Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.1
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman S. typhi dari tinja dan urine penderita atau carrier. Di beberapa negara
pencemaran terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan dan sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan
memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan
mikrorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif.1
Demam Tifoid tersebar merata di seluruh dunia. Insidensi penyakit Tifoid
menurut WHO mencapai 17 juta orang dengan jumlah kematian sebanyak
600.000 orang setahun dan 70 % kematian terjadi di benua Asia.(3) Angka
kematian Demam Tifoid menurut WHO mencapai 10 20 %, sebelum ditemukan
antibiotik yang tepat, tetapi setelah ditemukan antibiotik yang tepat angka
kematian berkurang sampai 1 %. Pada penderita Demam Tifoid yang berat, S.
typhi menyerang usus, yang selanjutnya juga akan menyerang organ lain yang
menyebabkan adanya komplikasi pada organ lain seperti hati, limpa atau kantung
empedu.2
Penegakan diagnosis Demam Tifoid dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan laboratorium. Adapun metoda pemeriksaan yang dilakukan antara
lain pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan serologis dan metoda biakan kuman.
Penanganan yang tepat dan komprehensif akan dapat memberikan
kesembuhan terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun
perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang

tepat agar dapat mempercepat proses penyembuhan pasien dengan Demam


Tifoid.2
1.2. Aspek Disiplin Ilmu yang Terkait dengan Pendekatan Kedokteran
Keluarga Pada Penderita Demam Tifoid
Untuk pengendalian permasalahan demam tifoid pada tingkat individu dan
masyarakat secara komprehensif dan holistik dengan pendekatan kedokteran
keluarga yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI),
maka mahasiswa program profesi dokter Universitas Muslim Indonesia
melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk
meningkatkan kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur,
mawas diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif. Selain itu
kompetensi mempunyai landasan berupa pengelolaan informasi, landasan
ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah
kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.2.1. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian demam tifoid secara
individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik
moral dan peraturan perundangan.
1.2.2. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis , sosial dan
budaya sendiri dalam penangan demam tifoid, melakukan rujukan bagi
kasus demam tifoid, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia
yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
1.2.3. Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian demam tifoid.
1.2.4. Pengelolaan

Informasi

(Kompetensi

4)

Mahasiswa

mampu

memanfaatkan teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan


dalam praktik kedokteran.

1.2.5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu


menyelesaikan masalah pengendalian demam tifoid secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas
berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang
optimum.
1.2.6. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah demam tifoid dengan
menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan
keselamatan orang lain.
1.2.7. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelolah masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat
secara

komprehensif,

holistik,

koordinatif,

kolaboratif

dan

berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer.


1.3 TUJUAN DAN MANFAAT STUDI KASUS
Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana
masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri
dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih
berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence
based medicine).
1.3.1. Tujuan Umum:
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan penatalaksanaan penderita demam Tifoid dengan pendekatan
kedokteran keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine
(EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta
prinsip penatalaksanaan penderita demam tifoid dengan pendekatan kedokteran
keluarga di Puskesmas Minasa Upa tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus


1

Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta

mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis demam tifoid.


Untuk melakukan prosedur tatalaksana demam tifoid sesuai standar kompetensi

dokter Indonesia.
Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan Masyarakat
dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam

pengendalian demam tifoid.


Untuk dapat menggunakan dan menjelaskan epidemiologi, etiologi dan

patogenesis demam tifoid.


Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada level

individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian demam tifoid.
Untuk memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian ilmiah dari
data di lapangan, untuk melakukan pengendalian demam tifoid.
1.3.3. Manfaat Studi Kasus
1

Bagi Institusi pendidikan.


Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus

sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.


2

Bagi Penderita (Pasien).


Menambah wawasan tentang demam tifoid yang meliputi proses penyakit

dan penanganan menyeluruh demam tifoid sehingga dapat meyakinkan penderita


untuk melakukan pencegahan.
3

Bagi tenaga kesehatan.


Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah

daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya


mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita demam tifoid.

Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)


Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka

memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidence based dan pendekatan


diagnosis holistik demam tifoid serta dalam hal penulisan studi kasus.
4

1.4 INDIKATOR KEBERHASILAN TINDAKAN


Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan
penderita demam tifoid dengan pendekatan kedokteran keluarga, berbasisdiagnosa
holistikadalah:
1.4.2. Perbaikan gejala dapat dievaluasi setelah istirahat dan pengobatan
1.4.1. Pasien mampu mengubah pola hidup untuk mencegah demam tifoid
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan
tindakan pengobatan apabila tanda atau gejala demam tifoid tidak ada lagi dan
tidak ada komplikasi serta kepatuhan pasien dalam mengubah pola hidup untuk
mencegah demam tifoid.

BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1. KERANGKA TEORITIS
Hygiene/ sanitasi
lingkungan
5

Pemaparan bakteri

PEJAMU
PEKA

Malnutrisi

invasi jaringan

INFEKSI

DEMAM
TIFOID

Makanan /
minuman

Faktor resiko demam Tifoid

Mekanisme demam tifoid

2.2. DEMAM TIFOID


2.2.1. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.1
2.2.2 ETIOLOGI
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara 2 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37C
dengan pH antara 6 8.1

Gambar 1. Salmonella typhi (dikutip dari kepustakaan 2)

2.2.3 PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam
tubuh manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kuman Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana
tangan yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan kumanSalmonella typhi
langsung bersentuhan dengan makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari
kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai basil Salmonella typhi ke
sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan sebagai air minum yang
kemudian langsung diminum tanpa dimasak. Sebagian kuman dimusnakan dalam
lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toracicus kuman
yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah sehingga
mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar keseluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1

Gambar 2 : patomekanisme demam tifoid (dikutip dari kepustakaan 3)


Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella
terjadi

pelepasan

berbagai

mediator

inflamasi

yang

selanjutnya

akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,


sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.3

Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia


jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak peyer yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid
ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi.4
Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya

komplikasi

seperti

gangguan

neuropsikiatrik,

kardiovaskuler,

pernapasan dan gangguan organ lainnya.3


2.2.4 GAMBARAN KLINIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan
terapi yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan
gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara
dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk
membantu menegakkan diagnosis.5
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.5
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan
suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan
terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (Kotor
ditengah, tepid an ujung merah serta tremor), Hepatosplenomegally, meteorismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola
jarang ditemukan pada orang Indonesia.5.6

2.2.5 DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa suatu demam tifoid, kita perlu melakukan anamnesis
secara sistematis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis :
Pasien datang ke dokter karena demam. Demam turun naik terutama sore
dan malam hari (demam intermiten). Keluhan disertai dengan sakit kepala
(pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia dan mual muntah. Selain itu, keluhan dapat pula disertai
gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, nyeri
abdomen dan BAB berdarah. Pada anak dapat terjadi kejang demam.
Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu
kedua.
Faktor Risiko :
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.
Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.

Suhu tinggi.
Bau mulut karena demam lama.
Bibir kering dan kadang pecah-pecah.
Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coated tongue), jarang ditemukan

e.
f.
g.
h.

pada anak.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
Nyeri tekan regio epigastrik (nyeri ulu hati).
Hepatosplenomegali.
Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi).

Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut


a. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan
koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
b. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
Pemeriksaan Penunjang
10

a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat juga ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain
itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopenia. Laju endap darah (LED) pada demam tifoid dapat
meningkat.SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur
bakteri. Sampai sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan
diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi
lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara uji TUBEX, Typhidot dan
dipstick.7
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara
antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody yang disebu dengan
agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu : aglutinin O pada tubuh kuman, Aglutinin H
pada flagella kuman dan aglutinin Vi pada simpai kuman.8
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H
yang digunakan untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya
maka semakin besar kemungkinan terinfeksi oleh kuman ini.Pembentukan
agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
11

agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.9
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan
dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non
endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer
agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid
masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium.9
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang
bermakna diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai
hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat
berbeda diberbagai laboratorium setempat.9
c. Uji tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi
anti-Salmonella typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini menunjukkan terdapat
infeksi Salmonellae serogroupD walau tidak secara spesifik menunjuk pada
Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan memberikan hasil
negatif.9
Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga
dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan
merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat
tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi
terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa
uji tubex hanya dapat mendeteksi lgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi
infeksi lampau.9
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen
meliputi : tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas,

12

reagen A yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan


antigen O9, reagen B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang
diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk
melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan
kedalam tabung dengan satu tetes (25 L) reagen A. setelah itu dua tetes
reagen B (50 L) ditambahkan kedalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada
kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada
rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan
kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.
Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat
pada tabel berikut :
Skor
<2
3

Interpretasi
Negatif
Borderline

Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif


Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian apabila masih meragukan lakukan

4-5
>6

pengulangan beberapa hari kemudian


Positif
Menunjukkan infeksi tifoid aktif
Positif
Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 1. Interpretasi hasil uji Tubex (dikutip dari kepustakaan 1)
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum
tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan
reagen A. ketika diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet
(magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik
pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh
reagen B. sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang
sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila
serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan
dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan

memberikan warna biru pada larutan.10


d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot

13

didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara


spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat
50 kD, yang terdapat dalam strip nitroselulosa.10
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6%
dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas
dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89%
dengan 78% dan 89%.10
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara
berlebihan sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus
infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian
dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini
yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan ikatan antara
antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M
menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai
100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.10
e. Uji IgM Dipstik
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
Salmonella typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini
menggunakan strip

yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS)

Salmonella typhi dan antigen IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung
uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu
4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum,
selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian

14

terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis


kontrol harus terwarna dengan baik.10
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di
Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas
sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari)
dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan
bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya gejala.10
f. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil yang negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi
dengan antibiotik, volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat
pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat aglutinin semakin
meningkat.10

2.2.6 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai
berikut Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal,
pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.1,3
b. Diet dan terapi penunjang
15

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan


penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan
semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau jperforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d;
iistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat
dini yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran
yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3
Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah sebagai berikut:

