Teori Belajar
Teori Belajar
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang
senantiasa memberikan kemudahan, kelancaran beserta limpahan Rahmat dan Karunia-Nya yang
tiada terhingga. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang
telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.
Alhamdulillah berkat kehendak dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan
Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif, Konstruktivistik
dan Humanistik. Karya tulis ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Ujian Tengah
Semester Ganjil (UTS) tahun akademik 2010/2011, mata pelajaran Belajar Pembelajaran.
Dalam penyusunan karya tulis ini, Penulis mendapatkan bantuan serta bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada rekanrekan yang telah membantu.
Penulis berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semuanya
terutama bagi penulis. Begitu pula Karya Tulis Ilmiah ini tidak luput dari kekurangan dan
kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun.
Bandung, Nopember 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia berkembang begitu pesatnya. Segala sesuatu yang semula tidak bisa dikerjakan,
mendadak dikejutkan oleh orang lain yang bisa mengerjakan hal tersebut. Agar kita tidak
tertinggal dan tidak ditinggalkan oleh era yang berubah cepat, maka kita sadar bahwa pendidikan
itu sangat penting.
Banyak negara yang mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang
pelik. Namun semuanya merasakan bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas negara yang
amat penting. Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan
masyarakat dan dunia tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu
bangsa.
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal
seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di
masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan.
Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini.
Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar.
Pembelajaran
yang
mengakui
hak
anak
untuk
melakukan
tindakan
belajar sesuai
karakteristiknya. Hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang demokratis adalah
reallness. Sadar bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di
samping rasa takut dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira.
Realness bukan hanya harus dimiliki oleh anak, tetapi juga orang yang terlibat dalam
proses pembelajaran. Lingkungan belajar yang bebas dan didasari oleh realness dari semua pihak
yang telibat dalam proses pembelajaran akan dapat menumbuhkan sikap dan persepsi yang
positif terhadap belajar.
Bagi para guru, salah satu pertanyaan yang paling penting tentang belajar adalah :
Kondisi seperti apa yang paling efektif untuk menciptakan perubahan yang diinginkan dalam
tingkah laku? Atau dengan kata lain, bagaimana bisa apa yang kita ketahui tentang belajar
diterapkan dalam instruksi? Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat pada
penjelasan-penjelasan psikologis tentang belajar.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan
manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga
tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup
bersama antarmanusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam
kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan
selalu dibarengi dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam
lingkungan, interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja
maupun tidak disengaja.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketidak terbatasannya akal dan keinginan
manusia, untuk itu perlu difahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi belajar.
Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang
berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman
yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang
serta mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai
pribadi.
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk
belajar antara lain sebagai berikut:
adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan temanteman;
adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru,
baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi;
adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar. (Frandsen, 1961, p.
216).
Secara luas teori belajar selalu dikaitkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau
bagaimanapun juga membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat
diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat perhatian. anah-ranah itu ialah ranah
kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang
berpikir, berbeda dengan binatang. Binatang adalah juga makhluk yang dapat diberi pelajaran,
tetapi tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi Rusia
berpengalaman dalam melakukan serangkaian percobaan. Dalam percobaan itu ia melatih
anjingnya untuk mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan dengan makanan. Proses
belajar ini terdiri atas pembentukan asosiasi (pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan
atau kegiatan pancaindra) dengan makanan. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut
Pavlov terdiri atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif.
Dasar penemuan Pavlov tersebut, menurut J.B. Watson diberi istilah behaviorisme.
Watson berpendapat bahwa perilaku manusia harus dipelajari secara objektif. la menolak
gagasan mentalistik yang bertalian dengan bawaan dan naluri. Watson menggunakan teori
classical conditioning untuk semuanya yang bertalian dengan pembelajaran. Pada umumnya ahli
psikologi mendukung proses mekanistik. Maksudnya kejadian lingkungan secara otomatis akan
menghasilkan tanggapan. Proses pembelajaran itu bergerak dengan pandangan secara
menyeluruh dari situasi menuju segmen (satuan bahasa yang diabstraksikan dari kesatuan wicara
atau teks) bahasa tertentu. Materi yang disajikan mirip dengan metode dengar ucap.
1.2 Rumusan Masalah
1. Kemukaka konsep dasar teori belajar Behavioristik, Kognitif, Konstruktivistik, dan Humanistic?
Sebutkan pula tokmoh penggagasnya untuk setiap teori belajar terasebut!
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Teori-teori Belajar Behaviorisme, Kognitif,
Kontruktivisme, dan Humanisme
2.1.1 Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan
oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat
dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman
kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti
dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme merupakan kunci
dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang
subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik
adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat
menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar
diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov yang
didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta gerak refleks setelah
menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam mengkondisikan
munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya
ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu
saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Sementara itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan
proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin diperkuat
melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar akan menghilang.
Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat kemungkinan munculnya respons.
Respons yang benar diperoleh dari proses yang berulang kali yang dapat terjadi hanya jika siswa
dalam keadaan siap.
Teori behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi
konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati. Interaksi
stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang akan terjadi berulang-ulang untuk
mencapai hasil yang cukup kompleks.
Ciri dari teori behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru
yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami
materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab
ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
2.1.1.1 Prinsip Dasar Behaviorisme
Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari
jiwa atau mental yang abstrak
Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem
untuk sciene, harus dihindari.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara;
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun
salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman
dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif
tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan
(sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan
penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
2.1.1.3 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga halhal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatismekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin
atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas
dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku
yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic, yang menuntut pebelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku
wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pebelajar menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara
individual.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut
antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya
dalam pembelajaran.
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan
diukur.
3) Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama
untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan
menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus
dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga
masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
4) Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulusstimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh
gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus
dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara,
oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara
tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas
guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5) Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep
para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon
yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang
nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu
dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi,
demikian seterusnya.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
2.1.2 Konsep Dasar Teori Belajar Kognitif
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya
mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan
aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat
memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan
ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian
belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat
diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang
dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses
yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53)
bahwa Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman,
ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi
aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung
termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung
dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut
beberapa pakar teori belajar kognitif:
Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan
pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang
dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar. Sedangkan
aspek psikologis membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan
psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal
atau proses-proses mental.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah:
a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada
ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi
psikologisnya.
b. Membantu guru u Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam
bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh
tingkat-tingkat perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap
orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan
dirinya.
Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar. Sedangkan
aspek psikologis membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan
psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal
atau proses-proses mental.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah
a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada
ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi
psikologisnya.
b. Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama muridnya, dan membantu
dirinya sendiri
c. Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterapkan dalam kelas dan untuk
menghasilkan prosedur yang memungkinkan belajar menjadi produktif.
d. Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas
diri dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungannya
merupakan faktor yang saling berkaitan.
Insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang
sama atau hamper sama. Dapat juga dikatakan insight adalah pemahaman terhadap suatu situasi
secara mendalam. Insight terjadi dengan malihat kasus-kasus/kejadian yang terpisah, kemudian
manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.
Perbedaan pandangan teori kognitif dan teori conditioning stimulus-respons adalah
sebagai berikut.
a. Teori kognitif menekankan pada fungsi-fungsi psikologis, sedangkan teori
behaviorisme pada segi fisiknya saja.
b. Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini, sedangkan teori behaviorisme pada sejarah
masa lalu.
c. Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia dengan lingkungannya secara
simultan dan saling membutuhkan.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian,
persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran
b. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya
sepakat bahwa guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak, seperti
penyelesaian tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan
faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.
c. Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak
tetap dari waktu ke waktu.
Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah
model belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model pemrosesan
informasi dan model peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan model perkembangan
intelektual dari Jean Piaget.
Tokoh teori belajar kognitif diantaranya:
1) Teori Belajar Kognitif Gestalt
Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar teori
gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem
solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara
terperinci tentang hokum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang
meneliti tentang insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu
berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua
kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama hubungan
antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian dari
apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang
dari pada dengan hukuman dan ganjaran.
2) Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing
individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu
bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu
bereaksi, misalnya ; orang orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi
kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan
dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan,
satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal
individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
3) Teori Belajar Cognitive Developmental Dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena
penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental
memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan
intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Pada intinya, perkembangan kognitif
bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui
agar ia dapat belajar, karena ia tak daapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.
4) Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner memakai cara
dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan
pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak
tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada muridnya
untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan
murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari
konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti
5) Teori Belajar Vygostky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah
penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan
interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pebelajaran dan penekanannya pada
lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi
sosial masing masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran
terjadi saat siswa bekerja menangani tugas tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu
berada dalam zone of proximal development mereka. Zone of proximal development adalah
jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang
ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah scaffolding. Scaffolding adalah memberikan kepada
seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam
bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki
setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan
strategi strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing masing zone of proximal
development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding.
Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan
model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif
sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha
menemukan konsep konsep dan pemecahan masalah.
2.1.2.1 Pandangan-Pandangan Teori Kognitif
Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku manusia
tunduk pada peneguhan dan hukuman, pada perspektif kognitif ternyata ditemui tiap individu
justru merencakan respons perilakunya, menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia
mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang berasal
dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan
menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini
adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
Jenis Pengetahuan
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar
adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa
yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi,
dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar
sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset terapan
tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan dasar yang
luas ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia sekalipun.
Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang baik tentu
akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
Pengetahuan Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam
bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
yang
menuju
kepada
kemutakhiran
struktur
kognitifnya.
Guru-guru
Konstruktivisme merupakan teori belajar dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari
teori kognitif (Muchith, 2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada
pertengahan abad 20 (Sanjaya,2009:123). Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang
memiliki posisi filosofis sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di
bidang pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar baru (Muijs dan Reynolds,
2008:95).
1) Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Jean piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat kontruktivisme, yang
teori pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhapadan dengan tantangan,
pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapi secara kognitif (mental). Untuk
itu, manusia harus mengembangkankan skema pikirannya lebih umum atau rinci, atau perlu
perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut.
Piaget (1967, 1970) mengembangkan konsep dan metode teori dasar untuk mengkaji
proses kognitif. Teori dan penelitian Piaget (1967) mengenai perkembangan kognitif
menyarankan bahwa anak-anak tumbuh melalui beberapa tingkatan (stages) yang berbeda dalam
perkembangan kognitif dan bayi sampai dewasa. Menurut Piaget tingkat pertama perkembangan
kognitif membangun fondasi untuk perkembangan konsepual dalam tindakan, dimulai dengan
tindakan sensori motorik dan refleksi. Tingkatan selanjutnya membangun tingkat kognisi yang
lebih tinggi pada skema yang terbentuk sebelumnya. Piaget menawarkan statement ringkas pada
teorinya tentang meaning making: otak mengorganisasi dunia dengan mengorganisasi dirinya.
(Piaget, 1937/1971, hlm.311). (Robert, 2004:70).
Selain itu, Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah
memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri. Pengethuan yang
dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna;
sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi
pengetahuan yang bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu
dilupakan (Sanjaya, 2009:124).
Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang dinamakan
assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif
dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat
diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mngisap, menatap, menggapai, dan
memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan
diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka anak mungkin bisa mengasimilasikan
aspek-aspek yang berbeda dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal
ini adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah yang
amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen dalam struktur
kognitif organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada dalam organisme akan
menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik (Hergenhan dan Olson, 2008: 314315).
Jelas, jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada
perkembangan intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke
dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (pemciuman,
penglihatan, perabaan,). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (1984), salah satu pendiri
gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak
peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek
yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya
berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita
sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
3) Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1)
kemampuan
mengingat
dan
mengungkapkan
kembali
pengalaman,
2)
kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3) kemampuan
untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.
Setara dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga
mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang
yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan
hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi
pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting
dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. keterbatasan pengalaman seseorang pada
suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah
dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
Semua kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif
dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual ataupun dalam kelompok, bukannya diterima
dari sumber natural atau supranatural (atau bahkan dari seorang professor; Philips 1995). Selain
ini, definisi kontruktivisme beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan
perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu
rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk
melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu posisi yang
dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal, yang menggambarkan konstruksi
pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari
rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai social constructivism or
sociocultural posistion yang melihat mind sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada
social practice of the culture (kenyataan sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita
sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat
struktur, kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru.
Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia
mengkonstruksi pengalamnnya. konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan yang
digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik
mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek,
dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia
secara individual.
4) Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)
Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang
dianggap tepat menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran yang demokratis dan
dialogis. Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan kepada siswa untuk melakukan
kritik, memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide atau gagasannya, guru tidak
memiliki jiwa otoriter dan diktator.
Dengan dmemikian secara konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa
belajar jika dipandang dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang berlangsung satu
arah dari luar ke dalam diri siswa melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara kepada oemutakhiran
struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan
pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa constructing and
restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of
increasing conceptual consistency. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh
dindividu tersebut tidak dilakukan seccara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi
dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.
2.1.3.1 Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk
membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat
memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam
masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi
lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan (Muchith, 2008:
71).
Belajar bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa, melainkan proses untuk
membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan sehingga proses pembelajaran
tidak hanya meyampaikan materi yang bersifat normatif (tekstual) tetapi juga harus juga
menyampaikan materi yang bersifat kontekstual.
Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat
kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus diwujudkan. C. Asri
Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran sosial yang
ada pada diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata
hubungan, tata tingkah laku dan sikap di antara sesama manusia. konsekuensinya, siswa harus
memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara tepat (Muchith, 2008: 72).
Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt (1989) mengemukakan bahwa ada tiga
penekanan dalam teori belajar kontruktivisme yaitu:
peran katif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara makna
pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah lebih sebagai
fasilitator atau moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus selalu
ditiru dan segala ucapandan tindakannya selalu benar, sedang murid sosok manusia yang bodoh,
segala ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses pembelajaran
seperti ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang pasif, statis dan tidak
memiliki kepekaan dalam memahami persoalan (Muchith, 2008:72-73).
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan
siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator
dalam proses pembelajaran, Sanjaya (2008: 23-24) berpendapat bahwa ada beberapa yang harus
dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber
pembelajaran yaitu:
1. Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masingmasing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut diperlukan, belum
tentu semua media cocok digunakan untuk mengajarkan semua semua bahan
pelajaran. Setiap media memiliki karakteristik tersendiri
2. Guru perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan
perancangan media yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran,
sehingga akan tercapai secara optimal.
3. Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat
memanfaatkan berbagai sumber belajar.
mengemukakan
aaspek-aspek
konstruktivitik
sebagai
berikut:
adaptasi
(adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna
(the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi
terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi
dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian
atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi
tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata.
Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri
dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang
baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru
yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga
cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara
asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi
terhadap
lingkungannya
maka
terjadilah
ketidaksetimbangan
(disequilibrium).
Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan
mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses
terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibriumequilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya
sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa
dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
(2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses
penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni
melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih
menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi
dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap
tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa
dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut
teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu
dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya
yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut
seperti pada sekema berikut.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik
tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang
sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai
tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning
bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi
dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas
yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas.
Konstruktivistik
Behavioristik
selalu
berubah
dan
menentu.
pengalaman
konkrit,
Mind
berfungsi
sebagai
alat
Konstruktivistik
Ketidakteraturan,
Behavioristik
ketidakpastian, Keteraturan, kepastian, ketertiban
kesemrawutan,
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi Si belajar harus dihadapkan pada aturanunsure yang esensial dalam lingkungna aturan yang jelas dan ditetapkan lebih
belajar.
menjadi
Pembelajaran
lebih
sangat
esensial.
banyak
dikaitkan
ketidakmampuan
dilihat
interpretasi yang berbeda yang perlu sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan
dihargai.
keberhasilan
atau
kemampuan
Konstruktivistik
Behavioristik
belajar
ditekankan
pada
penambahan pengetahuan.
Konstruktivistik
Penyejian
isi
Behavioristik
menekankan
pada Penyajian
isi
menekankan
pada
keseluruhan.
penekanan
pada
berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada hasil
Pembelajaran menekankan pada proses.
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
Behavioristik
secara
keterampilan
aktif
yang
terintegrasi,
yang
menggali
divergent,
pemecahan
ganda,
penekanan
pada
evaluasi
intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan
hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi
gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana
pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan
ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak
menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya
melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat
miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi
yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan
dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang
gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta
untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu.
(b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka
benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila
ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan
gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana
yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk
mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau
guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka
konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu
memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki
keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari
miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep
ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif
dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara
eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah
berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi
terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar
resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya
menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan
rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
2.1.3.4 Prinsip-prinsip dalam pengajaran kontruktivisme
Di dalam pendidikan, ide-ide konstruktivis diterjemahkan sebagai berarti bahwa semua
pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendir, dan bukan
pengetahuan yang datang dari guru diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan
mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan, dan bahwa sebagai
guru kita tidak akan dapat memastikan bahwa murid-murid kita akan belajar (Muijs dan
Reynolds, 2008:97).
tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat
belajar seperti apa yang dapat terjadi
Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta
secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara
menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan
dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna bila
mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk
menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan
menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam dibandingkan
dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar
lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik
menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook.
