Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
Pasien yang telah mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis
sangat penting untuk mengembalikan pasien pada kemandirian mengurus diri
sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi
keluarganya. Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk
mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke berulang (pencegahan
sekunder). Komplikasi tirah baring dan stroke berulang akan memperberat
disabilitas dan menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa kepada
kematian.
Rehabilitasi adalah suatu program yang disusun untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang mengalami disabilitas fisik dan atau penyakit
kronis, agar mereka dapat hidup atau bekerja sepenuhnya sesuai dengan
kapasitasnya (Harsono, 1996). Program rehabilitasi menurut Ibrahim (2001) tidak
hanya terbatas pada pemulihan kondisi semata, tetapi juga mencakup rehabilitasi
yang bersifat psikososial, penuh dengan kasih sayang serta empati yang luas, guna
membangkitkan penderita. Rehabilitasi medik meliputi tiga hal, yaitu rehabilitasi
medik,

sosial,

dan

vokasional.

Rehabilitasi

medik

merupakan

upaya

mengembalikan kemampuan penderita secara fisik pada keadaan semula sebelum


sakit dalam waktu sesingkat mungkin. Rehabilitasi sosial merupakan upaya
bimbingan sosial berupa bantuan sosial guna memperoleh lapangan kerja.
Rehabilitasi vokasional merupakan upaya pembinaan yang bertujuan agar
penderita cacat menjadi tenaga produktif serta dapat melaksanakan pekerjaannya
sesuai dengan kemampuannya.
Rehabilitasi medik dalam ilmu kedokteran adalah suatu disiplin ilmu yang
berperan dalam pemulihan gangguan fungsi baik secara fisik, psikologi, edukasi
dan sosial. Pemulihan fungsi itu tentu bukan berarti semua pasien yang fungsinya
terganggu dengan rehabilitasi medik akan menjadi normal seperti semula, karena
banyak faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemulihan fungsi ini. Faktor
tersebut adalah seberapa berat penyebab gangguan fungsi ini, apakah permanen
1

atau sementara, apakah progresif, seberapa besar sisa fungsi yang masih ada.
Adakah gangguan lain yang memperberat atau menghambat proses pengembalian
fungsi misalnya depresi, gangguan kognisi termasuk gangguan komunikasi.
Faktor dari luar misalnya penerimaan dan dukungan dari keluarga atau
masyarakat sekelilingnya, apakah ada sarana bagi penderita, dalam hal ini
modifikasi lingkungan baik lingkungan rumah maupun di luar rumah. Hal ini
sangat membantu pemulihan gangguan fungsi bagi penderita. Sejauh mana dapat
dicapai pemulihan fungsi, hasilnya sangat individual.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke
2.1.1. Definisi
Stroke secara klinis (menurut kriteria WHO) didefinisikan sebagai
adanya gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan
tanda dan gejala klinis, baik fokal maupun global yang berlangsung lebih
dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak.1
2.1.2.

Klasifikasi
Secara umum, stroke diklasifikasikan berdasarkan sebagai

berikut:2,3
1. Letak gangguan sirkulasi di otak (Bamford Clinical
Classification)
a. Total Anterior Circulation Syndrome (TACS)
b. Partial Anterior Circulation Syndrome (PACS)
c. Posterior Circulation Syndrome (POCS)
d. Lacunar Syndrome (LACS)
2.

Sifat gangguan aliran darah


a.

Non Haemorrhagik (trombosis, emboli)2,4


Trombosis merupakan jenis terbanyak yang
paling dijumpai. Penyebabnya adalah aterosklerosis
yang menyebabkan

penyumbatan pembuluh darah

karena pertumbuhan plak pada dinding pembuluh


darah.
Emboli disebabkan oleh terlepasnya embolus dari
sumber asal jantung atau dari pembuluh darah arteri
besar dan masuk ke arteri otak.
b. Haemorrhagik (intraserebral, subaraknoid)2,4,5

Stroke perdarahan (stroke hemoragik) yang


terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarakhnoid.

Penyebab

tersering

dari

stroke

hemoragik adalah hipertensi.


3. Waktu terjadinya4
a. Stroke in evolution adalah stroke yang terjadi masih
terus berkembang di mana gangguan yang muncul
semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini
biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa
hari.
b. Stroke komplit adalah stroke di mana gangguan
neurologi yang timbul bersifat menetap atau permanen.
2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi stroke adalah gangguan peredaran darah pada
daerah otak tertentu. Beberapa hal yang menyebabkan lesi vaskuler
serebral, antara lain sebagai berikut :1,6
1.

Penyumbatan

aliran

darah

otak

karena

vasospasme langsung dan menimbulkan gejala


defisit atau perangsangan sesuai dengan fungsi
2.

daerah otak yang terkena.


Penyumbatan aliran darah yang disebabkan oleh
trombus. Akibatnya aliran darah otak regional
tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan darah

otak yang terganggu.


3.
Penyumbatan aliran darah otak oleh emboli.
Sumber embolisasi dapat terletak di arteri karotis
atau vertebralis tapi dapat juga di jantung dan
4.

sistem vaskuler sistemik.


Lesi daerah otak akibat ruptur dinding pembuluh
darah. Penyebab ruptur pembuluh darah bisa
akibat dari suatu stroke embolik, perdarahan

lobaris

spontan

dan

perdarahan

intraserebral

akibat hipertensi.
Faktor

risiko

adalah

kelainan

atau

kondisi

yang

membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke. Masih

tingginya angka mortalitas dan kecacatan akibat stroke, perlu


dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan faktor
risiko.7
Tabel 2.1 Faktor Risiko Stroke
Faktor biologik yang
tidak dapat dimodifikasi
Umur

Faktor fisiologik yang


dapat dimodifikasi
Hipertensi

Faktor gaya hidup


dan pola prilaku
Merokok

Jenis kelamin

Diabetes

Obesitas

Ras

Dislipidemia

Aktivitas fisik

Predisposisi genetik

Penyakit jantung

Diet

Herediter

Stenosis karotis

Alkohol

Transient Ischemic Attack

Kontrasepsi oral

Homosisteinemia

Hormone

Ateroma aorta
Hypercoagulabiliy stress

Replacement
Therapy

(Dikutip dari: Runtuwene TW. Faktor Risiko dan Pencegahan Stroke. Simposium Stroke Up Date
2001. Bagian SMF Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RSUP Manado. 2001:
25)

