekilas saya pun setuju. Namun jika melihat fakta yang terjadi, banyak para
pemangku kebijakan saat ini yang katanya orang berpendidikan, lulusan dari universitas terbaik,
menentukan kebijakan-kebijakan yang tidak tepat dan tidak Pro Rakyat. Bukannya menyelesaikan
masalah bangsa, namun menambah masalah yang ada.
Proses yang terjadi pun membuat kita berlomba-lomba untuk bersemangat mencapai posisi yang terbaik
dengan standar yang disama ratakan pada setiap anak. Coba saja tanyakan kepada elemen pendidik yang
berada pada tripusat pendidikan (orang tua, guru, dan masyarakat). Apa yang mereka harapkan dari
seorang anak di masa studinya? Ya, anak yang cerdas akademiknya, berprestasi baik akademik maupun
non akademik, dan anak yang berkarakter. Namun sayangnya karakter dari anak masih belum menjadi
prioritas utama dari paradigma pendidikan yang ada pada tripusat pendidikan saat ini.
Banyak orang yang telah mencapai kesuksesan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi, namun yang
sangat disayangkan kesejahteraan ekonomi ini hanya bersifat pribadi. Hal ini
menyebabkan gap kesenjangan yang ada makin lebar, disaat seseorang hanya memikirkan kesejahteraan
pribadi tanpa menengok kebelakang ternyata masih ada saudara kita yang butuh uluran tangan. Coba saja
tanyakan kepada para lulusan S1 saat ini, apakah mereka lebih memilih bekerja pada perusahaan negara,
membuka lapangan usaha mandiri, atau menjadi ajudan perusahaan asing dengan gaji setinggi langit,
padahal jika kita hitung gaji semacam itu tidak sebanding dengan kekayaan alam kita yang di exploitasi.
Mengutip pendapat dari Prof Daniel M. Rosyid, guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang
juga sebagai Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur, pendidikan seharusnya lebih mengedepankan
daya sanding, bukan daya saing. Sehingga anak Bangsa kita nantinya dapat bekerja sama membangun
Indonesia dalam sebuah harmonisasi yang indah, karena sejatinya kita tahu Indonesia adalah bangsa yang
diberkahi ragam suku dan budaya. Serta mengutip pendapat dari Pak Sulistyanto Soejoso, anggota Dewan
Pendidikan Jawa Timur, bahwa setiap anak adalah unik, mereka memiliki bakat dan minat masing-masing

untuk di kembangkan. Maka sudah seharusnya anak tidak di posisikan sebagai kertas kosong, proses
pengembangan dan standar-standar yang di capai tidak bisa disamaratakan.
Bukan untuk menentang konsep dan paradigma pendidikan yang ada di Indonesia, melainkan untuk terus
berharap bahwa Pendidikan kita dapat terus berkembang memenuhi kebutuhan Bangsa. Bukan sekedar
meniru maupun menjiplak konsep pendidikan yang ada di negara lain, melainkan Indonesia sendirilah
yang harus menciptakan konsep pendidikan. Karena sejatinya pendidikan sangat erat hubungannya
dengan manusia yang unik dan dinamis di setiap perasaan, pemikiran, dan perbuatannya.
Jika berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tentunya kita harus merujuk pada Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Beliau tidak sepakat dengan konsep pendidikan yang diwariskan oleh
kolonial belanda dimana orientasi pada pendidikan hanya mengacu pada segi kognitf (penalaran) tanpa
melihat dari segi yang lain, yaitu pendidikan budi pekerti (karakter) sehingga produk yang di hasilkan
oleh sistem pendidikan tersebut hanya melahirkan manusia pintar dengan sifat individualis dan moral
yang buruk.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan adalah tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak
anak. Maksudnya adalah Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Jadi setiap anak memiliki bakat dan potensi masingmasing. Dalam kalimat tersebut jelas sudah bahwa setiap anak memiliki bakat dan potensi yang
berbeda-beda. Sehingga kita para elemen pendidik sudah seharusnya mengembangkan anak sesuai
dengan hal itu, tentunya dengan standar yang berbeda pula. Mengacu pada konsep mulitiple intelegence
dari Profesor Howard Gardner (Harvard University), Beliau mengelompokkan kecerdasan anak dalam
delapan tipe yaitu kecerdasan visual, verbal, logical/ matematis, kinestetik, musik, interpersonal,
intrapersonal, dan natural. Kedelapan tipe kecerdasan ini pun jika dikembangkan sesuai dengan minat
anak akan sangat berdampak kepada perkembangan Indonesia. Contoh saja Bapak Iwan Fals yang dengan
alunan musiknya dapat membangun semangat nasionalisme bangsa, Bapak Mario Teguh dengan kata-kata
mutiaranya dapat menginspirasi banyak orang, Bapak Dahlan Iskan dengan perhitungan matangnya ikut
membantu perkembanganMANUFAKTUR di Indonesia, juga Evan Dimas dengan kepiawaiannya
memainkan bola bundar ikut serta meningkatkan kebanggaan Bangsa Indonesia.
Hal yang paling utama dalam proses pembelajaran adalah kegairahan belajar, sehingga dengan melakukan
apa yang anak sukai, sesuai dengan bakatnya, dampak yang timbul akan lebih terasa. Seperti pendapat
dari Bapak Pendidikan kita dimana tujuan dari pendidikan adalah agar manusia sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingg-tingginya. Dalam mendapatkan
kebahagiaan pun anak membutuhkan apresiasi dalam perjalanan pembelajarannya menjadi orang yang
bermanfaat, bukan apresiasi berupa materi melainkan apresiasi yang datang dari dalam hati. Apresiasi ini
menjadi kebahagiaan yang datang dari eksternal anak, disamping kebahagiaan yang datang dari internal
anak berupa kesenangan dalam belajar sesuai dengan bakat dan minatnya.
Seirama dengan tujuan dari Pendidikan Nasional pada UU No.20 Tahun 2003, Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Sehingga sudah seharusnya paradigma pendidikan pun mengacu
pada diri anak itu sendiri dan juga dikembangkan sebagai modal kesuksesan di masa yang akan datang.
Pendidikan budi pekerti pun tidak boleh dilupakan pada proses pendidikan yang terjadi. Agar setiap orang
merasa bangga dan bersama-sama membangun Indonesia dengan bakat dan potensinya masing-masing.
(Muhammad Ishar, Director IECC)
Sumber:iecc-its.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai