Anda di halaman 1dari 9

JOURNAL READING

PENANGANAN MEDIS ANGINA STABIL


MEDICAL MANAGEMENT OF STABIL ANGINA

Oleh:
Raisa Cleizera R, S. Ked
Beata Dinda Seruni, S. Ked
Rima Aghnia P S, S.Ked

G 99152085
G 99152086
G 99152088

Pembimbing:
Aminan, dr., Sp. JP(K), FIHA
19650718 200312 1 004

KEPANITERAAN KLINIK KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD SOEHADI PRIJONEGORO
SRAGEN
2016
Pernyataan pada jurnal ini mewakili hasil diskusi panel pakar yang dikelola oleh
Hellenic Cardiovascular Research Society. Informasi lebih lanjut tentang anggota ada di
akhir halaman.
Pernyataan pada jurnal ini berlaku untuk pasien dengan angina stabil yang tidak dapat
menerima terapi revaskularisasi, baik karena tidak ada indikasi atau tidak mungkin dilakukan.
Jurnal ini tidak membahas mengenai prosedur diagnostik dan terapi invasif pada penyakit
jantung iskemik.

Latar belakang ilmiah yang mendasari penulis, terpisah dari artikel yang diterbitkan di
literatur, yaitu pedoman yang ditulis oleh European Society of Cardiology tentang
penanganan

angina

pektoris

stabil

tahun

2006,

pedoman

ACCF/AHA/ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS tentang diagnosis dan penatalaksanaan penyakit


jantung iskemi stabil tahun 2012, dan yang terbaru pedoman NICE tentang angina stabil.
Tujuan penulis yaitu mengevaluasi peran dari strategi pengobatan terbaru yang bertujuan
untuk mengurangi gejala dan meningkatkan prognosis, serta mengatur bukti dan rekomendasi
yang ada tentang karakteristik pasien angina stabil di populasi Yunani, juga membuat
rekomendasi sebagai pertimbangan sistem kesehatan nasional setempat.
Pembukaan
Meskipun sudah ada kemajuan terapi kardiovaskluer terutama terapi invasif untuk
penyakit jantung iskemik, prevalensi angina stabil masih tinggi. Telah diketahui bahwa
angina stabil menaikkan risiko penyakit kardiovaskuler berikutnya dan menurunkan kualitas
hidup pasien. Pada akhirnya pasien dengan angina stabil meningkat morbiditas dan tingkat
rawat inapnya sehingga meningkatkan biaya ekonomis pada orang sehat.
Definisi
Menurut pedoman ESC tentang penatalaksanan angina stabil, angina stabil adalah
kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan rasa tidak nyaman di dada, rahang, pundak,
punggung, atau lengan, terutama dicetuskan oleh penggunaan tenaga atau stress emosional,
dan berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin. Pada sebagian besar kasus
definisi ini mengarah pada kumpulan gejal klinis yang disebabkan oleh iskemi miokardium.
Pada sebagian besar kasus iskemi miokardium, penyebabnya ialah penyakit aterosklerotik
arteri koroner, sehingga terapi angina stabil pada jurnal ini terfokus pada penyakit jantung
iskemi. Sebagian kecil pasien dengan gejala angina pada latihan mungkin terdapat variasi
angina/vasospastik (angina prinzmetal) atau sindrom X. Meskipun aterosklerotik arteri
koroner sering terjadi, perbedaan patofisiologi dan penatalaksanaan jenis-jenis angina
menyebabkan dokter tidak boleh menentukan dugaan berdasar rekomendasi pada jurnal ini.
Epidemiologi
Prevalensi angina di Eropa meningkat seiring pertambahan usia. Pada usia 40-50
tahun masih cukup jarang (<1%), namun pada usia >70 tahun cukup tinggi (10%-20%).
Insidensi angina juga cukup tinggi yaitu 0,5%, namun penulis menganggap angka ini
bervariasi pada tiap populasi, disamping itu data ini diambil dari penelitian yang dilakukan
lebih dari 10 tahun lalu.
Kejadian infark miokard menurun pada negara dengan sistem kesehatan yang maju,
terutama karena efek dari tindakan preventif. Namun pada beberapa negara, kejadian angina
tidak menurun secara berarti meskipun keberadaan terapi reperfusi makin luas. Hal ini

terutama karena perubahan demografi. Data epidemiologi terbaru dari populasi Yunani
jarang. Dari penelitian terbaru dilaporkan bahwa pada populasi jarang. Pada penelitian survei
terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi angina pada populasi orang dewasa Yunani sebanyak
3007 orang (usia 47 16 tahun, 43% laki-laki dan 51,7% perempuan) yaitu 2,5%. Sehingga,
angina masih merupakan masalah klinis penting dengan efek nyata pada kualitas hidup dan
prognosis jangka panjang pada pasien.
Penanganan angina stabil
Langkah preventif non farmakologi hendaknya menjadi landasan penatalaksanaan
angina stabil. Khususnya, yang terpenting ialah berhenti merokok dan penentuan tingkat
latihan individu. Ditambah lagi target terapi yang ditentukan oleh Fifth Joint Task Force of
the European Society of Cardiology tentang preventif penyakit kardiovaskuler di klinis
praktis (misalnya target level lipid dan hipertensi) sebaiknya dipertimbangkan wajib pada
pasien penyakit jantung iskemi dan angina sstabil. Meskipun jurnal ini terfokus pada tata
laksana farmakologis pasien iskemi pada angina stabil, langkah preventif seperti yang telah
disebutkan di atas hendaknya menjadi langkah pertama dan langkah terpenting pada tata
laksana semua pasien dengan penyakit jantung iskemi.
Tata laksana farmakologis angina stabil
1. Terapi beta blocker
Beta blocker mengurangi iskemia dan gejala terutama dengan mengurangi
konsumsi oksigen. Efek protektif anti iskemik terutama lewat mekanisme blokade
reseptor beta-1 adenoreseptor. Beta blockerselektif beta-1 metoprolol ( dosis target
100 mg 2x1), atenolol (dosis target 2x1 atau 50 mg 1x1), dan bisoprolol (dosis target
10 mg 1x1) telah digunakan dengan luas pada angina stabil. Obat-obat ini tidak hanya
didukung oleh bukti dari beberapa dekade terakhir namun juga obat-obat ini
meningkatkan toleransi pada pasien asma dan PPOK. Meskipun begitu, penelitian
terakhir di Yunani, RYTHMOS trial, membuktikan bahwa carvedilol merupakan beta
blocker yang paling sering digunakan meskipun bukan selektif pada beta-1.
Beta blocker telah terbukti mengurangi morbiditas pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik dan infark miokard sebelumnya. Bukti kuat juga telah ada
terkait pasien dengan gagal jantung dan penyakit jantung iskemi. Meskipun tidak ada
keraguan bahwa beta blocker menurunkan gejala dan ambang batas aritmia, data
menunjukkan bahwa beta blocker menguntungkan pada pasien dengan infark miokard
sebelumnya dan/atau dengan disfungsi sistolik dari ventrikel kiri. Sehingga, beta
blocker dipilih sebagai obat pada angina dengan disfungsi ventrikel kiri setelah infark

miokard dan pada pasien dengan gagal jantung, karena efek remodelling balik dan
peningkatan harapan hidup. Prognosis efek pada beta blocker ditunjukkan pada meta
analisis dari atenolol pada hipertensi, yang mana menunjukkan bahwa atenolol
mungkin berhubungan dengan prognosis buruk dibanding dengan angiotensin II
reseptor blocker dan Ca blocker. Ditambah lagi hasil studi observasi longitudinal pada
18.653 pasien yang telah terdatar pada Reduction of Atherothrombosis for Continued
Health (REACH) dan telah diikuti selama 44 bulan telah terbit. Hasilnya yaitu, pada
pasien dengan risiko penyakit arteri koroner, yaitu infark miokard atau pasien
penyakit arteri koroner tanpa infark miokard, penggunaan beta blocker tidak
berhubungan dengan penurunan risiko kejadian penyakit kardiovaskular selanjutnya.
Pada akhirnya, masalah utama pada pasien pada era ini ialah peningkatan risiko
penyakit kardiovaskuler akibat obesitas dan diabetes mellitus. Salah satu keburukan
beta blocker yaitu obat ini mempunyai efek yang tidak diinginkan dari metabolisme
glukosa. Meski begitu, efek buruk ini tidak menutup keuntungan dari penggunaan
beta blocker dengan pasien dengan penyakit arteri koroner stabil.
Kesimpulannya, meskipun terdapat kerugian dari beta blocker, obat ini tetap
digunakan sebagi dasar terapi anti iskemi pada pasien dengan angina stabil.
2. Calcium Channel Blocker
Calcium channel blocker (CCB) mengurangi keluhan angina dengan
menghambat masuknya kalsium melalui membrane sel miokardium, jaringan
konduksi pada jantung, dan otot polos pembuluh darah arteri coroner. CCB yang
sering digunakan dalam pengobatan angina stabil di Greece adalah amlodipin,
diltiazem, felodipin, verapamil dan nifedipine. Diltiazem dan verapamil menurunkan
denyut dan kontraktilitas otot jantung, sedangkan nifedipin, amlodipin, dan felodipin
(dihidropiridin) mempengaruhi aktivasi saraf simpatis sehingga menyebabkan
peningkatan denyut jantung/heart rate. Aktivasi simpatis ini mengimbangi efek
antiangina pada CCB, dengan demikian medikasi denyut jantung dengan obat lain
dibenarkan pada pasien yang menerima obat golongan dihidropiridin ini.
Efek antiangina pada CCB telah dibuktikan dalam beberapa studi dan dapat
dibandingkan dengan efek pemberian terapi beta bloker. Disamping itu CCB telah
secara luas digunakan dalam managemen kasus hipertensi. Namun bukti efek dalam
prognostik yang baik pada pemberian CCB untuk pasien angina stabil masih belum
diteliti lebih dalam. Studi dosis yang tinggi pada short acting nifedipin dapat
meningkatkan mortalitas. Disamping itu dalam salah satu penelitian mengatakan

bahwa short acting nifedipine dapat meningkatkan angka kematian. Sedangkan pada
studi ACTION mengevualuasi peran pemberian CCB pada pasien dengan angina
stabil hipotesis mengenai efek buruk pada nifedipin ditolak. Namun para klinisi perlu
waspada dalam pemberian CCB karena efeknya terhadap gagal jantung pada beberapa
studi.
3. Nitrat
Manfaat penggunaan nitrat jangka panjang telah banyak dievaluasi dalam
beberapa studi yakni pada pasien dengan angina stabil dan pasien post infark miokard
akut. Nitrat telah terbukti menurunkan kejadian angina, meningkatkan toleransi
latihan, dan kualitas hidup khususnya pada kasus angina. Namun belum ada data yang
mendukung gagasan bahwa penggunaan nitrat memberikan manfaat pada pasien
dengan angina stabil. Nitrat banyak digunakan pada pasien jantung karena harganya
yang relatif murah dan dan availibilitasnya yang cukup tinggi. Penggunaan nitrat
jangka pendek dan jangka panjang dikaitkan dengan efek samping berupa sakit
kepala, kemerahan, dan hipotensi. Penggunaan nitrat short acting masih penting
secara klinis meskipun kurangnya efeknya terhadap prognostik, hal ini dikarenakan
nitrat mampu meningkatkan kualitas hidup dan toleransi aktivitas pada pasien dengan
angina stabil. Dalam penggunaan nitrat pasien harus memperhatikan :
a.Efek hipotensi dapat terjadi pada pemberian rapid nitrat
b. Pasien dengan pengobatan long acting nitrat yang sebelumnya menerima
pengobatan short acting akan mengalami penurunan respon dikarenakan fenomena
toleransi.
c.Nitroglycerin spray lebih dianjurkan dibandingkan dengan sediaan tablet karena
lebih stabil bila terkena udara dan tidak mudah membusuk
d. Jika angina berlanjut meskipun penggunaan short acting nitrat sudah tepat, pasien
harus mempertimbangkan

