Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Trauma
kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen ( PERDOSSI, 2006 dalam Asrini, 2008 ).
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma
pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak
langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan
dapat menyebabkan kematiaan. Kejadian cedera kepala di bumi ini diperkirakan pertama
kali terjadi pada sekitar juta tahun yang lalu, dibuktikan dengan ditemukannya kerusakan
tulang tengkorak pada pendahulu manusia yang sekarang dinamakan Australopithecus
africanus. Kerusakan yang ditemukan yaitu terdapat dua garis fraktur berdekatan di daerah
posterior tulang tengkorak yang sesuai dengan kondilus tulang humerus antilop yang
ditemukan berdekatan dan diduga sebagai alat yang digunakan untuk membunuh dari arah
belakang. Cedera-cedera seperti tersebut juga ditemukan pada hominid yang sudah berjalan
tegak pada Homo erectus seperti yang berasal dari Jawa (lebih dari 300.000 tahun lalu),
Peking (lebih dari 100.000 tahun lalu), dan Neanderthal (lebih dari 40.000 tahun lalu) (Rose
F.C, 2006).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
1
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga
dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal.
Penderita cedera kepala sedang pada umumnya masih mampu menuruti perintah
sederhana, namun penderita tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai deficit
neurologis fokal seperti hemiparesis, sebanyak 10-20% dari penderita cedera kepala sedang
mengalami perburukan dan jatuh dalam koma, untuk itu penderita harus dikelola secara
intensif dimana harus dilakukan observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama
12-24 jam pertama. (IKABI, 2004). Kondisi penderita seperti ini dapat menimbulkan
gangguan kesadaran. Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini untuk menilai
digunakan metode glasgow coma scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) merupakan
instrumen standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien trauma
kepala. Glasgow coma scale (GCS) merupakan salah satu komponen yang digunakan
sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien.
Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko
kematian di awal trauma. Dari GCS dapat diperoleh informasi yang efektif mengenai pasien
trauma kepala. Sesuai klasifikasinya yaitu penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS.
Menurut Brunner & Suddarths (2004), Tekanan intracranial (TIK) adalah tekanan yang
terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang
terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan
komposisi volume relative konstan. Tekanan intrakranial normal berkisar antara 0-10 mmHg
atau 0-136 mmH2O pada orang dewasa. Tekanan intracranial bayi adalah 40-100 mmH2O
(3,0-7,5 mmHg). Pada keadaan normal TIK rata-rata tidak boleh melebihi 10 mmHg. TIK
yang melebihi 15 mmHg harus dicari penyebabnya dan perlu diawasi lebih lanjut. Pada
umumnya, monitoring TIK diindikasikan pada semua pasien yang koma dengan cidera
2
kepala, dan dengan pasien dengan penurunan status neurologi dengan CT scan abnormal.
Maka sebagai perawat tugas kita sangat penting untuk menyelamatkan hidup klien serta
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas dengan melakukan asuhan keperawatan klien
dengan trauma kepala yaitu memantau agar tidak terjadi infeksi dan melakukan perawatan
yang benar sesuai dengan pedoman keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari kepala?
2. Bagaimana aspek fisiologis dari trauma kepala?
3. Apa definisi trauma kepala?
4. Apa saja area yang terkena pada trauma kepala?
5. Bagaimana etiologi trauma kepala?
6. Apa manfestasi klinis trauma kepala?
7. Apa saja klasifikasi trauma kepala?
8. Bagaimana patofisiologi trauma kepala?
9. Bagaima WOC trauma kepala?
10. Apa saja pemeriksaan diagnostic untuk trauma kepala?
11. Apa saja komplikasi yang bisa ditimbulkan dari trauma kepala?
12. Bagaimana penatalaksanaan trauma kepala?
13. Bagaimana prognosis trauma kepala?
14. Bagaimana konsep monitoring ICP?
15. Bagaimana konsep asuhan keperawatan trauma kepala?
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan trauma kepala di unit
gawat darurat.
1.3.2
Tujuan khusus
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari kepala.
2. Mengetahui aspek fisiologis dari trauma kepala.
3. Mengetahui definisi trauma kepala.
3
BAB 2
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Kepala
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
b. Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis,
namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Syaifuddin
2006).
5
c. Selaput otak
Selaput otak terdiri dari tiga lapisan:
1. Durameter
Adalah meningens terluar yang merupakan gabungan dari dua lapisan
selaput yaitu: lapisan bagian dalam (yang berlanjut ke durameter spinal) dan
lapisan bagian luar (yang merupakan lapisan periosteum tengkorak). Lapisan
bagian dalam akan melebar serta melekuk membeentuk sekat-sekat otak (falks,
tentorium). Lapisan bagian luar merupakan jaringan fibrosa yang lebih padat dan
mengandung vena serta arteri untuk memberi makan tulang. Gabungan kedua
lapisan ini melekat erat dengan permukaan dalam tulang sehingga tidak ada celah
diantaranya. Kedua lapisan durameter ini pada lokasi-lokasi tertentu akan
terpissah dan membentuk rongga (sinus durameter) berisi darah vena serta
berfungsi untuk drainase otak. Dibawah durameter terdapat rongga subdural yang
tidak berisi liquor cerebro spinalis.
2. Arakhnoid
Arakhnoid merupakan lapisan tengah antara durameter dan piameter. Di
bawah lapisan ini adalah rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula dan
dialiri liquor cerebro spinalis. Lapisan arakhnoid tidak memiliki pembuluh darah,
tetapi pada rongga subarakhnoid terdapat pembuluh darah.
3. Piameter
Piameter merupakan lapisan selaput otak yang paling dalam yang
langsung berhubungan dengan permukaan jaringan otak serta mengikuti
konvolusinya (Syaifuddin 2006).
d. Otak
melakukan
interpretasi
terhadap
objek
yang
10
(Satyanegara.2010).
2.2 Fisiologi Trauma Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4
10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia.Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari
20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti
gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal.
Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK
secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan,
konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Doktrin Monroe-Kellie menyatakan
bahwa volume total dalam kranium selalu tetap karena tulang tengkorak tidak elastis
sehingga tidak bisa mengembang jika ada penambahan volume. Pada kondisi normal,
volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% LCS, dan 10% darah.
Peningkatan volume dari salah satu komponen ini, atau adanya tambahan komponen
patologis (misalnya hematom intrakranial), akan menimbulkan kompensasi melalui
penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan.
11
dari
tulang
tengkorak
(Hudak
and
Gallo,
2010).
12
13
Nilai normal CPP adalah 60 150 mmHg, mekanisme autoregulator dari otak
mengalami kerusakan akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau kurang dari
60 mmHg. Klien dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan disfungsi
neurologis yang tidak dapat pulih kembali. Hal ini terjadi disebabkan oleh penurunan
perfusi serebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan mengakibatkan
hipoksia serebral (Smeltzer and Bare, 2002).
2.3. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. Cedera dibagi menjadi 2 yaitu
cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi
pada otak segera setelah trauma. Cedera otak sekunder meerupakan kerusakan yang
berkembang kemudian sebagai komplikasi (Pierce dan Neil 2006).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu mendapatkan penanganan
yang cepat. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan
penderita. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (Suriadi & Rita
Yuliani, 2001).
2.4 Area yang Terkena
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.
Fraktur dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur tengkorak : Fraktur tengkorak ialah terjadinya diskontinyuitas jaringan tulang
yang melindungi otak dan struktur lain yang meliputinya, terdiri dari :
14
a. Fraktur linear : Merupakan trauma yang umumnya terjadi, sering terjadi pada anak.
Fraktur linear merupakan kerusakan yang simple pada jaringan tengkorak yang
mengikuti garis lurus. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya trauma kepala
ringan( terjatuh, terpukul, kecelakaan sepeda motor ringan ). Fraktur linear bukanlah
trauma yang serius kecuali pada trauma yang agak berat dapat mengenai jaringan
otak.
b. Fraktur impresi : Hal ini umumnya terjadi setelah bertabrakan dengan kekuatan
besar dengan benda tumpul seperti : palu, batu, atau benda berat lainnya. Trauma ini
dapat menyebabkan lekukan pada tulang tengkorak dan menekan jaringan otak.
Apabila kedalaman dari fraktur impresi ini sama dengan ketebalan tulang tengkorak
( - inchi ), operasi selalu dilakukan untuk mengangkat potongan tulang dan
untuk melihat kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma ini. Fraktur impresi yang
minimal lebih tipis dari ketebalan tulang. Fraktur ini umumnya tidak perlu dioperasi
kecuali dijumpai kerusakan lain. Fraktur ini dapat merobek dura mater dan merusak
jaringan otak dibawahnya serta menimbulkan perdarahan.
c. Fraktur basiler :merupakan fraktur yang terjadi dasar tengkorak yang diakibatkan
dari trauma tumpul yang berat pada kepala dengan kekuatan yang signifikan. Fraktur
basiler umumnya mengenai rongga sinus. Hubungan ini dapat menyebabkan udara
atau cairan masuk kedalam tengkorak dan menyebabkan infeksi. Pembedahan
umumnya tidak diperlukan kecuali ditemukan kerusakan lain (Musliha, 2010).
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
Perdarahan Intra cranial terdiri dari:
a. Subdural Hematom :Merupakan perdarahan yang terjadi diantara jaringan otak dan
duramater. Biasanya terjadi di daerah parietal. Peregangan dan robekan pada
bridging vein diantara otak dan duramater merupakan penyebab dari tipe perdarahan
ini. Subdural hematom terjadi secara akut, terjadi secara tiba tiba setelah trauma,
atau kronik, proses akumulasi yang lambat terjadi setelah trauma. Subdural hematom
kronis umumnya terjadi pada usia tua yang mempunyai bridging vein yang rapuh
dan teregang dan dengan mudah dapat mengalami perdarahan setelah trauma ringan.
Bila terjadi akut, hal ini menunjukkan trauma kepala yang berat. Sering perdarahan
subdural baru manifest setelah 2-3 minggu paska trauma. Dapat terjadi sakit kepala,
15
Kecelakaan industri
Kecelakaan olahraga
Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Insiden cedera kepala dua kali lebih besar dialami oleh pria dibandingkan wanita dan
paling tinggi terjadi pada kelompok remaja, dewasa muda, dan lansia di atas 75 tahun
16
(Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Remaja berumur 15-17 tahun mempunyai
angka tabrakan lebih dari dua kali per 1.000 pengemudi yang terjadi 4 jam sebelum atau
sesudah tengah malam dengan penyebab utama penggunaan alkohol (Behrman, Kliegman,
& Alvin, 2000). Lansia beresiko tinggi untuk terjadinya kepala bisa disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya: atrofi kortikal pada lansia yang memungkinkan otak memiliki
ruang yang lebih luas dalam rongga kranial, lansia yang hidup sendiri, sinkop, disritmia
jantung, sering berkemih pada malam hari yang menyebabkan lansia sering bolak-balik ke
kamar mandi, riwayat stroke, serta penggunaan antikoagulan (Morton, Dorrie, Carolyn, &
Barbara, 2008).
2.6 Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa tanda
dan gejala, antara lain:
1. Cedera ringan
Tanda dan gejalanya:
a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran
b. Periode konfusi (kebingungan) transien
c. Somnolen
d. Gelisah
e. Iritabilitas
f. Pucat
g. Muntah (satu kali atau lebih)
2. Tanda-tanda progresitivitas
a. Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)
b. Agitasi memuncak
c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang
tampak jelas
3. Cedera berat
Tanda dan gejalanya:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu tidaknya fraktur
tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran, dan kerusakan jaringan otak
(Tarwoto, 2013).
1. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar
Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf yang ada di otak,
merobek durameter yang dapat mengakibatkan perebesan serebrospinal. Kemungkinan tanda dan
gejala yang muncul, antara lain:
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga
(otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
c. Perdarahan di belakang membran timpani
d. Ekimosis periorbital
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf kranial dan kerusakan
pada bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul, antara lain:
a. Perubahan tajam penglihatan karena terjadi kerusakan pada nervus optikus
b. Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada nervus auditorius
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata karena
d.
e.
f.
g.
18
2.7 Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, antara lain (Hernanta, 2013):
1. Mekanisme trauma kepala
Trauma kepala dibagi atas trauma kepala tumpul dan trauma kepala tembus. Trauma
kepala tumpul bisanya disebabkan oleh kecelakaan mobil motor, jatuh, atau pukulan benda
tumpul. Sedangkan trauma tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput durameter menjadi indikasi apakah suatu trauma termasuk trauma tembus atau tumpul
(Hernanta, 2013).
2. Beratnya trauma
Untuk menilai beratnya trauma dilakukan pemeriksaan Glaslow Coma Scale (GCS).
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita trauma kepala (Hernanta, 2013).
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
Jika GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrogade. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
serebral maupun hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Jika GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrogade lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Jika GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalamai kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intrakranial.
Tebel 1. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)
19
3. Morfologi trauma
Trauma kepala berdasarkan morfologi trauma dibagi atas fraktur kranium dan lesi
intrakranial (Hernanta, 2013).
a. Fraktur kranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat terbentuk garis atau bintang, serta
dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya diperlukan
pemeriksaan CT scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadi petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
yang lebih rinci . tanda dan gejalanya yaitu:
1. Ekimosis periorbital (racoon eye sign)
2. Ekimosis retro aurikuler (battle sign)
3. Kebocoran cairan serebrospinal (rhonorrea, ottorhea), dan
4. Parese nervus fasialis (N VII)
b. Lesi intrakranial
20
Diklasifikasikan menjadi lesi lokal dan lesi difus, walaupun keduanya sering terjadi
bersamaan.
1. Lesi lokal
Yang termasuk lesi lokal adalah
a. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural adalah akumulasi darah diantara dura dan struktur
bagian dalam otak, yang biasanya disebabkan oleh laserasi arteri ekstradural
(Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Ciri dari perdarahan epidural
adalah berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung (Hernanta,
2013). Klien dengan perdarahan epidural awalnya dapat mengalami
kehilangan kesadaran, kembali sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami
perburukan hingga menjadi tidak sadar kembali. Sikap tubuh dan dilatasi
unilateral pupil menunjukkan tanda lanjut herniasi serebral (Morton, Dorrie,
Carolyn, & Barbara, 2008).
b. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas
arakhnoid yang menutupi otak (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Perdarahan subdural sering terjadi akibat robeknya jembatan vena yang
terletak antara korteks serebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara,
namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri permukaan otak.
Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat. Prognosisnya jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural (Hernanta, 2013).
c. Kontusio dan perdarahan intra serebral
Kontusio serebral sering terjadi di frontal dan lobus temporal, namun bisa
juga terjadi pada setiap bagian otak seperti batang otak dan cerebellum.
Kontusio serebral dapat terjadi dalam beberapa hari atau jam yang kemudian
mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral apabila lesi meluas
dan terjadi penyimpangna neurologis (Hernanta, 2013).
21
c. Laserasio serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial.
2.8 Patofisiologi
Mekanisme khas dari trauma kepala adalah (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008):
1. Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak. Misalnya alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2. Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam. Misalnya pada pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca. Akselerasi-deselerasi sering
kali dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan fisik.
3. Coup-contre coup
Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan
dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang
pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan
dapat berpindah ke area otak yang berlawanan. Misalnya ketika pasien dipukul dengan
objek tumpul pada bagian kepala.
4. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba seta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam otak tengkorak.
23
Gambar 2. Mekanisme tipikal cedera (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi dua proses, yaitu proses primer
dan proses sekunder (Tarwoto, 2013).
1. Proses primer
Merupakan trauma yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma. Trauma ini
umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur
pembentuknya (Tarwoto, 2013).
2. Proses sekunder
Merupakan proses lanjutan dari proses primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Biasanya klien mengalami hipoksi, hipotensi, asidosis, penurunan suplai oksigen ke otak. Lebih
lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, nyeri kepala.
Peningkatan tekanan intrakranial harus segera ditangani karena dapat menimbulkan gangguan
perfusi jaringan otak dan herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan. Prinsip dari
penalaksanaan peningkatan TIK adalah dengan mengontrol cerebral blood flow (CBF) untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Keadaan CBF ditentukan oleh berbagai faktor
seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabloic rate, dan PCO2. CBF yang adekuat akan
berpengaruh terhadap tekanan prfusi otak (CPP), sehingga kebutuhan metabolisme otak terjaga
(Tarwoto, 2013).
24
2.9 WOC
(Terlampir)
2.10 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dan penunjang pada trauma kepala, yaitu: (Baughman & Hackley
2000; Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)
1. Rontgen tengkorak: AP, lateral, dan posisi Towne
2. CT scan/ MRI: menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, dan edema serabral
3. Cerebral Angiography: menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
4. Serial EEG: melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
6. BAER: mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF danlumbal punksi: dapat dilakukan jika dicurigai terjadi perdarahan subarachnoid.
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat dilakukan
primary dan secondary survei. Survei primer mengkaji ABCDE (airway, breathing,
circulation, disability, exposure), dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting
pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera.
Survei Primer
1. Airway
Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck
collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
2. Breathing
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju
pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas di kedua aksila.
3. Circulation
25
Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktatatau Normal
Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB harus
dipertimbangkan.
4. Disability
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunkan GCS.
Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS 8, harus
diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi
vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan
menurunkan tekanan intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan
intracranial.
5. Exposure
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering
datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas.
Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun
pemberian cairan intravena
al.2009).
Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dalami akibat
cidera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain itu, pemakaian
penyangga leher diindikasikan jika:
a.
b.
c.
d.
e.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
b.
2.11 Komplikasi
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998; Ginsberg 2008)
1. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)
2. Hematoma subdural kronik yang dapat terjadi pada trauma kepala ringan, dan epilepsi
pasca trauma terjadi terutama pada pasien yang mengalami kejang awal (dalam minggu
pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur
depresi kranium, atau hematoma intrakranial
3. Pasien dengan fraktur basis cranii beresiko mengalami kebocoran CSF dari hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) yang dapat memberikan kemungkinan terjadinya
meningitis. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan reparasi bedah untuk
27
robekan dura. Bedah eksplorasi juga diperlukan apabila terjadi kebocoran CSF
persisten
4. Sindrom pascakonkusi yaitu sindrom dengan beberapa gejala: nyeri kepala, vertigo,
depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah trauma kepala ringan.
Vertigo dapat terjadi akibat terdapat trauma pada vestibular.
2.12 Penatalaksanaan
Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma kepala, yaitu:
(Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)
1. Mempertahan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
2. Menilai status neurologis (disabilitas dan pajanan)
3. Penurunan resiko iskemi serebri, dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
meskipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa
yang lebih rendah
4. Mengontrol kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang
diakibatkan edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan TIK dapat dilakukan dengan menurunkan PaCO 2 melalui
hiperventilasi yang menurunkan asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme
intraserebral.
28
29
3) Apabila pasien jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan pasien
trauma kepala berat.
f. Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
3. TraumaKepalaBerat (GCS 8)
Diagnosadan
terapisangatpentingdanperludengansegarapenangananTindakanstabilisasikardiopulmoner
padapenderitaTrauma KepalaBeratharusdilakukansecepatnya.
2.13 Prognosis
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.Nilai GCS
saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai
GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12
memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu
diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan
irritable. 17% pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam
dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan
amnesia.
2.14
Monitoring ICP(Intracranial Pressure)
A. Definisi ICP
Kranium merupakan kompartemen yang kaku kecuali pada bayi, hingga setiap
penambahan massa didalamnya akan berakibat peningkatan tekanan intrakranial bila
kemampuan kompensasi sudah terlampaui. Didalamnya berisi jaringan otak, cairan
serebrospinal serta darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Terdapat satu lubang
utama yaitu foramen magnum, hingga bila terjadi peingkatan tekanan intrakranial jaringan
otak akan mencari jalan keluar melalui lubang ini. Disamping itu pada tentorium yang
memisahkan otak besar dan otak kecil terdapat lubang yang disebut hiatus yang mana disana
terletak batang otak, sehingga apabila terjadi peninggian tekanan intrakranial pada daerah
otak besar, akan terjadi pergeseran jaringan otak besar kedalam hiatus ini hingga akan
menekan batang otak yang merupakan pusat dari fungsi vital.
30
Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan otak tiap
menitnya. Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF 50 cc/100 gr
jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP 40-140 mmHg. Kerusakan
jaringan otak akan irreversibel terjadi jika CBF kurang dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit.
Pada keadaan emergensi neurologi seperti infeksi atau trauma kapitis akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial
normal adalah < 10 mmHg atau 15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap
meningkat bila > 20-25 mmHg. CPP merupakan selisih dari Mean Arterial Pressure (MAP)
dengan TIK, maka sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan atau
menurunkan tekanan intrakranial. TIK dapat dipantau dengan menggunakan alat monitor
TIK yang biasanya tersedia di ICU sehingga dapat dilakukan tindakan dan terapi dengan
cepat dan tepat.
Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan TIK.
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu
dari ketiga ruangannya meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan
mengurangi volumenya (apabila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini
terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak
terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang
berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran
otak kearah bawah atau horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat.Dua mekanisme
terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi syaraf. Apabila peningkatan TIK berat dan
menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan
kematian neuronal.
Tekanan intracranial ialah tekanan dalam ruang tengkorak, berdasarkan hipotesis MonroKellie: merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan otak, cairan otak yang bersifat
tetap, karena berada dalam ruang tengkorak yang bersifat kaku, tekanan tersebut menjalar ke
setiap sisi ruangan di dalam tengkorak. Tekanan Intra Kranial atau Intracranial Pressure
adalah tekanan atau hubungan volume diantara kranium dan isi kubah kranium. Volume
kranium terdiri atas darah, jaringan otak dan cairan serebrospinal (CSS), (Fransisca, 2008)
31
CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya lebih besar).
2.
3.
CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP
4.
Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan
CBF, meskipun MAP normal.
5.
CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-40 mmHg
menunjukkan gambaran flat,
32
Kenaikan Tekanan Intrakranial yang disebut PTIK yang merupakan hal yang menjadi
perhatian utama bila kita mendapatkan perhatian utama bila kita mendapatkan pasien dengan
kelainan tekanan intra kranial.Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10-15 mmHg atau
setara dengan 136-204 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan
terjadinya peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmHg atau > 250 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial merupakan komplikasi yang serius yang biasanya terjadi
pada trauma kepala, perdarahan subarahnoid, hidrosefalue, SOL, infeksi intracranial,
hipoksia dan iskemi pada otak yang dapat menyebabkan herniasi sehingga bisa terjadi henti
nafas dan jantung ( Hudak & Gallo, 1998 ).
Tanda dan gejala spesifik PTIK adalah sebagai berikut :
1
Awal
a
Disfungsi pupil
Defisit sensorik
Lanjut
a Lebih memburuknya derajat kesadaran (mis : stupor, soporokomatus, koma)
b Mungkin disertai muntah
c Nyeri kepala
d Hemiplegia, dekortiasi, atau deserebasi
e Pemburukan tanda vital
f Pola pernafasan ireguler
g Gangguan refleks batang otak (mis : gangguan reflrks kornea, refleks muntah)
33
Karena pentingnya mengenali gejala-gejala tersebut diatas, maka perlu sekali mengetahui
cara pemeriksaan neurologik. Untuk memudahkan akan diuraikan secara singkat temuantemuan diatas.
1
Sebagian besar otak terbentuk dari sel-sel tubuh yang sangat khusus, tetapi sensitif
terhadap perubahan kadar oksigen. Respon otak terhadap tidak mencukupinya kebutuhan
oksigen terlihat sebagai somnolen dan gangguan daya nalar (kognisi).
Fluktuasi TIK akibat perubahan fisik pembuluh darah terminal. Oleh karena itu gejala
awal dari penurunan derajat kesadaran adalah somnolen, delirium dan letargi. Penderita
menjadi disorientasi, mula-mula terhadap waktu, lalu tempat, dan akhirnya dalam hal
memgenali seseorang, Dengan semakin meningginya TIK, derajat kesadaran semakin
rendah, dimana rangsang nyeri mulai memberi reaksi adequat, hingga akhirnya
kompensasi.
Disfungsi pupil
Akibat peninggian TIK supratentorial atau oedema otak, perubahan ukuran pupil
terjadi.Tidak saja ukuran pupil yang berubah, tetapi dapat juga bentuk dan reaksi
terhadap cahaya. Pada tahap awal ukuran pupil menjadi berdiameter 3,5 mm atau disebut
sebagai ukuran tengah. Lalu makin melebar (dilatasi) secara bertahap.Bentuknya dapat
berubah menjadi melonjong dan reaksi tyerhadap cahaya menjadi lamban.Perlambatan
reaksi cahaya dan tau perubahan melonjong, merupakan gejala awal dari penekanan pada
saraf okulomotor. Karena sumber PTIK cenderung berdampak sesuai kompartemen pada
tahap awal, disfungsi pupil masih ipsilateral (pada sisi yang yang sama terhadap
penyebabnya). Pada tahap lanjut PTIK, pupil ipsilateral berdilatasi bilateral dan non
reaktif terhadap cahaya. Pupil menjadi berdilatasi bilateral dan non reaktif pada fase
terminal, karena PTIK menyebabkan proses herniasi
Abnormalitas visual
34
Devisit visual dapat terjadi sejak gejala masih awal. Gangguan tersebut dapat berupa
Ketajaman visus, Kabur dan Diplopia.Menurutnya ketajamanpenglihatan danpenglihatan
kabur adalah keluhan yang sering terjadi, karena diperkirakanakibat penekanan sarafsaraf nervus optikus (N. 11) melintasi hemisfer cerebri. Diplopia berkaitan dengan
kelumpuhan dari satu atau lerbih saraf-saraf penggerak bola mata ekstra-okuler(N. III, IV,
VI) Sehingga pasien melihat dobel pada posisi tertentu.Gejala-gejala visual semakin
menonjol seiring semakin meningkatnya TIK. Gangguan Diplopia / Blurring / penurunan
ketajaman biasannya terjadi pada pasien dengan peningkatan ICP.Diplopia biasa karena
paralisis otot yang mengatur gerakan mata.
4
Nyeri kepala
Pada tahap paling awal PTIK, beberapa penderita mengeluh nyeri kepala ringan atau
samar-samar.Secara umum, nyeri kepala sebenarnya tidak terlalu sering terjadi seperti
diperkirakan banyak orang.Nyeri kepala terjadi akibat pereganggan struktur intrakranial
yang peka nyeri (duramater, pembuluh darah besar basis kranji, sinus nervus dan bridging
veins).Nyeri terjadiakibat penekanan langsung akibat pelebaran pebuluh darah saat
kompensasi.Nyeri kepala I pada kelainan ini sering dilaporkan sebagi nyeri yang
bertambah hebat saat bangkit dari tidur di pagi hari.Hal ini dikarenakan secara normal
terjadipeningkatan aktivitas metabolisme yang paling tinggi saat pagi hari, dimana pada
saat tidurmenjelangbangun pagi fase REM mengaktifkan metabolisme dan produksi CO2.
Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah vasodilatasi.
Muntah
35
Projectile vomiting akibat peningkatan ICP.Muntah akibat PTIK tidak selalu sering
dijumpai pada orang dewasa.Muntahdisebabkan adanya kelainan di infratentorial atau
akibat penekanan langsungpada pusat muntah.Kita belum mengerti secara lengkap
bagaimana mekanismerefleks muntah terjadi.Muntah dapat didahului oleh mual /
dispepsia atau tidak.Seandainya didahului oleh perasaan mual / dispepesia, berarti terjadi
aktivasi saraf-saraf ke otot.Bantu pernafasan akibat kontraksi mendadak otot-otot
aberhubungan denganomen dan thoraks.
