Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang
yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu
hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini
disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling
pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau.
Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue
atau rokok.
Kehidupan orang ini hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan
merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak
ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk
anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu.
Lalu, keduanya terlibat perbincangan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau yang
kerap disapa Kakek itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan
Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Ajo Sidi bercerita sebuah kisah tentang Haji saleh. Haji saleh adalah orang yang rajin
beribadah menyembah Tuhan. Ia begitu yakin ia akan masuk ke surga. Namun Tuhan Maha
Tau dan Maha Adil, Haji Saleh yang begitu rajin beribadah di masukan ke dalamma neraka.
Kesalahan terbesarnya adalah ia terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ia takut masuk neraka,
karena itu ia bersembahyang. Tapi ia melupakan kehidupan kaumnya, melupakan kehidupan
anak isterinya, sehingga mereka kocar-kacir selamanya. Ia terlalu egoistis. Padahal di dunia
ini kita berkaum, bersaudara semuanya, tapi ia tidak memperdulikan itu sedikit pun. Crita ini
yang membuat kakek tersindir dan merasa dirinya murung.
Kakek memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak
memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau membuat rumah. Segala
kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan
orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan
berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci
Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata
Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu.
Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok
UNSUR INTRINSIK
Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
Amanat
Latar
-Latar Tempat
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
-Latar Waktu
Beberapa tahun yang lalu.
Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah
Perang Laba-Laba
Sewaktu aku berusia 5 tahun aku mendapatkan
pengalaman yang memalukan sekaligus menyeramkan bagiku.
Pada suatu malam yang sepi tepat pukul 10.30 WIB aku
terbangun dari dunia mimpi dan langsung menuju kamar mandi
untuk buang air kecil, entah mengapa aku tidak bisa tidur
kembali, aku berusaha menutup mataku namun rasa kantuk
belum juga datang,seperti ada firasat buruk yang akan terjadi.
Memang benar, sewaktu aku meraih guling dan
menolehkan kepala kelangit-langit kamarku, betapa terkejutnya
aku saat aku menemukan lima ekor laba-laba yang cukup besar
nyaris jatuh dari sarangnya.Memang aku paling takut pada
hewan berkaki banyak itu,rasanya ingin sekali aku teriak tapi
pasti aku akan membangunkan seisi rumah bahkan tetanggaku
bisa-bisa bangun.Terpaksa aku tahan sampai-sampai keringat
dingin dan hampir ngompol.
Satu jam kemudian salah satu laba-laba itu tiba-tiba
tertiup angin dan terjatuh dan mendarat diatas kepalaku,
secara spontan aku mengambil kamus bahasa inggrisku yang
tebal yang ada didekatku lalu memukulkanya ke wajahku.
Sialnya kamusku yang sangat tebal itu tak mengenai laba-laba
malah hanya melukai hidungku sampai mengeluarkan
darah,seperti mengejekku laba-laba yang terjatuh itu menarinari dibawah tempat tidurku kemudian sembunyi entah
kemana.Namun Aku hanya bisa pasrah dan kembali menatap
ke empat laba-laba yang tersisa.
Tak beberapa lama , salah satu laba-laba itu seperti
sengaja menjatuhkan diri, namun aku sudah bersiap di tempat
dengan membawa beberapa bantal, sapu dan guling seperti
akan perang. Saat laba-laba itu sampai di tempat tidur,
langsung saja aku melempar semua benda yang aku bawa tadi
dan aku injak-injak saja semuanya. Tak berhenti disitu, bahkan
ketiga laba-laba yang masih diatas seperti ingin menyerang,
mereka menjatuhkan diri satu per satu. Aku yang sudah
kehabisan akal langsung saja aku meraih semua benda yang
ada didekatku dan melemparnya. Dan tepat mengenai semua
laba-laba itu. Aku sangat kegirangan mendapati semua labalaba itu mati.
Namun beberapa saat kemudian tepat pukul 02.30WIB
pintu kamarku terbuka dan mendapati ayah,ibu,kakak serta
pembantuku seperti keheranan saat melihat situasi kamarku
yang seperti kapal pecah. Kamu ini ngapain aja sih dek, kok
rame banget! seru kakaku, Lha iya, kamu itu mengganggu
orang yang sedang tidur, memang apa yang kamu lakukan sih?
tambah ayahku. Anu yah ada laba-laba gede banget,serem
deh . jawabku.Ah, kamu ini keterlaluan! Cuma gara-gara labalaba aja kok sampai seperti ini!seru kakakku. Ya sudah gak
apa-apa, lha hidungmu kenapa nak? Kok sampai berdarah
gitu? tanya ibu. Tidak apa-apa bu, cuma luka kecil.jawabku
dengan kebohongan.Sudah-sudah, kamu tidur sama kakakmu
dulu sana dan besok bibi minah tolong rapikan kamar Riani
ya.pinta ayah dengan bijaksana.Baik pak, besok pagi-pagi
akan saya kerjakan.jawab bibi Minah. Ya bi,sekarang kita tidur
yuk, ngantuk nih!pintaku sambil mengucek-ucek mataku yang
mengantuk.Iya-iya ayo tidur semua! jawab ibu.
Begitu sampai di kamar tidur kakakku, aku langsung menuju
tempat tidur sambil melirik ke langit-langit seraya berkata Yee,
gak perang sama laba-laba lagi. Kakakku melirikku sambil
tertawa kecil dan berkata Udah tidur dulu besok kamu harus
sekolah kan? Oke kak jawabku. Dan beberapa menit
kemudian aku sudah tertidur pulas.
Nilai intrinsik
1. Tema
2. Tokoh
3. Watak
a. Riani
:
: Phobia atau Ketakutan yang berlebihan
: Riani, kakak, ibu, ayah, bibi Minah.
:
: Penakut (Memang aku paling takut pada
hewan berkaki banyak itu)
c. Ayah
4. Alur
5. Sudut pandang
6. Amanat
terlalu
7. Setting/latar
a. Tempat
kamar
b. Waktu
c. Suasana
: Maju
: Orang pertama
: Jangan menjadi orang yang
penakut oleh apapun
:
: Kamar tidur Riani, kamar mandi,
tidur kakak
: Malam hari, pukul 10.30 WIB sampai
pagi hari pukul 02.30 WIB
: Sepi
Taman di depan rumah kami kecil, penuh bunga. Aku tidak pernah tau nama-nama bunga
itu. Aku tau semua bunga itu indah. Aku duduk di teras rumah, merasakan hangat matahari
yang menerpaku. Aku sedang berpikir bagaimana bisa bunga ciptaan manusia lebih mahal
dari ciptaan Tuhan.
Aku sedang berpikir tentang keberadaan bunga dan kulihat kupu-kupu itu datang,
pergi dan datang lagi.
Wah, akan ada tamu kata istriku
Pasti?
Iya. Pasti
Kok bisa pasti ?
Bukankah kalau ada kupu-kupu tandanya pasti ada tamu
Aku melihat kupu-kupu itu dan berpikir tentang tamu.
Jangan-jangan tamu itu mau meminjam uang kataku
Tidak mungkin. Lihat kupu-kupu itu warnanya bagus, pasti membawa
keberuntungan
Keberuntungan dan bencana menjadi hal penting dalam hidup kita. Kuamati kupukupu itu terbang kesana-kemari. Tidak salah kalau kupu-kupu itu dibilang bagus. Apakah hal
bagus selalu membawa keberuntungan ?
Hidup ini di penuhi teka-teki. Apa arti hidup seekor kupu-kupu ? mengapa kita harus
sibuk dengan tanda-tanda. Tamu macam apa yang akan datang nanti.
Bagaimana kalau tamu itu bukan pembawa keberuntungan ?
Tidak. Tamu itu pasti pembawa keberuntungan. Lihat kupu-kupu itu bagus
Kami pun berargumen tentang siapa tamu yang akan datang ini, sampai suasana
begitu terasa asing saat argumen kami memiliki pendapat yang sama. Bagaimana kalau tamu
itu bukan manusia. Kemudian mendadak muncul puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan
kupu-kupu aneka warna berterbangan dan memenuhi pandanganku. Istriku berteriak dan
memegang tanganku, kurasakan pegangannya terlepas dan tak kudengar lagi suaraku sendiri.
A. Unsur instrinsik
- Tema : Misteri
- Tokoh/penokohan :
Aku : waspada,
Istri : percaya tahayul, sering menduga-duga
- Alur
: Maju
- Latar :
Latar tempat : teras rumah, dalam rumah, dapur, tepi sungai,
Latar suasana : damai, menegangkan
Latar waktu
- Bahasa
- Amanat
Persahabatan Sunyi
Di sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta
yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi
lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ,
bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang
dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas
lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari
uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir
kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu
berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai
segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna
merah.
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan tutup praktik ketika matahari
mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di
pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam
gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia
mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah
itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendusendus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya
melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak,
tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa
melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki
itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal
miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu
mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika
berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah
membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas
buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah
plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing.
Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol
minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah
perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil
juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang
tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi
kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas
gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu
mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota,
melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat,
udara semakin pepat berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan
yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan
pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong
hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda
yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup
hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang
pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik
makanan pada laki-laki itu sambil menghardik.
Cepat pergi!
Lelaki setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota.
Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual
oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di
dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh
dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil
yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan
layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh
penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki
setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu
tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh
pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi
gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina
berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah
piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah
makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang
dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan
siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan
anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan
makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia
melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga
licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air
kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan
itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu
hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja.
Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak
tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.
Malam telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai
menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya
disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya
membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian
merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samarsamar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus.
Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus
yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali
menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah
lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin.
Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala
lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik
dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah
menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu,
sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina
kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi
jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota
yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan.
Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah
itu dan melanjutkan mimpinya.
Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari.
Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam
di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu
membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu
membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anakanak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun
tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah
tidur di mana.
Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina
kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman
anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan
menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu
dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu
mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu
dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani
melawan dan tak berani kembali lagi.
Sebelum subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk
dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong
jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi
lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu.
Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan
anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu
telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan
hilang ditelan kegelapan.
Mampus kau, anjing kurapan! sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang
segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah
umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan.
Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia
gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu
tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncakpuncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih
menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.
Beberapa minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali
menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun
mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat.
Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.
Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak
kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi
dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika
laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan
ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang
peduli.
langkahku.
Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa aspal kasar, tangan Abdullah
menjangkau tongkat kayu dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh,
Abdullah menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah ia menegakkan tubuh. Tapi
siapakah yang bisa mengalahkan kekerasan hatinya?
Setelah tubuhnya tegak seimbang, Abdullah menendang mayat itu. Ia injak dengan kaki
kanannya yang masih menyimpan tenaga. Lalu mendengus.
Jalan yang ditempuh Abdullah makin menyempit dalam pandangan matanya yang kelabu.
Tapi ia terus berjalan. Beberapa depa di depannya, Abdullah tersentak. Masjid Baiturrahman
masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di tengah lautan puing-puing yang menyerak.
Warnanya yang putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas. Padang mahsyar.
Abdullah semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya yang pincang bergerak cepat. Ia
berlari. Seperti kuda sembrani yang melintas di permukaan laut yang tenang.
''Mau kemana engkau, Abdullah?''
Abdullah tak menjawab. Ia terus seret langkahnya. Menekan gemuruh yang berputar dahsyat
di kepalanya. Adakah Engkau di sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya
sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini? Begitu hebat guncangannya, begitu
keras gemuruhnya. Ketika tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah meraung hebat.
Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Ia terjerambab dengan tubuh kehilangan daya. Dan
terduduk di teras masjid dengan mata yang buta. Dengan tubuh yang tergugu. Adakah badai
yang lebih besar dari ini, Ya Allah? Abdullah menangis. Hatinya basah.
''Apakah engkau menemukannya, Abdullah?'' Suara yang jauh meruapi telinganya.
Dagu Abdullah mengangguk makin hebat. Air mata menggenang di wajahnya. Membasah di
janggutnya yang tipis. Seperti kilau minyak zaitun. Tak sanggup gelombang suara keluar dari
kerongkongannya yang tercekat. Hanya lirih yang mengisi udara.
''Bagaimana mungkin, bukankah matamu telah buta, Abdullah?'' Suara yang lembut
menghunjam dadanya.
Air mata Abdullah makin menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak kuat menahan guncangan yang
kuat dalam dadanya. Matanya memang telah buta. Sejak gelombang pasang itu meraup
seluruh hidupnya. Ia tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata yang membasuh hatinya
membukakan semua pintu yang terkatup.
Ia seakan melihat istrinya, ibunya, bapaknya, dan Ibrahim anaknya melambaikan tangan ke
arahnya. Lalu di sebelah-sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan. Senyum
mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang membeningkan pagi. Lalu
perlahan semuanya mengabur serupa kabut yang membias di fajar subuh.
Suara adzan menyayat telinganya. Abdullah merasa tubuhnya melayang dalam udara.
Menyatu dalam ruang hampa. Ketika tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan
mihrab masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya.***
* Unsur Intrinsik
1. Tema : Bencana yang merenggut penglihatan seseorang
2. Judul : Mata Yang Berlabuh
3. Alur : Campuran
> Abdullah terus berjalan sambil mengingat kejadian yang menimpanya beberapa
hari yang lalu
4. Penokohan : - Abdullah: keras kepala, egois, tidak pantang menyerah
Pada suatu ketika Alfi ngajak aku jalan di malam hari,tepat nya malam minggu.Gak
tau kenapa,hati kecilku sangat bahagia.Apakah ini bertanda kalau dia emang pangeran yang
akan memberiku cinta sejati???Heeehe Berharap banget.
Kring kring kring,,hp ku berbunyi dengan lantangnya.ea hallo,ada apa al,kita jadi
jalan yaa???.hallo juga,ya ntar aku jemput jam 7 dirumah kamu.,ukeey aku tungguin
yaa??.yaaa,aku mau ngomong sesuatu ntar,ngomong apa al?tanyaku sambil
penasaran.rahasia dong,ntar juga tau sendiri,udah dulu yaa bey bey.ya dech aku mulai
menutup telepon dengan hati masih seribu pertanyaan.
Kuceritakan saja penasaranku ini terhadap eliz,.
apa??kamu mau jalan sama alfi?Gak salah denger nich.ya el,emangnya
kenapa?.Gk kok.,waah rasanya bentar lagi ada yang jadian nich,.wahahahaha.aaah kamu
el bisa aja,eh dah dulu ya aku mau siap-siap buat jalan sama alfi... ya,good luck teman eliz
menyemangatiku.
Tak terasa jam udah nunjukin pukul 7 tepat,aduh aku grogi banget niich mau jalan
sama alfi.AKu udah dandan yang maxi ,karena malam ini malam yang akan aku lewati
berdua sama dia.Tok tok tok,aku berlari menuju ke pintu depan.ech udah dateng kamu
al,ayoo masuk.Gak deeh,kita langsung jalan aja yuuk,Oklah kalau begitukujawab
dengan penuh semangat.
Kamu mau ngajak aku kemana sich al?
ke taman,mau gak jawabnya sambil menatap mataku.! ya al,aku mau
bangetjawabku dengan terbata-bata.Tak terasa kami pun akhirnya sampai di taman.
kamu mau pesan apa fi,?.eem,aku ngikut aja dech.yaudah kita makan pisang
bakar aja yaa!.anggukan kepala menandakan jawaban setuju.Tak berapa lama pesanan kami
telah tiba.ayo dimakan fi. ya,kamu aja duluan.malez nich.Tiba-tiba saja tangan alfi
langsung nyuapin akun makan.OMG rasanya seperti melayang di angkasa.Aku hanya terdiam
menikmati ini semua,dengan pemandangan yang sangat indah ditaburi ribuan bintang
dilangit.Tak henti-henti nya,mata kami saling bertatapan.
Tak terasa,makanan kami pun telah habis.Malam ini sungguh malam yang indah yang
pernah ku lalui bersama dengan Alfi. Sebenarnya diam-diam aku mulai menyukai dan
menyayangi Alfi.
Tangan Alfi mulai memegang tanganku,aku sungguh terkejut.fion,sebelumnya aku
minta maaf,telah lancang memegang tanganmu.aku sayang dan cinta banget sama kamu
fi,udah lama aku memendam perasaanku ini.Aku mohon fi,kamu mau yaaa jadi
pacarku,pendamping hidupku mulai dari sekarang untuk selamanya.Seketika tubuhku lemah
tak berdaya,perasaanku bercampur jadi Satu.Tak menyangka,kalau dia begitu cepat ungkapin
ini.
benarkah al,kamu mencintai aku?,serius fi,aku sejak pandangan pertama udah
mulai ada rasa sama kamu.Pliis jangan nyaktin aku,kalau kamu juga cinta sama aku,tolong
jawab sekarang.al,mafin aku.Aku gak bisa nolak kamu,aku sejak pertama ketemu sama
kamu,aku juga udah mulai ada rasa.serius fi,sumpah aku bahagia banget malam
ini.Anggukan kepalaku menjadi jawaban kalau aku nerima dia jadi cowokku.Alfi pun
memeluk ku dengan erat.Oooh terimakasih tuhan,engkau benar-benar mengirimkan seorang
pangeran untukku.Akhirnya cintaku tidak bertepuk sebelah tangan dan Alfi beneran jadi
kekasihku.
Balutan angin malam ,ribuan bintang dilangit, menjadi saksi awal kisah percintaaanku
dengan Alfi.Akhirnya aku pulang diantar kekasihku Alfi,karena dia takut kalau terjadi sesuatu
hal yang tidak di inginkan terjadi padaku. Kamipun bergegas untuk pulang,karena waktu
telah menunjukkan pukul 8 anak gadis tidak baik pulang terlalu malam.
UNSUR INTRINSIKNYA :
TEMA
: Kisah percintaan
LATAR
: _Tempat : kolam renang SJT, taman
_Waktu : pagi hari dan malam hari
_Suasana : tegang,bahagia,romantis
TOKOH
: Fiona (aku) :baik,pemalu,setia
Alfi
:baik,romantis,setia
Eliz
:baik,
ALUR
: Alur Maju
SUDUT PANDANG : Sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama
PENYELESAIAN
: Bahagia (happy ending)
AMANAT
: Masa remaja,memang masa-masa yang indah dan jika kita merasakan
cinta terhadap lawan jenis,harus tau batasanya dan jika berpacaran harus secara sehat.
UNSUR EKTRINSIK
NILAI :
BUDAYA
: sebagai perempuan kita dilarang pulang terlalu malam
MORAL
: kita sebagai generasi bangsa,jika berhubungan dengan lawan jenis harus
bisa jaga jarak atau berpacaran secara sehat.
KERANGKA CERITA :
1.Hari minggu pagi Fion dan Eliz pergi ke kolam renang SJT.
2.Fion merasa aneh terhadap hati kecilnya.
3.Saat membeli makanan Fion di tabrak seorang cowok
4.Fion berkenalan dengan seorang cowok bernama Alfi
5.Alfi mengajak Fion untuk jalan di malam hari
6.Alfi menyatakan cinta kepada Fion dan Fion menerima cinta Alfi
Identifikasi
Unsuri intrinsik
Tema
Kesialan karena rebut-ribut dan mengganggu kenyaman nan orang lain
Alur
Alur mundur
Alur maju
Latar/setting
-prsawahan
-perkomplekan
-pematng sawah
-pondok di tengah sawah
Penokohan
Saya = Suka bermain dan seneng-seneng
Tiara = Penuh rahasia
Amanat/pesan-pesan
Jangan suka menertawakan orang dengan keras,karena dapat mengganggu
kenyamanan orang lain.
Identifikasi
UNSUR INTRINSIK
TEMA
Proses perubahan nama sungai musi dari muci menjadi musi
ALUR
Alur Maju
Latar/setting
-di sungai
-di kapal
PENOKOHAN
Kapitan = pemimpin kejahatan
Pedagag = pintar tawar menawar
Amanat/pesan
Tetap jaga kekayaan hasil bumi yang kita miliki