PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.1
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman S. typhi dari tinja dan urine penderita atau carrier. Di beberapa negara
pencemaran terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan dan sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan
memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan
mikrorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif.1
Demam Tifoid tersebar merata di seluruh dunia. Insidensi penyakit Tifoid
menurut WHO mencapai 17 juta orang dengan jumlah kematian sebanyak
600.000 orang setahun dan 70 % kematian terjadi di benua Asia.(3) Angka
kematian Demam Tifoid menurut WHO mencapai 10 20 %, sebelum ditemukan
antibiotik yang tepat, tetapi setelah ditemukan antibiotik yang tepat angka
kematian berkurang sampai 1 %. Pada penderita Demam Tifoid yang berat, S.
typhi menyerang usus, yang selanjutnya juga akan menyerang organ lain yang
menyebabkan adanya komplikasi pada organ lain seperti hati, limpa atau kantung
empedu.2
Penegakan diagnosis Demam Tifoid dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan laboratorium. Adapun metoda pemeriksaan yang dilakukan antara
lain pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan serologis dan metoda biakan kuman.
Penanganan yang tepat dan komprehensif akan dapat memberikan
kesembuhan terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun
perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang
Informasi
(Kompetensi
4)
Mahasiswa
mampu
komprehensif,
holistik,
koordinatif,
kolaboratif
dan
dokter Indonesia.
Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan Masyarakat
dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam
individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian demam tifoid.
Untuk memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian ilmiah dari
data di lapangan, untuk melakukan pengendalian demam tifoid.
1.3.3. Manfaat Studi Kasus
1
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1. KERANGKA TEORITIS
Hygiene/ sanitasi
lingkungan
5
Pemaparan bakteri
PEJAMU
PEKA
Malnutrisi
invasi jaringan
INFEKSI
DEMAM
TIFOID
Makanan /
minuman
2.2.3 PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam
tubuh manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kuman Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana
tangan yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan kumanSalmonella typhi
langsung bersentuhan dengan makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari
kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai basil Salmonella typhi ke
sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan sebagai air minum yang
kemudian langsung diminum tanpa dimasak. Sebagian kuman dimusnakan dalam
lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toracicus kuman
yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah sehingga
mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar keseluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1
pelepasan
berbagai
mediator
inflamasi
yang
selanjutnya
akan
komplikasi
seperti
gangguan
neuropsikiatrik,
kardiovaskuler,
2.2.5 DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa suatu demam tifoid, kita perlu melakukan anamnesis
secara sistematis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis :
Pasien datang ke dokter karena demam. Demam turun naik terutama sore
dan malam hari (demam intermiten). Keluhan disertai dengan sakit kepala
(pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia dan mual muntah. Selain itu, keluhan dapat pula disertai
gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, nyeri
abdomen dan BAB berdarah. Pada anak dapat terjadi kejang demam.
Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu
kedua.
Faktor Risiko :
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.
Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.
Suhu tinggi.
Bau mulut karena demam lama.
Bibir kering dan kadang pecah-pecah.
Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coated tongue), jarang ditemukan
e.
f.
g.
h.
pada anak.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
Nyeri tekan regio epigastrik (nyeri ulu hati).
Hepatosplenomegali.
Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi).
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat juga ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain
itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopenia. Laju endap darah (LED) pada demam tifoid dapat
meningkat.SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur
bakteri. Sampai sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan
diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi
lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara uji TUBEX, Typhidot dan
dipstick.7
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara
antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody yang disebu dengan
agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu : aglutinin O pada tubuh kuman, Aglutinin H
pada flagella kuman dan aglutinin Vi pada simpai kuman.8
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H
yang digunakan untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya
maka semakin besar kemungkinan terinfeksi oleh kuman ini.Pembentukan
agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
11
agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.9
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan
dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non
endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer
agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid
masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium.9
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang
bermakna diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai
hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat
berbeda diberbagai laboratorium setempat.9
c. Uji tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi
anti-Salmonella typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini menunjukkan terdapat
infeksi Salmonellae serogroupD walau tidak secara spesifik menunjuk pada
Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan memberikan hasil
negatif.9
Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga
dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan
merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat
tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi
terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa
uji tubex hanya dapat mendeteksi lgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi
infeksi lampau.9
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen
meliputi : tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas,
12
Interpretasi
Negatif
Borderline
4-5
>6
13
Salmonella typhi dan antigen IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung
uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu
4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum,
selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian
14
2.2.6 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai
berikut Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal,
pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.1,3
b. Diet dan terapi penunjang
15
16
Kriteria Rujukan
Pasien demam tifoid bisa mendapat perawatan di rumah namun pada
beberapa kondisi, pasien dengan demam tifoid perlu dirujuk dengan kriteria:
a. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
b. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
c. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak
mencukupi.
