Anda di halaman 1dari 47

USULAN PENELITIAN SKRIPSI

METODELOGI LSM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT GUNA


PENCEGAHAN LAHAN KRITIS DI KABUPATEN PROBOLINGGO
(Studi Kasus : Pembinaan pertanian organik oleh Lembaga lingkungan
SKOLAKONANG terhadap Kelompok Suko Tani Desa Jabung Candi Kec.
Paiton-Kab. Probolinggo)

Oleh :
AKHAMD SHIDIQ
125120501111023

GOVERNANCE AND TRANSISI


PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian
berbasis pada sumber daya lahan. Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri
mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan,
hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun
yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai
ciri alami dan budaya.1 Di era Globalisasi ini pertumbuhan masyarakat yang pesat
menjadikan industri pertanian menggenjot produksinya untuk kebutuhan
masyarakat banyak, hal ini kemudian menjadikan ekploitasi lahan besar-besaran
dan mulai melupakan bagaimana merawat unsure tanah, sehingga tanah mulai
rusak dan banyak beralih fungsi lahan untuk tempat tinggal pun menjadi terbatas,
pertanian semakin menyempit, dan komposisi tanah dari subur mrnjadi rusak,
padahal salah satu unsur lingkungan yang penting dan utama adalah adanya
sebuah lahan yang subur dan luas, lahan juga

kerap dekat sekali dengan

masyarakat tani. Lahan merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia,


dan menjadi kebutuhan khusus bagi penerus petani yang akan dating, dimana
lahan mencakup hamparan daratan bumi yang menjadi tempat tinggal, fasilitas
1 Utomo, Wani Hadi. Konservasi tanah di Indonesia: suatu rekaman dan
analisa. Rajawali Pers, 1989

dari alam untuk bercocok tanam serta tempat bagi tumbuhan untuk tumbuh subur
dan hijau, akan tetapi kegiatan masyarakat yang hanya mementingkan keuntungan
jangka pendek menjadikan lahan menjadi nkritis dan tidak produktif lagi.
Hal ini mencerminkan masyarakat yang materialistis, dimana materialisme
adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk
kehidupan

manusia

di

dalam

alam

kebendaan

semata-mata,

dengan

mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam. Sementara itu, orangorang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis.
Orang-orang ini adalah para pengusung paham materialisme atau juga orang yang
mementingkan kebendaan semata.2
rusaknya komponen sumber daya lahan dan hasil produksi yang turun,
mulai dirasakan oleh sebagian masyarakat kabupaten probolinggo seperti di desa
jabung kecamatan paiton. Dimana dulu desa jabung merupakan desa yang
memiliki unsur tanah yang bagus dan subur, salah satu komoditi unggulan
pertanian desa jabung adalah tembakau dan padi, dimana kualitas dari tanaman
tembakau dan padi tidak perlu dipertanyakan lagi karena telah menjadi buah bibir
masyarakat setempat. Namun siring waktu, unsure-unsur tanah yang ada di desa
jabung mulai mengalami perubahan, mulai dari menurunnya hasil produksi,
kualitas tanaman unggulan seperti padi dan tembakau yang menurun, dan
munculnya penyakit baru pada tanaman yang sebelumnya tidak pernah ada.
Semua permasalahan ini muncul karena sebagian besar para petani di desa
jabung hanya berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan yang besar pada
2 Listiono Santoso dkk, Seri Pemikiran Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), hlm 253

pertaniannya, keterampilan turun temurun, sumber daya manusia yang terbatas


dan penggunaan obat kimia tanpa melihat dampak dalam jangka panjang
terjadinya kerusakan pada unsur tanah sehingga mengakibatkan terjadinya lahan
kritis.
Untuk mengatasi permasalahan lahan kritis di desa jabung, dibutuhkan
sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Kabupaten Probolinggo untuk menerapkan
metode

pemberdayaan

masyarakat

dalam

lingkungan

pertanian,

guna

menaggulangi dan mencegah terjadinya lahan kritis


Untuk menyelesaikan masalah pencemaran air sungai tersebut,
dibutuhkan

peran

pemerintah

mengambil

keputusan

kota

mengenai

sebagai

pengendalian

stakeholder

untuk

pencemaran

air.

Dengan menggunakan teori politik hijau, penelitian ini dimaksudkan


untuk memahami hubungan antara ekologi dengan politik. Serta
melihat peran Pemerintah Kota Surabaya selaku stakeholder dalam
merumuskan,

menyusun,

dan

melaksanakan

kebijakan-kebijakan

terkait dengan pengendalian pencemaran air sungai. Hal ini sesuai


dengan asumsi teori politik hijau bahwa penting bagi manusia untuk
menempatkan lingkungan sebagai kepentingan bersama serta hak
setiap manusia untuk dapat memanfaatkannya, termasuk generasi
masa depan. Melindungi lingkungan tidak hanya berguna bagi kita
yang saat ini berada didalamnya, tetapi juga melindungi hak generasi
masa depan untuk bisa menikmatinya.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah dijelaskan
sebelumnya, telah didapatkan beberapa rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimana Peran Lembaga Lingkungan SKOLAKONANG dalam
memberdayakan kelompok tani desa jabung candi?

2. Apakah

dampak

yang

dihasilkan

dengan

adanya

pemberdayaan

lingkungan terhadap masyarakat desa jabung candi?

1.3. Tujuan Penelitian


Dalam

melaksanakan

penelitian

yang

berjudul

Konflik

dalam

Perebutan Dana Bagi Hasil Migas antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur
dengan Pemerintah Kabupaten Sumenep, bertujuan untuk :
1. Mengetahui bagaimanakah dinamika konflik terjadi antara Pemerintah
Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten Sumenep terkait Dana
Bagi Hasil Blok Maleo setelah adanya putusan Mahkamah Agus tentang
revisi Permendagri Nomor 8 tahun 2007.
2. Mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan sampai saat ini DBH Blok
Maleo tidak dapat dinikmati oleh Kabupaten Sumenep sebagai wilayah
penghasil Migas setelah adanya revisi Permendagri No.8 Tahun 2007.