7
yang
tidak
adekuat,
dapat
mengakibatkan
gelombang
Lundberg.
37
Gambar 1 .Bentuk gelombang TIK .7. Gelombang TIK patologik (Sumber : Guide to the
Care of the Patient with Intracranial Pressure Monitoring)
Gelombang Lundberg A (gelombang plateau) menunjukkan peningkatan TIK tiba-tiba dari
20 ke 100 mmHg yang bertahan dari menit ke jam, menyebabkan penurunan CBF/CPP dan
iskemik otak. Gelombang Lundberg B sedikit meningkat, biasanya 5-20 mmHg, bertahan 1-5
menit, berhubungan dengan variasi respirasi, dan digolongkan dengan ketajaman gelombang.
Gelombang Lundberg ini merupakan penanda untuk compliance intrakranial rendah kritis dan
mungkin mengakibatkan hipoperfusi jaringan, pembesaran arteriolar yang progresif, dan
peningkatan CBV. Gelombang Lundberg A harus diterapi dengan agresif dengan meningkatkan
CPP menggunakan vasopressor, dan menurunkan TIK dengan terapi osmotik dan hiperventilasi.
Penting untuk dicatat bahwa pasien dapat terjadi herniasi dengan nilai TIK normal. Pasien
asimptomatik dengan kurva compliance normal, TIK dapat tiba-tiba naik (seperti saat batuk, atau
membalik badan).
Interpretasi Hasil Pemantauan Tekanan Intrakranial
a
Terlihat adanya variasi dalam rekaman pengukuran ICP normal yang berasal dari
denyutan kecil yang ditransmisikan dari tekanan darah sistemik ke rongga intrakranial.
Dalam melakukan pemeriksaan dasar apakah sinyal ICP benar-benar representatif
terhadap tekanan intrakranial, dokter harus memastikan bahwa terdapat kurva tekanan
berosilasi dengan penurunan progresif dari notche P1, P2 dan P3, yang menunjukkan
propagasi dari pulsasi tekanan jantung (Gbr. 1)
b Waveform patologis
Analisis kurva tekanan lebih lanjut juga dapat digunakan dengan mengidentifikasi
gelombang Lundberg A dan B. Gelombang A (juga dikenal sebagai gelombang plateau)
yang ditandai dengan peningkatan dan penurunan yang cepat pada tekanan sampai nilai
50-100 mmHg dan berlangsung dari 5 sampai 20 menit dengan durasinya yang
bervariasi. Mereka adalah tanda dari gangguan autoregulasi serebral yang lebih parah.
Gelombang B yang berosilasi secara ritmik muncul dengan frekuensi 1/2-2 kali per
menit, dan dapat menjadi tanda disfungsi serebral. Dengan meningkatnya ICP, akan
terjadi penurunan compliance otak, pulsasi arteri menjadi lebih jelas, dan komponen vena
menghilang. Waveform patologis termasuk Lundberg tipe A, B, dan C. Gelombang
Lundberg A atau gelombang plateau adalah elevasi ICP ke nilai yang lebih tinggi dari 50
mmHg berlangsung selama 5 sampai 20 menit. Gelombang ini disertai dengan
peningkatan simultan dari MAP, tetapi tidak jelas dipahami apakah perubahan MAP
adalah sebagai penyebab atau efek Gelombang Lundberg B atau pulsasi tekanan,
memiliki amplitudo 50 mmHg dan terjadi setiap 30 detik sampai 2 menit. Gelombang
Lundberg C memiliki amplitudo 20 mmHg dan frekuensi 4 sampai 8 kali per menit, dapat
terlihat pada waveform ICP normal, akan tetapi amplitudo gelombang C yang tinggi
dapat tumpang tindih dengan gelombang plateau.
39
40
rangsangan.
7 Encephalopathy , krisis hipertensi, atau kerusakan hati
8 Meningitis / ensefalitis mengakibatkan malabsorpsi CSF
G. Kontraindikasi
1. Infeksi sistem saraf pusat
2. Gangguan Koagulasi
3. Terapi antikoagulan
4. Infeksi kulit kepala
5. Pergeseran garis tengah mengakibatkan perpindahan ventrikel
6. Edema serebral mengakibatkan kehancuran ventrikel
7. Pasien memiliki abses otak
H. Komplikasi dan Precaution
Komplikasi yang terjadi menurut G. Werren. 2014, yaitu :
1 Infeksi intracranial
2 Kejang
3 Stroke
4 Perdarahan intraserebral
5 Kebocoran CSF ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
6 Cairan CSF yang berlebihan yang menyebabkan kehancuran dan herniasi
7 Hilangnya pemantauan atau pembuangan disebabkan oleh sumbatan kateter pada
8
41
I. Pencegahan PTIK
Pencegahan PTIK menurut G. Werren (2014)
1
Untuk meminimalkan risiko infeksi sistem saraf pusat, teknik aseptik harus
digunakan setiap saat ketika perawatan, memanipulasi, atau memonitoring cairan.
Jangan gunakan alat bilas untuk pemantauan ICP. Hanya gunakan NaCl0,9%
untuk mengisi tabung tekanan. Jangan menggunakan larutan heparin.
Untuk memastikan akurasi yang optimal, perataan yang tepat dan penekanan dari
sistem harus dipertahankan. Tingkatan yang tepat untuk transduser adalah pada
foramen Monro untuk diukur tingkat kantus bagian luar pada mata atau sebagai
alternatif ditulang belakang lumbal untuk pembuangan.
Pasien diletakkan degan posisi kepala 30 sampai 45 derajat dan posisi netral bila
diperlukan untuk meminimalkan ICP. Dilakukan secara hati-hati ketika
memposisikan pasien dan melakukan terapi untuk meminimalkan kenaikan ICP
dan degradasi terkait di CPP. Hindari posisi fleksi dan hiperekstensi leher dan
pasien dalam posisi trendelenberg, yang semuanya dapat meningkatkan ICP.
CATATAN: Sebuah alarm untuk peningkatan ICP harus dijaga ON setiap saat
Cordis EDS dan sistem tekanan transduser hanya dapat digunakan pada satu
pasien saja. Tidak dianjurkan untuk mensterilkan setiap bagian dari sistem sekali
pakai tersebut untuk digunakan secara bergantian dengan pasien lain.
42
monitoring tekanan hanya dapat dilakukan saat threeway tertutup untuk sistem
drainase.
10 Hanya sejumlah kecil dari CSF (sekitar dua ml) yang harus didrainase dalam satu
waktu. Dekompresi otak secara cepat dari CSF yang terlalu didrainase dapat
menyebabkan herniasi. Drainase secara berlebihan dapat terjadi jika sistem tidak
sengaja dibiarkan terbuka, atau jika pasien dipertahankan pada tingkat yang lebih
tinggi dari titik acuan pada sistem (sesuai instuksi dokter).
CATATAN: Ketinggian dari silinder drainase menentukan kecepatan di mana CSF
akan didrainase. Instruksi dokter untuk drainase harus mencakup pembacaan tekanan
baik mm Hg atau cm H2O di mana ketinggian (seperti yang ditandai pada kartu
pemasangan) silinder drainase harus diperhatikan. Titik referensi nol untuk
pemantauan ICP selalu berada di luar canthus mata (termasuk untuk drainase lumbal
dan tulang belakang).
J. Efek Samping dan Intervensi
Efek samping yang dapat terjadi antara lain:
1
Beritahukan dokter.
Jika gelombang yang baik atau ICP yang akurat tidak dapat diperoleh, dapat dicoba
membilas
sistem pemantauan dengan cairan 0,9% NaCl steril. Untuk sesak semua
penghubung pertama harus diperiksa. Jangan membilas sementara system itu terbuka
untuk pasien. Tutup kran untuk pasien dan kemudian cobalah untuk mengejutkan sistem
pemantauan. Lanjutkan pemantauan tekanan dengan membuka sistem untuk pasien. Jika
gelombang buruk terus berlanjut, masalah sistem seperti debubbling, releveling dan
penekanan, dan mengubah kabel listrik. Jika semua manuver ini gagal untuk
memperbaiki bentuk gelombang yang buruk, Kateter dapat tersumbat dengan darah atau
jaringan yang memerlukan intervensi dokter. CATATAN: ICP akut rendah mungkin
menunjukkan dekompresi akut akibat kebocoran atau overdrainage CSF. Beritahu dokter
dan perawat segera.
43
Dalam kasus dekompensasi akut (yaitu berkelanjutan ICP lebih besar dari atau sama
dengan 15 mm Hg), bersiaplah untuk hiperventilasi pasien dengan resusitasi pengguna
Intravenous cable
Cardiopulmonary monitor
L. Prosedur Monitoring
1 Kumpulkan Cordis EDS sesuai dengan instruksi pada setiap paket dan pada setiap kartu
pemasangan pada diagram petunjuk menggunkan 0,9% NaCl untuk membilas sistem.
Tempatkan tabung 48 inci dengan terhubung transduser tekanan pada kartu pemasangan
2
plastic.
Tempatkan pasien pada posisi semi Fowler dan posisi titik acuan nol pada canthus luar
mata
Awasi gelombang tekanan ICP pada monitor cardiopulmonal. Nyalakan kran yang paling
44
Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung) dan non
invasive (tidak langsung). Metode non invasif (secara tidak langsung) dilakukan 8
pemantauan status klinis, neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/TCD). Sedangkan metode invasif (secara langsung) dapat dilakukan di
beberapa
lokasi
anatomi
yang
berbeda
yaitu
intraventrikular,
intraparenkimal,
subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang umum dipakai yaitu intraventrikular dan
intraparenkimal (microtransducer sensor). Metode subarakhnoid dan epidural sekarang
jarang digunakan karena akurasinya rendah. Pengukuran tekanan LCS lumbal tidak
memberikan estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila dilakukan pada TIK meningkat.
Beberapa metode lain seperti Tympanic Membrane Displacement/TMD, Optic nerve sheath
diameter/ONSD namun akurasinya sangat rendah.
1
Pemeriksaan pupil
Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)
Oftalmoskopi
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan
TIK.Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari. Tapi
sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema dapat
memberikan informasi mengenai proses perjalanan penyakit.
45
Gambar oftalmoskopi
-
Neuroimaging
Pada pasien yang dicurigai
peningkatan
TIK
sebaiknya
dilakukan
pencitraan
setiap
kali
perubahan
status
pasien
dapat
Gambar neuroimaging
-
Neurosonology
TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk penilaian
aliran darah arteri basal otak.Semua cabang utama arteri intrakranial biasanya dapat
46
diinsonasi baik arteri kranial anterior, media dan posterior melalui tulang temporal
(kecuali pada 10% pasien, dimana insonasi transtemporal tidak memungkinkan),
arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan arteri vertebral dan arteri
basilar melalui foramen magnum.TCD mengukur kecepatan aliran darah, dalam
sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel pemantauan esensial
kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan indikator pulsatility index
(PI), rasio perbedaan antara kecepatan aliran sistolik dan diastolik dibagi rata-rata
kecepatan aliran, biasanya kurang lebih sama dengan 1. Penggunaan klinis yang
paling umum dari TCD adalah pemantauan untuk vasospasme, terutama setelah SAH.
Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran sistolik dan penurunan diastolik
(aliran sistolik 120 sangat sugestif dan 200 konfirmasi dari penurunan diameter
lumen), mengakibatkan peningkatan PI (nilai di atas 3:1 sangat sugestif terjadi
penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat mendeteksi perubahan progresif
dalam kecepatan aliran dan PI akibat vasospasme pada SAH. Penyempitan lumen
dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik sendiri seperti dalam autoregulasi
dan vasospasme yang benar, atau dengan hiperplasia intimal seperti dalam
"vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa terjadi karena kompresi ekstrinsik
dari arteri terutama peningkatan difus TIK mengakibatkan penekanan yang
menyebabkan penyempitan arteri basal.Seluruh peningkatan dalam kecepatan aliran
dan PI dapat menunjukkan kompresi ekstrinsik difus arteri karena TIK meningkat.
Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk memberikan alternatif
pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat menggantikan pemantauan TIK
langsung. Para dokter yang menggunakan TCD untuk monitor pasien SAH harus
selalu ingat bahwa perubahan penyempitan lumen yang difus mungkin menunjukkan
peningkatan TIK. Beberapa upaya telah dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai
hilangnya autoregulasi dan menilai adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.
47
Gambar neurosonologi
2
Subarachnoid Screw
Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini
ditempatkan ke dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup berongga
yang memungkinkan CSF untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan untuk menjadi
sama. Keuntungan metode ini adalah infeksi dan risiko perdarahan rendah. Aspek
negatif termasuk kemungkinan kesalahan permantauan TIK, salah penempatan
sekrup, dan oklusi oleh debris.
TIK
intraparenkimal
menggunakan
microtransducer
yang
diletakkan di parenkim otak melalui lubang kecil dan baut tengkorak yang
memungkinkan pemantauan TIK simultan, mikrodialisis serebral dan oksigenasi
jaringan otak. Posisi pilihan perangkat tersebut adalah pada subtansia alba regio
frontal nondominan pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada
cedera otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada hemisfer
kontralateral dari hematoma intraserebral. Perangkat yang berbeda juga tersedia,
termasuk fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK pneumatic Spiegelberg
juga memungkinkan kalibrasi in vivo dan pemantauan intrakranial. Monitor TIK
Neurovent-P adalah kateter serbaguna yang menggabungkan TIK, oksigenasi jaringan
otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus diinterpretasikan dengan hatihati dan berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis pasien. Ketika ada
perbedaan yang signifikan antara nilai pemantauan dan gejala klinis, penggantian atau
penempatan kembali probe harus dipertimbangkan.
-
Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy
Tehnik intraventrikular merupakan gold standard pemantauan TIK, yaitu kateter
diinsersikan ke dalam ventrikel lateral biasanya melalui burr hole kecil di frontal
kanan. Tehnik ini juga dapat digunakan untuk mengalirkan LCS dan memberikan
obat intratekal seperti pemberian antibiotika pada kasus ventrikulitis yang
kemungkinan disebabkan oleh pemasangan kateter itu sendiri.
Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya memungkinkan
pemantauan TIK intermiten bila saluran ventrikel ditutup.Kateter ventrikel tersedia
secara komersial memiliki transduser tekanan dalam lumennya, sistem ini
memungkinkan pemantauan TIK dan drainase LCS simultan.
Beberapa komplikasi bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain
kebocoran LCS, masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase LCS
yang berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau terapi tidak
sesuai berkaitan dengan pembacaan TIK dengan gelombang kecil, kegagalan
49
50
Tipe Monitor
Intraventrikular
Intraparenkimal
Subarakhnoid/subdural
Epidural
Keuntungan
Gold standard, pengukuran
TIK global, digunakan
untuk diagnosis dan terapi
Angka
infeksi
dan
perdarahan rendah (1%),
penempatan mudah
Kerugian
Angka infeksi tinggi (520%), resiko perdarahan
2%
Mengukur TIK regional,
tidak dapat dikalibrasi
ulang
setelah
ditempatkan,
penyimpangan (3 mmHg)
Angka
infeksi
dan Pengukuran tidak dapat
perdarahan rendah
percaya, jarang digunakan
Resiko perdarahan lebih Pengukuran tidak dapat
rendah jika dibandingkan dipercaya
dengan
monitor
intraventrikular
dan
intraparenkimal,
kadang
dipakai pada pasien dengan
koagulopati
51
2.15
Asuhan
Keperawatan Umum
Pengkajian
1
Kegawatdaruratan
Primary Survey
Menurut
Rab,
Tabrani
2007,
pengkajian
primer
dalam
asuhan
kegawatdaruratan meliputi :
a
Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas
pasien.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna
mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi perawat
b
Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea,
ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki
atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.
Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi,
bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan
nadi pasien.
Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan
nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri
atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang
cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan,
pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
a
(supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan
cidera :
1
battle,mata
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi,
contusio, bullae, atau abrasi.
2
Secondary Survey
53
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah
mulai membaik.
1
Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan
bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial,
servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain,
fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam
sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E :
54
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver
or get
Hurtyou physically?
Insulted or talked down to you?
Threathened you with physical harm?
Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
1) Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? apa yang membuat nyerinya lebih
baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat
nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
2) Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri)
3) Radiates: apakah nyerinya menyebar? menyebar kemana? apakah nyeri terlokalisasi
di satu titik atau bergerak?
4) Severity : seberapa parah nyerinya? dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri
dan 10 adalah nyeri hebat
5) Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? berapa lama
nyeri itu timbul? apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan
nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
55
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tandatanda vital.Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen,
tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association(2007).
Komponen
Suhu
Nilai normal
36,5-37,5
Keterangan
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu.
Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi
Nadi
60-100x/menit
Respirasi
12-20x/menit
dan kesamaan.
Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas, dan
inspeksi dari usaha bernafas.
Tada dari peningkatan usah
abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1
kalimat penuh.
56
Saturasi oksigen
>95%
Tekanan darah
120/80 mmHg
Berat badan
perifer.
Berat badan penting
diketahui di UGD karena
berhubungan dengan
keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.
57
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang
kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b
Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila
terdapat cedera di sekitar mata
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
c. Vertebra servikalis dan leher
58
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d.
Toraks
Inspeksi
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)
e.
Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan
dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.Adanya paralisis
dapat
disebabakan
oleh
kerusakan
kolumna
vertebralis
atau
saraf
perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal,
dan
alat
imobilisasi
dilakukan
samapai
terbukti
tidak
ada
fraktur
diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila
ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah
syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori
3. Pemeriksaan Penunjang
1
MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
60
Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No
Keperawatan
1. Ketidakefektifan
bersihan
NOC
NIC
muntahan
adanya
suara
suara
napas,
napas
catat
tambahan
(ronchi, wheezing,gurgling)
2. Lakukan fiksasi pada daerah
a. RR normal (12-
24x/menit)
b. Ritme pernapasan
reguler
c. Klien mampu untuk
terjadinya gerakan
3. Lakukan pembebasan jalan napas
secara manual dengan teknik jaw
mengeluarkan secret,
sisa muntahan
d. Tidak terdengar suara
napas tambahan
mencegah
terjadinya
gerakan leher
4. Lakukan pembebasan jalan napas
(ronchi, wheezing,
dengan
alat
(nasophaaryngeal
gurgling)
2.
Ketidakefektifan
pola
nafas
oksigenasi klien
6. Berikan oksigen tambahan
Setelah diberikan asuhan Airway Management
bd keperawatan selama .
pola
nafas
klien
kembali adekuat
dengan kriteria hasil:
1.
oksigenasi
otot bantu nafas
4. Berikan
oksigenasi,
minimal
2. Tidak ada dyspnea
menggunakan simple mask
3. Gerak
dada
saat
bernafas simetris
3.
Nyeri
akut
trauma
jaringan keperawatan
selama.
(lokasi,
otot sekunder
klien
meningkat,
nyeri
terkontrol dg KH:
a. Klien
melaporkan
nyeri
berkurang
dg
karakteristik,
durasi,
presipitasi).
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
3. Gunakan
teknik
terapeutik
untuk
pengalaman
komunikasi
mengetahui
nyeri
klien
sebelumnya.
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri
(farmakologis/non
farmakologis).
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
4.
mengatasi nyeri.
8. Kolaborasi untuk
pemberian
analgetik
9. Evaluasi
pengurang
tindakan
Resiko
nyeri/kontrol nyeri.
Setelah diberikan asuhan Monitoring tekanan intrakranium:
ketidakefektifan
perfusi
jaringan jam
menunjukan
cerebral,
jaringan
peningkatan TIK
klien
serebral
dalam
yang
rentang
peningkatan TIK
c. Klien mampu bicara 4.
5.
dengan
jelas,
6.
menunjukkan
dokter
Lakukan tindakan bedrest total
Minimalkan stimulasi dari luar.
Monitor Vital Sign serta tingkat
kesadaran
perhatian 7. Monitor tanda-tanda TIK
8. Batasi gerakan leher dan kepala
dan orientasi baik
9. Kolaborasi pemberian obat-obatan
d. Fungsi sensori motorik
untuk
meningkatkan
volume
cranial utuh : kesadaran
intravaskuler
sesuai
perintah
membaik (GCS 15,
dokter.
tidak
ada
gerakan
konsentrasi,
5.
involunter)
Resiko kekurangan Setelah diberikan asuhan
tidak
tanda-tanda
ditemukan
kekurangan
volume
cairan
atau
mukosa
kulit,
membran
mukosa,
dan
lembab
b. integritas kulit baik
c. nilai
6.
elektrolit
dalam
batas normal.
Resiko infeksi bd Selama
dilakukan
tempat
organisme
sekunder
trauma
klien
tidak
akibat infeksi
mengalami
yang
ditandai
dengan KH:
(rubor,
luka.
2. Monitor tanda-tanda vital: suhu
tubuh.
3. Lakukan perawatan luka dengan
kalor,
laesa)
normal
c. tidak ada pus dari luka
d. leukosit
dalam
batas
normal.
64
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Seorang laki-laki bernama Tn. H (45) dibawa ke IGD karena mengalami kecelakaan lalu
lintas.Saat dilakukan pengkajian klien tampak bingung dan mengalami penurunan kesadaran.
Hasil pengkajian menunjukkan Tn. H merintih kesakitan, membuka mata, tangannya
melokalisasi sumber nyeri, sempat muntah dannilai GCSnya adalah 11(E4 , M5 ,V2). Hasil CT
Scan menunjukkan adanya perdarahan yang menuju ke jaringan serebral. Terdapat cedera pada
lobus temporal, kebiruan pada kedua bola mata , terdapat edema pada wajah dan perdarahan
hidung, ada suara napas tambahan (gargling). Pada saat pengkajian TD: 110/70, Suhu: 38.5, RR:
24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt reguler, Riwayat alergi dan penyakit dahulu disangkal.
1
Pengkajian
1) Primary Survey
a. Airway + cara mengontrol cairan cerebrospinal
terdapat sumbatan jalan napas berupa sisa muntahan
L = Look/Pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
L = Listen/Terdengar suara napas tambahan (gargling),
F = Feel/ Aliran udara (hembusan) terasa lemah
a. Breathing
RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak
b. Circulation
TD: 110/70, Suhu: 38.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2 detik, kebiruan
pada kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin, basah, pucat.
c. Disability
- A (Allert)
- V (verbal)
-
merintih kesakitan
P (pain)
U (unresponsive)
:Klien Sadar
: Klien tidak merespon panggilan dari perawat, namun seperti
: Klien berespon terhadap nyeri
: responsive
: Klien akan pulang ke rumah setelah pulang kerja dan mengalami kecelakaan.
b. Pemeriksaan fisik
a
c
d
2. Analisa data
No
Data
Etiologi
Masalah keperawatan
.
1.
DS: -
Trauma kepala
Klien muntah
nafas
66
Kerusakan
neuromuscular +
muntahan pergerakan
penurunan kesadaran
pernafasan
Tidak mampu
mengeluarkan muntahan
Akumulasi sisa
muntahan
Ketidakefektifan
2.
DS: -
jaringan serebral
gangguan autoregulasi
suplai O2 menurun
basah, pucat.
gangguan metabolisme
edema serebral
Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral
3.
DS: -
Resiko Infeksi
67
Trauma Penetrasi
kemerahan, bengkak,
suhu: 38,5
Resiko Infeksi
3. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd akumulasi sisa muntahan
2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral bd edema serebral
3) Risiko infeksi bd port the entry kuman akibat trauma
4. Intervensi Keperawatan
No
1.
Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan
bersihan
NOC
NIC
Setelah dilakukan
Airway Management:
kembali paten
(terbebas dari
sumbatan), dengan
kriteria hasil:
Resiko
Setelah
ketidakefektifan
tindakan keperawatan
perfusi
jaringan selama
manual
dengan
maneuver
a. RR normal (1224x/menit)
b. Ritme pernapasan
reguler
c. Klien mampu
untuk
mengeluarkan
sisa muntahan
d. Tidak terdengar
suara gurgling
2.
teknik
secara
jaw
thrust
hati-hati
untuk
oropharyngeal
dibutuhkan
5 Monitoring
airwayjika
oksigenasi klien
6 Berikan oksigen
jam
menunjukan
pingsan,
reaksi
pupil,
68
cerebral
jaringan
serebral
yang
normal
(120/80
mmHg)
b. Tidak ada tanda
peningkatan TIK
c. Klien
mampu
bicara
dengan
manufer
valsava
3.
4.
5.
6.
menerus).
Berikan oksigen sesuai instruksi dokter
Lakukan tindakan bedrest total
Minimalkan stimulasi dari luar.
Monitor Vital Sign serta tingkat
kesadaran
7. Monitor tanda-tanda TIK
8. Batasi gerakan leher dan kepala
9. Kolaborasi pemberian obat-obatan untuk
jelas,
meningkatkan
menunjukkan
konsentrasi,
perhatian
dan
volume
intravaskuler
orientasi baik
d. Fungsi
sensori
motorik
utuh
cranial
:kesadaran
membaik
15,
(GCS
tidak
ada
gerakan
3.
involunter)
Resiko infeksi bd Selama
dilakukan
port
kuman
trauma
the
klien
mengalami
tidak
infeksi,
c. leukosit
dalam
batas normal.
5. Evaluasi Keperawatan
1 Jalan napas menjadi bersih dan tidak ada sisa muntahan dan sekret
2 Perfusi jaringan baik
3 Luka tertangani dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Penyebab utama dari trauma kepala yang
serius adalah kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas
merupakan akibat cedera kepala). Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat
dari ada atu tidaknya fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran,
70
dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013). Komplikasi akibat trauma kepala antara lain;
TIK meningkat, hematoma subdural kronik, syndrome pascakonkusi, pasien dengan fraktur
basis crania berisiko mengalami kebocoran SCF. Penatalaksanaan dengan mempertahankan
fungsi ABC, menilai status neurologis, penurunan risiko iskemi serebri dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa. Prognosis tergantung pada tingkat keparahan yang dialami,
17% pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam 2 tahun
pertama post trauma.
4.2 Saran
Sebagai perawat harus dapat memahami dan memberikan asuhan keperawatan yang
tepat khususnya pada klien dengan trauma kepala. Bila ditemukan kegawatdaruratan segera
laporkan dan observasi dengan ketat. Tentunya penanganan yang diberikan tergantung
pada derajat tingkat keparahannya.
Daftar Pustaka
Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Behrman, Kliegman, & Alvin, N. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 1. Jakarta: EGC.
Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC, p.66.
Brain Trauma Foundation, 2007. Journal of Neurotrauma, Volume 24, Suplement 1.
71
Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC). USA: Mosby Elsevier
Cullagh S Mc, Feinstein A Outcome after mild traumatic brain injury: an examination of
recruitment biasJ Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:3943
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.91
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga, p.117.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.92.
72
MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/
Chapter
%20II.pdf
Mark S Greenberg. Intracranial Pressure in Handbook of Neurosurgery. 6th
Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery. Surez, J.I.
editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. USA: Mosby
New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial Management.
2nd
Edition.
NSW
Health,
p.8.
Diakses
pada
http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf
Purnama,Eka.2007.Makalah
Cedera
Kepala.digilib.unimus.ac.id/files/.../jtptunimus-gdl-
ekapurnama-5391-2-babii.pdf
Satyanegara.2010.
Ilmu
Bedah
Syaraf
Edisi
IV.
Jakarta:
Gramedia
Pustaka
Utama
73