2.2.7 KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
a. Komplikasi intestinal yaitu perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis.
b. Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
Komplikasi darah
: anemia hemolitik, trombositopenia
Komplikasi paru
: pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal
: glomerulonefritis, pielonefritis
Komplikasi tulang
: osteomielitis, periostitis
Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1
2.2.8
PROGNOSIS
Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya
18
2.2.9. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di
pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Demam Tifoid tersebar merata di seluruh dunia.
Insidensi penyakit Tifoid menurut WHO mencapai 17 juta orang dengan jumlah
kematian sebanyak 600.000 orang setahun dan 70 % kematian terjadi di benua
Asia. Angka kematian Demam Tifoid menurut WHO mencapai 10 20 %,
sebelum ditemukan antibiotik yang tepat, tetapi setelah ditemukan antibiotik yang
tepat angka kematian berkurang sampai 1 %. Di Indonesia bersifat endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar
di Indonesia, tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat
dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka
kematian antara 0.65%.Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada lakilaki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70
80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 1525 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Dari laporan World
Health Organization (WHO) terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di
dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality
Rate (CFR = 3,5 %). Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah endemis
berkisar
antara
45/100.000
penduduk/tahun
sampai
1.000/100.000
19
A. Orang (person)
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada
perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden
pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40
tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. Menurut penelitian
Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita
demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun
dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0
3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
B. Tempat dan Waktu (place and time)
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate
demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate
demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber
penularannya biasanya tidak dapat ditemukan.
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi (Determinan)
Epidemiologi penyakit demam tifoid juga dapat digambarkan menurut Trias
Epidemiologi dengan melihat faktor host, agent dan environment sebagai berikut :
A. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya
penularan
Salmonella
thypi
sebagian
besar
melalui
atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat
juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru
Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan
jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak
3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar
(OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan
sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
B. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah
kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman
yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin
besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa
inkubasi penyakit demam tifoid.
C. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas
di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak
memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal
yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi,
kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
2.3 Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di
Layanan Primer
Pengertian
holistik
adalah
memandang
manusia
sebagai
mahluk
21
pemeriksaan
fisik,
hasil
pemeriksaan
penunjang,
penilaian
risiko
22
dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang disediakan
dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang melaksanakan
pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus menerus demi kesehatan
pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal.
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
23
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
I.
II.
III.
IV.
V.
24
BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS
3.1 Metodologi
Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari
hubungan antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan
memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian
mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek
dalam masing-masing kelompok yang mengalami efek penyakit atau masalah
kesehatan untuk melakukan penerapan pelayanan dokter layanan primer secara
25
Gowa
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Mangasa
Sebelah Barat : Berbatasan dengan RW II Kelurahan Gunung Sari
Wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa terdiri dari dua kelurahan dengan
jumlah penduduk 43.313 jiwa terdiri dari 22.105 jiwa laki-laki dan 21.208 jiwa
perempuan dengan jumlah kepala keluarga 3.067 KK.
1.3.3. Data Sosial Ekonomi
Mata pencaharian penduduk yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas
Minasa Upa beragam, terdapat tingkatan ekonomi rendah, menengah, dan baik
berhubungan dan masyarakat sebagian menggunakan bahasa Indonesia dan
Makassar.
1.3.4. Visi Dan Misi Puskesmas
Visi puskesmas Minasa Upa
Menjadi puskesmas dengan pelayanan terbaik di kota Makassar
Misi Puskesmas Minasa Upa :
1
NAMA PENYAKIT
FREKUENSI
PERSE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
N
ISPA
28,490
54,9%
Penyakit kulit
5,656
10,9%
Penyakit rongga mulut
4,116
8,1%
Penyakit jaringan otot
4,125
7,9%
Penyakit infeksi pada usus
3,231
6,2%
Penyakit gastritis
2,369
4,6%
Hipertensi
1,188
2,3%
Penyakit saluran napas bawah
1,157
2,2%
Penyakit mata
791
1,5%
Penyakit infeksi parasit
752
1,4%
Tabel 1 : Daftar 10 penyakit di puskesmas Minasa Upa
KET
1.
2.
3.
4.
5.
6.
28
Rata-rata pasien yang datang terdiri dari golongan anak-anak, dan usia
lanjut. Menurut jenis kelamin, banyak pasien wanita yang datang berobat
dibandingkan dengan laki-laki. Penyakit yang ada kami dapatkan selama
bertugas di poliklinik adalah demam, ISPA, hipertensi, DBD, diare, tifoid
dan lain-lain.