1.4. Manfaat Peneltian


4

1.4.1. Manfaat Teoritis


1. Sebagai bahan studi perbandingan bagi peneliti selanjutnya mengenai
konflik perebutan Minyak dan Gas Bumi khususnya konflik perebutan
dana perimbangan keuangan pusat dan daerah mengenai Dana Bagi
Hasil Migas.
2. Dapat digunakan sebagai kontribusi pemikiran ilmiah dalam ranah ilmu
politik khususnya studi politik Resolusi konflik. Karena fokus utama
yang akan dilakukan dalam penelitian tersebut berkaitan dengan salah
satu konsep dalam studi politik yaitu resolusi konflik.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Sebagai masukan untuk pemerintah baik Pemerintah Provinsi Jawa
Timur maupun Pemerintah Kabupaten Sumenep maupun Instansi terkait
dalam hal penyelesaian konflik perebutan Dana Bagi Hasil Blok Maleo.
2. Dapat digunakan sebagai informasi bagaimana dinamika konflik
perebutan Dana Bagi Hasil Migas Blok Maleo antara Pemerintah
Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten Sumenep.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritik


2.1.1. Teori Konflik Lewis Alfred Coser
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada
dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam
pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena
pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu,
konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap
kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi
adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin con
yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan.3
Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian
fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik
kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Coser
3 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hal 345.

mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan


pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumbersumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir
saingannya.4
Lewis Coser, lahir di Berlin sebagai Ludwig Cohen, Coser adalah
sosiolog pertama yang mencoba untuk mempertemukan fungsionalisme
struktural dan teori konflik, karyanya berfokus pada menemukan fungsi
konflik sosial. Coser berpendapat yaitu konflik mungkin berfungsi untuk
memperkuat kelompok yang strukturnya longgar atau lemah. Konflik yang
terjadi dalam masyarakat yang berdisintegrasi dengan masyarakat lain atau
konflik antar kelompok, dapat mengembalikan inti integratif. Misalnya,
kekompakan Yahudi Israel mungkin disebabkan konflik lama dengan
orang Arab. Konflik dengan satu kelompok juga dapat berfungsi untuk
menghasilkan kohesi dengan mengarah ke serangkaian aliansi dengan
kelompok lain. Konflik antar-kelompok, dapat membawa beberapa
individu yang biasanya terisolasi menjadi berperan aktif.5
Berdasarkan

pemahamannya

di

atas

maka,

Lewis

Coser

mengemukakan konflik dengan membaginya dalam dua bagian:6 Pertama,


Konflik external adalah konflik yang terjadi antara dua kelompok yang
4 Irving M. Zeitlin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, hal.156
5 Di unduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Lewis_A._Coser., Pada Hari selasa, 1 Maret
2016, Pukul 14.25 WIB.

berbeda, di mana akan memperkuat kelompok yang berkonflik tersebut


dengan memberikan batasan yang jelas dengan kelompok lain. Kedua,
Konflik Internal adalah suatu konflik yang muncul dalam sebuah
kelompok yang memiliki hubungan yang sangat intim. Konflik ini muncul
karena terdapat ketegangan dan perasaan-perasaann negatif yang
merupakan

hasil

dari

keinginan

individu

untuk

meningkatkan

kesejahteraannya, kekuasaan, prestise, dukungan sosial atau penghargaanpenghargaan lainnya. Karena banyak dari penghargaan-penghargaan itu
bersifat langka, maka tingkat kompetisi pun tak terelakkan.
Berdasarkan pengertian konflik menurut Lewis Coser ini, jelas
bahwa ia membagi konflik dalam dua jenis yaitu konflik external dan
internal, di mana external terkait dengan bagaimana konflik terjadi antara
satu, dua, bahkan tiga kelompok yang berbeda, sedangkan konflik internal
lebih kepada konflik yang terjadi di dalam kelompok itu sendiri, di mana
masing-masing individu dalam kelompok itu memiliki tujuan dan
keinginan

masing-masing

untuk

diperjuangkan,

sehingga

tingkat

persaingan meningkat maka menghasilkan keluaran Konflik. Lewis Coser


Juga Membedakan konflik menjadi dua bentuk sesuai dengan altar
terjadinya konflik, pihak yang terkait dalam konflik, dan substansi konflik,
dan lain-lain:

6 Paul Johnson Doyle. 1990. Teori Sosiologi, Klasik dan Modern (terjemahan), Robert
M.Z. Lawang (Jilid 2; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), hal.196-200.

1. Konflik realistik merupakan konflik yang digunakan sebagai suatu


sarana pencapaian sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian konflik
realistik selalu diarahkan pada objek konflik yang sebenarnya. Konflik
dapat berhenti ketika tujuan telah tercapai. Metode manajemen konflik
yang dapat digunakan dalam konflik ini adalah dialog, persuasi,
musyawarah, voting dan negosiasi.
2. Konflik nonrealistik merupakan sebuah konflik yang mengarah bukan
pada objek konflik melainkan pada faktor-faktor penentu konflik dan
juga tidak berorientasi pada hasil tertentu. Atau dengan kata lain tidak
peduli pada penyelesaian perbedaan pendapat mengenai isu penyebab
konflik. Yang penting adalah bagaimana mengalahkan lawannya.
Metode menejemen konflik yang digunakan dalam konflik jenis ini
adalah agresi, menggunakan kekuasaan, kekuatan dan paksaan.7
Dari dua jenis konflik menurut Lewis Coser di atas dapat ditarik
kesimpulan seperti ini yakni, keduanya memang memiliki tujuan mengapa
terjadi konflik, tapi konflik realistis lebih berfokus pada jalan atau tindakkan
apa yang harus digunakan untuk dapat memperoleh apa yang ingin di capai.
Sedangkan

konflik

nonrealistik

lebih

kepada

ingin

menunjukkan

kemampuannya terhadap pihak lawan dengan tidak terlalu memperhatikan


faktor-faktor konflik serta tujuan yang hendak dicapai. Yang diperhatikan
disini adalah jalan untuk dapat mengalahkan pihak lawan.

7 Lewis Coser. 1964. The functions of social conflict .New York: Free Press, hal. 48-50.

Setelah mendefinisikan dan membagi konflik dalam dua bagian, Lewis


Coser juga memberikan beberapa penjelasan tentang fungsi konflik yang tak
terpisahkan dengan dampak dari konflik sesuai yang telah didefinisikan
olehnya:
1. Konflik dapat menetapkan dan menjaga identitas dan garis batas
masyarakat dan kelompok-kelompok. Yang dimaksud di sini ialah
dengan berkonflik maka masing-masing kelompok dapat benar-benar
mengetahui batasanbatasan apa yang mereka miliki terhadap kelompok
lain.
2. Konflik dengan kelompok lain memberikan kontribusi untuk
menetapkan dan menyatakan kembali identitas dari kelompok dan
menjaga batas identitas tersebut dari dunia sosial yang menguntungkan
dua belah pihak dan memberikan manfaat kolektif yang lebih besar
bagi para anggotanya.
3. Konflik dapat mempererat persatuan kelompok.
Berdasarkan fungsi sekaligus dampak dari konflik di atas, nampak
bahwa keseluruhannya mengarah pada dampak positif konflik di mana
konfik dapat memperjelas identitas kelompok, dengan menyatakan dan
menjaga batas identitas dari kedua kelompok yang berkonflik dan
memperkuat integrasi dalam kelompok-kelompok itu sendiri.
Dilihat dari teori konflik dari Lewis A. Coser ini sangat mirip
dengan konflik yang sedang terjadi antara pemerintah Kabupaten Sumenep
dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dimana konflik yang terjadi

10

melibatkan struktur pemerintahan yaitu antara pemerintah provinsi dengan


kabupaten

yang

mana

konflik

ini

sama-sama

memperkuat

dan

memperjelas struktur yang ada. Dalam pembagian konflik juga Coser


menjelaskan Konflik Internal adalah suatu konflik yang muncul dalam
sebuah kelompok yang memiliki hubungan yang sangat intim. Dalam
penjelasan ini dapat dilihat bahwa konflik yang tengah terjadi adalah
konflik yang terjadi di dalam sebuah instansi yang sama yaitu instansi
pemerintahan yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten. Konflik dalam
perebutan dana bagi hasil migas antara antar struktur pemerintahan ini
sangatlah relevan bila dikaitkan dengan teori konflik Lewis A. Coster ini
yang lebih fokus terhadap konflik struktural.
2.1.2. Bentuk-bentuk Konflik
Secara

garis

besar

berbagai

konflik

dalam

masyarakat

dapat

diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :


a. Berdasarkan sifatnya
Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif
dan konflik konstruktif.
1. Konflik Destruktif
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang,
rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain.
Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya
nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain
sebagainya.
11

2. Konflik Konstruktif
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena
adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu
permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai
pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan
pendapat dalam sebuah organisasi.8
b. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
1. Konflik Vertikal
Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur
yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan
bawahan dalam sebuah kantor.
2. Konflik Horizontal
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang
memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar
organisasi massa.
3. Konflik Diagonal
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi
sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang
ekstrim. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.9

8 Dr. Robert H. Lauer, 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta : PT. Rineka Cipta,hal.
98

9 Kusnadi, 2002. Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, Malang : Taroda, hal. 67

12

2.2 Tinjauan Konseptual


2.2.1. Otonomi Daerah
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi adalah pola
pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi
daerah sebagai berikut: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah
untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya
sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku.10 Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah juga mendefinisikan
daerah otonom sebagai berikut: Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

10 Nurcholis Hanif.2007.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,


Jakarta :Grasindo, Hal. 30

13

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh daerah otonom


(local self-government) adalah kabupaten dan kota.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi.
Dengan digunakannya asas desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua
daerah tersebut menjadi daerah otonom penuh.11Dari pendapat di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten maupun kota
untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya
sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu kepada
kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya.
2.2.2. Desentralisasi Fiskal
Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama
di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar
belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia,
kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat
pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan
yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis
dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif.12

11 Ibid, Hal. 29
12Richard Bird dan Vaillancourt Francois. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara
Negara Berkembang, Cetakan 1, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

14

Secara luas desentralisasi adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus


rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan
pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat
seperti hubungan luar negeri, pengadilan, moneter dan keuangan serta pertahanan
keamanan. Jadi, secara riil desentralisasi merupakan kewenangan daerah yang
dilimpahkan oleh pemerintah pusat, disesuaikan dengan kemampuan nyata dari
daerah yang bersangkutan (seperti sumber daya manusia, pendapatan daerah,
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Desentralisasi fiskal diartikan sebagai
pelimpahan wewenang dibidang penerimaan anggaran atau keuangan yang
sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya
diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat Dengan terjadinya pelimpahan
sebagian wewenang terhadap sumber-sumber penerimaan di daerah, diharapkan
daerah-daerah dapat melaksanakan tugas-tugas rutin, pelayanan publik dan
meningkatkan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya. Oleh
karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian
otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah
merupakan suatu proses pengintensifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan
daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan pergeseran
beberapa tanggung jawab terhadap pendapatan (revenue) dan / atau pembelanjaan
(expenditure) ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor yang sangat
penting dalm menentukan desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah
daerah

diberi

kewenangan

(otonomi)

untuk

menentukan

alokasi

atas

pengeluarannya sendiri. Faktor lain yang juga penting adalah kemampuan daerah

15

untuk meningkatkan penerimaan mereka (PAD). Tetapi desentralisasi fiskal tidak


semata-mata peningkatan PAD saja tetapi lebih dari itu adalah kewenangan dalam
mengelola potensi daerah demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam membahas mengenai desentralisasi fiskal, terdapat tiga variabel yang
merupakan representasi desentralisasi fiskal yaitu :13
1. Desentralisasi Pengeluaran Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran
total masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran
pemerintah (APBN). Hasil studi yang dilakukan Zhang dan Zou (1998),
menunjukkan bahwa variabel ini mempunyai pengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mengimplikasikan bahwa desentralisasi fiskal
gagal mendorong pertumbuhan ekonomi di China. Hal ini merefleksikan
bahwa pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan
investasi di sektor infrastruktur. Sementara , studi yang dilakukan oleh Philips
dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negatif desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi pada negara-negara maju.
2. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan Variabel ini didefinisikan sebagai
rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota
(APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN). Variabel
ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan
antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini dapat diketahui apakah
pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sektor
13 Mohammad Khusaini. 2006. Ekonomi Publik : Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah. BPFE Unibraw, Malang.

16

publik atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variabel ini terhadap
pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi yang baik untuk
melakukan investasi di sektor publik.
3. Desentralisasi Penerimaan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total
penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD), tidak termasuk subsidi
terhadap total penerimaan pemerintah. Variabel ini mengekspresikan besaran
relatif antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Menurut Dillinger, pada dasarnya ada empat jenis desentralisasi, yaitu :14
1. Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada
warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat
untuk mengambil keputusan publik
2. Desentralisasi adminitratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan
untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber
keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab
tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan
manajemen fungsifungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas
tertentu, atau perusahaan tertentu. Desentralisasi administratif pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) :
14 Machfud Sidik, 2001. Studi Empiris Desentralisasi Fiskal : Prinsip, Pelaksanaan di
Berbagai Negara, serta Evaluasi Pelaksanaan Penyerahan Personil, Peralatan,
Pembiayaan dan Dokumentasi Sebagai Konsekuensi Kebijakan Pemerintah. Batam :
Sidang Pleno X ISEI

17

a. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari


pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hierarki dengan
pemerintah pusat.
b. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan
wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar
struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh
pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan
ketentuan
mempunyai

perundang-undangan.
keleluasaan

Pihak yang menerima

(discretion)

dalam

wewenang

penyelenggaraan

pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak


pemberi wewenang (sovereign-authority).
c. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas
pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang
tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana
pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya,
pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas
pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas
pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah
daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan
kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali
sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi
dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi

18

dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative


decentralization.
3. Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization), yaitu pelimpahan wewenang
dalam mengelola sumber-sumber keuangan , yang mencakup :
a. Self-financing atau cost recovery dalam pelayanan publik terutama melalui
pengenaan retribusi daerah
b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi
dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.
c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum
(DAU) ,Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat serta pinjaman
daerah (sumber daya alam).
4. Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu kebijakan
tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan
kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah
kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi pasar.
Secara harafiah desentralisasi fiskal memberikan pengertian adanya
pemisahan yang semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa tercermin
pada kedua sisi anggaran; penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan,
daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam Tax Policy.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 79 dan Pasal 82 UU No. 27 tahun 1999 dan
juga tercermin dari upaya untuk merubah UU No. 18 Tahun 1997 agar tidak
bertentangan dengan semangat yang termaktub dalam UU Pemerintahan Daerah

19

dan juga UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yakni
adanya keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk menggali potensi
penerimaan melalui pajak ataupun retribusi. Di sisi pengeluaran, daerah akan
mendapat kewenangan penuh dalam pen ggunaan dana perimbangan (dari bagi
hasil berupa PBB, BPHTB SDA, dan dana alokasi umum/DAU). Pada prinsipnya
penggunaan kedua jenis dana perimbangan tersebut ditentukan oleh daerah
sendiri. Jadi tidak lagi ditetapkan penggunaannya oleh pemerintah pusat seperti
yang terjadi pada dana SDO (Subsidi Daerah Otonom) dan Inpres di masa lalu.15
2.2.3. Dana Perimbangan
Untuk menambah pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan
pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi
hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah. Sesuai
dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan
dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Bagi hasil
penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber
daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum,
minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada
daerah dengan presentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah
diubah dengan PP Nomor 84 Tahun 2001.
15 Brahmantio dan Tri Wibowo, 2002, Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi
Daerah (Studi Kasus Kota Surakarta), Jurnal Ekonomi dan Keuangan Vol. 6, No.1.

20

2.2.3.1. Dana Bagi Hasil


Dana Bagi Hasil (revenue sharing) atau DBH adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. DBH dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya dalam arti
bahwa bagian daerah atas penerimaan yang dibagihasilkan didasarkan atas daerah
penghasil. Prinsip tersebut berlaku untuk semua komponen DBH, kecuali DBH
perikanan yang dibagi sama rata ke seluruh kabupaten/kota.Selain itu, penyaluran
DBH baik pajak maupun SDA dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun
anggaran belanja. Berdasarkan sumbernya DBH dibedakan dalam DBH
perpajakan dan DBH Sumber Daya Alam (DBH SDA).
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas :
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c. Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam terdiri atas :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Kehutanan
Pertambangan Umum
Perikanan
Pertambangan minyak bumi
Pertambangan minyak gas bumi
Pertambangan gas bumi.16

16 http://www.scribd.com/doc/74482130/10/dana-bagi-hasil-sumber-daya-alam/ diakses pada


tanggal 21 februari pukul 14.30

21

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan hak daerah atas pengelolaan sumbersumber penerimaan negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah, yang
besarnya ditentukan atas daerah penghasil (by origin) yang didasarkan atas
ketentuan perundangan yang berlaku. Secara garis besar DBH terdiri dari DBH
perpajakan, dan DBH sumber daya alam (SDA). Sumber-sumber penerimaan
perpajakan yang dibagihasilkan meliputi pajak penghasilan PPh) pasal 21 dan
pasal 25/29 orang pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan
hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber
penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas alam,
pertambangan umum, kehutanan dan perikanan.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 UU NO. 33 Tahun 2004 dibagi di antara daerah
propinsi, kabupaten/kota dan pemerintah. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB
sebesar 90 % untuk daerah dengan rincian sebagai berikut :
1) 16,2 % (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah propinsi yang
bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah propinsi.
2) 64,8 % (enam puluh empat delapan persepuluih persen) untuk daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum
daerah kabupaten/kota
3) 9 % (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.

22

Sementara itu, 10 % bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan


kepada seluruh daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan
PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbalan sebagai berikut:17
1) 65 % (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah
kabupaten/kota
2) 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah
kabupaten/kota yang

realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui

rencana penerimaan sektor tertentu.


Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80 % (delapan puluh
lima persen) dengan rincian sebagai berikut:
1) 16 % (enam belas persen) untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke rekening kas umum daerah propinsi
2) 64 % (enam puluhempat persen) untuk daerah kabupaten/kota penghasil dan
disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten/kota.18
2.2.3.2. Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan
penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya

17 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
18 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

23

perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan
DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan
perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi
daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. Sesuai dengan UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat
dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (propinsi, kabupaten, dan
kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiskal gap (fiscal gap),
dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal
needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU
digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi
dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Kemampuan/potensi fiskal/ekonomi
daerah dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima daerah,
seperti potensi pendapatan domestik regional bruto (PDRB), industri (diukur
dengan PDRB sektor non-primer), sumber daya lama (diukur dengan PDRB
seckor primer) dan sumber daya manusia (diukur dengan angkatan kerja). Daerah
yang memiliki PDRB tinggi, aktivitas industri dan jasa yang besar, SDA yang
melimpah dan SDM yang berkualitas akan menerima DAU yang relatif kecil.19
2.2.3.3. Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana
yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu
19 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

24

membiayai

kebutuhan

khusus.