16

Tabel 2 : farmakoterapi demam tifoid


Demam tifoid bisa dilakukan perawatan di rumah atau rawat jalan dengan indikasi
sebagai berikut:
a. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi
serta tidak ada komorbid yang membahayakan.
b. Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik.
c. Pasien dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat
serta cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.
d. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat melaksanakan sistem
pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang mememenuhi syarat
kesehatan.
e. Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan
pasien.
f. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan menghadapi bahaya-bahaya
yang serius.
g. Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa harus
diwakili oleh seorang perawat yang mampu merawat demam tifoid.
h. Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancar dengan keluarga
pasien.
Konseling dan Edukasi
Dalam penatalaksanaan demam tifoid, kita perlu melakukan konseling dan
edukasi kepada pasien tentang tata cara:
a. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang harus
diketahui pasien dan keluarganya.
b. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan
atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami
serta mampu melaksanakan.
c. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga
supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan
17

Pendekatan Community Oriented


Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek
pencegahan dan pengendalian demam tifoid, melalui:
a.
b.
c.
d.

Perbaikan sanitasi lingkungan


Peningkatan higiene makanan dan minuman
Peningkatan higiene perorangan
Pencegahan dengan imunisasi

Kriteria Rujukan
Pasien demam tifoid bisa mendapat perawatan di rumah namun pada
beberapa kondisi, pasien dengan demam tifoid perlu dirujuk dengan kriteria:
a. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
b. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
c. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak
mencukupi.
2.2.7 KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
a. Komplikasi intestinal yaitu perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis.
b. Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
Komplikasi darah
: anemia hemolitik, trombositopenia
Komplikasi paru
: pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal
: glomerulonefritis, pielonefritis
Komplikasi tulang
: osteomielitis, periostitis
Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1
2.2.8

PROGNOSIS
Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya

penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat,


pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis
buruk.6

18

2.2.9. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di
pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Demam Tifoid tersebar merata di seluruh dunia.
Insidensi penyakit Tifoid menurut WHO mencapai 17 juta orang dengan jumlah
kematian sebanyak 600.000 orang setahun dan 70 % kematian terjadi di benua
Asia. Angka kematian Demam Tifoid menurut WHO mencapai 10 20 %,
sebelum ditemukan antibiotik yang tepat, tetapi setelah ditemukan antibiotik yang
tepat angka kematian berkurang sampai 1 %. Di Indonesia bersifat endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar
di Indonesia, tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat
dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka
kematian antara 0.65%.Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada lakilaki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70
80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 1525 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Dari laporan World
Health Organization (WHO) terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di
dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality
Rate (CFR = 3,5 %). Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah endemis
berkisar

antara

45/100.000

penduduk/tahun

sampai

1.000/100.000

penduduk/tahun. Di Asia 274/100.000 penduduk/tahun.


Pada tahun 2005 jumlah pasien rawat inap demam tifoid yaitu 81.116
kasus (3,15%) dan menempati urutan ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pasien
rawat inap di rumah sakit di Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2008
menunjukkan prevalensi tifoid di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 1,6 persen
atau sekitar 600.000 sampai 1,5 juta kasus setiap tahunnya dan menempati urutan
15 dari penyakit yang menyebabkan kematian di Indonesia.
Distribusi dan Frekuensi

19

Epidemiologi penyakit demam tifoid dapat digambarkan menurut Variabel


epidemiologi yaitu distribusi menurutorang (person) dimana dapat dilihat menurut
umur, jenis kelamin, etnik dan pekerjaan. Distribusi menurut tempat (place), dan
distribusi menurut waktu (time) sebagai berikut :

A. Orang (person)
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada
perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden
pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40
tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. Menurut penelitian
Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita
demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun
dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0
3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
B. Tempat dan Waktu (place and time)
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate
demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate
demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber
penularannya biasanya tidak dapat ditemukan.
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi (Determinan)
Epidemiologi penyakit demam tifoid juga dapat digambarkan menurut Trias
Epidemiologi dengan melihat faktor host, agent dan environment sebagai berikut :
A. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya

penularan

Salmonella

thypi

sebagian

besar

melalui

makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita


20

atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat
juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru
Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan
jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak
3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar
(OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan
sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
B. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah
kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman
yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin
besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa
inkubasi penyakit demam tifoid.
C. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas
di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak
memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal
yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi,
kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
2.3 Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di
Layanan Primer
Pengertian

holistik

adalah

memandang

manusia

sebagai

mahluk

biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai mahluk biologis manusia


adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya.
Diagnosis holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan menentukan
dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta kegawatan yang
diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat penyakit pasien,

21

pemeriksaan

fisik,

hasil

pemeriksaan

penunjang,

penilaian

risiko

internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta keluarganya.


Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan
yang berorientasi komunitas dengan titik kepada keluarga, tidak hanya
memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit
keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif, tetapi bila perlu aktif mengunjungi
penderita atau keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem
Kesehatan Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan
sebagai pelaku pelayanan pertama (layanan primer).
Tujuan Diagnostik Holistik :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat


Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
Pembatasan kecacatan lanjut
Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam kehidupannya)
Jangka waktu pengobatan pendek
Tercapainya percepatan perbaikan fungsi sosial
Terproteksi dari resiko yang ditemukan
Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah

Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan terapi,


tujuannya yakni
1.
2.
3.
4.
5.

Menentukan kedalaman letak penyakit


Menentukan kekuatan serangan pathogen penyakit
Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi organ
Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi yang akan dipilihnya
Menentukan interfal kunjungan terapi. (Modul Pelatihan dan Sertifikasi
ASPETRI Jateng 2011).

Diagnosis Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :


1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi (penerimaan,
pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien.
Melakukan pemeriksaan saringan (Triage), data diisikan dengan lembaran
penyaring
3. Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
4. Melakukan anamnesis
5. Melakukan pemeriksaan fisik

22

6. Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,


prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi
7. Menentukan resiko individual diagnosis klinis sangat dipengaruhi faktor
individual termasuk perilaku pasien
8. Menentukan pemicu psikososial dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
9. Menilai aspek fungsi sosial.
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga di
layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai bagian
dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation)

dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation)

dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang disediakan
dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang melaksanakan
pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus menerus demi kesehatan
pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal.
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
23

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Comprehensive care and holistic approach


Continuous care
Prevention first
Coordinative and collaborative care
Personal care as the integral part of his/her family
Family, community, and environment consideration
Ethics and law awareness
Cost effective care and quality assurance
Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien

adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
I.
II.

Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.


Aspek Klinis: Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup dengan

III.

diagnosis kerja dan diagnosis banding.


Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,

IV.
V.

pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.


Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
DerajatFungsi Sosial :
o Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
o Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
o Derajat 3: Ada beberapa kesulitan, perawatan
diri masih bisa
dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.
o Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja, tergantung
pada keluarga.
o Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

24

BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS
3.1 Metodologi
Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari
hubungan antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan
memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian
mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek
dalam masing-masing kelompok yang mengalami efek penyakit atau masalah
kesehatan untuk melakukan penerapan pelayanan dokter layanan primer secara

25

paripurna dan holistik terutama tentang penatalaksanaan penderita demam tifoid


dengan pendekatan kedokteran keluarga di Puskesmas Minasa Upa pada tahun
2016.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara dan observasi dengan pasien dimana wawancara merupakan suatu
cara mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada
seorang informan atau autoritas atau seorang ahli yang berwenang dalam suatu
masalah. Sedangkan observasi adalah pengamatan dan juga pencatatan sistematik
atas unsur-unsur yang muncul dalam suatu gejala atau gejala-gejala yang muncul
dalam suatu objek penelitian. Hasil dari observasi tersebut akan dilaporkan dalam
suatu laporan yang tersusun secara sistematis mengikuti aturan yang berlaku.

3.2. Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus


Studi kasus dilakukan pertama kali saat penderita datang berobat di
puskesmas Minasa Upa pada tanggal 15 Agustus 2016. Selanjutnya dilakukan
home visit untuk mengetahui secara holistik keadaan dari penderita. Studi kasus
bertempat di Puskesmas Minasa Upa Kota Makassar.

3.3. Gambaran Umum Lokasi Studi Kasus


3.3.1 Letak Geografis
Puskesmas Minasa Upa berlokasi di Jl. Minasa Upa Raya N0. 18,
Tamarunang, Kec. Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, mencakup 2
wilayah kelurahan, yaitu: Kelurahan Gunung Sari dengan 18 RW dan Kelurahan
Karunrung dengan 1 RW dengan jumlah penduduk 43.313 dengan batas batas
sebagai berikut:
Sebelah Utara: Berbatasan dengan RW XIV kelurahan karunrung
Sebelah Timur: Berbatasan dengan kecamatan Somba Opu, Kabupaten

Gowa
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Mangasa
Sebelah Barat : Berbatasan dengan RW II Kelurahan Gunung Sari

3.3.2. Data Demografis


26

Wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa terdiri dari dua kelurahan dengan
jumlah penduduk 43.313 jiwa terdiri dari 22.105 jiwa laki-laki dan 21.208 jiwa
perempuan dengan jumlah kepala keluarga 3.067 KK.
1.3.3. Data Sosial Ekonomi
Mata pencaharian penduduk yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas
Minasa Upa beragam, terdapat tingkatan ekonomi rendah, menengah, dan baik
berhubungan dan masyarakat sebagian menggunakan bahasa Indonesia dan
Makassar.
1.3.4. Visi Dan Misi Puskesmas
Visi puskesmas Minasa Upa
Menjadi puskesmas dengan pelayanan terbaik di kota Makassar
Misi Puskesmas Minasa Upa :
1

Meningkatkan sarana dan prasarana


2 Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan secara berkelanjutan
3 Mengembangkan jenis layanan dan mutu pelayanan kesehatan
4 Meningkatkan sistem informasi dan manajemen puskesmas
5 Mengembangkan kemitraan
6 Meningkatkan upaya kemandirian masyarakat
1.3.5. Daftar 10 kelompok penyakit di puskesmas Minasa Upa
NO

NAMA PENYAKIT

FREKUENSI

PERSE

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

N
ISPA
28,490
54,9%
Penyakit kulit
5,656
10,9%
Penyakit rongga mulut
4,116
8,1%
Penyakit jaringan otot
4,125
7,9%
Penyakit infeksi pada usus
3,231
6,2%
Penyakit gastritis
2,369
4,6%
Hipertensi
1,188
2,3%
Penyakit saluran napas bawah
1,157
2,2%
Penyakit mata
791
1,5%
Penyakit infeksi parasit
752
1,4%
Tabel 1 : Daftar 10 penyakit di puskesmas Minasa Upa

KET

1.3.6. Upaya Kesehatan


Upaya kesehatan wajib puskesmas
27

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Upaya promosi kesehatan


Upaya kesehatan lingkungan
Upaya perbaikan gizi
Upaya pencegahan & pemberantasan penyakit menular
Upaya kesehatan ibu, anak & KB
Upaya pengobatan dasar

B. Upaya kesehatan pengembangan puskesmas


Dilaksanakan sesuai dengan masalah kesehatan masyarakat yang ada dan
kemampuan Puskesmas. Bila ada masalah kesehatan, tetapi puskesmas tidak
mampu menangani, maka pelaksanaan lebih lanjut dirujuk ke rumah sakit.
Upaya Lab (medis dan kesehatan masyarakat) dan Perkesmas serta
Pencatatan Pelaporan merupakan kegiatan penunjang dari tiap upaya wajib atau
pengembangan.
1.3.7. Kegiatan Pelayanan Kesehatan
1. Tempat Pengambilan Kartu dan Kamar Kartu
a) Menerima pasien
b) Menyediakan dan memberikan kartu bagi pengunjung baru
c) Menyediakan dan memberikan buku control pada pasien
d) Pencatatan dan pelaporan jumlah pasien yang berkunjung ke
puskesmas
2. Poliklinik Umum / Kamar Periksa
Poliklinik adalah bentuk pelayanan kesehatan rawat jalan yang
bertujuan menyembuhkan penyakit dan pemeliharaan kesehatan baik
secara perorangan atau berkelompok (masyarakat).
Kegiatan poliklinik dilaksanakan dari senin hingga sabtu dari jam
08.00 14.00, kecuali padahari jumat dari jam 08.00 11.00. Kegiatan
yang dijalankan selama di poliklinik adalah anamnesis dan pemeriksaan
fisik, diagnosis penyakit, penulisan resep. Selain itu, puskesmas Minasa
Upa mempunyai program manula yaitu program mengambilkan obat, serta
memeriksa pasien khusus manula. Dalam program mengikuti kegiatan
poliklinik ini kami dapat mempelajari cara berkomunikasi yang benar
dengan pasien yang datang dari berbagai golongan dan latar belakang.
Keluhan-keluhan yang paling sering ada pada pasien yang datang ke
puskesmas Minasa Upa untuk berobat adalah batuk, pilek, demam,
tekanan darah tinggi, dan kelainan kulit.

28

Rata-rata pasien yang datang terdiri dari golongan anak-anak, dan usia
lanjut. Menurut jenis kelamin, banyak pasien wanita yang datang berobat
dibandingkan dengan laki-laki. Penyakit yang ada kami dapatkan selama
bertugas di poliklinik adalah demam, ISPA, hipertensi, DBD, diare, tifoid
dan lain-lain.
3. Poliklinik Gigi
Pemeriksaan kesehatan gigi :
a) Anamnesis pasien
b) Pemeriksaan fisik
c) Diagnosis penyakit
d) Tindakan pemeriksaan gigi dan mulut
e) Penulisan resep dan pemberian obat
4. Kamar Tindakan
a) Ganti verband
b) Cross insisi
c) Hecting dan affhecting
d) Sircumsisi
e) Merawat luka
5. Apotek
Melayani setiap hari senin sabtu, mulai dari 08.00 14.00. Kamar
obat diawasi oleh seorang apoteker. Kegiatan di apotek :
a) Tempat pengambilan obat
b) Mengatur pengadaan obat sesuai kebutuhan
c) Membuat pelaporan tentang pemakaian obat
Data jenis obat-obatan yang diberikan di puskesmas selama stase 4
minggu yaitu :
1. Antibiotik
2. Analgetik
3. Bronkodilator
4. Antihistamin
5. Antitusif, mukolitik, ekspetoran,
6. Antihipertensi
7. Kortikosteroid
8. Vitamin dan mineral
9. Antiemetik
10. Antikonvulsan
a) Antiviral
b) Antifungi
6. Program P2M
Pada program ini, ada beberapa penyakit yang menjadi prioritas dalam
program ini yaitu TB paru, penyakit kusta, DBD, tifoid, diare, disentri,
29

campak. Ketika ada kasus maka akan di laporkan dan dibuatkan


penyuluan epidemiologi (PE) ke daerah atau lokasi tempat adanya
kasus tersebut.
7. KB (Keluarga Berencana)
a. Penyuluhan KB
b. Penyuluhan alat kontrasepsi : suntikan, pil, implant, IUD, dan
kondom
c. Melihat pelepasan implant yang dilakukan oleh bidan.
d. Memberikan suntikan KB yang dilakukan oleh dokter muda.
8. KIA (Kesehatan Ibu dan Anak)
Puskesmas Minasa Upa, kegiatan KIA kunjungan awal dilakukan
setiap hari selasa, sedangkan pada hari kamis untuk kunjungan yang
berulang, dan jumat pada pukul 08.00-12.00
Beberapa kegiatan KIA adalah :
a. Pemeriksaan HIV, malaria, dan sifilis pada ibu hamil
b. Pemeriksaan kehamilan trimester pertama, kedua, dan ketiga (K1-K4)
c. Pemberian tablet Fe, kalsium, Vitamin B complex
d. Suntikan tetanus toxoid : Dua kali selama hamil dengan interval 1
e.
f.
g.
h.
9.

bulan0,5 ml lengan kiri


Penimbangan berat badan
Mengukur tekanan darah ibu hamil
Mengukur lingkar lengan atas (LILA)
Mendeteksi risiko tinggi pada ibu hamil.
Memberi penyuluhan tentang Imunisasi
Kegiatan imunisasi dilakukan sekali dalam seminggu, yaitu pada hari

jumat pada pukul 08.00-11.30. kegiatan ini diikuti oleh ibu-ibu yang
mempunyai bayi berusia 1 bulan 1 tahun.
Hal utama yang diperhatikan sebelum pemberian imunisasi adalah
penyimpanan vaksin yang benar sehingga vaksin yang diberikan nanti masih
dalam kondisi baik dan tidak membahayakan.
3.3. Pengumpulan Data / Informasi
Semua yang berkaitan dengan penyakit atau permasalahan kesehatan
penderita informasinya dikumpulkan dengan melakukan komunikasi personal
dengan pasien dan atau keluarganya dan analisis data.
3.4. Cara Pengumpulan Data / Informasi

30

Dilakukan dengan komunikasi personal dengan pasien/keluarganya secara


langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why, who, where, when dan
how.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1. HASIL STUDI KASUS
A. PASIEN
Pasien perempuan 38 tahun datang ke puskesmas Minasa Upa dengan
keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak
terus menerus di rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri
kepala kadang-kadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK
lancar, BAB belum 3 hari terakhir.

31

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien,


dokter

menganjurkan

untuk

melakukan

pemeriksaan

darah

yaitu

pemeriksaan trombosit dan widal tes. Hasil dari pemeriksaan didapatkan


trombosit 156.000 dan widal tes S.typhi O : 1/160, S.typhi H : 1/160
sehingga dokter mendiagnosis demam tifoid. Pasien pun dianjurkan istirahat
dan mendapat pengobatan selama 5 hari kemudian kembali kontrol setelah
pengobatan 5 hari.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-

Pasien pernah datang ke puskesmas dengan keluhan yang sama 5 bulan


yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama

Pemeriksaan Fisik
1 Keadaan Umum
2 Vital sign
Kesadaran
GCS
Tek. Darah
Frek. Nadi
Frek Pernapasan
Suhu
3 Status Generalis :
- Kepala
- Mata
-

THT
Leher

Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Jantung
Inspeksi
Palpasi

: Sakit sedang
: Compos Mentis
: 15
: 120/70 mmHg
: 88 x/menit
: 20 x/menit
: 37,4 C
: Normocephal
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
pupil bulat, isokor
: Dalam Batas Normal
: Pembesaran KGB dan tiroid (-), trakea berada di
tengah
: pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
: sonor seluruh lapang paru
: vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (-/-)
wheezing (-/-)
: iktus kordis tidak terlihat
: iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula
sinistra

32

Perkusi

: batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra


batas jantung kiri ICS V linea midklavikula

Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi

- Ekstremitas
Status Lokalis : -

sinistra
batas pinggang jantung ICS III linea parasternalis
sinistra
: bunyi jantung I dan II normal, murmur (-)
: simetris, datar, kelainan kulit (-), pelebaran vena
(-)
: bising usus normal
: nyeri lepas (-), nyeri ketuk (-), hepatomegali(-)
spleenomegali (-)
: timpani di semua lapang abdomen, nyeri ketuk (-)
: akral hangat, edema

Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan:

Trombosit 156.000

Widal : S.Typhi O : 1/160


S. Typhi H : 1/160
S. Typhi AH : 1/40
S. Typhi BH : 1/40

B. KELUARGA
Profil Keluarga
a Genogram

Gambar 11 : genogram pasien


b Karakteristik Demografi Keluarga
33

o
o
o
o

Identitas Kepala keluarga


Identitas Pasangan
Alamat
Bentuk Keluarga

: Tn. S
: Ny. SK
: Jl. Nipa No. 13
: Non family household

Tabel 5: Anggota Keluarga


N
o

Kedudukan
Nama

dalam
keluarga

1. Tn. S

Kepala

Gende
r

Umur

Pendidika
n

Pekerjaan

45 th

SMA

Wiraswasta

rumah P

38 th

SMA

Wiraswasta

23 th

SMA

Mahasiswa

Keluarga
2. Ny. SK

Ibu
tangga

3. Tn. M.S

Anak
pertama

4. Tn. F

Anak ke dua

17 th

SMA

Pelajar

5. Nn.M

Anak ke tiga

13 th

SMP

Pelajar

c
-

Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


Lingkungan tempat tinggal

Tabel 6 : Lingkungan Tempat Tinggal


Status kepemilikan rumah : bukan milik sendiri
Daerah perumahan : padat
Karakteristik Rumah dan Lingkungan
Luas rumah :
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 5 orang
Luas halaman rumah : Tidak bertingkat
Lantai rumah dari : keramik
Dinding rumah dari : tembok
Jamban keluarga : ada

Kesimpulan
Ny.SK tinggal di rumah
milik

sendiri

dengan

lingkungan padat penduduk


dengan ventilasi yang tidak
memadai. Ada listrik dan

34

Tempat bermain : tidak ada


Penerangan listrik : ada
Ketersediaan air bersih : ada
Tempat pembuangan sampah : ada

menggunakan

air

PAM

sebagai sumber air untuk


mandi, sedangkan air minum
d Kepemilikan barang barang berharga
Ny. SK memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara lain yaitu,
1 buah televisi, 1 buah kipas angin, 1 buah dispenser, dan 1 buah motor.
e

Penilaian perilaku kesehatan keluara


Apabila sakit, Ny. SK sering berobat ke puskesmas dengan menggunakan

jaminan kesehatan berupa kartu BPJS.


f Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga
Pekerjaan sehari-hari pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien ini
tinggal di rumah sendiri yang terletak di Jl. Kancil Utara No. 74. Sekitar rumah
yaitu bagian samping kiri dan kanannya berbatasan dengan rumah batu, dan
berada di lingkungan perumahan yang cukup padat.
g

Pola Konsumsi Makanan Keluarga


Pola makan 2-3 kali sehari dengan menu yang tidak tentu. Ny. SK lebih

sering memasak sendiri. Menu makan pun tidak menentu. Menu yang paling
sering di konsumsi adalah nasi, tahu, tempe, ikan dan sayur.
h Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga
Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga yang
lainnya. Dengan seluruh anggota keluarga, terjalin komunikasi yang baik dan
cukup lancar.
i

Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum dijamin

kebersihannya. Pasien juga jarang berolahraga secara teratur.


j

Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal sudah cukup baik. Tata pemukiman di sekitar

rumah pun tertata dengan baik hanya saja terlalu padat. Kebersihan lingkungan

35

rumah tidak terlalu baik. Jalanan di depan rumah dalam kondisi baik dan teraspal,
sehingga meminimalkan terbawanya debu oleh aktifitas jalanan.
4.2.

PEMBAHASAN

4.2.1 Analisa Kasus


Pasien perempuan 38 tahun datang ke puskesmas Minasa Upa dengan
keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak terus
menerus di rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri kepala
kadang-kadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK lancar, BAB
belum 3 hari terakhir.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien, dokter
menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah yaitu pemeriksaan trombosit
dan widal tes. Hasil dari pemeriksaan didapatkan trombosit 156.000 dan widal tes
S.typhi O : 1/160, S.typhi H : 1/160 sehingga dokter mendiagnosis demam tifoid.
Pasien pun dianjurkan istirahat dan mendapat pengobatan selama 5 hari kemudian
kembali kontrol setelah pengobatan 5 hari.
4.2.2 Analisa Kunjungan Rumah

Pasien
Pasien tinggal di rumah sendiri.

Pekerjaan
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.

Keadaan rumah
Pasien tinggal di pemukiman padat penduduk dengan kondisi ventilasi
yang tidak memadai, terdapat listrik dan air PAM serta air galon untuk
minum.

4.2.3 Penilaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Perilaku
Pasien sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum dijamin
kebersiannya. Pasien juga jarang berolahraga secara teratur.

Lingkungan

36

Lingkungan tempat tinggal sudah cukup baik. Tata pemukiman di


sekitar rumah pun tertata dengan baik hanya saja terlalu padat.
Kebersihan lingkungan rumah tidak terlalu baik. Jalanan di depan rumah
dalam kondisi baik dan teraspal, sehingga meminimalkan terbawanya
debu oleh aktifitas jalanan.
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis
secara holistic yaitu, aspek personal, aspek klinik, aspek resiko internal,
dan aspek resiko eksternal serta pemeriksaan penunjang dengan
melakukan pendekatan menyeluruh dan pendekatan diagnosis holistik.
1

Anamnesis
Aspek Personal
Pasien datang ke puskesmas Minasa Upa dengan keluhan demam
sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak terus menerus di
rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri kepala kadangkadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK lancar, BAB
belum 3 hari terakhir.
Kekhawatiran: Takut terkena DBD, Takut penyakitnya tidak sembuh,
Takut penyakitnya akan bertambah parah. Harapan: sembuh
Aspek Klinik
a. Demam sejak 7 hari sebelum ke puskesmas Minasa Upa
b. Demam disertai nyeri kepala, mual, muntah dan BAB tidak lancar
Aspek Faktor Resiko Internal
a Kurangnya pengetahuan tentang demam tifoid
b Mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor penyebab demam tifoid
c

kurang
Sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum tentu terjamin
kebersihannya.

Aspek Faktor Resiko Eksternal


a. Lingkungan sekitar rumah pasien dengan kepadatan penduduk yang
cukup padat dan kebersihan yang masih kurang.
b. Ventilasi dan jendela rumah yang masih kurang sehingga pencahayaan
dan pertukaran udara menjadi kurang.

37

c. Makanan yang kurang bersih yang dikonsumsi setiap hari bila membeli
di luar.
Aspek Psikososial Keluarga
Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang dapat
menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit yang diderita pasien sehingga tidak ada upaya pencegahan
faktor pencetus. Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan
pasien yaitu adanya dukungan dan motivasi dari semua anggota keluarga
baik secara moral dan materi.
Aspek Fungsional
Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih mampu
dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di
luar rumah.
Derajat Fungsional
Ny. SK masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun
(derajat 1 minimal)
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital :Tekanan Darah: 120/70 mmHg, Nadi : 88 x/menit, Pernapasan :
20 x/menit, Suhu : 37,40C
3. Pemeriksaan Penunjang
a Trombosit 156.000
b Widal : S.Typhi O : 1/160
S. Typhi H : 1/160
S. Typhi AH : 1/40
S. Typhi BH : 1/40
4. Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)
Diagnose Klinis: Demam Tifoid
Diagnose Psikososial: Takut terkena DBD, Takut penyakitnya tidak
sembuh, Takut penyakitnya akan bertambah parah.
5. Penatalaksanaan
NO

KEGIATAN

WAKTU
PELAKSANAAN

SASARAN

KET

38

Promosi

kesehatan 18 Agustus 2016

tentang Perilaku Hidup

derajat kesehatan

Bersih dan Sehat seperti

pasien

kebiasaan makan di luar

keluarga

yang

lingkungan

tidak

terjamin

kebersihannya,
merokok,
2

Meningkatkan

atau

tempat

dan

jarang

berolahraga.
Memberikan
tentang

maupun

edukasi 18 Agustus 2016


penyakit

demam tifoid.

tinggalnya.
Agar

dapat

mencegah
penyakit demam

tifoid.
Tabel 6 : Rencana tindak lanjut
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga
pasien).
Pencegahan Primer
Promosi kesehatan dengan pendekatan perilaku hidup sehat seperti makan
makanan yang bersih.
Pencegahan Sekunder
Terapi untuk pasien
1 Pengobatan farmakologi berupa : kloramfenikol 500 mg 4x1, vitamin B comp
2x1, paracetamol 500 mg 3x1, metocloperamide 10 mg 3x1
2 Pengobatan non farmakologis
- Istirahat total selama minimal 5 hari
- Mengindari konsumsi makanan yang tidak bersih
- Konsumsi makanan yang lunak selama masa istirahat
Terapi untuk keluarga
Terapi untuk keluarga hanya berupa memberikan informasi dan penjelasan
mengenai penyakit demam tifoid.

39

Gambar 1. Keadaan rumah Pasien

Gambar 2. Keadaan kamar pasien

Gambar 3. Keadaan dapur

Gambar 4. Keadaan kamar mandi

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan

40

Berdasarkan hasil studi kasus demam tifoid yang dilakukan di Puskesmas


Minasa Upa mengenai penatalaksanaan penderita demam tifoid dengan
pendekatan kedokteran keluarga, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.

Diagnose Klinis : Ny. SK menderita penyakit demam tifoid dengan hasil


anamnesis berupa demam, nyeri kepala, mual, muntah dan gangguan BAB.

b.

Dengan penatalaksanaan edukasi dan farmakoterapi.


Diagnose Psiko-sosial: Takut terkena DBD, Takut penyakitnya tidak

c.
d.

sembuh, Takut penyakitnya akan bertambah parah.


Gambaran dari Genogram: Ny. SK menderita demam tifoid.
Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan dengan didapatkan
berkurangnya gejala.
V.2. Saran
Dari beberapa masalah yang dapat ditemukan pada Ny. SK berupa :

penyakit demam tifoid dengan pola makan yang tidak teratur dan tidak bersih
maka disarankan :
a. Menjaga kebersihan makanan
b. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit demam
tifoid
c. Penatalaksanaan demam tifoid sebaiknya selain farmakoterapi adalah
istirahat yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA
1

Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna

Publishing. Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.


Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Edisi 2. Jakarta, 2006. Hal 139-141.
41

Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5
Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575.
Bangladesh: 1993.

John

LB.

Typhoid

Fever.

Medscape.

2012.

Dapat

diakses

di

http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Diakses 13 februari


2014.
5

Siti

FS.

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.


Jakarta: 2006.
6

Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya
Baru. Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.

The American Society of Health System Pharmacists. Ceftriaxone Injection.


Maryland. 2013. Dapat diakses di http://www.nlm.nih.gov/midlineplus/meds.
Diakses 15 Februari 2014.

Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta: Infomedika

Frankie, et al. 2008. The TUBEX test detects not only typhoidspecificantibodies but also soluble antigens and wholebacteria. Journal of
Medical Microbiology. 57, 316323.
10 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

42

Anda mungkin juga menyukai