3. Poliklinik Gigi
Pemeriksaan kesehatan gigi :
a) Anamnesis pasien
b) Pemeriksaan fisik
c) Diagnosis penyakit
d) Tindakan pemeriksaan gigi dan mulut
e) Penulisan resep dan pemberian obat
4. Kamar Tindakan
a) Ganti verband
b) Cross insisi
c) Hecting dan affhecting
d) Sircumsisi
e) Merawat luka
5. Apotek
Melayani setiap hari senin sabtu, mulai dari 08.00 14.00. Kamar
obat diawasi oleh seorang apoteker. Kegiatan di apotek :
a) Tempat pengambilan obat
b) Mengatur pengadaan obat sesuai kebutuhan
c) Membuat pelaporan tentang pemakaian obat
Data jenis obat-obatan yang diberikan di puskesmas selama stase 4
minggu yaitu :
1. Antibiotik
2. Analgetik
3. Bronkodilator
4. Antihistamin
5. Antitusif, mukolitik, ekspetoran,
6. Antihipertensi
7. Kortikosteroid
8. Vitamin dan mineral
9. Antiemetik
10. Antikonvulsan
a) Antiviral
b) Antifungi
6. Program P2M
Pada program ini, ada beberapa penyakit yang menjadi prioritas dalam
program ini yaitu TB paru, penyakit kusta, DBD, tifoid, diare, disentri,
29
jumat pada pukul 08.00-11.30. kegiatan ini diikuti oleh ibu-ibu yang
mempunyai bayi berusia 1 bulan 1 tahun.
Hal utama yang diperhatikan sebelum pemberian imunisasi adalah
penyimpanan vaksin yang benar sehingga vaksin yang diberikan nanti masih
dalam kondisi baik dan tidak membahayakan.
3.3. Pengumpulan Data / Informasi
Semua yang berkaitan dengan penyakit atau permasalahan kesehatan
penderita informasinya dikumpulkan dengan melakukan komunikasi personal
dengan pasien dan atau keluarganya dan analisis data.
3.4. Cara Pengumpulan Data / Informasi
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1. HASIL STUDI KASUS
A. PASIEN
Pasien perempuan 38 tahun datang ke puskesmas Minasa Upa dengan
keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak
terus menerus di rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri
kepala kadang-kadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK
lancar, BAB belum 3 hari terakhir.
31
menganjurkan
untuk
melakukan
pemeriksaan
darah
yaitu
Pemeriksaan Fisik
1 Keadaan Umum
2 Vital sign
Kesadaran
GCS
Tek. Darah
Frek. Nadi
Frek Pernapasan
Suhu
3 Status Generalis :
- Kepala
- Mata
-
THT
Leher
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
: Sakit sedang
: Compos Mentis
: 15
: 120/70 mmHg
: 88 x/menit
: 20 x/menit
: 37,4 C
: Normocephal
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
pupil bulat, isokor
: Dalam Batas Normal
: Pembesaran KGB dan tiroid (-), trakea berada di
tengah
: pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
: sonor seluruh lapang paru
: vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (-/-)
wheezing (-/-)
: iktus kordis tidak terlihat
: iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula
sinistra
32
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
- Ekstremitas
Status Lokalis : -
sinistra
batas pinggang jantung ICS III linea parasternalis
sinistra
: bunyi jantung I dan II normal, murmur (-)
: simetris, datar, kelainan kulit (-), pelebaran vena
(-)
: bising usus normal
: nyeri lepas (-), nyeri ketuk (-), hepatomegali(-)
spleenomegali (-)
: timpani di semua lapang abdomen, nyeri ketuk (-)
: akral hangat, edema
Trombosit 156.000
B. KELUARGA
Profil Keluarga
a Genogram
o
o
o
o
: Tn. S
: Ny. SK
: Jl. Nipa No. 13
: Non family household
Kedudukan
Nama
dalam
keluarga
1. Tn. S
Kepala
Gende
r
Umur
Pendidika
n
Pekerjaan
45 th
SMA
Wiraswasta
rumah P
38 th
SMA
Wiraswasta
23 th
SMA
Mahasiswa
Keluarga
2. Ny. SK
Ibu
tangga
3. Tn. M.S
Anak
pertama
4. Tn. F
Anak ke dua
17 th
SMA
Pelajar
5. Nn.M
Anak ke tiga
13 th
SMP
Pelajar
c
-
Kesimpulan
Ny.SK tinggal di rumah
milik
sendiri
dengan
34
menggunakan
air
PAM
sering memasak sendiri. Menu makan pun tidak menentu. Menu yang paling
sering di konsumsi adalah nasi, tahu, tempe, ikan dan sayur.
h Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga
Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga yang
lainnya. Dengan seluruh anggota keluarga, terjalin komunikasi yang baik dan
cukup lancar.
i
Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum dijamin
Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal sudah cukup baik. Tata pemukiman di sekitar
rumah pun tertata dengan baik hanya saja terlalu padat. Kebersihan lingkungan
35
rumah tidak terlalu baik. Jalanan di depan rumah dalam kondisi baik dan teraspal,
sehingga meminimalkan terbawanya debu oleh aktifitas jalanan.