Sementara itu, Muchith (2008:76) membuat skema perbandingan antara pembelajaran
tradisional dan pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:
Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivistik
1. penyajian kurikukum bersifat induktif (disajikan dari bagian-bagian menuju
keseluruhan)
5. Penilaian atau tes hasil belajar dilakukan secara progresif dan melalui penilaian
karya siswa. Dalam konteks sekarang biasa disebut test fortofolio
6. Pembelajaran hanya memiliki target menghabiskan materi pelajaran, kurang
memperhatikan kualitas pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan
6. Pembelajaran lebih didasarkan atas proses, sehingga siswa-siswi banyak belajar dan
bekerja di dalam kelompok (kolektif).
Selain itu, Brooks, JG et.al (1993) mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran
dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, Fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik menatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah
diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman
belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Dalam kaitannya dengan ini juga, Duffy dan Cunningham (1996) mengemukakan
sejumlah aspek dalam pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis yaitu:
1. siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki;
yang telah miliki melalui bridging. e) pembelajar seharusnya merefleksikan atau memikirkan apa
yang dipelajari; f) pembelajaran terjadi paling baik dalam komunitas pembelajar (leaners
community) yaitu kelompok atau situasi social; g) jika bukan memperentasikan informasi kepada
pembelajar, guru memfasilitasi penyatuannya; h) guru harus memberikan pembelajar bantuan
atau scaffolding yang mungkin dibutuhkan oleh mereka untuk maju.
Dalam kaitannya dengan den IPS, menurut Mukminan, et.al (2002:1), IPS diartikan
sebagai penelaahan masyarakat sesuai tugasnya untuk menelaah masyarakat sesuai dengan
segala permasalahannya yang sangat kompleks. Dalam penelaahan harus dilandasi oleh teoriteori sosial yang dapat memperhitungkan proyeksi kehidupan lebih lanjut.
Istilah lain dari IPS adalah social studies. Menurut menurut NCSS bahwa social studies
adalah:
the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content
from the humanities, mathematics, and natural sciences.
Pengkajian masalah-masalah sosial merupakan pengkajian realitas yang terjadi di
masyarakat secara integrasi dipandang dari berbagai sudut pandang ilmu-ilmu sosial. Oleh
karenanya, pendekatan atau strategi pembelajaran yang tepat adalah pembelajaran yang
kontekstual yang mana di dalamnya siswa diberikan kesempatan secara aktif untuk
3. Guru bersama-sama dengan siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandanagan tentang kebenaran yang
datangnya dari berbagai innterpretasi
4. guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang
komoleks, sukar dipahami, tidak teratur.
2.1.4 Konsep Dasar Teori Belajar Humanistik
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa
dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Peran guru dalam teori ini adalah sebagai
fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi,kesadaran mengenai makna
kehidupan siswa. Guru mamfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa
untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik- baiknya. Siswa berperan sebagai
pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Tujuan utama para pendidik
adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya
dua bagian pada proses belajar, ialah : 1.Proses pemerolehan informasi baru, 2. Personalia
informasi ini pada individu. Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara
lain adalah:
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling
menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi
masalah-masalah kehidupannya. Carl Rogers menyakini bahwa berbagai masukan yang ada pada
diri seseorang tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan ini
mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya. Rogers
menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras demi aktualisasi diri
(self actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance), dan peningkatan diri (self
inhancement).
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
Kognitif (kebermaknaan)
experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk
pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning
mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan
adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu: Menjadi manusia berarti memiliki
kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada
artinya. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.Pengorganisasian bahan
pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi
siswa.
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
4) Charles Bouille (sekitar 1475-1553)
Charles Bouille adalah seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De
Sapiente. Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan Phyromitos.
Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada manusia agar bisa menyempurnakan
tabiatnya. Dengan penelitian-penelitian teoritis yang efektif, dan dengan keyakinannya yang
ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia untuk membentuk
kehidupannya sendiri di dunia. Keyakinan inipun menjadi semakin tajam dengan kemajuankemajuan skeptisisme yang dicapai humanisme di luar Italia pada abad pertengahan.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukumhukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
2.2.2 Operant Conditioning
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
2.2.3 Observational Learning atau Social-Cognitive Learning
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar
behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan,
Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang
(the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak
serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan
dorongan.
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif
anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalamanpengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan.
Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan
berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi
lebih logis (Nur, 1998).
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan
kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan
pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan iteraksi-interaksi mereka
Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru di
lahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif.
Empat tingkat perkembangan kognitif itu adalah.
1. Sensori motor (usia 0 - 2 tahun)
2. Pra operasional (usia 2 7 tahun)
3. Operasional kongkrit (usia 7 11 tahun)
4. Operasi formal (usia 11 tahun hingga dewasa)
Berdasarkan tingkat perkembangan kognitif Piaget ini, untuk siswa SLTP dengan rentang
usia 11 15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal Pada usia ini yang perlu
dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan remaja Dimana remaja mengalami tahap
transisi dari penggunaan operasi kongkrit kepenerapan operasi formal dalam bernalar Remaja
mulai menyadar keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka, di mana mereka mulai bergelut
dengan konsep-konsep yang ada di luar pengalaman mereka sendiri.
Piaget menemukan bahwa penggunaan operasi formal bergantung pada keakraban dengan
daerah subyek tertentu. Apabla siswa akrab dengan suatu obyek tertentu, lebih besar
kemungkinannya menggunakan menggunakan operasi formal (Nur, 2001).
Menurut Piaget (dalam Slavin, 1994:145), perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan
lingkungannya Berikut ini adalah implikasi penting dalam pembelajaran fisika dari teori Piaget.
1. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya
Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak
sehingga sampai pada jawaban tersebut. (Bandingkan dengan teori belajar perilaku yang
hanya memusatkan perhatian kepada hasilnya, kebenaran jawaban, atau perilaku siswa
yang dapat diamati). Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan
memperhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh perhatian
terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah
dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman sesuai dangan yang
dimaksud.
2. Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan
pembelajaran Didalam kelas Piaget, penyajikan pengetahuan jadi (ready-made) tidak
mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu
melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab itu guru dituntut mempersiapkan
berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan
dunia fisik. Menerapkan teori Piaget berarti dalam pembelajaran fisika banyak
menggunakan penyelidikan.
3. Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan per- kembanganTeori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan
yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu
guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok
kecil dari pada bentuk kelas yang utuh.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan informasi yang
melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu yang cukup untuk
menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir formal.
2.3.2 Teori Kognisi Sosial
Teori kognitif sosial menyediakan suatu konse yang membentuk kerangka kerja yang
digunakan untuk mengevaluasi efek determinan dan mekanisme. Perilaku seseorang sering di
jelaskan dalam bentuk sebab akibnat yang di bentuk dan di tempa oleh pengartuh lingkungan dan
disposisi internal. Menurut Bandura kognitif sosial menjelaskan fungsi-fungsi psikologis yang di
istilahkan sebagai reciprosal causacion atau kausalitas timbal balik jadi semua interaksi yang kita
lakukan, semua aktivitas biologi, komunikasi, sosial, efektif, kognitif, pola prilaku dan apa-apa
yang terjadi di lingkungan semua dioprasikan dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang bersifat
timbal balik.
Teori sosial kognitif diciptakan dari perspektif Bandura dimana menurutnya, manusia iti
adalah mahluk yang bersifat mengatur diri, proaktif, membuat pencitraan dan peraturan sendiri
dengan di pengaruhi lingkungan dan kekuatan dari dalam diri. Dan oleh bkarenanya, agensi
personal da carta padang kita itu di pengaruhi oleh keadaan sosiostruktural. Dalam lingkup soso
struktural kita mempunyai peran ganda yaitu sebagai produsen dan hasil dari teori cognitive
sosial memegang peranan penting dalam proses sosialisasi pribadi. Proses ini menjadi alat bagi
kita dalam menciptakan pengertian terhadap lingkungan sekitar kita yang dapat mempengaruhi
segala aspek dalam kehidupan kita dimana paktor kognitiv akan mengarahkan kita lingkungan
mana yang akan kita amati,apa yang kita daat dari lingkungan itu da apa efek yang akan kita
alami akan bersifat permanen atau tidak,dampak emosional apa yang akan kita dapat dari
lingungan.