Pengalokasian

DAK

ditentukan

dengan

memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU Nomor 33


Tahun 2004, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang
tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam
pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya:
kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana
baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran
drainase primer dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional.
Perimbangan keuangan Pusat dan Pemerintahan Daerah ini merupakan
instrumen utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, sebagai konsekensi dari
pelaksanaan otonomi daerah. Secara utuh desentralisasi fiskal mengandung
pengertian bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggung jawab, kepada daerah diberikan kewenangan untuk
mendayagunakan sumber keuangan sendiri dan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah. Dapat ditegaskan kembali bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal
tidak hanya terfokus kepada dana bantuan dari pusat dalam bentuk dana
perimbangan saja, namun yang lebih penting adalah bagaimana kemampuan
daerah untuk memanfaatkan dan mendayagunakan serta mengelola potensipotensi yang ada di daerah dengan tujuan untuk melakukan peningkatan
pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah. Di samping itu, desentralisasi
fiskal dapat memberikan ruang bagi daerah untuk menciptakan kreatifitas dan
inovasi baru dalam meningkatkan efisiensi atas penyediaan pelayanan publik,

25

menciptakan peluang investasi dan bisnis, dan secara selektif para investor dan
pebisnis memilih selera yang paling mendekati preferensi masyarakat setempat.
2.2.4. Minyak Bumi dan Gas
Minyak bumi dan gas biasa disebut dengan migas, merupakan salah satu
sumber daya alam atau hasil bumi yang saat ini menjadi perhatian khusus dari
negar-negara di dunia. Kegunaan dan manfaat dari migas sendiri sangatlah banyak
dan hampir seluruh negara menggunakan dan membutuhkan migas. Migas sendiri
merupakan minyak bumi dan gas yang berasal dari binatang-binatang laut yang
kecil maupun yang besar yang hidup dilaut dangkal yang selanjutnya mati dan
kemudian terendapkan, sehingga dalam kurun waktu yang lama akan tertutup
lapisan tebal. Secara ilmiah, pengaruh waktu, tekanan, dan temperataur yang
tinggi merubah makhluk tersebut menjadi petroleum (minyak bumi dan gas) atau
yang biasa disebut dengan migas.
Jika dilihat dari fungsi atau kegunaan utama dari migas sendiri adalah
sebagai bahan bakar yang baik. Oleh karena itu banyaknya teknologi saat ini
menggunakan bahan bakar migas sebagai bahan penggerak. Dan karena
keberadaannya yang sangat terbatas, banyak negara maju berlomba untuk
mendapatkan minyak bumi tersebut melalui kerja sama asing. salah satu perhatian
dari negara maju seperti Amerika Serikat adalah migas yang berada di Indonesia.
Tidak dipungkiri bahwa sumber daya alam dan hasil bumi yang dimiliki Indonesia
begitu melimpah. Dan salah satu hasil bumi yang menjadi perhatian khusus oleh
pemerintah adalah migas yang tersebar dibeberapa daerah di Indonesia.

26

Migas merupakan salah satu sumber daya alam strategis dan dapat
berperan dalam proses pembangunan nasional. Hal ini dibuktikan dengan sektor
migas berperan sangat dominan dalam mendukung pembangunan selama hampir
30 tahun di masa orde baru. Terutama ketika masa kejayaan migas pada dasawarsa
1973-1983. Peran migas yang begitu dominan juga terlihat dari sumbangan yang
telah diberikan dari hasil migas pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN), yang rata-rata sebesar 60-80%. Selain itu, sektor migas telah
meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Hampir seperlima pajak
penghasilan dipungut dari migas.
Di Indonesia, migas masih menjadi andalan utama perekonomian
Indonesia baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi
dalam negeri. Pembangunan prasarana dan industri yang sedang giat-giatnya
dilakukan di Indonesia, membuat pertumbuhan konsumsi energi rata-rata
mencapai 7% dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan yang sangat tinggi, melebihi
rata-rata kebutuhan energi global, mengharuskan Indonesia untuk segera
menemukan cadangan migas baru, baik di Indonesia maupun ekspansi ke luar
negeri. Cadangan terbukti minyak bumi dalam kondisi depleting, sebaliknya gas
bumi cenderung meningkat. Perkembangan produksi minyak Indonesia dari tahun
ke tahun mengalami penurunan,sehingga perlu upaya luar biasa untuk
menemukan cadangancadangan baru dan peningkatan produksi.20

20 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa


Yogyakarta Vol.1, No.1, Januari 2015

27

2.3. Penelitian Terdahulu


Masalah yang timbul dari proses kegiatan penambangan minyak bumi dan
gas alam baik konflik vertical maupun horizontal antara pemerintah/pengusaha
dengan masyarakat maupun antara pemerintah pusat dengan daerah sudah banyak
terjadi di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Dan dari konflik atau permasalahan
yang ditimbulkan tersebut pasti ada salah satu pihak yang lebih banyak dirugikan
dari proses konflik mengenai Sumberdaya alam seperti minyak bumi dan gas
alam.
Berkaitan dengan penelitian mengenaik konflik perebutan Dana Bagi Hasil
minyak bumi dan gas alam antara Pemerintah Kabupaten Sumenep dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, maka penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya adalah :
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No
1

Nama
Peneliti
Politik Sumberdaya Fardhon

a.Mendeskripsikan

Alam

bagaimana

peran masalah pengelolaan

Daerah ( FISIP Ilmu

pemerintah

hasil migas untuk

peran Politik) 2015

Kabupaten

meningkatkan

pemerintah daerah

Bojonegoro

pembangunan.

dalam pengelolaan

terhadap

b. lokasi dan waktu

minyak

pengelolaan

penelitian

Judul Penelitian

di

Otonomi
(

era Fitriyaningsih

analisis

bumi

dan

gas
dalam

Fokus Kajian

Perbedaan dengan
penelitian penulis
a. lebih berfokus ke

pertambangan

28

meningkatkan

minyak dan gas

pembangunan

bumi yang ada di

Kabupaten

Kab.Bojonegoro

Bojonegoro.

b.Bagaimana
dampak

yang

dihasilkan adanya
pertambangan
2

migas tersebut
a.kontribusi sektor

a. lebih berfokus

migas terhadap

terhadap penerimaan

penerimaan daerah ( FIA Ilmu

pendapatan daerah

pendapatan daerah

dalam

di Kabupaten

untuk meningkatkan

Bojonegoro dalam

pembangunan daerah

hal ini kontribusi

b. lokasi dan waktu

dalam penerimaan

penelitian

Kontribusi
migas

sektor Odha
terhadap Adhitama

rangka Administrasi

meningkatkan

Publik) 2014

pembangunan
daerah

di

Kabupaten

Dana Bagi Hasil

Bojonegoro

b. kontribusi migas
di sektor lain
dalam rangka
meningktkan
pembangunan
daerah
c.faktor
penghambat

dan

29

pendukung
pengembangan
sektor

migas

dalam

rangka

meningkatkan
pembangunan
3

di

Analisis

Ahita Nur

Kab.Bojonegoro
a.bagaimana

Participacing

Aisyah Zen

implementasi

terhadap

Interest dalam kerja (FEB

kerjasama

Participacing

sama

pemerintah

(KKS) Akuntansi)

a.