2.1.4. Patogenesis
Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun stroke
hemorragik. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena
aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan
darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian
besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.5
Dengan bertambahnya usia dan adanya faktor risiko berupa DM,
hipertensi, dan merokok, aterosklerosis akan terbentuk. Aterosklerosis merupakan
kombinasi dari perubahan tunika intima dengan penumpukan lemak, komposisi

darah maupun deposit kalsium dan disertai perubahan pada tunika media di
pembuluh darah besar dan permukaan lumen menjadi tidak rata. Pada saat aliran
darah lambat, dapat terjadi penyumbatan (trombosis).1
Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur
pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua
arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan
cabang dari lengkung aorta jantung.5
Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah
arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini
sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal
memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari
dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang
lebih kecil.5
Pembuluh

darah

arteri

karotis

dan

arteri

vertebralis

beserta

percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal
dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini
disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak)
yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan
jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung
(terutama fibrilasi atrium). Bila bekuan darah yang terlepas dapat mengikuti aliran
darah dan menimbulkan emboli arteri intrakranial sehingga menimbulkan iskemia
otak.1,5
Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak terbentuk jika
lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan
akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.5
Pada stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat
aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan
merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik terjadi pada penderita
hipertensi.5 Hipertensi kronis menyebabkan perubahan degenerasi pada arteri
perporata dan arteriol yang kemudian membentuk mikroaneurisma. Tekanan darah
yang secara tiba-tiba meninggi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah

tersebut. Perdarahan tesebut dapat terletak di putamen, thalamus, subkortikal,


pons, dan serebellum.1,5
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan
penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya
kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan
menyebabkan stroke.5 Apabila terjadi stenosis atau oklusi pada arteri proksimal
yang menuju ke otak tanpa mendapatkan aliran kolateral sehingga mengakibatkan
penurunan perfusi serebral secara fokal.1
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa
terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika
seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau
pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.5
2.1.5. Manifestasi Klinis
Berbagai gejala neurologis dapat ditimbulkan akibat stroke. Gejala
tersebut tidak hanya tergantung pada berat ringannya stroke, tetapi juga
tergantung pada lokalisasinya.8 Stroke menimbulkan sindroma klinis yang secara
umum dibedakan sesuai area sirkulasi yang terganggu.2
Gejala-gejala akibat stroke dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.7
I.

Gejala

sentral

berupa

gangguan

psikis,

gangguan

emosi,

inkontinensia, kesulitan bicara dan menelan, sindrom rasa nyeri,


gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran
II.

Gejala ekstremitas berupa gangguan motorik, spastisitas, nyeri pada


ekstremitas, rigiditas, ataksi, klonus, astreognosis, gangguan sensorik,
dan kontraktur

2.1.6.

Diagnosis
Diagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke,

dilakukan

pemeriksaan

pemeriksaan

fisik,

klinis

yang

pemeriksaan

radiologis.1,4

teliti,

neurologis,

meliputi
dan

anamnesis,
pemeriksaan

1. Penemuan klinis
a. Anamnesis berupa terjadi keluhan/gejala defisit neurologik yang
mendadak tanpa trauma kepala dan biasanya disertai adanya faktor risiko
stroke.
b. Pemeriksaan fisik berupa adanya defisit neurologis fokal dan ditemukan
adanya faktor risiko, seperti hipertensi, diabetes mellitus, kelainan jantung,
dan lain-lain atau adanya bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh
darah lainnya.
2. Pemeriksaan tambahan/laboratorium
Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan likuor serebrospinalis dan
pemeriksaan neuroradiologik berupa Computerized Tomography-scan (CTScan), Magnetic Radiation Imaging (MRI), dan angiografi serebral.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menemukan faktor risiko, seperti
Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit, laju endap darah, komponen kimia dan gas
darah, serta elektrolit, Dopler, EKG, Ekokardiografi, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan berdasarkan skoring dengan Djoenaedi Stroke Score (1988),
Chandra Stroke Score (1989), The Canadian Neurological Scale (1989) atau
Sirijaj Stroke Score (1991).
2.1.7. Penatalaksanaan
Secara

umum,

penatalaksanaan

stroke

bertujuan

untuk

memperbaiki keadaan umum mencegah kematian dan komplikasi.


Menurut

Konsensus

Nasional

Pengelolaan

Stroke

di

penatalaksanaan awal stroke adalah sebagai berikut.1,8

Bebaskan jalan nafas dan ventilasi yang adekuat


Kandung kemih yang penuh dikosongkan
Penanganan tekanan darah secara khusus
Koreksi hipoglikemi atau hiperglikemi
Suhu tubuh dipertahankan normal
Nutrisi per oral/pipa nasogastrik
Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

Indonesia,

Pengobatan secara khusus disesuaikan dengan jenis stroke yang dialami,


yaitu sebagai berikut.1,8
1.

Stroke Iskemik / non hemoragik


a. Pengobatan pada penyebabnya
Strategi pengobatan disini dapat difokuskan pada :
- Prevalensi terjadinya trombosis (antikoagulasi, antitrombotik,
antiagregasi platelet)
- Memperbaiki aliran darah ke otak atau perfusi (pentoxifilin)
- Proteksi neuronal/sitoproteksi (Ca-Channel Blocker, metabolik
aktivator)
b. Pengobatan pada faktor risiko
- Anti hipertensi ( klonodin, captopril dan lain-lain )
- Anti diabetik ( insulin )
- Terapi untuk kelainan jantung ( aspirin, warparin dan lain-lain )
- Terapi untuk tekanan intrakranial yang meningkat ( manitol )

2.

Stroke Hemoragik
a. Pengobatan Konservatif
- Menjamin jalan nafas bebas hambatan
- Pemberian oksigen
- Pemberian cairan, elektrolit dan nutrien
- Pasang kateter untuk monitoring produksi urin
- Pemberian pelunak feses
- Pemberian antiperdarahan (asam traneksamat)
- Bila terjadi edema cerebri diberikan monitol
b. Pengobatan bedah saraf (operatif)
Tujuan operasi
- Pengeluaran bekuan darah
- Penyaluran cairan serebro spinal
- Pembedahan mikro pada pembuluh darah

2.1.8. Prognosis dan Komplikasi


Prognosis umum serangan pertama relatif baik, yaitu 70-80% akan
selamat jiwanya, 90% akan terus hidup dalam 2 tahun, 50% akan hidup 10
tahun lagi atau lebih lama.8 Sekitar 42-90% penderita dapat melakukan
perawatan diri dan dapat berjalan secara mandiri.1 Newman dalam
studinya mencatat pada penderita hemiplegi, kesembuhan motorik terlihat
terdini pada minggu pertama dan paling terlambat pada minggu ke-7.
Sesudah minggu ke-14, kemajuan neurologis hanya pelan. Waktu rata-rata
untuk mencapai 80% kesembuhan akhir: 6 minggu. Frank H. Krusen
memberi kesimpulan bahwa dengan rehabilitasi yang tepat, 90% dari
pasien stroke dapat berjalan kembali, 70% dapat mandiri dan 30% dari
usia kerja dapat kembali ke pekerjaan semula.7
Prognosis fungsional tergantung pada hal-hal sebagai berikut.1,2 Luas dan
lokasi lesi neuroanatomis (kerusakan otak)
a. Penyebab dan sumber lesi
b. Derajat kesadaran
c. Usia
d. Penyakit / kondisi penyulit
e. Komplikasi
f. Penanganan
g. Motivasi penderita
h. Dukungan keluarga
i. Sarana dan tenaga profesional yang tersedia
Komplikasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut.1
1.Dapat dicegah, seperti subluksasi sendi bahu, kontraktur, kerusakan
saraf perifer, fraktur, osifikasi heterotopik, aspirasi dan pneumonia,
trombosis vena dalam dan emboli pulmonal, ulkus dekubitus dan
gangguan psikososial.
2.Tak dapat dicegah berupa spastisitas, gangguan kandung kemih,
gangguan bowel, sindrom otak organik, kejang, dehidrasi dan
malnutrisi serta problem baru yang berhubungan dengan umur.

10

2.2. Rehabilitasi Medik


Rehabilitasi menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan
untuk mengurangi dampak disabilitas/handicap agar memungkinkan
penyandang cacat dapat berintegrasi dengan masyarakat. Rehabilitasi medik
adaah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan

fungsional

fisik

dan

psikologis

dan

kalau

perlu

mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat berdikari.1


Rehabilitasi dilakukan oleh suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari
dokter rehabilitasi medis, fisioterapis, terapis okupasi, perawat rehabilitasi,
pekerja sosial medis, terapis wicara, psikolog, ortotis prostetis, dan lainlain. Tim rehabilitasi akan menjadi sangat efektif apabila upaya-upaya
tersebut di koordinasikan dan diadakan pertemuan secara berkala untuk
membahas mengenai kemajuan dan kendala tiap pasien serta ditunjang oleh
adanya interaksi yang baik antara penderita dan keluarganya dengan
personil medik.1
Ukuran

keberhasilan

penanganan

adalah

bukan berdasarkan

banyaknya jiwa penderita yang tertolong, tetapi berapa banyak penderita


yang dapat kembali berfungsi lagi di masyarakat. Urutan-urutan dari yang
paling berhasil sampai yang paling buruk adalah sebagai berikut.1
1. Dapat berdikari dalam merawat dirinya sendiri
2. Mampu mencari nafkah serta dapat berekreasi, seperti sebelum
sakit tanpa memerlukan alat bantu.
3. Seperti nomor 2, tetapi memerlukan alat bantu
4. Dapat ambulasi dan merawat dirinya dengan atau tanpa alat
bantu
5. Untuk ambulasi memerlukan kursi roda dan bantuan untuk
merawat dirinya
6. Hanya bergantung di tempat tidur

11

2.2.1. Rehabilitasi Medik pada Pasien Stroke


Manfaat rehabilitasi pada penderita stroke bukan untuk mengubah
defisit neurologis melainkan menolong penderita untuk mencapai fungsi
kemandirian semaksimal mungkin dalam konteks lingkungannya. Jadi
tujuannya adalah lebih

ke arah meningkatkan kemampuan fungsional

daripada memperbaiki defisit neurologis atau mengusahakan agar


penderita dapat memanfaatkan kemampuan sisanya untuk mengisi
kehidupan secara fisik, emosional, dan sosial ekonomi dengan baik.9
Program rehabilitasi bagi penderita stroke dapat dimulai sedini
mungkin. Kriteria dapat dimulainya program rehabilitasi adalah pasien
sudah dalam keadaan stabil. Hal ini berarti diagnosis sudah ditegakkan,
terapi sudah dimulai, dan pasien sudah tidak dalam resiko tinggi
dekompensasi jantung/paru.2
Secara umum, penatalaksanaan rehabilitasi penderita stroke sudah bisa
dimulai pada hari pertama atau kedua setelah serangan stroke dengan
tujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut tetapi penatalaksanaan
yang khusus dapta diberikan pada saat penderita setelah stabil (tidak ada
kelainan defisit neurologis yang progresif dalam 48 jam).7
Syarat rehabilitasi secara khusus adalah sebagai berikut.1
1.

Mempunyai derajat kesadaran yang baik

2.

Mengerti perintah-perintah/petunjuk yang sederhana

3.

Dapat mengingat dan menerangkan kembali

apa yang

dipelajari kemarin
Lama program yang direncanakan tergantung dari faktor-faktor yang
mempengaruhi. Pada fase awal pengobatan dan perawatan ditujukan untuk
meenyelamatkan jiwa dan mencegah komplikasi, segera setelah keadaan
umum memungkinkan, rehabilitasi dimulai biasanya pada hari 2-3. Untuk
stroke akibat perdarahaan biasanya setelah hari ke-14, sedangkan fase
lanjutan bertujuan untuk untuk mencapai kemandirian fungsional dalam
mobilisasi dan aktivitas sehari-hari (Activity of Daily Living-ADL).7

12

Karakteristik

program rehabilitasi

penderita stroke menurut Golberg

adalah sebagai berikut.1


1.

Mencegah komplikasi

2.

Mencegah kekambuhan stroke (progresivitas)

3.

Mengidentifikasi defisit fungsional dan kemampuan

4.

Memperbaiki fungsional fisik melalui conditioning exercise

5.

Meningkatan

kemajuan

fungsional

melalui

training

yang

ditujukan pada AKS (mobilisasi, perawatan diri, kognisi dan


komunikasi)
6.

Menilai kebutuhan yang diperlukan untuk mobilitas dan AKS


serta memberikan persiapan ortosis dan alat bantu yang spesifik

7.

Menilai dan memberikan dukungan terhadap penderita dan


keluarga dalam proses sosialisasi

8.

Mengidentifikasi

dan

menangani

gangguan

afektif

dan

memberikan konseling dan dukungan kepada penderita


9.

Mencegah komplikasi melaui evaluasi dan penanganan terhadap


seluruh kondisi medik yang berkaitan

10. Mengidentifikasi dan memberikan kemudahan dalam hal aktivitas


rekreasional mencakup : aktivitas waktu luang dan hobi
11. Mengembalikan penderita ke keadaan mandiri termasuk ke
pekerjaan yang menguntungkan
2.2.2. Evaluasi Penderita Stroke dari Segi Rehabilitasi Medik
Evaluasi rehabilitasi medik yang dilakukan oleh tim berbeda
dengan evaluasi medik umum bagi penderita. Tujuan evaluasi rehabilitasi
medik adalah untuk tercapainya sasaran fungsional yang realistik dan
untuk menyusun suatu program rehabilitasi yang sesuai dgn sasaran
tersebut. Pemeriksaan ini meliputi 4 bidang evaluasi, yaitu sebagai
berikut.7,9
1. Evaluasi neuromuskuloskeletal:

13

Evaluasi ini harus mencakup evaluasi neurologik secara umum


dg perhatian khusus terhadap kemampuan terhadap komunikasi
fungsi cerebral dan cerebellar, sensasi dan penglihatan (terutama
visus dan lapangan penglihatan). Evaluasi sistem motorik
meliputi pemeriksaan luas gerak sendi (ROM), tonus otot dan
kekuatan otot.
2. Evaluasi medik umum
Banyak penderita stroke adalah mereka yang berusia lanjut dan
mungkin mempunyai problem medik sebelumnya. Evaluasi
tentang sistem kardiovaskular, sistem pernafasan serta sistem
saluran kencing dan genital adalah penting. Diperkirakan 12%
penderita stroke disertai dengan penyakit jantung simptomatik.
Bila terdapat hipertensi dan diabetes mellitus, kontrol yang baik
adalah sangat perlu
3. Evaluasi fungsional
Kemampuan fungsional yang dievaluasi meliputi aktivitas
kegiatan hidup sehari-hari (ADL): makan, mencuci, berpakaian,
kebersihan diri, transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis
aktivitas

tersebut,

ditentukan

derajat

kemandirian

atas

ketergantungan penderita, juga kebutuhan alat bantu.


Derajat kemandirian tersebut adalah sebagai berikut.6
a.

Mandiri (independent)

Penderita dapat melaksanakan aktivitas tanpa bantuan, baik


berupa instruksi (lisan) maupun bantuan fisik.
b.

Perlu supervisi

Penderita mungkin memerlukan bantuan instruksi lisan atau


bantuan seorang pendamping untuk mewujudkan aktivitas
fungsional.
c.

Perlu bantuan

14

Penderita memerlukan bantuan untuk mewujudkan aktivitas


fungsional tertentu, yang bisa berderajat minimal (ringan),
sedang atau maksimal.
d.

Tergantung (dependent)

Penderita tidak dapat melaksanakan aktivitas meskipun dengan


bantuan alat dan semua aktivitas harus dilakukan dengan
bantuan orang lain.
4. Evaluasi psikososial dan vokasional
Evaluasi psikososial dan vokasional adalah perlu oleh
karena rehabilitasi medik tergantung tidak hanya pada fungsi
cerebral intrinsik, tetapi juga tergantung faktor psikologik, misal
motivasi penderita. Vokasional dan aktivitas rekreasi, hubungan
dengan keluarga, sumber daya ekonomi dan sumber daya
lingkungan juga harus dievaluasi. Evaluasi psikososial dapat
dilakukan dengan menyuruh penderita mengerjakan suatu hal yang
sederhana yg dapat dipakai untuk penilaian tentang kemampuan
mengeluarkan pendapat, kemampuan daya ingat, daya pikir dan
orientasi
2.2.3. Program Rehabilitasi Medik pada Pasien Stroke
Program rehabilitasi medik dapat dimulai sedini mungkin. Pada
progressing stroke, lebih aman menunggu sampai mencapai completed
stroke baru dimulai program latihan, meskipun pasif. Jika Gangguan
Pembuluh Darah Otak (GPDO) berasal dari aliran sistem karotis, tunggu
sampai 18-24 jam. Jika tidak ada gejala neurologik berarti telah komplit,
sedangkan GPDO dari sistem vertebrobasiler diperlukan observasi selama
72 jam. GPDO karena trombosis dan emboli tanpa komplikasi, mobilisasi
dapat dimulai 2-3 hari setelah onset. GPDO karena trombosis/emboli pada
penderita infark miokardial tanpa komplikasi dimulai setelah 3 minggu.
Jika stabil, tidak ada aritmia, mobilisasi hati-hati dimulai pada hari ke 10.6
Swenson

menyebutkan

lama

program

rehabilitasi

medik

direncanakan 6-12 minggu (rata-rata 8 minggu) sebagai waktu yang

15

diperlukan penderita rawat tinggal sebelum diperbolehkan pulang. Pada


kasus ringan, program rehabilitasi medik dilakukan selama 1-2 minggu.
Lama waktu keseluruhan program rehabilitasi pada umumnya 6-12
bulan.6,9
a.

Fase Awal
Pada fase awal mungkin kesadaran penderita masih menurun,

pemeriksaan-pemeriksaan masih banyak dilakukan dan penderita masih


diinfus.

Pengobatan

dan

perawatan

pada

fase ini

ditujukan untuk

menyelamatkan jiwa dan mencegah komplikasi. Segera setelah keadaan umum


memungkinkan rehabilitasi dimulai, biasanya pada hari ke 2-3. Untuk stroke
akibat perdarahan biasanya setelah hari ke-14.6,9
Pekerja sosial medik dapat mulai bekerja dengan wawancara keluarga
penderita, mencari keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial ekonomi
dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita. Selain itu, seseorang
fisioterapis mengatur posisi penderita sejak dini dengan tujuan mencegah
dekubitus, kontraktur sendi, nyeri bahu, pneumonia ortostatik, juga bermanfaat
untuk melawan dominasi synergictic pattern dan memudahkan nursing care.
Posisi ini terdiri dari :6,9
a. Posisi baring terlentang
Ekstremitas atas diletakkan di atas bantal sehingga bahu sedikit
abduksi dan ke depan, siku dalam ekstensi lengan dalam rotasi
keluar, pergelangan tangan dan tangan dalam ekstensi. Ekstremitas
bawah, sendi paha agak ekstensi dengan meletakkan bantal di bawah
paha dan sendi paha, lutut dalam fleksi, tungkai atas dalam internal
rotasi ringan.6,9

16

b. Posisi miring pada bagian yang sehat

c. Posisi miring pada bagian yang sakit

Perhatikan posisi ekstremitas atas. Bahu yang sakit jangan sampai


tertindih ke belakang, tetapi dalam posisi ke depan.6,9
d. Posisi bridging
Penderita diubah posisinya setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya
ulkus dekubitus, kemudian diberikan latihan luas gerak sendi
(ROM).6,9

17

Pada ekstremitas yang sakit, dilakukan latihan luas gerak sendi


sepenuh gerakan secara pasif. Perhatian khusus ditujukan tehadap sendi
bahu, tangan dan pergelangan kaki. Latihan luas gerak sendi membantu
mencegah kekakuan sendi, yang dapat menghambat fungsi bila pemulihan
neurologik terjadi. Begitu penderita sadar penanganan masalah emosional
dimulai. Setelah tahu ada gangguan fungsi gerak pada dirinya penderita
biasanya menjadi sangat kecewa, emosi labil, ketakutan, dan frustasi dapat
terjadi.6,9.
b. Fase Lanjutan
Penekanan fase lanjutan adalah untuk mencapai kemandirian
fungsional dalam mobilisasi dan aktivitas hidup sehari-hari (ADL). Fase
ini dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil. Aktivitas
mobilisasi mulai dengan aktivitas di tempat tidur, berlanjut ke duduk,
berdiri dan ambulasi. Perhatian selama fase ini ditujukan untuk
memelihara ROM dan meningkat dari latihan ROM secara pasif ke aktif.6,9
Latihan penguatan otot dilakukan pada sisi yang sehat maupun yang
sakit, terutama untuk otot-otot yang dipakai untuk transfer dan ambulasi.
Latihan penguatan otot ini dimulai dari latihan secara aktif-assistif sampai
kemudian progresif-resistif, bila kekuatan telah pulih kembali. Latihan
koordinasi dan keseimbangan juga diperlukan.9
Latihan 1:
Angkat tangan yang lumpuh menggunakan tangan yang sehat ke atas.
Letakkan kedua tangan di atas kepala. Kembalikan tangan ke posisi
semula

18

Latihan 2:
Angkat tangan yang lumpuh melewati dada kearah tangan yang sehat.
Kembali ke posisi semula

Latihan 3:
Angkat tangan yang lemah menggunakan tangan yang sehat ke atas
Kembali seperti semula

Latihan 4:
Pegang
pergelangan
tangan yang
lumpuh
menggunakan tangan yang sehat. Luruskan siku kemudian angkat ke atas.
Letakkan kembali tangan yang lumpuh di tempat tidur.

19

Latihan 5:
Pegang pergelangan tangan yang lumpuh menggunakan tangan yang sehat,
angkat ke dada. Putar pergelangan tangan ke arah dalam dan ke arah luar.

Latihan 6:

Tekuk jari-jari yang lumpuh dengan tangan yang sehat, kemudian


luruskan. Putar ibu jari yang lemah menggunakan tangan yang sehat

Latihan 7:

Letakkan kaki yang sehat di bawah lutut yang lumpuh. Turunkan kaki
yang sehat, sehingga punggung kaki yang sehat berada di bawah
pergelangan kaki yang lumpuh. Angkat kedua kaki ke atas dengan bantuan
kaki yang sehat, kemudian turunkan pelan-pelan

Latihan 8:
Angkat
kaki

20

lumpuh menggunakan kaki yang sehat ke atas sekitar 3 cm. Ayunkan


kedua kaki sejauh mungkin kearah satu sisi, kemudian ke sisi sebelahnya
(sisi satunya). Kembali ke posisi semula dan ulangi lagi

Latihan

9:

(bridging
exercise)

Anjurkan pasien untuk menekuk lututnya, Bantu pegang pada lutut yang
lumpuh dengan tangan satu. Dengan tangan yang lainnya penolong
memegang pinggang pasien. Anjurkan pasien untuk mengangkat
bokongnya. Kembali ke posisi semula dan ulangi lagi.

2.3. Jenis

Rehabilitasi Medik
2.3.1. Mobilisasi
Mobilisasi meliputi program latihan posisi tegak secara bertahap
mulai dari duduk sampai berdiri dan akhirnya mobilisasi. Mobilisasi
dini untuk mencegah terjadinya orthostatic postural hypotension.6
2.3.2. Latihan duduk
Tahap pertama latihan duduk dilakukan secara pasif. Jika
penderita sebelumnya diimobilisasi 2 minggu atau lebih untuk adaptasi

21

kardiovaskular perlu latihan dengan tilt-table. Latihan duduk dimulai


dengan mendudukkan penderita selama 5-10 menit, monitor tandatanda vital. Lama waktu duduk (toleransi) dapat dinaikkan. Latihan
dilakukan minimal 2 kali sehari tiap pagi dan sore. Toleransi dianggap
baik jika dapat bertahan lebih dari 30 menit. Latihan aktif dimulai
setelah toleransi baik.6,9

Posisi duduk dipinggir tempat tidur ditingkatkan keduduk di


kursiroda. Bila toleransi terhadap posisi duduk telah tercapai, suatu
program latihan transfer pada posisi berdiri dan latihan toleransi pada
posisi berdiri dimulai. Penderita dengan hemiparese biasanya dilatih
transfer pada posisi berdiri dengan mempergunakan tungkai yang sehat
untuk menahan berat badan serta mempergunakan lengan yang sehat
22

untuk mendorong badan ke atas sampai dapat berdiri tegak. Untuk


menyelesaikan transfer ini, penderita bertumpu pada kaki yang sehat,
lalu memindahkan lengan yang sehat ke sandaran tangan kursi roda dan
kemudian merendahkan tubuh sampai duduk di kursi roda. Transfer
harus selalu dilakukan dengan meletakkan kursi roda pada sisi yang
sehat dari tubuh (lihat gambar).6,9

23

Bersamaan dengan prosedur transfer dimulai, program latihan


berdiri dan ambulasi juga dimulai. Awalnya bantuan dari terapis
diperlukan untuk membantu penderita berdiri di antara paralel bar,
kemudian dimulai latihan keseimbangan dan toleransi berdiri. Jika
dianggap perlu dapat memakai knee back slab, yaitu semacam posterior
splint untuk menstabilkan lutut yang sakit dalam posisi ekstensi.6,9
Latihan ini termasuk stand-up exercise berguna untuk penguatan
tungkai yang sehat sehingga kuat mengangkat tubuh juga merangsang
kembalinya refleks serta fungsi motorik tungkai yang sakit dan juga
menguatkan tungkai yang sehat. Mulai dengan kursi tinggi, tiap kali
latihan 10 kali stand-up, kemudian kursi direndahkan 1 atau 2 inci
sampai setinggi kursi umum.6,9
Seterusnya penderita dilatih berjalan diantara paralel bar,
pertama dengan bantuan selanjutnya tanpa bantuan. Tahap berikutnya
penderita dilatih jalan di luar paralel bar, bila perlu dengan bantuan
tongkat yang bisa berupa tongkat kaki 4, kaki 3, atau kaki tunggal,

24

untuk diteruskan dengan jalan tanpa alat bantu bila telah ada kemajuan.
Penderita juga dilatih untuk menaiki tangga rumah. Pertama kali
penderita menaiki tangga rumah setapak demi setapak untuk tiap
tingkat Pada waktu naik tungkai sehat melangkah lebih dulu, sewaktu
turun tungkai sakit terlebih dulu.9

Untuk membantu program ambulasi, diperlukan alat bantu


sebagai berikut.9
a. Brace

25

Untuk kasus foot drop, dapat digunakan short leg brace


dengan 90 post, sedangkan long leg brace dilakukan untuk
menghentikan recurvatum genue.
b. Sepatu untuk menambah stabilitasi pergelangan kaki
Pada sepatu pasien, dilakukan pemberian tumit lebar atau
penambahan pada sole sebelah samping.
c. Sling
Sling dipasangkan pada ekstremitas atas yang mengalami
paralisis berat untuk mengurangi tarikan pada bahu dan
mencegah terjadinya sindroma nyeri bahu. Sling juga akan
mencegah efek ekstremitas atas yang nonfungsional
terhadap keseimbangan penderita waktu jalan.
d. Kursi roda
Jika tim rehabilitasi memutuskan bahwa kemampuan
berjalannya memang sudah tidak dapat mencapai tingkat
yang fungsional, pilihan terakhir adalah kursi roda.

2.3.3. Aktivitas

Kehidupan

Sehari-Hari

(Activity

Of

Daily

Living/ADL)
Sebagian besar penderita dapat mencapai kemandirian dalam
ADL, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas atas
yang terkena belum tentu baik. Dengan peralatan bantu yang telah
disesuaikan, aktivitas ADL dengan menggunakan satu tangan secara
mandiri dapat dikerjakan. ADL ini meliputi makan, minum, personal
hygiene, berpakaian, serta aktivitas tambahan seperti membuka pintu,
memegang buku bacaan, menelepon dan lain-lain.6,9
Kemandirian dalam makan dapat dipermudah dengan pemakaian
alat-alat yang telah disesuaikan, misalnya sendok/garpu dengan
pegangan yang besar, sedotan untuk minum. Pemasangan batang

26

pegangan pada dinding kamar mandi dan kamar kecil akan menambah
kemadirian sewaktu mandi, sedangkan pakaian yang lebih longgar,
dengan kancing di depan, dikombinasikan dengan teknik mengenakan
pakaian dengan memasukkan sisi yang sakit lebih dulu ke lengan
kemeja, celana panjang/pendek maupun pakaian dalam akan menambah
kemandirian dalam berpakaian.6,9
2.3.4. Gangguan Bicara Atau Komunikasi
Pelaksanaan terapi dilakukan oleh tim medik dan keluarga dan
umumnya memerlukan waktu 3 bulan. Gangguan bicara atau
komunikasi ditangani oleh speech therapist dengan cara sebagai
berikut.6,9
1. Latihan pernafasan (pre-speech training) berupa latihan nafas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2. Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata. Untuk afasia motorik, contoh gerakan
dan instruksi secara tertulis, sedangkan untuk afasia sensorik,
rangsangan suara lebih ditekankan, bicara perlahan-lahan serta
jelas.
3. Latihan bagi penderita disartri lebih ditekankan ke artikulasi
dan pengucapan kata-kata.
Sekitar 40% penderita stroke dengan kelumpuhan sebelah kanan
akan terdapat gangguan bahasa. Kelainan ini bersifat sementara dan
menetap. Bila fungsi gerak mengalami peningkatan biasanya fungsi
bahasa juga, walaupun tidak pasti sejalan. 6,9
2.3.5. Faktor Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui suatu serial fase psikologi.

Semua anggota tim harus

mengetahui fenomena ini serta harus memberikan dukungan dan


dorongan semangat bagi penderita.6
Fase-fase psikologis tersebut adalah sebagai berikut.9
27

1. Fase shock
Waktu

: segera setelah serangan

Gejala

: panik, cemas, putus asa

Program

: memberi keyakinan dan dukungan


semangat, konsultasi dengan keluarga.

2. Fase penolakan
Waktu

: fase akut

Gejala

: agak panik

Program

: dorongan semangat bagi penderita untuk

melakukan aktivitas yang dapat dikerjakan, pemberian


hadiah atas usaha yang dapat dikerjakan
3. Fase penyesuaian
Waktu

: fase pemulihan awal

Gejala

: cemas, rasa kepahitan hidup, depresi

Program

: secara bertahap memberikan aktivitas baru

yang bersifat tantangan


4. Fase penerimaan
Waktu

: fase pemulihan lanjut

Gejala

: kenaikkan terhadap gairah hidup

Program

: paksa penderita untuk mencapai sasaran

yang telah ditetapkan


Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat,
sedang sebagian lagi mengalaminya secara lambat, berhenti pada salah
satu fase atau bahkan kembali ke fase yang sudah lewat. Rehabilitasi
memerlukan pendidikan dan motivasi. Penderita harus berada pada fase
psikologi yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.6
2.4.

Pemulihan Penderita Stroke


Saat mulainya rehabilitasi medik, program dimulai kurang
dari 24 jam maka pengembalian fungsi lebih cepat. Bila dimulai
kurang dari 14 jam maka kemampuan memelihara diri akan

28

kembali lebih dahulu. Saat dimulainya pemulihan klinis, prognosis


akan lebih buruk bila ditemukan adanya : 1-4 minggu gerak aktif
masih nol (negatif); 4-6 minggu fungsi tangan belum kembali dan
adanya hipotonia dan arefleksia yang menetap.6

Pemulihan penderita stroke dibagi menjadi dua macam, yaitu


sebagai berikut.1
1. Pemulihan Neurologis
Pemulihan neurologis tergantung mekanisme stroke dan
lokasi lesi. Pemulihan neurologis secara spontan umumnya terjadi
pada bulan ke 3- 6 setelah serangan stroke. Pada pemulihan
neurologis akan terjadi

proses sebagi berikut:resolusi terhadap

udema lokal, rosorpsi toksin secara lokal, perbaikan sirkulasi lokal


dan perbaikan secara parsial neuron yang rusak.
2. Pemulihan Fungsional
Perbaikan fungsi motorik biasanya terjadi setelah stroke.
Dan akan menjadi komplit setelah 3-6 bulan setelah serangan
stroke. Pemulihan ini akan terjadi secara kontinue setiap bulan dan
setiap tahun, tergantung dimana penderita ditempatkan dan berapa
banyak latihan serta motivasi yang didapatkan dari lingkungan.
Pada suatu studi pernah dilaporkan bahwa pemulihan extremitas
bawah lebih dini dibandingkan extremitas atas. Kebanyakan
program rehabilitasi stroke dapat diselesaikan oleh penderita
sebelum akhir hari ke-40 setalah serangan stroke. Untuk menilai
untung ruginya rehabilitasi stroke juga perlu dipikirkan bukan
hanya keuntungan secara finansial tetapi semua keuntungan
termasuk dalam memperbaiki kualitas hidup.
Beberapa instrumen yang sering dipaki untuk menilai kemampuan
fungsional pada penderita stroke adalah sebagai berikut. 1,6,9
1. Secara Umum
a.

Indeks Barthel

29

Indeks Barthel merupakan indeks kemandirian yang sederhana


untuk menilai kemampuan fungsional penderita dengan gangguan
neuromuskuler atau muskuloskeletal dan merupakan instrumen yang
paling populer dan paling banyak digunakan untuk mengukur
kemampuan fungsional penderita stroke dalam melaksanakan aktivitas
kehidupan sehari-hari. Untuk penampilan berjalan telah dipakai sub skor
indeks barthel denganskla 3 poin, yaitu tidak dapat berjalan, berjalan
dengan bantuan dan berjalan secara independen.1,6

Indeks Barthel terdiri dari 10 item meliputi sebagai berikut.1

b.

Functional Independence Measure (FIM)


Skor FIM dikembangkan untuk mengukur disabilitas seseorang dan
untuk menilai kemajuan perkembangaan penderita yang mendapat
program rehabilitasi. Penilaian pada penderita FIM dilakukan pada 6
kategori fungsi dan terdiri dari 18 item. Setiap item dinilai
ketergantungannya dengan menggunakan skala 1 s/d 7.9
1.

Independence
7

: independen komlit

: modified independence

2. Modified Independence
5

: supervisi

30

penderita memaki alat bantu

: bantuan minimal (upaya obyek untuk aktivitas >

75 %)
3 : bantuan sedang (subyek 25-75 %)
3. Complited dependence
2 : bantuan maksimal (subyek: 25-50%)
1 : bantuan toatal (subyek 0-25 %)
Keenam kategori fungsi terdiri dari poin-poin sebagai berikut.9
1. Perawatan diri:
- Nilai maksimal 42 poin (6 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah makan, grooming, mandi, memakai
baju bagian atas ,memakai baju bagian bawah dan pergi ke toilet
2.

Kontrol sfingter

- Nilai maksimal 14 point (2 aktivitas)


- Aktivitas yang dinilai adalah manajment kandung kencing dan usus
3.

Mobilitas

- Nilai maksimal 21 point ( 3 aktivitas)


- Aktivitas yang dinilai adalah kemampuan transfer untuk BAB dan
BAK, transfer untuk mandi dan transfer ke tempat tidur, kursi dan kursi
roda.
4.

Lokomotorik
-

Nilai maksimal 14 point ( 2 aktivitas)

Aktivitas yang dinilai adalah berjalan/kursi roda, naik/turun

tangga
5.

Komunikasi
-

Nilai maksimal 14 point ( 2 aktivitas)

Aktivitas yang dinilai adalah komprehensi/ dapat memahami

ekspresi
6.

Social cognition
-

Nilai maksimal 21 point (3 aktivitas)

31

Aktivitas yang dinilai adalah pemecahan masalah, intereaksi

sosial dan memori.


c.

PULSES Profile
PULSES profile dirancang untuk mengevaluasi fungsional pada
penderita penyakit kronis dan orang tua termasuk stroke. Profile ini
umumnya digunakan untuk memprediksi rehabilitasi yang potensial,
untuk mengevaluasi perkembangan penderita dan untuk membantu dalam
perencanaan program.6,9
PULSES merupakan akronim yang dibentuk dari huruf-huruf awal
subseksi instrumen. Subseksi-subseksi ini didesain untuk mengukur :1
1. Physical condition (kondisi fisik)
2. Upper Extremity (kemampuan untuk menggunakan ekstremitas
atas)
3. Lower Extremity (kemampuan untuk menggunakan ekstremitas
bawah)
4. Sensory Performance (komponen sensorik yang berhubungan
dengan komunikasi, yaitu bicara, pendengaran dan penglihatan)
5. Excretory performance (kemampuan untuk mengontrol BAB dan
BAK)
6. Social and mental status (status sosial dan status mental)
Dalam setiap subseksi, nilainya antara 1 s/d 4 (dari normal sampai
abnormal berat yang mengakibatkan ketergantungan), PULSES profile
merupakan instrumen untuk mengukur kemampuan fungsional dan telah
banyak digunakan secara luas di pusat-pusat rehabilitasi di Amerika.1
PULSES profile lebih berguna untuk mendeteksi

perubahan-

perubahan sebelum meninggalkan rumah sakit (KRS) dan sangat efektif


pada perubahan substansial pada status fungsional pada penderita stroke
atau cedera medula spinalis.1
2. Secara Khusus

32

Fungsional Ambulation Category (FAC) adalah alat ukur yang


dapat digunakan untuk menilai kemampuan gait penderita seperti
penderita pasca stroke, palsi serebralis dan pasca trauma medula spinalis.
Tes tersebut meliputi 6 level terhadap dukungan personel yang
diperlukan untuk gait tetapi tidak mencatat apakah alat bantu digunakan
atau tidak.1,9

Level 0 menggambarkan seorang penderita tidak mampu


berjalan atau memerlukan bantuan dua orang atau lebih.

Level 1 menggambarkan seorang penderita memerlukan


sokongan yang kontinyu dari satu orang untuk membantu
mengangkat berat dan keseimbangannya.

Level 2 menggambarkan seorang penderita tergantung pada


sokongan yang kontinyu atau intermiten terhadap satu orang
untuk membantu keseimbangan atau koordinasi.

Level 3 menggambarkan penderita hanya memerlukan


supervisi verbal.

Level 4 menggambarkan bantuan diperlukan pada tangga dan


permukaan yang tidak rata

Level 5 menggambarkan seorang penderita yang dapat berjalan


secara independen di mana saja

BAB III
KESIMPULAN
Pasien yang telah mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis
sangat penting untuk mengembalikan pasien pada kemandirian mengurus diri
sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi
keluarganya.

33

Rehabilitasi medik adaah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk


mengembangkan kemampuan fungsional fisik dan psikologis dan kalau perlu
mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat berdikari.
Program rehabilitasi medik dapat dimulai sedini mungkin. Pada
progressing stroke, lebih aman menunggu sampai mencapai completed stroke baru
dimulai program latihan, meskipun pasif. Jika Gangguan Pembuluh Darah Otak
(GPDO) berasal dari aliran sistem karotis, tunggu sampai 18-24 jam. Jika tidak
ada gejala neurologik berarti telah komplit, sedangkan GPDO dari sistem
vertebrobasiler diperlukan observasi selama 72 jam. GPDO karena trombosis dan
emboli tanpa komplikasi, mobilisasi dapat dimulai 2-3 hari setelah onset. GPDO
karena trombosis/emboli pada penderita infark miokardial tanpa komplikasi
dimulai setelah 3 minggu. Jika stabil, tidak ada aritmia, mobilisasi hati-hati
dimulai pada hari ke 10. Lama waktu keseluruhan program rehabilitasi pada
umumnya 6-12 bulan.

5
DAFTAR PUSTAKA
1. Widagda,

IM. Penilaian Tingkat Ambulasi Penderita


Hemiparesis Pascastroke dengan Functional Ambulation
Category (FAC) bagi yang Mendapat ProgramRehabilitasi Medik
di RS dr. Kariadi Semarang. Laporan Penelitian. ProgramStudi

34

Rehabilitasi Medik
Semarang. 2002;3-26.

Fakultas

Kedokteran

Diponegoro.

2. Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia.


Tatalaksana
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Pada Stroke
Kolegium Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia.Jakarta. 2010; 1-21
3. Bamford J, Sandercock P, Dennis M, Burn J, Warlow C.Classification
and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infar
ction .Lancet. 2008; 1-5.12.
4. Karema Winny. Diagnosis dan Klasifikasi Stroke. Simposium Stroke
Up
Date2001. Bagian SMF Saraf Fakultas Kedokteran Universitas SamRa
tulangi/RSUP Manado. 2001: 10-5.13.
5. Misbach, J dan Harmani K. Mengenali Jenis-jenis Stroke . 2011.
Diunduh
dari:http://medicastore.com/stroke/Mengenali_Jenis_Stroke.php ,diak
ses pada tanggal 7 Oktober 2015.
6. WHO. 2012. Stroke, Cerebrovascular Accident. Diunduh dari:http://w
ww.who.int/topics/ cerebrovascular_accident/en/, diakses tanggal 7
Oktober 2015.

7. Darodjah SH. Rehabilitasi pada Pasien Stroke. Departemen Rehabilitasi


Medik RS Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas DiponegoroSemarang.
2007; 1-48.9.
8. National Stroke Foundation. 2010. Clinical Guidelines for Stroke Management
Melbourne: Australia.2010 .
9. Angliadi LS, dkk. Rehabilitasi Stroke. Dalam: Penuntun Ilmu
KedokteranFisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi. Manado. 2006; 5-21.

35

Anda mungkin juga menyukai