4.2.
PEMBAHASAN
Pasien
Pasien tinggal di rumah sendiri.
Pekerjaan
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
Keadaan rumah
Pasien tinggal di pemukiman padat penduduk dengan kondisi ventilasi
yang tidak memadai, terdapat listrik dan air PAM serta air galon untuk
minum.
Perilaku
Pasien sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum dijamin
kebersiannya. Pasien juga jarang berolahraga secara teratur.
Lingkungan
36
Anamnesis
Aspek Personal
Pasien datang ke puskesmas Minasa Upa dengan keluhan demam
sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak terus menerus di
rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri kepala kadangkadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK lancar, BAB
belum 3 hari terakhir.
Kekhawatiran: Takut terkena DBD, Takut penyakitnya tidak sembuh,
Takut penyakitnya akan bertambah parah. Harapan: sembuh
Aspek Klinik
a. Demam sejak 7 hari sebelum ke puskesmas Minasa Upa
b. Demam disertai nyeri kepala, mual, muntah dan BAB tidak lancar
Aspek Faktor Resiko Internal
a Kurangnya pengetahuan tentang demam tifoid
b Mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor penyebab demam tifoid
c
kurang
Sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum tentu terjamin
kebersihannya.
37
c. Makanan yang kurang bersih yang dikonsumsi setiap hari bila membeli
di luar.
Aspek Psikososial Keluarga
Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang dapat
menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit yang diderita pasien sehingga tidak ada upaya pencegahan
faktor pencetus. Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan
pasien yaitu adanya dukungan dan motivasi dari semua anggota keluarga
baik secara moral dan materi.
Aspek Fungsional
Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih mampu
dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di
luar rumah.
Derajat Fungsional
Ny. SK masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun
(derajat 1 minimal)
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital :Tekanan Darah: 120/70 mmHg, Nadi : 88 x/menit, Pernapasan :
20 x/menit, Suhu : 37,40C
3. Pemeriksaan Penunjang
a Trombosit 156.000
b Widal : S.Typhi O : 1/160
S. Typhi H : 1/160
S. Typhi AH : 1/40
S. Typhi BH : 1/40
4. Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)
Diagnose Klinis: Demam Tifoid
Diagnose Psikososial: Takut terkena DBD, Takut penyakitnya tidak
sembuh, Takut penyakitnya akan bertambah parah.
5. Penatalaksanaan
NO
KEGIATAN
WAKTU
PELAKSANAAN
SASARAN
KET
38
Promosi
derajat kesehatan
pasien
keluarga
yang
lingkungan
tidak
terjamin
kebersihannya,
merokok,
2
Meningkatkan
atau
tempat
dan
jarang
berolahraga.
Memberikan
tentang
maupun
demam tifoid.
tinggalnya.
Agar
dapat
mencegah
penyakit demam
tifoid.
Tabel 6 : Rencana tindak lanjut
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga
pasien).
Pencegahan Primer
Promosi kesehatan dengan pendekatan perilaku hidup sehat seperti makan
makanan yang bersih.
Pencegahan Sekunder
Terapi untuk pasien
1 Pengobatan farmakologi berupa : kloramfenikol 500 mg 4x1, vitamin B comp
2x1, paracetamol 500 mg 3x1, metocloperamide 10 mg 3x1
2 Pengobatan non farmakologis
- Istirahat total selama minimal 5 hari
- Mengindari konsumsi makanan yang tidak bersih
- Konsumsi makanan yang lunak selama masa istirahat
Terapi untuk keluarga
Terapi untuk keluarga hanya berupa memberikan informasi dan penjelasan
mengenai penyakit demam tifoid.
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
40
b.
c.
d.
penyakit demam tifoid dengan pola makan yang tidak teratur dan tidak bersih
maka disarankan :
a. Menjaga kebersihan makanan
b. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit demam
tifoid
c. Penatalaksanaan demam tifoid sebaiknya selain farmakoterapi adalah
istirahat yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA
1
Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5
Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575.
Bangladesh: 1993.
John
LB.
Typhoid
Fever.
Medscape.
2012.
Dapat
diakses
di
Siti
FS.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya
Baru. Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.
Frankie, et al. 2008. The TUBEX test detects not only typhoidspecificantibodies but also soluble antigens and wholebacteria. Journal of
Medical Microbiology. 57, 316323.
10 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
42