lebih

berfokus
dana

dan Interest yang akan di

pemerintah daerah 2014

swasta (KPS) dan dapatkan

oleh

dan swasta ( studi

peran pemerintah pemerintah

kasus pada sektor

daerah

dalam terkait

migas Blok Cepu di

Kontrak

Kerja kontrak kerja sama

Kab.Bojonegoro)

Sama (KKS) Blok migas

antara

Cepu.

pemerintah

daerah

b.bagaimana

dengan swasta.

pengalokasian

b. lokasi dan waktu

Participacing

penelitian.

daerah

dari

hasil

Interest (PI) yang


diperoleh
pemerintah daerah
Kabupaten

30

Bojonegoro.
Sumber: Data diolah peneliti, 2016
Dari penelitian pertama yang tercantum diatas ada aspek persamaannya
yaitu penelitian diatas dan penelitian penulis memiliki persamaan dalam hal ingin
mengetahui bagaimana pengelolaan migas. Sementara perbedaan antara penelitian
diatas dengan penelitian penulis adalah penulis lebih ke masalah dinamika konflik
perebutan dana bagi hasil migas, sementara penelitian pertama diatas lebih ke
masalah pengelolaan hasil migas untuk meningkatkan pembangunan.
Dalam penelitian yang kedua terdapat kesamaan antara penelitian yang
kedua dengan penelitian penulis yaitu bagaimana sektor migas berkontribusi
terhadap penerimaan daerah yaitu dari dana bagi hasil migas. Sementara
perbedaan antara penelitian kedua dengan penelitian penulis adalah pada
penelitian kedua lebih berfokus terhadap penerimaan pendapatan daerah untuk
meningkatkan pembangunan daerah sementara penelitian penulis lebih ke masalah
dinamika konflik perebutan dana bagi hasil migas demi meningkatkan pendapatan
asli daerah itu sendiri.
Dalam penelitian yang ketiga terdapat kesamaan antara penelitian ketiga
dengan penelitian penulis yaitu bagaimana pemerintah daerah selaku daerah
penghasil migas mendapatkan pendapatan dari adanya kegiatan eksploitasi migas
di wilayahnya. Sementara perbedaan antara penelitian ketiga dengan penelitian
penulis adalah penelitian ketiga lebih berfokus terhadap dana Participacing
Interest yang akan di dapatkan oleh pemerintah daerah terkait dari hasil kontrak
kerja sama migas antara pemerintah daerah dengan swasta. Sementara penelitian
31

penulis lebih berfokus tentang bagaimana dinamika konflik mengenai perebutan


dana bagi hasil migas antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten
itu sendiri yang sedang dalam masalah.
2.4. Kerangka Pemikiran
Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mencoba membuat sebuah konsep atau
kerangka pemikiran yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan dan juga
dalam menyusun laporan hasil penelitian. Kerangka pemikiran ini melibatkan
beberapa teori seperti teori konflik, otonomi daerah, serta didukung oleh aspek
dana bagi hasil migas. Penyusunan kerangka pemikiran dalam penelitian ini juga
bertujuan untuk tetap memfokuskan penelitian

ke dalam objek kajian yang

diteliti, agar bahasannya tidak melebar, sehingga mengakibatkan hasil penelitian


tidak sesuai dengan konsep awal penelitian.
Adapun konsep pemikiran yang dirancang dalam penelitian yang berjudul
Konflik Perebutan Dana Bagi Hasil Migas Blok Maleo antara Pemerintah
Kabupaten Sumenep dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur adalah
sebagai berikut :

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran

OTONOMI DAERAH

32

POTENSI DAN KELOLA


SUMBER DAYA ALAM
SECARA MANDIRI

DESENTRALISASI
FISKAL

DINAMIKA KONFLIK
PEREBUTAN DANA BAGI
HASIL MIGAS ANTARA
PROVINSI DAN
KABUPATEN

TEORI KONFLIK LEWIS A.


COSER

FAKTOR PENYEBAB
KABUPATEN SUMENEP
TIDAK MENDAPAT DANA
BAGI HASIL

Kerangka pemikiran dari penelitian ini berawal dari diterapkannya sebuah


sistem pemerintahan yang bernama Otonomi Daerah. Otonomi Daerah sendiri
berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan
keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri secara mandiri. Dimana
dalam sistem ini daerah diberi kewenangan lebih untuk mengatur urusan rumah
tangganya sendiri sesuai dengan aturan yang ada termasuk dalam mengelola
Sumber Daya Alam yang ada di daerah tersebut. Pengelolaan sumber daya alam

33

berada di tangan pusat namun Daerah diberi keleluasan untuk memanfaatkan


sumberdaya alam yang berada di wilayahnya untuk kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu
instrumen utama pelaksanaan Dalam Otonomi daerah. Dalam desentralisasi fiskal
juga terdapat perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Secara utuh
desentralisasi

fiskal

mengandung

pengertian

bahwa

untuk

mendukung

penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, kepada
daerah diberikan kewenangan untuk mendayagunakan sumber keuangan sendiri
dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dapat ditegaskan kembali
bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak hanya terfokus kepada dana bantuan
dari pusat dalam bentuk dana perimbangan saja, namun yang lebih penting adalah
bagaimana kemampuan daerah untuk memanfaatkan dan mendayagunakan serta
mengelola potensi-potensi yang ada di daerah dengan tujuan untuk melakukan
peningkatan pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah.
Namun dalam perjalannya, sering terjadi masalah antara pemerintah pusat
dan daerah mengenai proses bagi hasil pengelolaan sumber daya alam, tak
terkecuali bagi hasil pengelolaan sumber daya alam minyak bumi dan gas. Dan
terkadang permasalahan tersebut terjadi antar pemerintah daerah seperti
pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten ataupun antar pemerintah
kabupaten itu sendiri.
Salah satu contoh mengenai masalah dalam proses bagi hasil migas terjadi
antara pemerintah Kabupaten Sumenep dengan pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dimana permasalahan ini bermula dari dikeluarkannya Permendagri Nomor 8
34

