Anda di halaman 1dari 8

TUGAS PELAJARAN

AGAMA ISLAM
GAMBARAN HARI KIAMAT

OLEH:
RAHMAT HIDAYAT

Gambaran Peristiwa Hari Kiamat dalam Hadis


Nabi
Musidul Millah
Ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang mengambil tempat tidak sedikit
dalam ayat-ayat Al-Quran. Pertama adalah uraian serta pembuktian tentang keesaan
Allah swt dan kedua adalah uraian dan pembuktian tentang hari akhir. Al-Quran dan
hadis Nabi saw tidak jarang menyebut kedua hal itu saja untuk mewakili rukun-rukun
iman lainnya.
Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan
kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan
keimanan kepada hari akhir. Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal
perbuatan, sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya dengan keyakinan
tentang adanya hari kemudian. Karena kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya
ditemukan di hari kemudian nanti.
Istilah kiamat menempati posisi penting dalam al-Quran. Hal ini terlihat dari pemberian
nama-nama surat yang jika dibandingkan dengan konteks-konteks lainnya, hanya
konteks Kiamat saja yang disebutkan dalam sepuluh surat, yaitu: al-Waqiah, al-Haqah,
al-Qiyamah, al-Naba (berita besar), al-Takwir (menggulung), al-Infithar (terbelah), alGhasyiah (peristiwa yang dahsyat), al-Zilzalah (kegoncangan), dan al-Qariah. Di
samping surat-surat ini, ada beberapa surat ang tidak secara langsung bermakna Hari
Kiamat, tetapi sebagian besar isinya mengenai Hari Kiamat, seperti surat Yasin.[1]

Persoalan Kiamat juga tidak terlepas dari nabi Muhammad saw yang turut
menggambarkannya melalui hadis-hadis futuristik yang bagaimanapun perlu disikapi
dengan bijaksana. Hadis-hadis yang begitu populer di kalangan umat Islam belakangan
ini tampaknya kurang begitu populer di kalangan sahabat Nabi saw. Begitu penting dan
dahsyatnya informasi yang terkandung di dalamnya, hanya segelintir saja sahabat yang
meriwayatkan hadis-hadis tersebut, padahal seharusnya informasi penting semacam ini
diketahui para sahabat secara merata, dengan indikasi mutawatir. Karena, meskipun di
kalangan para sahabat hadis yang mengandung informasi ramalan itu tidak
mutawatir, tetapi pada generasi berikutnya diriwayatkan secara mutawatir. Terlepas
dari tawatur tidaknya riwayat tersebut, terdapat sanad shahih yang membawa informasi
tersebut, sehingga cukup alasan mempercayai hadis-hadis yang sulit dijangkai akal itu.

[2] Begitu pula dengan hadis yang menggambarkan Hari Kiamat, dengan kondisi yang
tidak jauh berbeda dengan hadis-hadis futuristik yang lain tentunya menuntut kita
untuk menentukan sikap, apakah masih perlu diperdebatkan? Atau cukup dengan sikap
tawaquf. Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan bagi siapapun yang
membacanya. Juga bagi penulis pribadi.

Hadis tentang gambaran hari kiamat


Karena banyaknya hadis yang memberikan informasi mengenai gambaran Hari Kiamat,
penulis membatasinya pada hadis yang melukiskan kondisi manusia pada saat itu
dalam keadaan berkeringat, bahkan ditegaskan air keringat yang keluar mampu
menenggelamkan mereka sampai batas telinga. Hadis yang dimaksud adalah hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya: [3]












()
Artinya: Rasulullah saw pernah bersabda: Pada hari kiamat manusia akan berkeringat
sampai-sampai keringat mereka mengalir sebanyak tujuh puluh hasta, dan
menenggelamkan mereka hingga mencapai telinga mereka. (H.R. al-Bukhari)
Setelah dilakukan proses takhrij berkenaan dengan hadis tadi, dapat kita jumpai bahwa
ternyata ada hadis lain yang bernada sama dengan hadis di atas. Hadis-hadis tersebut
dapat dilacak didalam kitab:
H.R. Muslim, Shahih Muslim, no. 5107.[4]









H.R. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, no. 9058.[5]









Dari penelusuran hadis melalui proses takhrij dapat diketahui bahwa hadis tersebut
merupakan hadis ahad gharib karena hanya diriwayatkan oleh Ab Hurairah saja, namun
demikian, ternyata hadis ini juga digambarkan dengan redaksi lain yang kesemuanya
mendeskripsikan kejadian yang sama, di antaranya:
]2. H.R. al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, no. 2345.[7



















]3. H.R. Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, no. 22696.[8










Gambaran peristiwa Hari kiamat


Secara leksikal, kiamat (qiyamah) berarti bangkit. Dinamakan demikian karena memang
pada saat itu manusia akan dibangkitkan kembali dari kuburnya untuk kemudian
menghadap Sang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan, Allah
swt.[9] Lebih spesifik lagi, al-Quran menggambarkan kedahsyatannya dengan
menyebutkan bahwa Hari Kiamat merupakan Hari (ketika) seseorang tidak berdaya
sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam
kekuasaan Allah. (Q.S. al-Infithar: 19). Di dalam al-Quran, banyak ayat yang
menggambarkan betapa hebat dan dahsyatnya peristiwa Kiamat yang secara umum
melukiskan kehancuran seluruh kosmos secara total, bukan kehancuran pada bagian
tertentu saja.
Peristiwa Kiamat, berdasarkan al-Quran, dimulai dengan peniupan sangkakala yang
pertama. Peniupan ini mengakibatkan matinya semua makhluk -kecuali bagi yang
dikehendaki oleh Allah- dan hancurnya alam semesta secara keseluruhan. Al-Ghazali,
dalam hal ini, menganggap bahwa yang dikehendaki oleh Allah untuk tetap hidup pada
saat itu adalah malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Ada jarak waktu antara peniupan
sangkakala yang pertama dan kedua, al-Ghazali menyatakan bahwa jeda antara
keduanya adalah selama 40 trahun. Kemudian setelah terjadi kehancuran total malaikat
Israfil meniupkan sangkakala yang kedua untuk membangkitkan manusia, Allah swt
akan memerintahkan malaikat Izrail untuk mencabut nyawa secara berturut-turut:
malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan dirinya sendiri (Izrail). Pada saat manusia menunggu
terjadinys Putusan Pengadilan, ketika itulah semua makhluk benar-benar menyadari
kelengahannya selama di dunia, karena saat itu merupakan hari ketika manusia
mempertanggungjawabkan amal yang telah diperbuat selama di dunia.[10] Dan semua
itu akan mendapatkan balasan yang setimpal. Sebagaimana difirmankan Allah: Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan
melihat (balasan)nya.dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S. al-Zilzalah: 7-8)

Penjelasan hadis Gambaran Peristiwa Hari


Kiamat
Ibnu Hajar dalam karyanya Fath al-Bari menyatakan bahwa selain memiliki syahid yang memiliki
redaksi serupa, ternyata hadis tersebut juga memiliki variasi redaksi yang beragam. Dan ketiak
menghimpun semua itu, beliau menyimpulkan bahwa term al-nas di sana memberikan penegasan
hanya kepada orang kafir saja. Di dalam kitabnya tersebut, beliau secara terang-terangan mengutip
hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi yang menyatakan bahwa orang yang akan tenggelam
dalam keringatnya sendiri adalah orang kafir, beliau menambahkan bahwa hari itu (Kiamat) akan
terasa sangat berat sampai-sampai orang kafir tenggelam dalam keringatnya sendiri, sedangkan
orang-orang mukmin duduk di atas kursi yang terbuat dari emas dan mereka dinaungi oleh amal
yang telah diperbuat padahal saat itu matahari berada di atas kepala manusia. Namun beliau
memberikan catatan bahwa sebenarnya kondisi mereka nanti tidaklah sama, masing-masing
berbeda sesuai dengan amal perbuatannya. Yang secara jelas disebutkan dalam hadis lain yang
menggambarkan bahwa setiap orang akan mendapatkan perlakuan sesuai dengan amalnya.
Adapun redaksinya diungkapkan dengan menyebutkan perbedaan batas kedalaman setiap orang
ketika keringat terus mengalir, dan hal tersebut dapat dijadikan ukuran akan amal seseorang.
Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata bahwa secara tersurat hadis tersebut memang
diperuntukkan bagi semua manusia tanpa terkecuali, akan tetapi ternyata ada hadis-hadis lain yang
menunjukkan adanya pengkhususan terhadap sebagian besar orang saja. Sedangkan dzira dapat
dipahami seperti pada umumnya, namun ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah
ukuran dzira malaikat, dan jika memang demikian maka tidak dapat dibayangkan betapa besarnya
ketakutan pada hari tersebut, hari ketika api mengelilingi tanah, matahari mendekat kira-kira satu
mil, dan hari di mana ketakutan tidak dapat disembunyikan lagi sehingga dapat dibayangkan betapa
panasnya pada saat itu sampai keringatpun bercucuran hingga mencapai 70 hasta, padahal setiap
orang hanya memiliki ruang sebesar telapak kakinya saja. Jika memang setiap orang mendapatkan
perlakuan berbeda, lantas bagaimana dengan gambaran di atas beserta keaneka ragaman orang
yang berada di sana? Beliau menegaskan bahwa ini memang merupakan perkara yang tidak dapat
dicerna akal dengan mudah dan hanya menuntut pengimanan.[11]
Dengan jawaban lain, Ibnu al-Malik menyatakan bahwa bolen jadi Allah mengatur ketinggian tempat
berpijak setiap orang, atau kalau pun tidak bisa saja Allah swt menahan keringat manusia sesuai
dengan amalnya agar tidak mengenai yang lain sebagaimana Allah menahan laju ombak ketika nabi
Musa menyebrangi lautan. Pendapat ini juga diamini oleh al-Qariy dengan pernyataannya bahwa
dua orang yang dikubur berdampingan, yang satu mendapatkan adzab, sedangkan yang lainnya

mendapatkan nikmat maka tidak satu pun dari mereka merasakan apa yang dirasakan oleh orang
lain.[12] Hal semacam ini dapat diterima mengingat peristiwa tersebut merupakan bagian dari halhal gaib yajng juga wajib diimani, sehingga barang siapa yang memilih untuk bertawaqquf ketika
dihadapkan dengan hadis ini maka sebenarnya ia telah menyesali perbuatannya dan merasa
rendah diri di hadapan-Nya. karena di sisi lain berita semacam ini juga berfungsi untuk
memperingatkan manusia akan pastinya Hari Kiamat.[13]

Syafaat pada Hari Kiamat


Al-quran menginformasikan bahwa pada saat terjadinya Pengadilan, tidak seorang pun di antara
manusia yang dapat mengelak dan menyembunyikan sesuatu dari pemeriksaan Allah swt. Mulut
manusia ditutup, dan yang menjadi saksi atas perbuatan mereka adalah anggota badan mereka
sendiri.[14] Dan al-Ghazali meyakini bahwa Allah dapat saja memalingkan seseorang yang akan
meninggal dunia yang semula adalah orang mukmin menjadi orang yang sesat, demikian pula
sebaliknya, Allah dapat pula memalingkan manusia yang semula sesat menjadi mukmin. Jika Allah
menghendaki agar hambanya mendapatkan petunjuk (hidayah)-Nya dan agar semakin kokoh
imannya, maka akan datang suatu rahmat dari sisi-Nya. Syafaat tersebut bagi al-Ghazali, akan
dikabulkan oleh Allah dan para nabi, para ulama, dan orang-orang saleh. Bahkan setiap orang yang
berperilaku baik dapat memberikan syafaat kepada istri, kerabat, dan teman-temannya. Di sisi lain,
Fazlur Rahman mengakui bahwa Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan menduduki tema sentral
dalam dalam takdir Tuhan atas manusia, dan pada saat yang sama ia jugamengatakan bahwa nasib
kehidupan seseorang di akhirat sangat bergantung pada perbuatannya di dunia dalam rentang
masa kelahiran dan kematian. Implikasinya, manusia sendirilah yang akan menentukan
perjalanannya kelak di Hari Kebangkitan sekalipun sesungguhnya sudah berada dalam takdir dan
pengetahuan Tuhan. Karena sesungguhnya manusialah yang merupakan pencipta nasibnya sendiri
baik di masa kini maupun masa datang, lanjut Rahman. Sehingga, dari sinilah Rahman menolak
gagasan syafaat serta pertaubatan ketika sekarat karena pada saat itutelah tertutup baginya untuk
beramal saleh, berbeda dengan al-Ghazali yang justru menegaskan hal sebaliknya.
Berangkat dari firman Allah swt yang berbunyi: Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum

datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at, dan orang-orang
kafir Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 254)
Rahman menyatakan bahwa ayat ini menunjukan adanya kesesuaian bahwa rahmat Allah memang
tidak terbatas. Akan tetapi ternyata dalam beberapa hadis disebutkan bahwa syafaat para nabi
kepada kaumnya yang berdosa, terutama syafaat nabi Muhammad saw, dapat diberikan. Ketidak
setujuan Rahman dapat dimaklumi, mengingat beliau menganggap tidak ada satu pun yang dapat
menolong manusia di dalam ketidak berdayaan dan kesendiriannya di Hari Kiamat nanti dan adanya
anggapan bahwa keyakinan terhadap hadis syafaat justru malah akan mengendurkan keketatan niai
moral dengan munculnya sifat tasahhul.[15] Akan tetapi seharusnya Rahman dapat memperlakukan
hadis-hadis tersebut secara proporsional tidak mengesampingkan kenyataan bahwa hadis-hadis
tersebut juga patut dipertimbangkan sebagai hujjah penggambaran luasnya rahmat Allah swt.

Kesimpulan dan Penutup


Dari pemaparan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang pantas digaris bawahi; pertama,
peristiwa datangnya Hari Kiamat dengan jelas telah dipastikan di dalam al-Quran dan digambarkan
lebih lanjut melalui hadis-hadis Nabi saw; kedua, apresiasi yang diberikan oleh para ulama
berkenaan dengan hadis-hadis futuristik bukanlah sebuah kemutlakan yang harus diikuti, namun
paling tidak ada secercah harapan yang dapat meningkatkan keimanan kita; ketiga, kesulitan dan
kesusahan yang tergambar dari hadis-hadis tersebut merupakan gambaran yang lebih mudah
dicerna oleh akal, pun demikian secara substansi sama sekali tidak mengurangi bukti akan Kemaha
Kuasaan Allah swt atas segala sesuatu -syafaat merupakan salahnya- dan pembalasan dilakukan
sesuai dengan amal perbuatan masing-masing; keempat, mungkin lebih bijak jika tawaquf
merupakan alternatif yang patut dipilih, meskipun kita sadari bahwa tema-tema futuristik ternyata
juga mampu memberikan rangsangan hebat terhadap akal, karena dengan demikian kita mengekui
kelemahan dan kekurangan kita. Wallahu alam bi al-shawab.

Anda mungkin juga menyukai