2.3.3 Teori Pemrosesan Informasi
Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan
pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak (Slavin, 2000: 175).
Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat
dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu
yang dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera.
Komponen pertama dari sistem memori yang dijumpai oleh informasi yang
masuk adalah registrasi penginderaan. Registrasi penginderaan menerima sejumlah besar
informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua
detik. Bila tidak terjadi suatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register
penginderaan, maka dengan cepat informasi itu akan hilang.
Maka dapat di tarik kesimpulan dari teori belajar kognitif yaitu Teori belajar kognitif lebih
mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Teori ini juga menekankan bahwa
bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut.
Membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya
secara terpisah akan menghilangkan makna belajar. Teori ini juga berpandangan bahwa belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi,
dan faktor-faktor lain. (Asri, 2005 : 34).
Belajar adalah aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses
belajar di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima (faktor eksternal) dan
menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah terbentuk di dalam pikiran seseorang
(background knowledge) berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya (faktor internal).
Teori kognitif lebih menekankan pada struktur internal pembelajar dan lebih memberi perhatian
pada bagaimana seseorang menerima, menyimpan, dan mengingat kembali informasi dari
perbendaharaan ingatan. Ada beberapa kelompok penganut teori kognitif, namun fokus dari
penganut teori ini sama yaitu pada soal bekerjanya pikiran manusia (Mukminan, 1998:53).
Pada tahap awal, Guru mengajukan masalah yang akan dibahas pada pertemuan
tersebut, semisal tentang sistem reproduksi dengan menuliskan masalah pada
papan tulis, di transparansi, ataupun di kertas peraga.
Guru bertanya kepada para siswa, apakah objek yang dibahas pada sistem reproduksi?
Jawaban yang diinginkan adalah bagaimanakah sistem reproduksi berlangsung,
baik itu sistem reproduksi vegetatif maupun sistem reproduksi generatif. Guru lalu
menggambar di papan tulis skema sistem reproduksi reproduksi
Selanjutnya guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan
benda-benda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan beragam cara
reproduksi pada jenis-jenis tertentu mahluk hidup
Guru bertanya kepada siswa, ada berapakah penggolongan sistem reproduksi?
Biarkan siswa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja di kelompoknya untuk menjawab
soal tersebut.
Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswayaitu berupa sistem
reproduksi vegetatif dan sistem reproduksi generatif
Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara
mereka mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara
reproduksi tersebut yang benar pada sistem reproduksi manusia
Selanjutnya Guru memberi soal, para siswa masih boleh menggunakan buku panduan
untuk mencari jawabannya. Bagi siswa yang masih menggunakan
Pada tahap terakhir Guru memberi soal tambahan seperti. Para siswa dianjurkan agar
tidak menggunakan buku panduan
2.4.1 Contoh Konkrit Belajar Humanisme
Menurut pendapat saya, pendidikan yang humanistik adalah pendidikan yang mampu
menyiapkan suasana setara. Suasana setara yang dimaksudkan di sini adalah suasana ketika
seseorang (murid, siswa, bangsa lain) merasa nyaman karena dihargai (oleh guru, atasan, senior,
tuan rumah). Tidak ada indikasi pembedaan warna kulit, tingkatan ekonomi, status sosial, dalam
sebuah setting pendidikan. Lebih lanjut, pendidikan yang humanistik menekankan pendekatan
dari hati ke hati.
CONTOH: kita bmengatakan kepada murid,Belanda adalah negara di Eropa yang paling
akhir meninggalkan sistim "tangan besi" dalam mendidik murid. kita mulai berubah ketika
muncul kesadaran bahwa anak didik perlu diperlakukan dengan kasih sayang. Pendekatan
psikologis ternyata memiliki peranan vital dalam perjalanan dunia pendidikan.
Contoh lain belajar humanisme:
guru akan menyampaikan materi mengenai sel, maka guru tesebut akan menanyakan
apa itu sel? Apa saja yang termasuk ke dalam sel dan sebagainya.
Dari pertanyaan tersebut guru memberikan kebebasan kepada muridnya untuk
mengemukakan pendapatnya dan guru mendorong siswa untuk berpikir kritis.
Siswa diberi kebebasan untuk melakukan eksperimen yang ingin ia pelajari. Dengan
demikian siswa didorong untuk memilih pilihannya sendiri. Melakukan apa yang
diinginkan dan menanggng resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
Guru mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau
proses belajarnya dengan tidak menilai secara normative apa yang siswa lakukan.