resiko terjadinya iskemia akut dan memerlukan

penanganan lebih lanjut.


4. Ivabradine
Ivabradine merupakan obat yang menurunkan laju denyut jantung yang masih
relative baru. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat pacemaker
jantung channel If. Akibatnya adalah frekuensi denyut jantung yang menjadi lambat.
Ivabradine adalah satu-satunya obat dari kelasnya yang tersedia. Meskipun
patofisiologi ivabradine masih dalam penelitian, ivabradine dianggap memiliki efek
terapeutik dalam aksinya menurunkan denyut jantung melalui penghambatan channel
If yang terletak dalam nodus sinus. Ivabradine tidak menjadi terapi pilihan pada
pasien dengan fibrilasi atrium atau pada pasien dengan disfungsi nodus sinus secara

klinis. European Medicines Agency (EMA) telah menyetujui penggunaan ivabradine


untuk pengobatan simptomatik pada angina pectoris stabil kronik pada dewasa dengan
CAD yang memiliki irama sinus normal, atau memiliki kontraindikasi penggunaan
beta bloker, atau pada terapi kombinasi dengan beta bloker yang belum optimal
dimana denyut jantung masih > 60x/menit. Baru-baru ini EMA menyetujui
penggunaan ivabradine pada pasien dengan gagal jantung kronis NYHA IV dan
disfungsi sistolik yang masih berada dalam irama sinus dan memiliki denyut jantun
75x/ menit dengan atau tanpa terapi standar beta bloker.
Efek antiiskemik dari ivabradine telah dievaluasi dalam sejumlah studi,
termasuk perbandingannya dengan penggunaan beta bloker dan CCB. Menariknya
ivabradine ditunjukkan untuk melipatgandakan perpanjangan waktu latihan.
Mekanisme hipotesis dari penurunan denyut jantung dikarenakan vasokonstriksi apha
adrenergic dari arteri coroner. Dua percobaan acak skala besar telah membuktikan
efek menguntungkan dari ivabradine pada pasien dengan penyakit jantung iskemik
dan pasien gagal jantung melalui percobaan Beautiful dan percobaan Shift.
Percobaan beautiful menggunakan 10.917 pasien dengan CAD dan fraksi ejeksi LV <
40%. Pasien yang dipilih adalah pasien dengan denyut jantung saat istirahat 60 /min
dan diikuti selama 19 bulan. Studi ini menyimpulkan bahwa penurunan denyut
jantung dengan penggunaan ivabradine tidak meningkatkan cardiac outcome pada
pasien dengan CAD stabil dan disfungsi sistolik, namun dapat menurunkan insidensi
dari CAD pasien dengan denyut jantung 70x/menit. Selanjutnya pasien dengan
angina turun sebanyak 25%. Pasien dengan angina yang memiliki denyut jantung
70x/menit turun sebanyak 31 %. Studi lain yakni percobaan shift yang menggunakan
6558 pasien selama 22 bulan yang memiliki gejala gagal jantung NYHA kelas II IV
dan fraksi ejeksi kurang dari 35%, 70x/menit, dan normal sinus rhythm yang telah
dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung sebelumnya dan dalam pengobatan stabil
dengan beta bloker. Secara keseluruhan ivabradine memiliki profil keamanan yang
menguntungkan. Efek samping yang paling umum terkait dengan penggunaan
ivabradine adalah bradikardi. Dalam studi beautiful 6% dari pasien dalam kelompok
ivabradine menunjukan denyut jantung < 50x/menit. Namun hanya 23% pasien yang
memiliki gejala simptomatis, dan 37 pasien (0,3%) mengundurkan diri karena gejala
penglihatan seperti phosphenes, penglihatan kabur. Gejala ini hilang setelah
penghentian obat.
5. Ranolazine

Ranolazine merupakan derivat piperazine yang dalam dosis terapinya bekerja


dengan cara menghambat masuknya Na+ dan mencegah terjadinya kelebihan Ca++ di
dalam sel. Efek ranolazine sangat banyak ditemukan pada kasus iskemia dan/atau
hipoksia, yang mana terhambatnya Na+ ke dalam sel lebih signifikan dalam
mempengaruhi kontraktilitas dan konsumsi energi dari sel miokard.
Menurut EMA, ranolazine diindikasikan sebagai terapi tambahan pada pasien
angina pectoris stabil yang intoleran terhadap terapi anti angina lini pertama seperti
beta blocker atau (CCB).
Ranolizine telah terbukti dalam meningkatkan aliran darah miokard yang
dideteksi dengan teknik imaging perfusi miokard. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Marisa, Carisa, dan Erica, telah terbukti bahwa ranolazine memiliki efek anti
iskemik sebagai monoterapi dan terapi tambahan pada beta blocker serta CCB. Pada
penelitian tersebut ditemukan bahwa jumlah episode angina dan kebutuhan akan
penggunaan nitrat berkurang sebanyak 25% pada kelompok yang diberikan
ranolazine.
Merlin dan Timi melakukan penelitian untuk mengevaluasi peran ranolazine di
6560 pasien dengan angina tidak stabil serta non ST-elevasi miokard infark
(NSTEMI). Pada 3565 pasien, didapatkan bahwa episode angina berkurang. Selain
itu, dalam penelitian ini ditemukan bahwa ranolazine signifikan meningkatkan HbA
(1c) dan episode iskemia berulang pada pasien dengan diabetes mellitus.
Ranolazine secara signifikan mengurangi kejadian non-berkelanjutan ventrikel
takikardia dan supraventricular takikardia pada umumnya. Selain itu, ada
kecenderungan bahwa ranolazine dapat mengurangi terjadinya onset baru atrial
fibrilasi. Sebuah studi telah memverifikasi sifat antiaritmia dari ranolazine. Ranolizine
telah terbukti dapat menurunkan keadian aritmia ventricular pada pasien dengan ICD,
mencegah terjadinya atrial fibrilasi setelah dilakukan bypass grafting arteri koroner,
memfasilitasi kardioversi listrik pada pasien yang resisten terhadap kardioversi, dan
untuk memfasilitasi kardioversi farmasi pada atrial fibrilasi onset baru. Masih
dilakukan penelitian tentang sifat antiaritmia dari ranolazine yang dirancang khusus
dalam skala besar dan diharapkan dapat memberikan hasil yang baik untuk masa
depan. Selain itu, harus dipertimbangkan bahwa ranolizine telah terbukti mengurangi
aritmia ventrikuler dan aritmia supraventrikuler pada pasien dengan angina stabil dan
pada pasien angina tidak stabil atau NSTEMI. Efek samping dari penggunaan
ranolazine adalah pusing, sakit kepala, sembelit, mual, dan muntah.

Algoritma untuk tata laksana farmakologis pasien dengan angina stabil


bertujuan untuk mengurangi gejala dan iskemia

Bagan 1

1. Nitrat short acting dapat digunakan bila diperlukan dengan semua terapi yang
disebutkan sebelumnya. Namun, efek yang ditimbulkan dapat berkurang pada pasien
yang menggunakan nitrat long acting.
2. Lebih digunakan dalam kasus hipertensi, hindari penggunaan pada gagal jantung
karena disfungsi sistolik ventrikel kiri. Jika CCB merupakan kontraindikasi atau
intoleran, gunakan algoritma berbasis denyut jantung.
3. Lebih digunakan pada kasus atrial fibrilasi.
4. Digunakan pada pasien dengan irama sinus normal serta pada kasus gagal jantung
sistolik.
Pada bagan 1, telah disimpulkan rekomendasi tata laksana farmakologis pada
pasien dengan angina stabil yang bertujuan untuk mengurangi gejala dan iskemia.
Dalam artikel ini, telah dievaluasi peran beta-blocker, CCB, nitrat, ivabradine dan
ranolazine. Penggunaan nitrat short acting lebih dipertimbangkan bagi pasien dengan
episode angina yang sering terjadi
Beta blocker dan CCB merupakan terapi yang penting bagi pasien angina
stabil. Obat ini tersedia secara luas, terjangkau, dan telah banyak digunakan untuk
mengobati angina stabil. Namun beta blocker dan CCB merupakan dua grup substansi
inhomogen dengan kemampuan terapetik bervariasi. Klinisi harus waspada terhadap
kelebihan dan batasan masing-masing terapi. Untuk terapi dengan beta blocker, klinisi
harus mengetahui meskipun atenolol dan metoprolol sudah dipelajari untuk penyakit
jantung iskemi, pada saat ini carvedilol dan nebivolol lebih banyak digunakan karena

efek metabolik yang lebih menguntungkan, walaupun masih kurangnya penelitian


tentang hal itu.
Jika pasien tetap mengeluhkan gejala walaupun telah menggunakan dosis
optimal beta blocker dan/ atau CCB, disarankan untuk menggunakan ivabradine atau
ranolazine. Klinisi harus titrasi dosis toleransi maksimum beta-blocker, sebelum
menambahkan obat baru.
Menurut algoritma di atas, pilihan antara ranolazine dan ivabradine harus
berdasarkan jumlah denyut jantung. Dipilih batas pada kisaran 70x/ menit karena
berdasarkan penelitian Beautiful, ivabradine meningkatkan prognosis hanya pada
pasien dengan denyut jantung saat istirahat di atas 70x/ menit. Tentu saja salah satu
pendapat berdasarkan fakta bahwa EMA telah menyetujui penggunaan ivabradine
pada pasien dengan denyut jantung di atas 60x/ menit. Namun pada pasien dengan
denyut < 70x/ menit, ivabradine tidak memberikan efek positif. Selain itu, persetujuan
EMA dikeluarkan setelah penelitian Beautiful dipublikasikan. Dengan tambahan,
penggolongan pasien berdasarkan denyut jantung 70x/ menit telah ditetapkan sebelum
penelitian Beautiful. Penelitian Beautiful hanya memasukkan pasien dengan
gangguan sistolik, namun dapat dipahami bahwa hasil penelitian tersebut dapat
berubah karena banyak penelitian lain yang membahas angina stabil tanpa gangguan
sistolik. Akhirnya, pasien dengan gagal jantung sistolik akan lebih mendapatkan
manfaat dengan ivabradine (penelitian shift) dan harus menghindari penggunaan ccb.
Pada pasien dengan denyut jantung < 70x/ menit dan dengan atrial fibrilasi,
penggunaan ranolazine perlu dipertimbangkan. Ranolazine telah terbukti memiliki
efek anti angina terutama bila dikombinasikan dengan beta blocker dan atau CCB.
Selain itu, ranolazine dapat ditoleransi dengan baik dan dapat mengurangi kejadian
supraventikuler, atrial fibrilasi, dan ventrikuler takikardi. Nitrat long acting masih
menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah didapat. Namun nitrat long acting tidak
memiliki efek dari prognosis; maka dari itu penggunaanya hanya boleh digunakan
pada perbaikan gejala.

Anda mungkin juga menyukai