Tahun 2007 yang menyatakan dana bagi hasil dari salah satu blok migas yang
berada di wilayah Kabupaten Sumenep yaitu Blok Maleo itu menjadi hak dari
pemerintah Provinsi Jawa Timur. Namun pemerintah Kabupaten Sumenep
melakukan Judicial Review terhadap Permendagri tersebut ke Mahkamah Agung
dan kemudian disetujui. Hal ini berarti Permendagri tersebut direvisi sehingga
dalam revisi Permedagri tersebut yang awalnya hak dana bagi hasil migas dari
Blok Maleo itu awalnya milik pemerintah provinsi Jawa Timur berubah menjadi
Hak pemerintah Kabupaten Sumenep. Namun setelah adanya putusan Mahkamah
Agung tersebut yaitu sejak tahun 2008 sampai saat ini pemerintah Kabupaten
Sumenep belum mendapat dana bagi hasil migas tesebut. Hal ini yang menjadi
polemik yang masih berlangsung antara pemerintah kabupaten Sumenep dengan
pemerintah provinsi Jawa Timur terkait dana bagi hasil Blok Maleo.
Maka dari kerangka pemikiran yang digunakan diatas, penulis ingin
mengetahui dinamika konflik perebutan dana bagi hasil migas blok Maleo antara
pemerintah provinsi Jawa Timur dengan pemerintah Kabupaten Sumenep serta
apa saja faktor penyebab Kabupaten Sumenep sampai saat ini tidak mendapatkan
dana bagi hasil migas dari blok Maleo sebagai daerah penghasil migas.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

35

Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk


mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. 21 Metode
penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Yang mana metode ini bertujuan untuk memberikan informasi atau membuat
gambaran secara sistematis dan akurat berdasarkan fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diteliti. Dalam hal ini penulis mencoba untuk
menjelaskan bagaimana Dinamika konflik dalam perebutan Dana Bagi Hasil
(DBH) Blok Maleo antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah
Kabupaten Sumenep.
Sementara itu dalam sebuah pendapat, yaitu pendapat dari Sudarwan Danim yang
menyatakan bahwa metode penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang
ada yaitu keadaan gejala yang menurut apa adanya pada pada saat penelitian
dilakukan.22 Menurut pendapat Denzin dan Lincoln dalam buku Moleong
menyatakan bahwa jenis penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan
latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan
dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.23
3.2. Lokasi dan Objek Penelitian
21 Mohammad Nasir. 1999. Metode penelitian. Jakarta : Erlangga. Hal 14
22 Sudarwan Danim. 2009. Menjadi peneliti kualitatif. Bandung : CV. Setia pustaka. Hal
41
23 Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi penelitian kualitatif. Cetakan ketiga belas.
Bandung:remaja rosda karya. Hal 5

36

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di Kabupaten Sumenep, Hal


ini dikarenakan Blok Maleo berada di Kabupaten Sumenep tepatnya berada di
lepas pantai pulau Giligenting. Di Blok inilah daerah penghasil Minyak Bumi dan
gas alam yang Dana Bagi Hasil Migasnya diperebutkan antara Pemerintah
Kabupaten Sumenep dengan pemerintah provinsi Jawa Timur. Objek penelitian
peneliti ini adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Sumenep
selaku pihak dari pemerintah Kabupaten Sumenep serta Dinas Energi dan Sumber
Daya Mineral Provinsi Jawa Timur selaku pihak dari Pemerintah Provinsi yang
mengurusi aspek-aspek mengenai minyak bumi dan gas alam. Selain itu peneliti
juga melakukan penelitian di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sumenep serta
kepada Bupati Kabupaten Sumenep untuk mendapatkan data-data tambahan yang
diperlukan dalam proses peneltian ini.
3.3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan hal penting dalam sebuah penelitian. Hal ini
dikarenakan penulis berusaha membatasi masalah yang akan diteliti agar tidak
menyimpang dari tujuan awal melakukan penelitian serta lebih terarah dan lebih
terperinci dalam melakukan penelitian. Berdasarkan uraian tersebut, maka fokus
penelitian ini adalah bagaimana Dinamika konflik dalam perebutan Dana Bagi
Hasil Migas antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah
Kabupaten Sumenep setelah adanya putusan Mahkamah Agung terkait revisi
Permendagri nomor 8 tahun 2007 terkait Blok Maleo.
3.4. Teknik Pengumpulan Data

37

Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti . antara
lain adalah :
1. Indepth Interview atau wawancara
Wawancara langsung dengan responden, dalam hal ini pejabat-pejabat
yang secara langsung bertanggung jawab terhadap urusan energi dan
sumber daya mineral yang ada di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
baik Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Sumenep maupun
baik Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur.
2. Observasi
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan mengadakan
pengamatan langsung dilapangan dengan maksud untuk menunjang
pemahaman penelitian mengenai kondisi lapangan serta mengungkapkan
keadaan yang dijelaskan sesuai dengan data yang diperoleh dari informan.
Kemudian penulis akan mengamati kondisi lokasi penelitian, mengambil
dokumentasi dari lokasi penelitian serta mengamati dinamika konflik yang
terjadi terkait permasalahan Dana Bagi hasil Migas yang terjadi.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data dengan
memperoleh informasi dengan kebijakan yang ada seperti UndangUndang, peraturan serta dokumen-dokumen resmi. Dengan demikian, dari
studi dokumentasi akan diperoleh gambaran jelas mengenai isi dari
substansi kebijakan yang ada.
3.5. Pemilihan Informan
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menetapkan beberapa informan
yang dikelompokkan menjadi informan kunci, informan utama dan informan
38

pendukung. Bagong Suyanto menyatakan bahwa informan penelitian meliputi


beberapa macam, yaitu 1) informan kunci merupakan mereka yang mengetahui
dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, 2)
informan utama merupakan mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial
yang diteliti, 3) informan pendukung merupakan mereka yang dapat memberikan
informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti. 24
Dari pemaparan terkait informan diatas, peneliti menentukan informan dengan
teknik purposive. Dimana tidak melihat strata dari informan melainkan yang
berhubungan dengan penelitian yaitu :
1. Informan Kunci
Informan yang termasuk informan kunci pada penelitian yang penulis
lakukan adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten
Sumenep dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa
Timur. Penentuan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten
Sumenep dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa
Timur sebagai informan kunci didasarkan atas fungsi dari instansi tersebut
dalam mengurusi permasalahan Energi dan Sumber Daya Mineral yang
ada di Kabupaten Sumenep serta Provinsi Jawa Timur.
2. Informan Utama
Informan Utama dalam penelitian ini adalah Bupati Kabupaten Sumenep.
Hal ini karena selaku Bupati, beliau pasti mengetahui secara komprehensif
tentang masalah sengketa dana bagi hasil Blok Maleo yang sedang terjadi
saat ini.
24 Bagong Suyanto, 2005, metode penelitian sosial, Jakarta : Gramedia Widia Sarana
Indonesia

39

3. Informan Pendukung
Informan pendukung dalam penelitian ini yaitu instansi terkait dengan
penerimaan Dana Bagi Hasil migas di Kabupaten Sumenep, yaitu Dinas
Pendapatan Kabupaten Sumenep.
3.6. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah cara dan alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data-data yang diperlukan dalam penelitian. Adapun instrumen penelitian yang
akan penulis gunakan antara lain :
1. Interview Guide atau pedoman wawancara
Merupakan materi atau poin-poin yang menjadi dasar dan acuan yang
digunakan penulis dalam melakukan Interview atau wawancara dengan
para informan atau narasumber.
2. Pedoman Observasi
Berisi garis besar kerangka data yang akan penulis gunakan guna
mempelajari situasi dan kondisi di lapangan.
3. Pedoman Dokumentasi
Terdiri dari garis besar data-data yang diperlukan oleh penulis dalam
menunjang penelitian.
4. Voice Recorder atau alat perekam suara
Voice Recorder ini digunakan saat melakukan wawancara dengan para
informan atau narasumber. Pemakaian Voice Recorder digunakan oleh
penulis guna mendapatkan informasi yang lebih detail dan tidak sampai
kehilangan secuil informasi dari informan.
5. Field Note atau buka catatan
Pada saat penelitian lapangan, buku catatan sangat penting untuk mencatat
hasil pengamatan dan temuan yang ditemukan oleh penulis pada saat
melakukan studi lapangan dan observasi.
40

3.7. Sumber Data


Cara pengumpulan data dalam suatu penelitian ada dua jenis sumber data,
yaitu data premier dan data sekunder. Adapun penjelasan mengenai jenis data
sebagai berikut :
1. Data Premier
Merupakan data yang dikumpulkan dan diperoleh oleh peneliti secara
langsung dari hasil wawancara dan penelitian lapangan atau observasi.
Sumber data ini berupa catatan penting yang ditemukan oleh penulis dari
hasil pengamatan lapangan, dan juga informasi informasi yang diberikan
oleh para informan atau narasumber dari hasil wawancara.
2. Data Sekunder
Secara definisi, data sekunder merupakan data yang tidak secara langsung
berhubungan dengan responden yang diteliti serta merupakan data
pendukung bagi penelitian yang dilakukan. Data sekunder meliputi :
dokumen-dokumen, arsip, catatan, dan laporan dari berbagai pihak yang
mendukung penelitian ini seperti produk kebijakan dan lain sebagainya.
3.8. Teknik Analisis Data
Salah satu bagian terpenting dalam proses penyusunan laporan penelitian
adalah analisis data. Dalam penelitian ini, penulis telah menetapkan bahwa
metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, maka proses analisa data yang
digunakan adalah analisa data kualitatif. Analisa data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan

41

menemukan pola, menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.25

Di lain pihak proses analisa data kualitatifberjalan sebagai berikut :


1. Mencatat seluruh hasil yang diperoleh di lapangan, kemudian memberikan
kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
2. Mengumpulkan,
memilah-milah,
mengklasifikasikannya,

serta

mensintesiskannya, membuat ikhstar, dan membuat indeksnya.


3. Berpikir dengan jalan membuat agar teori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan hubungan serta membuat
temuan umum.
3.9. Teknik Keabsahan Data
Bagian ini memuat uraian tentang usaha-usaha peneliti untuk memperoleh
keabsahan temuan. Untuk memperoleh temuan dan interpretasi yang absah,
peneliti menggunakan teknik triangulasi data. Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai suatu pembanding terhadap data
tersebut. 26

25 Ibid, hal 248


26 Ibid, hal 178

42

Teknik triangulasi sumber data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
2. Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
yang dikatakan pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh satu informan dengan informan
lain.
4. Membandingkan keadaan dan persepektif seseorang dengan berbagai
pandangan orang menurut tingkat pendidikannya
5. Membandingkan hasil suatu wawancara dengan suatu dokumen yang
berkaitan. Hasil dari perbandingan yang diharapkan adalah berupa
kesamaan atau alasan-alasan terjadinya perbedaan.

43

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bird, Richard dan Vaillancourt Francois. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara
Negara Berkembang, Cetakan 1, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Coser, Lewis. 1964. The functions of social conflict .New York:Free Press, hal.
48-50.
Danim, Sudarwan. 2009. Menjadi peneliti kualitatif. Bandung : CV. Setia pustaka.
Hal 41
Doyle, Paul Johnson. 1990. Teori Sosiologi, Klasik dan Modern (terjemahan),
Robert M.Z. Lawang Jilid 2; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal.196200.
Hadi, Syamsul dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru, Negara, Konflik Lokal
dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hanif ,Nurcholis. 2007.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Jakarta : Grasindo,. Hal. 29-30
Khusaini, Mohammad. 2006. Ekonomi Publik : Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah. Malang : BPFE Unibraw.
Kusnadi, 2002. Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, Malang : Taroda, hal.
67
Lauer, Dr. Robert H, 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta : PT.
Rineka Cipta, hal. 98
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi penelitian kualitatif. Cetakan ketiga belas.
Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal 5
Nasir, Mohammad. 1999. Metode penelitian. Jakarta : Erlangga. Hal 14
Prasojo, Eko. 2006. Desentralisasi & pemerintahan daerah : antara model
demokrasi lokal & efisiensi struktural. Depok : Departemen Ilmu
Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Hal. 196

44

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 345
Sidik, Machfud, 2001. Studi Empiris Desentralisasi Fiskal : Prinsip, Pelaksanaan
di Berbagai Negara, serta Evaluasi Pelaksanaan Penyerahan Personil,
Peralatan, Pembiayaan dan Dokumentasi Sebagai Konsekuensi Kebijakan
Pemerintah. Batam : Sidang Pleno X ISEI
Suyanto, Bagong, 2005. metode penelitian sosial, Jakarta : Gramedia Widia
Sarana Indonesia
Zeitlin, Irving M. 1998. Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, hal.156
Jurnal :
Brahmantio dan Tri Wibowo, 2002, Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi
Daerah (Studi Kasus Kota Surakarta), Jurnal Ekonomi dan Keuangan Vol.
6, No.1.
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa
Yogyakarta Vol.1, No.1, Januari 2015
Perundang-undangan/ Aturan :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Website / Internet :
http://mediamadura.com/inilah-deretan-kekayaan-migas-sumenep-yang-bikinkepala-geleng-geleng/
http://portalmadura.com/warga-sumenep-miskin-ditengah-ladang-migas 32246/
http://en.wikipedia.org/wiki/Lewis_A._Coser.
http://www.scribd.com/doc/74482130/10/dana-bagi-hasil-sumber-daya-alam/

45

masih sholat

46

Anda mungkin juga menyukai