Setelah itu guru dapat berdiskusi atau berdialog dengan siswa tersebut.
manusia yang konsisten dalam ketiga hal tersebut.3. Keterkaitan. Bahwa materi yang diajarkan
perlu memiliki hubungan yang erat dengan kebutuhan hidup dasar peserta didik serta
berpengaruh nyata untuk mereka, baik secara emosional maupun secara intelektual.
4.Transparansi dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Para siswa pun berhak mengetahui
bahwa pada akhir pelajaran, mereka harus memahami hal-hal tertentu yang mampu
meningkatkan pengetahuan mereka. Dari sini, semakin nyata bahwa siswa perlu tahu ke mana
mereka diarahkan dalam sebuah pelajaran. Banyak guru kurang menekankan bagian ini, dan
langsung masuk ke "inti" pembahasan, padahal hal ikhwal menjelaskan tujuan adalah termasuk
hal "inti" pula. 5. Terakhir, tentu saja tujuan sosial dari pendidikan. Karena pendidikan adalah
sebuah sarana menyiapkan manusia untuk untuk berkarya dalam masyarakat, maka pendidikan
perlu menekankan penempaan akal dan mental peserta didik, agar mampu menjadi sosok
intelektual yang berbudaya.
Cara menghadapi siswa di kelas terutama siswa yang bermasalah (nakal), tergantung
kepada siswa itu sendiri. Adapun cara guru untuk menghadapi siswa seperti itu dengan
menggunakan metode pendekatan behaviorisme.
Metode yang sering di gunakan dalam proses belajar mengajar di kelas kebanyakan para
guru menggunakan metode ceramah dan diskusi. Tetapi lebih cenderung ke metode ceramah
tetapi di samping itu ada metode yang lain yang mendukungnya seperti tanya jawab,contohnya
siswa di tuntut aktif. Dalam menjawab atau mengisi pertannyaaan yang langsung ataupun yang
di tulis di papan tulis, dengan danya metode atau kegiatan ingatan siswa menjadi lebih kuat
untuk mengingat pelajaran yang sudah di terangkan oleh guru.
Didalam proses belajar mengajar sering kali adanya kendala seperti kurangnya media
dalam proses belajar mengajar, contohnya: tidak adanya OHP, infokus, tidak adanya buku yang
menunjang untuk mendukung proses belajar pembelajaran.
KESIMPULAN
Didalam proses belajar pembelajaran di sekolah SMA kebanyakan menggunakan teori
belajar kognitif, karena yang di unggulkan dari semua aspek tetap yang paling utama adalah
nilai. Tetapi disamping itu adabeberapa teori penunjang seperti teori behaviorisme, kognitif,
kontruktivistik, dan humanism. Kebanyakan para guru menggunakan metode ceramah tetapi
disamping itu juga ada beberapa metoda penunjang seperti metode tanya jawab dan metode
pendekatan.
Jadi, hipotesa atau dugaan sementara saya tentang implementasi dalam proses
pembelajaran nyata di sekolah dan kecenderungan penggunaan teori belajar yang sering kali di
lakukan oleh para guru di kelas adalah salah. Saya berpendapat bahwa kecenderungan para guru
sering menggunakan teori belajar humanistic karena tujuan belajarnya adalah untuk
memanusiakan manusia. Guru mamfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi
siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik- baiknya. Siswa berperan
sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri.
Tetepi setelah saya mewawancarai seorang guru, ternyata yang sering di lakukan oleh
para guru didalam proses belajar pembelajaran di sekolah SMA kebanyakan menggunakan teori
belajar kognitif, karena yang di unggulkan dari semua aspek tetap yang paling utama adalah
nilai. Tetapi disamping itu adabeberapa teori penunjang seperti teori behaviorisme, kognitif,
kontruktivistik, dan humanism. Kebanyakan para guru menggunakan metode ceramah tetapi
disamping itu juga ada beberapa metoda penunjang seperti metode tanya jawab dan metode
pendekatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Teori behavioristik banyak dikritik karena
seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar
hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas
bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang
mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi
dalam akal pikiran manusia. Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam
bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat
perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan, ideide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi
makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju
kepada pembentukan struktur kognitifnya.
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peran guru
dalam teori ini adalah sebagai fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan