Anda di halaman 1dari 73

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Trauma
kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen ( PERDOSSI, 2006 dalam Asrini, 2008 ).
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma
pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak
langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan
dapat menyebabkan kematiaan. Kejadian cedera kepala di bumi ini diperkirakan pertama
kali terjadi pada sekitar juta tahun yang lalu, dibuktikan dengan ditemukannya kerusakan
tulang tengkorak pada pendahulu manusia yang sekarang dinamakan Australopithecus
africanus. Kerusakan yang ditemukan yaitu terdapat dua garis fraktur berdekatan di daerah
posterior tulang tengkorak yang sesuai dengan kondilus tulang humerus antilop yang
ditemukan berdekatan dan diduga sebagai alat yang digunakan untuk membunuh dari arah
belakang. Cedera-cedera seperti tersebut juga ditemukan pada hominid yang sudah berjalan
tegak pada Homo erectus seperti yang berasal dari Jawa (lebih dari 300.000 tahun lalu),
Peking (lebih dari 100.000 tahun lalu), dan Neanderthal (lebih dari 40.000 tahun lalu) (Rose
F.C, 2006).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
1

Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga
dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal.
Penderita cedera kepala sedang pada umumnya masih mampu menuruti perintah
sederhana, namun penderita tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai deficit
neurologis fokal seperti hemiparesis, sebanyak 10-20% dari penderita cedera kepala sedang
mengalami perburukan dan jatuh dalam koma, untuk itu penderita harus dikelola secara
intensif dimana harus dilakukan observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama
12-24 jam pertama. (IKABI, 2004). Kondisi penderita seperti ini dapat menimbulkan
gangguan kesadaran. Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini untuk menilai
digunakan metode glasgow coma scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) merupakan
instrumen standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien trauma
kepala. Glasgow coma scale (GCS) merupakan salah satu komponen yang digunakan
sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien.
Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko
kematian di awal trauma. Dari GCS dapat diperoleh informasi yang efektif mengenai pasien
trauma kepala. Sesuai klasifikasinya yaitu penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS.
Menurut Brunner & Suddarths (2004), Tekanan intracranial (TIK) adalah tekanan yang
terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang
terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan
komposisi volume relative konstan. Tekanan intrakranial normal berkisar antara 0-10 mmHg
atau 0-136 mmH2O pada orang dewasa. Tekanan intracranial bayi adalah 40-100 mmH2O
(3,0-7,5 mmHg). Pada keadaan normal TIK rata-rata tidak boleh melebihi 10 mmHg. TIK
yang melebihi 15 mmHg harus dicari penyebabnya dan perlu diawasi lebih lanjut. Pada
umumnya, monitoring TIK diindikasikan pada semua pasien yang koma dengan cidera
2

kepala, dan dengan pasien dengan penurunan status neurologi dengan CT scan abnormal.
Maka sebagai perawat tugas kita sangat penting untuk menyelamatkan hidup klien serta
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas dengan melakukan asuhan keperawatan klien
dengan trauma kepala yaitu memantau agar tidak terjadi infeksi dan melakukan perawatan
yang benar sesuai dengan pedoman keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari kepala?
2. Bagaimana aspek fisiologis dari trauma kepala?
3. Apa definisi trauma kepala?
4. Apa saja area yang terkena pada trauma kepala?
5. Bagaimana etiologi trauma kepala?
6. Apa manfestasi klinis trauma kepala?
7. Apa saja klasifikasi trauma kepala?
8. Bagaimana patofisiologi trauma kepala?
9. Bagaima WOC trauma kepala?
10. Apa saja pemeriksaan diagnostic untuk trauma kepala?
11. Apa saja komplikasi yang bisa ditimbulkan dari trauma kepala?
12. Bagaimana penatalaksanaan trauma kepala?
13. Bagaimana prognosis trauma kepala?
14. Bagaimana konsep monitoring ICP?
15. Bagaimana konsep asuhan keperawatan trauma kepala?
1.3 Tujuan
1.3.1

Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan trauma kepala di unit
gawat darurat.

1.3.2

Tujuan khusus
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari kepala.
2. Mengetahui aspek fisiologis dari trauma kepala.
3. Mengetahui definisi trauma kepala.
3

4. Mengetahui area yang terkena pada trauma kepala.


5. Mengetahui etiologi trauma kepala.
6. Mengetahui manfestasi klinis trauma kepala.
7. Mengetahui klasifikasi trauma kepala.
8. Mengetahui patofisiologi trauma kepala.
9. Mengetahui WOC trauma kepala.
10. Mengetahui pemeriksaan diagnostic untuk trauma kepala.
11. Mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan dari trauma kepala.
12. Mengetahui penatalaksanaan trauma kepala.
13. Mengetahui prognosis trauma kepala.
14. Mengetahui konsep monitoring ICP.
15. Mengetahui konsep asuhan keperawatan trauma kepala.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami secara keseluruhan tentang trauma
kepala serta dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala,
khususnya pada klien serta dapat menambah wawasan bagi mahasiswa keperawatan.
2. Bagi Dosen
Makalah ini dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana mahasiswa mampu mengerjakan
tugas yang diberikan oleh dosen dan sebagai bahan pertimbangan dosen dalam menilai
kemampuan mahasiswa.

BAB 2
4

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Kepala
a. Kulit Kepala

Gambar 1. Anatomi Kulit Kepala (Syaifuddin 2006)

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Skin atau kulit,


Connective tissue atau jaringan penyambung,
Aponeurosis atau galea aponeurotika,
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,
Perikanium

b. Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis,
namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Syaifuddin
2006).
5

c. Selaput otak
Selaput otak terdiri dari tiga lapisan:
1. Durameter
Adalah meningens terluar yang merupakan gabungan dari dua lapisan
selaput yaitu: lapisan bagian dalam (yang berlanjut ke durameter spinal) dan
lapisan bagian luar (yang merupakan lapisan periosteum tengkorak). Lapisan
bagian dalam akan melebar serta melekuk membeentuk sekat-sekat otak (falks,
tentorium). Lapisan bagian luar merupakan jaringan fibrosa yang lebih padat dan
mengandung vena serta arteri untuk memberi makan tulang. Gabungan kedua
lapisan ini melekat erat dengan permukaan dalam tulang sehingga tidak ada celah
diantaranya. Kedua lapisan durameter ini pada lokasi-lokasi tertentu akan
terpissah dan membentuk rongga (sinus durameter) berisi darah vena serta
berfungsi untuk drainase otak. Dibawah durameter terdapat rongga subdural yang
tidak berisi liquor cerebro spinalis.
2. Arakhnoid
Arakhnoid merupakan lapisan tengah antara durameter dan piameter. Di
bawah lapisan ini adalah rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula dan
dialiri liquor cerebro spinalis. Lapisan arakhnoid tidak memiliki pembuluh darah,
tetapi pada rongga subarakhnoid terdapat pembuluh darah.
3. Piameter
Piameter merupakan lapisan selaput otak yang paling dalam yang
langsung berhubungan dengan permukaan jaringan otak serta mengikuti
konvolusinya (Syaifuddin 2006).

d. Otak

Gambar 2. Anatomi Otak (Satyanegara 2010).


Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron.
Masing-masing neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan sel saraf
lainnya. Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal dan terletak di dalam
ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak). Kranium ini secara absolut
tidak dapat bertambah volumenya terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi
oleh beberapa pelindung yaitu rambut, kulit kepala, tengkorak, selaput otak
(meningens), dan cairan otak (liquor cerebro spinalis). Otak merupakan suatu struktur
gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian
yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon
(otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (Satyanegara 2010).
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga


disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan.
Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia
dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan
berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori
dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga
ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut
Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian
lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus
tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal,
Lobus Occipital dan Lobus Temporal.
a) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling
depan dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan
kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,
perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian,
kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kemampuan bahasa secara umum.
b) Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan
proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa
sakit.
c) Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan
dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan
bahasa dalam bentuk suara.
d) Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan
dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia
mampu

melakukan

interpretasi

terhadap

objek

yang

ditangkap oleh retina mata (Arif,2008).


2. Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala,
dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol
banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi
8

tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan


tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan
sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan
pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak
terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan
makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan
baju(Arif,2008).
3. Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau
rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang
punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur
fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung,
mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan
sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari)
saat datangnya bahaya.
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya.
Oleh karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil.
Otak reptil mengatur perasaan teritorial sebagai insting primitif.
Contohnya akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang
yang tidak dikenal terlalu dekat.
Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain)
adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan
Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal
mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran
pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang
dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu

juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak,


seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan
pencernaan.
c) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data
ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang
menentukan apakah kita terjaga atau tertidur(Arif,2008).
4. Limbic System (Sistem Limbik)
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang
otak ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti
kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia
sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik
antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan
korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan,
mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa
lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga
memori jangka panjang. Bagian terpenting dari Limbik Sistem
adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian
memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang
tidak(Arif,2008).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150
ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (Satyanegara.2010).
f. Tentorium

10

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri


dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior) (Satyanegara.2010).
g. Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis

(Satyanegara.2010).
2.2 Fisiologi Trauma Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4
10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia.Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari
20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti
gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal.
Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK
secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan,
konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Doktrin Monroe-Kellie menyatakan
bahwa volume total dalam kranium selalu tetap karena tulang tengkorak tidak elastis
sehingga tidak bisa mengembang jika ada penambahan volume. Pada kondisi normal,
volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% LCS, dan 10% darah.
Peningkatan volume dari salah satu komponen ini, atau adanya tambahan komponen
patologis (misalnya hematom intrakranial), akan menimbulkan kompensasi melalui
penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan.

11

Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan menyebabkan tergesernya


LCS akan terdesak melaui foramen magnum ke arah rongga sub-arakhnoid spinalis dan
vena akan segera mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas keluar dari ruangan
intrakranial melalui vena jugularis atau melalui vena emisaria dan kulit kepala.
Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika
mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan volume sedikit saja akan
menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.
Dengan meningkatnya aliran darah pada pembuluh darah otak, maka perdarahan intra
cerebral akan meningkat volumenya, sehingga dapat mendorong atau menekan masa
otak. Otak yang normal mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah
serebral. Autoregulasi menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh serebral di atas
rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon
terhadap tekanan perfusi serebral. Faktor-faktor yang mengubah kemampuan pembuluh
darah serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi, seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea,
dan trauma otak dapat mengganggu autoregulasi.
Karbon dioksida merupakan vasodilator yang paling potensi pada pembuluh serebral,
menyebabkan kenaikan aliran darah serebral yang mengakibatkan peningkatan volume
intrakranial, mengarah pada peningkatan tekanan intrakranial. Agar autoregulasi
berfungsi, kadar karbon dioksida harus dalam batasan yang dapat diterima dan
tekanannya dalam batasan : tekanan perfusi serebral di atas 60 mmHg, tekanan arteri
rata-rata dibawah 160 mmHg dan tekanan sistolik antara 60 160 mmHg dan, TIK di
bawah 30 mmHg. Cedera otak juga dapat merusak autoregulasi. Bila autoregulasi
mengalami kerusakan, alirah darah serebral berfluktuasi berkaitan dengan tekanan darah
sistemik. Pada klien dengan kerusakan autoregulasi, setiap aktivitas yang menyebabkan
tekanan darah, seperti batuk, suction, dan ansietas dapat menyebabkan peningkatan
aliran darah serebral yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan
intrakranial dengan cara pengalihan CSS ke dalam spasium subaraknoid spinal,
peningkatan absorbsi CSS, penurunan pembentukan CSS dan pengalihan darah vena
keluar

dari

tulang

tengkorak

(Hudak

and

Gallo,

2010).

12

Gambar 1. Tekanan intrakranial akan tetap normal dengan peningkatan volume


sampai titik dekompensasi tercapai. Di atas volume kritis ini, TIK akan meningkat
dengan cepat
Aliran darah otak normalnya 50 - 60 mL/100 gr jaringan otak/menit. Bila aliran
darah otak menurun sampai 20-25 mL/100gr/menit maka aktifitas EEG akan hilang
dan pada nilai 5 mL/100gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadilah
kerusakan sel yang menetap. Pada penderita non trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan aliran darah pada tingkat yang konstan apabila MAP (mean arterial
pressure) berada dikisaran 50-160 mmHg. Bila MAP dibawah 50 mmHg, aliran
darah otak sangat berkurang dan bila MAP diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah meningkat.
Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera otak
sekunder karena iskemia akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme
kompensasi tidak bekerja diikuti kenaikan TIK yang curam, perfusi otak akan
berkurang jauh terutama pada keadaan hipotensi. Oleh karena itu bila terdapat
hematom intrakranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang
adekuat tetap harus dipertahankan.
Tekanan perfusi serebral/CPP (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah tekanan
aliran darah ke otak, normalnya konstan karena adanya autoregulasi. CPP ditentukan
dengan pengurangan TIK dengan Tekanan Arteri Rerata (MAP), dapat ditulis dengan
rumus :
CPP = MAP TIK

13

Nilai normal CPP adalah 60 150 mmHg, mekanisme autoregulator dari otak
mengalami kerusakan akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau kurang dari
60 mmHg. Klien dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan disfungsi
neurologis yang tidak dapat pulih kembali. Hal ini terjadi disebabkan oleh penurunan
perfusi serebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan mengakibatkan
hipoksia serebral (Smeltzer and Bare, 2002).
2.3. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. Cedera dibagi menjadi 2 yaitu
cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi
pada otak segera setelah trauma. Cedera otak sekunder meerupakan kerusakan yang
berkembang kemudian sebagai komplikasi (Pierce dan Neil 2006).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu mendapatkan penanganan
yang cepat. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan
penderita. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (Suriadi & Rita
Yuliani, 2001).
2.4 Area yang Terkena
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.
Fraktur dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur tengkorak : Fraktur tengkorak ialah terjadinya diskontinyuitas jaringan tulang
yang melindungi otak dan struktur lain yang meliputinya, terdiri dari :
14

a. Fraktur linear : Merupakan trauma yang umumnya terjadi, sering terjadi pada anak.
Fraktur linear merupakan kerusakan yang simple pada jaringan tengkorak yang
mengikuti garis lurus. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya trauma kepala
ringan( terjatuh, terpukul, kecelakaan sepeda motor ringan ). Fraktur linear bukanlah
trauma yang serius kecuali pada trauma yang agak berat dapat mengenai jaringan
otak.
b. Fraktur impresi : Hal ini umumnya terjadi setelah bertabrakan dengan kekuatan
besar dengan benda tumpul seperti : palu, batu, atau benda berat lainnya. Trauma ini
dapat menyebabkan lekukan pada tulang tengkorak dan menekan jaringan otak.
Apabila kedalaman dari fraktur impresi ini sama dengan ketebalan tulang tengkorak
( - inchi ), operasi selalu dilakukan untuk mengangkat potongan tulang dan
untuk melihat kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma ini. Fraktur impresi yang
minimal lebih tipis dari ketebalan tulang. Fraktur ini umumnya tidak perlu dioperasi
kecuali dijumpai kerusakan lain. Fraktur ini dapat merobek dura mater dan merusak
jaringan otak dibawahnya serta menimbulkan perdarahan.
c. Fraktur basiler :merupakan fraktur yang terjadi dasar tengkorak yang diakibatkan
dari trauma tumpul yang berat pada kepala dengan kekuatan yang signifikan. Fraktur
basiler umumnya mengenai rongga sinus. Hubungan ini dapat menyebabkan udara
atau cairan masuk kedalam tengkorak dan menyebabkan infeksi. Pembedahan
umumnya tidak diperlukan kecuali ditemukan kerusakan lain (Musliha, 2010).
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
Perdarahan Intra cranial terdiri dari:
a. Subdural Hematom :Merupakan perdarahan yang terjadi diantara jaringan otak dan
duramater. Biasanya terjadi di daerah parietal. Peregangan dan robekan pada
bridging vein diantara otak dan duramater merupakan penyebab dari tipe perdarahan
ini. Subdural hematom terjadi secara akut, terjadi secara tiba tiba setelah trauma,
atau kronik, proses akumulasi yang lambat terjadi setelah trauma. Subdural hematom
kronis umumnya terjadi pada usia tua yang mempunyai bridging vein yang rapuh
dan teregang dan dengan mudah dapat mengalami perdarahan setelah trauma ringan.
Bila terjadi akut, hal ini menunjukkan trauma kepala yang berat. Sering perdarahan
subdural baru manifest setelah 2-3 minggu paska trauma. Dapat terjadi sakit kepala,
15

kelemahan anggota gerak

sesisi dan bahkan penurunan kesadaran. Keadaan

umumnya serius dan memerlukan terapi operatif.


b. Epidural Hematom : Merupakan perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
tulang tengorak. Perdarahan umumnya terjadi pada daerah temporal. Drah akan
menekan jaringan otak ke arah medial dan menyebabkan penekanan terhadap n.III
sehingga pupil yang sepihak dengan epidural hematom akan midriasis ( melebar)
dan perangsangan cahaya akan negatif. Hal ini umumnya terjadi ketika putusnya
arteri meningia media.. Epidural hematom merupakan kasus yang serius dan selalu
memerlukan pembedahan.
c. Perdarahan intra parenkim/ContusioCerebri : Merupakan perdarahan yang terjadi
dalam jaringan otak akibat putusnya pembuluh darah dalam jaringan otak. Contusio
merupakan memar pada jaringan otak. Banyak dokter menganjurkan pada pasien
dengan contusion cerebri untuk dilakukan observasi di Rumah sakit untuk mengatasi
komplikasi seperti edema cerebri. Perdarahan intra parenkimal dapat menyababkan
terkumpulnya darah pada jaringan otak. Perdarahan yang sedikit dapat berhenti
tanpa dilakukan terapi tanpa menyebabkan masalah yang serius. Perdarahan yang
banyak atau perdarahan yang lebih serius umumnya memerlukan tindakan
pembedahan tetapi biasanya dengan cacat yang menetap. Pada perdarahan
intraparenkimal ini penderita akan cepat kehilangan kesadaran (Musliha,2010).
2.5 Etiologi
Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik terdapat orang yang
mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Penyebab utama dari
trauma kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan
kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala). Namun ada penyebab lain dari
trauma kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).
1.
2.
3.
4.
5.

Kecelakaan industri
Kecelakaan olahraga
Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Insiden cedera kepala dua kali lebih besar dialami oleh pria dibandingkan wanita dan

paling tinggi terjadi pada kelompok remaja, dewasa muda, dan lansia di atas 75 tahun
16

(Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Remaja berumur 15-17 tahun mempunyai
angka tabrakan lebih dari dua kali per 1.000 pengemudi yang terjadi 4 jam sebelum atau
sesudah tengah malam dengan penyebab utama penggunaan alkohol (Behrman, Kliegman,
& Alvin, 2000). Lansia beresiko tinggi untuk terjadinya kepala bisa disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya: atrofi kortikal pada lansia yang memungkinkan otak memiliki
ruang yang lebih luas dalam rongga kranial, lansia yang hidup sendiri, sinkop, disritmia
jantung, sering berkemih pada malam hari yang menyebabkan lansia sering bolak-balik ke
kamar mandi, riwayat stroke, serta penggunaan antikoagulan (Morton, Dorrie, Carolyn, &
Barbara, 2008).
2.6 Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa tanda
dan gejala, antara lain:
1. Cedera ringan
Tanda dan gejalanya:
a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran
b. Periode konfusi (kebingungan) transien
c. Somnolen
d. Gelisah
e. Iritabilitas
f. Pucat
g. Muntah (satu kali atau lebih)
2. Tanda-tanda progresitivitas
a. Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)
b. Agitasi memuncak
c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang
tampak jelas
3. Cedera berat
Tanda dan gejalanya:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Tanda-tanda peningkatan TIK


Perdarahan retina
Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
Hemiparesis
Kuadriplegia
Peningkatan suhu tubuh
Cara berjalan yang goyah
Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina
17

4. Tanda-tanda yang menyertai


a. Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)
b. Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu tidaknya fraktur
tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran, dan kerusakan jaringan otak
(Tarwoto, 2013).
1. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar
Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf yang ada di otak,
merobek durameter yang dapat mengakibatkan perebesan serebrospinal. Kemungkinan tanda dan
gejala yang muncul, antara lain:
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga
(otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
c. Perdarahan di belakang membran timpani
d. Ekimosis periorbital
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf kranial dan kerusakan
pada bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul, antara lain:
a. Perubahan tajam penglihatan karena terjadi kerusakan pada nervus optikus
b. Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada nervus auditorius
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata karena
d.
e.
f.
g.

kerusakan nervus okulomotorius


Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
Vertigo karena kerusakan otolith pada telinga bagian dalam
Nistagmus karena kerusakan pada sistem vestibular
Warna kebiruan atau hematoma pada periorbital, dan di belakang telinga di atas

mastoid (battle sign)


2. Riwayat kejadian trauma kepala
3. Tingkat kesadaran
Hal ini tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia retrogat,
mual, dan muntah.
4. Kerusakan jaringan otak
Untuk melihat ada tidaknya cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau
MRI.

18

2.7 Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, antara lain (Hernanta, 2013):
1. Mekanisme trauma kepala
Trauma kepala dibagi atas trauma kepala tumpul dan trauma kepala tembus. Trauma
kepala tumpul bisanya disebabkan oleh kecelakaan mobil motor, jatuh, atau pukulan benda
tumpul. Sedangkan trauma tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput durameter menjadi indikasi apakah suatu trauma termasuk trauma tembus atau tumpul
(Hernanta, 2013).
2. Beratnya trauma
Untuk menilai beratnya trauma dilakukan pemeriksaan Glaslow Coma Scale (GCS).
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita trauma kepala (Hernanta, 2013).
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
Jika GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrogade. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
serebral maupun hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Jika GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrogade lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Jika GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalamai kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intrakranial.
Tebel 1. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)

19

3. Morfologi trauma
Trauma kepala berdasarkan morfologi trauma dibagi atas fraktur kranium dan lesi
intrakranial (Hernanta, 2013).
a. Fraktur kranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat terbentuk garis atau bintang, serta
dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya diperlukan
pemeriksaan CT scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadi petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
yang lebih rinci . tanda dan gejalanya yaitu:
1. Ekimosis periorbital (racoon eye sign)
2. Ekimosis retro aurikuler (battle sign)
3. Kebocoran cairan serebrospinal (rhonorrea, ottorhea), dan
4. Parese nervus fasialis (N VII)
b. Lesi intrakranial

20

Diklasifikasikan menjadi lesi lokal dan lesi difus, walaupun keduanya sering terjadi
bersamaan.
1. Lesi lokal
Yang termasuk lesi lokal adalah
a. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural adalah akumulasi darah diantara dura dan struktur
bagian dalam otak, yang biasanya disebabkan oleh laserasi arteri ekstradural
(Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Ciri dari perdarahan epidural
adalah berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung (Hernanta,
2013). Klien dengan perdarahan epidural awalnya dapat mengalami
kehilangan kesadaran, kembali sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami
perburukan hingga menjadi tidak sadar kembali. Sikap tubuh dan dilatasi
unilateral pupil menunjukkan tanda lanjut herniasi serebral (Morton, Dorrie,
Carolyn, & Barbara, 2008).
b. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas
arakhnoid yang menutupi otak (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Perdarahan subdural sering terjadi akibat robeknya jembatan vena yang
terletak antara korteks serebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara,
namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri permukaan otak.
Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat. Prognosisnya jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural (Hernanta, 2013).
c. Kontusio dan perdarahan intra serebral
Kontusio serebral sering terjadi di frontal dan lobus temporal, namun bisa
juga terjadi pada setiap bagian otak seperti batang otak dan cerebellum.
Kontusio serebral dapat terjadi dalam beberapa hari atau jam yang kemudian
mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral apabila lesi meluas
dan terjadi penyimpangna neurologis (Hernanta, 2013).

21

Gambar 1. A.Hematoma peidural B.Hematoma subdural C.Hematoma


intraserebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
2. Lesi difus
Cedera difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi. Pada pemeriksaan CT scan menunjukkan hasil normal, namun keadaan
klinis neurologis sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan
pada dalam dan lamanya koma dikelompokkan menjadi kontusio ringan, kontusio
klasik, dan Cedera Aksona Difus (CAD). Keadaan koma yang dalam dan tetap
selama beberapa waktu biasanya penderita menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebasi. Bila pulih, penderita sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom,
seperti: hipotensi, hiperhidrosis, hiperpireksia, dan dulu diduga akibat cedera
batang otak primer (Hernanta, 2013).
4. Kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013)
a. Komosio serebri (gegar otak)
Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi
hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrogad, mual,
muntah, dan nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (memar)
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontunuitas otak
masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
22

c. Laserasio serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial.
2.8 Patofisiologi
Mekanisme khas dari trauma kepala adalah (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008):
1. Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak. Misalnya alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2. Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam. Misalnya pada pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca. Akselerasi-deselerasi sering
kali dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan fisik.
3. Coup-contre coup
Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan
dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang
pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan
dapat berpindah ke area otak yang berlawanan. Misalnya ketika pasien dipukul dengan
objek tumpul pada bagian kepala.
4. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba seta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam otak tengkorak.

23

Gambar 2. Mekanisme tipikal cedera (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi dua proses, yaitu proses primer
dan proses sekunder (Tarwoto, 2013).
1. Proses primer
Merupakan trauma yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma. Trauma ini
umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur
pembentuknya (Tarwoto, 2013).
2. Proses sekunder
Merupakan proses lanjutan dari proses primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Biasanya klien mengalami hipoksi, hipotensi, asidosis, penurunan suplai oksigen ke otak. Lebih
lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, nyeri kepala.
Peningkatan tekanan intrakranial harus segera ditangani karena dapat menimbulkan gangguan
perfusi jaringan otak dan herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan. Prinsip dari
penalaksanaan peningkatan TIK adalah dengan mengontrol cerebral blood flow (CBF) untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Keadaan CBF ditentukan oleh berbagai faktor
seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabloic rate, dan PCO2. CBF yang adekuat akan
berpengaruh terhadap tekanan prfusi otak (CPP), sehingga kebutuhan metabolisme otak terjaga
(Tarwoto, 2013).
24

2.9 WOC
(Terlampir)
2.10 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dan penunjang pada trauma kepala, yaitu: (Baughman & Hackley
2000; Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)
1. Rontgen tengkorak: AP, lateral, dan posisi Towne
2. CT scan/ MRI: menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, dan edema serabral
3. Cerebral Angiography: menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
4. Serial EEG: melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
6. BAER: mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF danlumbal punksi: dapat dilakukan jika dicurigai terjadi perdarahan subarachnoid.
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat dilakukan
primary dan secondary survei. Survei primer mengkaji ABCDE (airway, breathing,
circulation, disability, exposure), dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting
pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera.
Survei Primer
1. Airway
Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck
collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
2. Breathing
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju
pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas di kedua aksila.
3. Circulation
25

Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktatatau Normal
Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB harus
dipertimbangkan.
4. Disability
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunkan GCS.
Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS 8, harus
diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi
vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan
menurunkan tekanan intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan
intracranial.
5. Exposure
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering
datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas.
Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun
pemberian cairan intravena

(yang telah dihangatkans ampai 390C) (Dewanto et

al.2009).
Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dalami akibat
cidera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain itu, pemakaian
penyangga leher diindikasikan jika:
a.
b.
c.
d.
e.

Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher


Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
Rasa baal pada lengan
Gangguan keseimbangan atau berjalan
Kelemahan umum.
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:
a. Penurunan kesadaran (menurut skala koma Glasgow) dari observasi awal
26

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Gangguan daya ingat


Nyeri kepala hebat
Mual dan muntah
Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
Abnormlitas anatomi otak berdasarkan CT scan.

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di


rumah. Namun, bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama,
penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status cidera kepala yang
dialami menjadi cedera kepala sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.
Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita
diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung
dibawa kembali ke rumah sakit. Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural
(EDH) atau hematom subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
a.

b.

Indikasi bedah pada perdarahan epidural (EDH)


1. EDH simtomatik
2. EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal> 1 cm (EDH yang lebih besar dari
pada ini akan sulit diresopsi)
3. EDH pada pasien pediatric.
Indikasi bedah pada perdarahan subdural (SDH)
1. SDH simtomatik
2. SDH dengan ketebalan> 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada pediatric
(Dewantoet al, 2009).

2.11 Komplikasi
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998; Ginsberg 2008)
1. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)
2. Hematoma subdural kronik yang dapat terjadi pada trauma kepala ringan, dan epilepsi
pasca trauma terjadi terutama pada pasien yang mengalami kejang awal (dalam minggu
pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur
depresi kranium, atau hematoma intrakranial
3. Pasien dengan fraktur basis cranii beresiko mengalami kebocoran CSF dari hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) yang dapat memberikan kemungkinan terjadinya
meningitis. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan reparasi bedah untuk
27

robekan dura. Bedah eksplorasi juga diperlukan apabila terjadi kebocoran CSF
persisten
4. Sindrom pascakonkusi yaitu sindrom dengan beberapa gejala: nyeri kepala, vertigo,
depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah trauma kepala ringan.
Vertigo dapat terjadi akibat terdapat trauma pada vestibular.

2.12 Penatalaksanaan
Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma kepala, yaitu:
(Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)
1. Mempertahan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
2. Menilai status neurologis (disabilitas dan pajanan)
3. Penurunan resiko iskemi serebri, dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
meskipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa
yang lebih rendah
4. Mengontrol kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang
diakibatkan edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan TIK dapat dilakukan dengan menurunkan PaCO 2 melalui
hiperventilasi yang menurunkan asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme
intraserebral.

28

Gambar: Penatalaksanaan kontrol TIK (Grace & Borley 2007)


Tatalaksana sesuai derajat trauma kepala:
1. TraumaKepalaRingan (GCS = 1315)
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoidpadalukaterbuka
c. Penderitadapatdiobservasiselama 1224 jam di RumahSakit
2. Trauma KepalaSedang (GCS = 9-12)
a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CTscan
d. Penderita harus dirawat untuk diobservasi
e. Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat apabila:
1) Status neulologis membaik
2) Hasil CT scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan

29

3) Apabila pasien jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan pasien
trauma kepala berat.
f. Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
3. TraumaKepalaBerat (GCS 8)
Diagnosadan
terapisangatpentingdanperludengansegarapenangananTindakanstabilisasikardiopulmoner
padapenderitaTrauma KepalaBeratharusdilakukansecepatnya.
2.13 Prognosis
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.Nilai GCS
saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai
GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12
memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu
diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan
irritable. 17% pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam
dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan
amnesia.

2.14
Monitoring ICP(Intracranial Pressure)
A. Definisi ICP
Kranium merupakan kompartemen yang kaku kecuali pada bayi, hingga setiap
penambahan massa didalamnya akan berakibat peningkatan tekanan intrakranial bila
kemampuan kompensasi sudah terlampaui. Didalamnya berisi jaringan otak, cairan
serebrospinal serta darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Terdapat satu lubang
utama yaitu foramen magnum, hingga bila terjadi peingkatan tekanan intrakranial jaringan
otak akan mencari jalan keluar melalui lubang ini. Disamping itu pada tentorium yang
memisahkan otak besar dan otak kecil terdapat lubang yang disebut hiatus yang mana disana
terletak batang otak, sehingga apabila terjadi peninggian tekanan intrakranial pada daerah
otak besar, akan terjadi pergeseran jaringan otak besar kedalam hiatus ini hingga akan
menekan batang otak yang merupakan pusat dari fungsi vital.
30

Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan otak tiap
menitnya. Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF 50 cc/100 gr
jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP 40-140 mmHg. Kerusakan
jaringan otak akan irreversibel terjadi jika CBF kurang dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit.
Pada keadaan emergensi neurologi seperti infeksi atau trauma kapitis akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial
normal adalah < 10 mmHg atau 15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap
meningkat bila > 20-25 mmHg. CPP merupakan selisih dari Mean Arterial Pressure (MAP)
dengan TIK, maka sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan atau
menurunkan tekanan intrakranial. TIK dapat dipantau dengan menggunakan alat monitor
TIK yang biasanya tersedia di ICU sehingga dapat dilakukan tindakan dan terapi dengan
cepat dan tepat.
Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan TIK.
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu
dari ketiga ruangannya meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan
mengurangi volumenya (apabila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini
terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak
terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang
berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran
otak kearah bawah atau horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat.Dua mekanisme
terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi syaraf. Apabila peningkatan TIK berat dan
menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan
kematian neuronal.
Tekanan intracranial ialah tekanan dalam ruang tengkorak, berdasarkan hipotesis MonroKellie: merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan otak, cairan otak yang bersifat
tetap, karena berada dalam ruang tengkorak yang bersifat kaku, tekanan tersebut menjalar ke
setiap sisi ruangan di dalam tengkorak. Tekanan Intra Kranial atau Intracranial Pressure
adalah tekanan atau hubungan volume diantara kranium dan isi kubah kranium. Volume
kranium terdiri atas darah, jaringan otak dan cairan serebrospinal (CSS), (Fransisca, 2008)

31

B. Nilai Normal ICP


Intracranial Pressure (Tekanan Intracranial) adalah tekanan yang ada di dalam tulang
kranium yang mana berisi otak, sistem vaskuler cerebral dan cairan cerebrospinal. Tekanan
biasanya diukur melalui caioran otak dengan tekanan normal antara 5 - 15 mmHg atau antara
60 - 180 cmH2O. Tekanan diatas 250 mmH2O disebut peningkatan tekanan intracranial dan
gejala-gejala serius dari gangguan penyakit yang menyertai akan muncul. TIK yang diukur
melalui lumbal fungsi biasanya tidak terlalu akurat karena apabila ada sumbatan pada jalur
kortikospinal akan mendapatkan hasil yang kurang akurat.
TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal adalah
7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-anak, dan 1,5-6 mm Hg
pada bayi cukup umur. Definisi hipertensi intracranial tergantung pada patologi spesifik dan
usia, walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg umumnya
abnormal, akan tetapi penanganan diberikan pada tingkat berbeda tergantung patologinya.
TIK>15 mmHg memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera
kepala, penanganan diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada anakanak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama penanganan
cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18 mmHg pada anak yang lebih tua dan
remaja.
Cerebral Perfusion Pressure
1.

CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya lebih besar).

2.

CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP ICP

3.

CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP

4.

Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan
CBF, meskipun MAP normal.

5.

CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-40 mmHg
menunjukkan gambaran flat,

tekanan perfusi terus menerus < 25 mmHg

menyebabkan kerusakan otak irreversibel.


C. Tanda dan Gejala Peningkatan dan Penurunan ICP

32

Kenaikan Tekanan Intrakranial yang disebut PTIK yang merupakan hal yang menjadi
perhatian utama bila kita mendapatkan perhatian utama bila kita mendapatkan pasien dengan
kelainan tekanan intra kranial.Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10-15 mmHg atau
setara dengan 136-204 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan
terjadinya peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmHg atau > 250 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial merupakan komplikasi yang serius yang biasanya terjadi
pada trauma kepala, perdarahan subarahnoid, hidrosefalue, SOL, infeksi intracranial,
hipoksia dan iskemi pada otak yang dapat menyebabkan herniasi sehingga bisa terjadi henti
nafas dan jantung ( Hudak & Gallo, 1998 ).
Tanda dan gejala spesifik PTIK adalah sebagai berikut :
1

Awal
a

Penurunan derajat kesadaran (mis : delirium, gelisah, letargi)

Disfungsi pupil

Kelemahan motorik (mono atau hemiparesis)

Defisit sensorik

Paresis nervus kranial

Kadang-kadang disertai nyeri kepala

Kadang-kadang disertai bangkitan / kejang

Lanjut
a Lebih memburuknya derajat kesadaran (mis : stupor, soporokomatus, koma)
b Mungkin disertai muntah
c Nyeri kepala
d Hemiplegia, dekortiasi, atau deserebasi
e Pemburukan tanda vital
f Pola pernafasan ireguler
g Gangguan refleks batang otak (mis : gangguan reflrks kornea, refleks muntah)

Perwujudan klinis gejala dan tanda klinik PTIK tergantung dari :


a
b
c

Lokasi kompartemen mana terdapatnya kelainan


Lokasi spesifik dari massa (hemisfer cerebral, batang otak atau cerebellum)
Derajat kemampuan kompensasi bagian otak tersebut.

33

Karena pentingnya mengenali gejala-gejala tersebut diatas, maka perlu sekali mengetahui
cara pemeriksaan neurologik. Untuk memudahkan akan diuraikan secara singkat temuantemuan diatas.
1

Perburukan derajat kesadaran


Perburukan derajat kesadarn tak selalu memperburuknya umum bagian otak, tetapi
merupakan peringkat sensitif dan dapat dipercaya untuk mengenali adanya kemungkinan
memburukkan kondisi neurologik.
Penurunan derajat kesadaran dikarenakan :

Sebagian besar otak terbentuk dari sel-sel tubuh yang sangat khusus, tetapi sensitif
terhadap perubahan kadar oksigen. Respon otak terhadap tidak mencukupinya kebutuhan
oksigen terlihat sebagai somnolen dan gangguan daya nalar (kognisi).

Fluktuasi TIK akibat perubahan fisik pembuluh darah terminal. Oleh karena itu gejala
awal dari penurunan derajat kesadaran adalah somnolen, delirium dan letargi. Penderita
menjadi disorientasi, mula-mula terhadap waktu, lalu tempat, dan akhirnya dalam hal
memgenali seseorang, Dengan semakin meningginya TIK, derajat kesadaran semakin
rendah, dimana rangsang nyeri mulai memberi reaksi adequat, hingga akhirnya
kompensasi.

Disfungsi pupil
Akibat peninggian TIK supratentorial atau oedema otak, perubahan ukuran pupil
terjadi.Tidak saja ukuran pupil yang berubah, tetapi dapat juga bentuk dan reaksi
terhadap cahaya. Pada tahap awal ukuran pupil menjadi berdiameter 3,5 mm atau disebut
sebagai ukuran tengah. Lalu makin melebar (dilatasi) secara bertahap.Bentuknya dapat
berubah menjadi melonjong dan reaksi tyerhadap cahaya menjadi lamban.Perlambatan
reaksi cahaya dan tau perubahan melonjong, merupakan gejala awal dari penekanan pada
saraf okulomotor. Karena sumber PTIK cenderung berdampak sesuai kompartemen pada
tahap awal, disfungsi pupil masih ipsilateral (pada sisi yang yang sama terhadap
penyebabnya). Pada tahap lanjut PTIK, pupil ipsilateral berdilatasi bilateral dan non
reaktif terhadap cahaya. Pupil menjadi berdilatasi bilateral dan non reaktif pada fase
terminal, karena PTIK menyebabkan proses herniasi

Abnormalitas visual

34

Devisit visual dapat terjadi sejak gejala masih awal. Gangguan tersebut dapat berupa
Ketajaman visus, Kabur dan Diplopia.Menurutnya ketajamanpenglihatan danpenglihatan
kabur adalah keluhan yang sering terjadi, karena diperkirakanakibat penekanan sarafsaraf nervus optikus (N. 11) melintasi hemisfer cerebri. Diplopia berkaitan dengan
kelumpuhan dari satu atau lerbih saraf-saraf penggerak bola mata ekstra-okuler(N. III, IV,
VI) Sehingga pasien melihat dobel pada posisi tertentu.Gejala-gejala visual semakin
menonjol seiring semakin meningkatnya TIK. Gangguan Diplopia / Blurring / penurunan
ketajaman biasannya terjadi pada pasien dengan peningkatan ICP.Diplopia biasa karena
paralisis otot yang mengatur gerakan mata.
4

Pemburukan fungsi motorik


Pada tahap awal, monoparesis stau hemiparesis terjadi akibat penekanantraktus
piramidalis kontra lateral pada massa. Pada tahap[ selanjutnyahemiplegia,dekortikasi dan
deserebrasi dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pada tahapakhir (terminal
menjelangmati) penderita menjadi flasid bilateral.Secara klinis sering terjadi keracunan
dengan respon primitif perkembangan manusia, yaitu reflek fleksi yang disebut trifleksi
(triple fleksion).Trifleklsi terjadi akibat aktivasi motoneuron difus dengan hasil berupa
aktivasi otot-otot fleksor menjauhi rangsang nyeri (otot-otot fleksor dipergelangan lutut,
kaki, dan panggul mengkontraksikankeempatanggota badan kearah badan).Trirefleks ini
merupakan bentuk primitif refleks spinal.

Nyeri kepala
Pada tahap paling awal PTIK, beberapa penderita mengeluh nyeri kepala ringan atau
samar-samar.Secara umum, nyeri kepala sebenarnya tidak terlalu sering terjadi seperti
diperkirakan banyak orang.Nyeri kepala terjadi akibat pereganggan struktur intrakranial
yang peka nyeri (duramater, pembuluh darah besar basis kranji, sinus nervus dan bridging
veins).Nyeri terjadiakibat penekanan langsung akibat pelebaran pebuluh darah saat
kompensasi.Nyeri kepala I pada kelainan ini sering dilaporkan sebagi nyeri yang
bertambah hebat saat bangkit dari tidur di pagi hari.Hal ini dikarenakan secara normal
terjadipeningkatan aktivitas metabolisme yang paling tinggi saat pagi hari, dimana pada
saat tidurmenjelangbangun pagi fase REM mengaktifkan metabolisme dan produksi CO2.
Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah vasodilatasi.

Muntah
35

Projectile vomiting akibat peningkatan ICP.Muntah akibat PTIK tidak selalu sering
dijumpai pada orang dewasa.Muntahdisebabkan adanya kelainan di infratentorial atau
akibat penekanan langsungpada pusat muntah.Kita belum mengerti secara lengkap
bagaimana mekanismerefleks muntah terjadi.Muntah dapat didahului oleh mual /
dispepsia atau tidak.Seandainya didahului oleh perasaan mual / dispepesia, berarti terjadi
aktivasi saraf-saraf ke otot.Bantu pernafasan akibat kontraksi mendadak otot-otot
aberhubungan denganomen dan thoraks.
7

Perubahan tekanan darah dan denyut nadi


Pada tahap awal tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil pada tahap selanjutnya
karena penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan darah.Penekananke batang
otak menyebabkan susasana iskemik di pusat vasomotorik di batangotak.Seiring dengan
meningkatnya TIK, refleks rtespon Chusing teraktivasi agar tetap menjaga tekanan
didalam pembuluh darah serebral tetap lebih tinggi daripada TIK.
Dengan meningginya tekanan darah, curah jantungpun bertambah dengan
meningkatnyakegiatan pompa jantung yang tercermin dengan semakin memburuknya
kondisipenderitaakan terjadi penurunan tekanan darah.Pada tahap awal denyut nadi masih
relatif stabil dengan semakin meningkatnyaTIK, denyut nadi akan semakin menurun
kearah 60 kali permenit sebagai usahakompensasi. Menurunnya denyut nadi dan isi
denyut terjadi sebagai upaya jatung untuk memompa akan ireguler, cepat, halus dan
akhirnya menghilang.

Perubahan pola pernafasan


Perubahan pola pernafasan merupakan pencerminan sampai tingkat mana TIK.Bila
terjadi PTIK akut sering terjadi oedema pulmoner akut tanpadistress syndrome (ARDS)
atau dissminated intravaskular coangulopathy (DIC).

Perubahan suhu badan


Peningkatan suhu badan biasanya berhubungan dengan disfungsi hipothalamus.Pada
fase kompensasi, suhu badan mungkin masih dalam batas normal. Padafase
dekompensasi akan terjadi peningkatan suhu badan sangat cepat dan sangat tinggi.
Melonjaknya suhubadan dapat juga terjadiakibat infeksi sekunder, tetapi jarang yang
mencapaisangattinggi sebagaimana halnya akibat gangguan fungsi hipothalamus.
36

10 Hilangnya refleks refleks batang otak


Pada tahap lanjut PTIK terjadi penekanan kebatang otak yang berakibat hilangnya
atau disfungsi refleks-refleks batang otak.Refleks-refleks ini diantaranya Refleks kornea,
Oukosefalik, dan Aukulovestibuler. Prognosis penderita akan menjadi buruk bila terjadi
refleks-refleks tersebut.
11 Papiledema
Tergantung keadaan yang ada, papil oedema dapat terjadi akibat PTIK, ataumemang
sudah ada sejak awal. Papiloedema akibat PTIK tak akan terjadi seandainya belum
menjadi tingkat yang sangat tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa tak adanya papiloedema
tak beraarti tak ada PTIK.Pada beberapa orang dapat ada jika PTIK terjadi secara
bertahap.
D. Monitoring ICP
Tujuan utamamonitoring tekanan intrakranial(ICP) adalah untuk mengidentifikasitekanan
intrakranialdan evaluasi terapiintervensiuntuk meminimalkancederaiskemikpada pasien yang
megalamicedera otak. (G. Werren. 2014).
Interpretasi gelombang pada monitor TIK
Selain nilai absolut TIK, gelombang TIK dapat memberikan informasi tentang
compliance. Bentuk gelombang TIK digolongkan menjadi komponen P1, P2, P3, dengan tiap
elemen gelombang lebih kecil dari sebelumnya. Gelombang P1 menunjukkan gelombang
arterial, P2 menunjukkan rebound, dan P3 menunjukkan outflow vena. Peningkatan
gelombang P2 merupakan tanda compliance yang jelek. Compliance dapat diukur dengan
pengaturan drainase volume CSF dan memeriksa perubahan pada tekanan yang ditimbulkan
(volume/tekanan). Jika compliance TIK yang rendah dan kritis, disertai dengan perfusi
jaringan

yang

tidak

adekuat,

dapat

mengakibatkan

gelombang

Lundberg.

37

Gambar 1 .Bentuk gelombang TIK .7. Gelombang TIK patologik (Sumber : Guide to the
Care of the Patient with Intracranial Pressure Monitoring)
Gelombang Lundberg A (gelombang plateau) menunjukkan peningkatan TIK tiba-tiba dari
20 ke 100 mmHg yang bertahan dari menit ke jam, menyebabkan penurunan CBF/CPP dan
iskemik otak. Gelombang Lundberg B sedikit meningkat, biasanya 5-20 mmHg, bertahan 1-5
menit, berhubungan dengan variasi respirasi, dan digolongkan dengan ketajaman gelombang.
Gelombang Lundberg ini merupakan penanda untuk compliance intrakranial rendah kritis dan
mungkin mengakibatkan hipoperfusi jaringan, pembesaran arteriolar yang progresif, dan
peningkatan CBV. Gelombang Lundberg A harus diterapi dengan agresif dengan meningkatkan
CPP menggunakan vasopressor, dan menurunkan TIK dengan terapi osmotik dan hiperventilasi.
Penting untuk dicatat bahwa pasien dapat terjadi herniasi dengan nilai TIK normal. Pasien
asimptomatik dengan kurva compliance normal, TIK dapat tiba-tiba naik (seperti saat batuk, atau
membalik badan).
Interpretasi Hasil Pemantauan Tekanan Intrakranial
a

Tipe waveform tekanan intrakranial


38

Terlihat adanya variasi dalam rekaman pengukuran ICP normal yang berasal dari
denyutan kecil yang ditransmisikan dari tekanan darah sistemik ke rongga intrakranial.
Dalam melakukan pemeriksaan dasar apakah sinyal ICP benar-benar representatif
terhadap tekanan intrakranial, dokter harus memastikan bahwa terdapat kurva tekanan
berosilasi dengan penurunan progresif dari notche P1, P2 dan P3, yang menunjukkan
propagasi dari pulsasi tekanan jantung (Gbr. 1)
b Waveform patologis
Analisis kurva tekanan lebih lanjut juga dapat digunakan dengan mengidentifikasi
gelombang Lundberg A dan B. Gelombang A (juga dikenal sebagai gelombang plateau)
yang ditandai dengan peningkatan dan penurunan yang cepat pada tekanan sampai nilai
50-100 mmHg dan berlangsung dari 5 sampai 20 menit dengan durasinya yang
bervariasi. Mereka adalah tanda dari gangguan autoregulasi serebral yang lebih parah.
Gelombang B yang berosilasi secara ritmik muncul dengan frekuensi 1/2-2 kali per
menit, dan dapat menjadi tanda disfungsi serebral. Dengan meningkatnya ICP, akan
terjadi penurunan compliance otak, pulsasi arteri menjadi lebih jelas, dan komponen vena
menghilang. Waveform patologis termasuk Lundberg tipe A, B, dan C. Gelombang
Lundberg A atau gelombang plateau adalah elevasi ICP ke nilai yang lebih tinggi dari 50
mmHg berlangsung selama 5 sampai 20 menit. Gelombang ini disertai dengan
peningkatan simultan dari MAP, tetapi tidak jelas dipahami apakah perubahan MAP
adalah sebagai penyebab atau efek Gelombang Lundberg B atau pulsasi tekanan,
memiliki amplitudo 50 mmHg dan terjadi setiap 30 detik sampai 2 menit. Gelombang
Lundberg C memiliki amplitudo 20 mmHg dan frekuensi 4 sampai 8 kali per menit, dapat
terlihat pada waveform ICP normal, akan tetapi amplitudo gelombang C yang tinggi
dapat tumpang tindih dengan gelombang plateau.

39

Algoritma Monitoring ICP


E. Personel Monitoring ICP
Pemantauan ICP adalah tugas kompleks yang membutuhkan pengetahuan dan
pemahaman tentang komponen teknis dari sistem pemantauan cairan, patofisiologi sistem
saraf pusat, dan interaksi antara sistem tersebut. Personil melakukan pengaturan,
pengumpulan data, atau prosedur perawatan harus memegang kepercayaan , yaitu RRT, CRT,
atau RN, dan kompetensi yang harus didokumentasikan yaitu (G. Werren. 2014) :
a. Penyiapan teknis dan operasi pemantauan tekanan sistem CCMD Share / lr / Kebijakan /
b.
c.
d.
e.

Prosedur / Monitoring Klinis


Central sistem fisiologi saraf dan patofisiologi
Analisis gelombang ICP
Respon tepat untuk efek samping
Penerapan Universal Precaution

40

F. Indikasi Monitoring ICP


Menurut Twomey 2009, dapat mencakup hidrosefalus, perdarahan, tumor, meningitis atau
cedera otak traumatis.
Indikasi dapat mencakup (G. Werren. 2014) :
1
2
3
4
5

Cedera otak traumatis yang berat


Perdarahan intrakranial
Edema serebral
Pasca kraniotomi
Ruang yang dapat mengalami lesi seperti hematoma epidural dan subdural, tumor,

abses, atau aneurisma dapat menyumbat saluran CSF


Pasien sindrom Reye yang mengalami koma dan tanggapan yang abnormal terhadap

rangsangan.
7 Encephalopathy , krisis hipertensi, atau kerusakan hati
8 Meningitis / ensefalitis mengakibatkan malabsorpsi CSF
G. Kontraindikasi
1. Infeksi sistem saraf pusat
2. Gangguan Koagulasi
3. Terapi antikoagulan
4. Infeksi kulit kepala
5. Pergeseran garis tengah mengakibatkan perpindahan ventrikel
6. Edema serebral mengakibatkan kehancuran ventrikel
7. Pasien memiliki abses otak
H. Komplikasi dan Precaution
Komplikasi yang terjadi menurut G. Werren. 2014, yaitu :
1 Infeksi intracranial
2 Kejang
3 Stroke
4 Perdarahan intraserebral
5 Kebocoran CSF ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
6 Cairan CSF yang berlebihan yang menyebabkan kehancuran dan herniasi
7 Hilangnya pemantauan atau pembuangan disebabkan oleh sumbatan kateter pada
8

jaringan otak atau darah


Terapi yang tidak tepat karena salah pembacaan ICP disebabkan oleh bentuk

gelombang yang tidak tepat, kegagalan elektromekanis, atau kesalahan operator


9 Kerusakan saraf
10 Kematian

41

I. Pencegahan PTIK
Pencegahan PTIK menurut G. Werren (2014)
1

Untuk meminimalkan risiko infeksi sistem saraf pusat, teknik aseptik harus
digunakan setiap saat ketika perawatan, memanipulasi, atau memonitoring cairan.

Sambunganyang kuatharus dipertahankan, dansistem harus tetap bebas dari udara


untuk memastikan keakuratan maksimal.

Jangan gunakan alat bilas untuk pemantauan ICP. Hanya gunakan NaCl0,9%
untuk mengisi tabung tekanan. Jangan menggunakan larutan heparin.

Untuk memastikan akurasi yang optimal, perataan yang tepat dan penekanan dari
sistem harus dipertahankan. Tingkatan yang tepat untuk transduser adalah pada
foramen Monro untuk diukur tingkat kantus bagian luar pada mata atau sebagai
alternatif ditulang belakang lumbal untuk pembuangan.

Harus sangat hati-hati dalam memposisikan dan mengubah pasien untuk


menghindari pergerakan kanulasi atau pemutusan selang saat pengambilan .

Pasien diletakkan degan posisi kepala 30 sampai 45 derajat dan posisi netral bila
diperlukan untuk meminimalkan ICP. Dilakukan secara hati-hati ketika
memposisikan pasien dan melakukan terapi untuk meminimalkan kenaikan ICP
dan degradasi terkait di CPP. Hindari posisi fleksi dan hiperekstensi leher dan
pasien dalam posisi trendelenberg, yang semuanya dapat meningkatkan ICP.
CATATAN: Sebuah alarm untuk peningkatan ICP harus dijaga ON setiap saat

Lakukan dengan hati-hati saat memanipulasi sistem drainase untuk menghindari


filter agar tidak basah. Drainase silinder harus selalu dalam posisi tegak. Jika filter
diharuskan untuk basah, dan apabila drainase ingin diperlambat atau dihentikan,
dibutuhkan waktu agar filter dapat mengering sebelum drainase dapat diatur
kembali.

Cordis EDS dan sistem tekanan transduser hanya dapat digunakan pada satu
pasien saja. Tidak dianjurkan untuk mensterilkan setiap bagian dari sistem sekali
pakai tersebut untuk digunakan secara bergantian dengan pasien lain.

Tidak dianjurkan untuk melakukan drainase secara simultan dan pemantauan


tekanan. Untuk memastikan pengukuran tekanan yang tepat, melakukan

42

monitoring tekanan hanya dapat dilakukan saat threeway tertutup untuk sistem
drainase.
10 Hanya sejumlah kecil dari CSF (sekitar dua ml) yang harus didrainase dalam satu
waktu. Dekompresi otak secara cepat dari CSF yang terlalu didrainase dapat
menyebabkan herniasi. Drainase secara berlebihan dapat terjadi jika sistem tidak
sengaja dibiarkan terbuka, atau jika pasien dipertahankan pada tingkat yang lebih
tinggi dari titik acuan pada sistem (sesuai instuksi dokter).
CATATAN: Ketinggian dari silinder drainase menentukan kecepatan di mana CSF
akan didrainase. Instruksi dokter untuk drainase harus mencakup pembacaan tekanan
baik mm Hg atau cm H2O di mana ketinggian (seperti yang ditandai pada kartu
pemasangan) silinder drainase harus diperhatikan. Titik referensi nol untuk
pemantauan ICP selalu berada di luar canthus mata (termasuk untuk drainase lumbal
dan tulang belakang).
J. Efek Samping dan Intervensi
Efek samping yang dapat terjadi antara lain:
1

Jika darah divisualisasikan dalam tabung tekanan (dari perdarahan intrakranial),

Beritahukan dokter.
Jika gelombang yang baik atau ICP yang akurat tidak dapat diperoleh, dapat dicoba
membilas

sistem pemantauan dengan cairan 0,9% NaCl steril. Untuk sesak semua

penghubung pertama harus diperiksa. Jangan membilas sementara system itu terbuka
untuk pasien. Tutup kran untuk pasien dan kemudian cobalah untuk mengejutkan sistem
pemantauan. Lanjutkan pemantauan tekanan dengan membuka sistem untuk pasien. Jika
gelombang buruk terus berlanjut, masalah sistem seperti debubbling, releveling dan
penekanan, dan mengubah kabel listrik. Jika semua manuver ini gagal untuk
memperbaiki bentuk gelombang yang buruk, Kateter dapat tersumbat dengan darah atau
jaringan yang memerlukan intervensi dokter. CATATAN: ICP akut rendah mungkin
menunjukkan dekompresi akut akibat kebocoran atau overdrainage CSF. Beritahu dokter
dan perawat segera.

43

Dalam kasus dekompensasi akut (yaitu berkelanjutan ICP lebih besar dari atau sama
dengan 15 mm Hg), bersiaplah untuk hiperventilasi pasien dengan resusitasi pengguna

terhubung ke 100% oksigen. Beritahu dokter atau perawat.


Jika pasien menunjukkan tanda-tanda dekompensasi termasuk tingkat kesadaran yang
berubah, gelisah, agitasi, lesu, kebingungan, kelemahan motorik, kejang, perubahan
dalam pola pernapasan, peningkatan tekanan darah, bradikardia, muntah, decortication /
decerebration, atau koma, beritahu perawat dan dokter segera. (G. Werren. 2014)

K. Peralatan Pemasangan ICP


1

Cordis EDS with mounting card

Pressure transducer with 48-inch pressure tubing

Sterile 0.9% NaCl with sterile 20-ml syringe

Pressure monitoring cable

Intravenous cable

Manual resusitator, mask, and 100% oxygen source

Cardiopulmonary monitor

Universal precautions attire (G. Werren, 2014)

L. Prosedur Monitoring
1 Kumpulkan Cordis EDS sesuai dengan instruksi pada setiap paket dan pada setiap kartu
pemasangan pada diagram petunjuk menggunkan 0,9% NaCl untuk membilas sistem.
Tempatkan tabung 48 inci dengan terhubung transduser tekanan pada kartu pemasangan
2

plastic.
Tempatkan pasien pada posisi semi Fowler dan posisi titik acuan nol pada canthus luar

mata
Awasi gelombang tekanan ICP pada monitor cardiopulmonal. Nyalakan kran yang paling

dekat dengan pasien sehingga gelombang ICP divisualisasikan.


Untuk drainase yang berkelanjutan, nyalakan kran yang paling dekat dengan pasien
sehingga drainase dapat dikaji dan tekanan monitor dapat dihentikan sesuai indikasi. (G.
Werren, 2014)

M. Metode pemantauan TIK

44

Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung) dan non
invasive (tidak langsung). Metode non invasif (secara tidak langsung) dilakukan 8
pemantauan status klinis, neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/TCD). Sedangkan metode invasif (secara langsung) dapat dilakukan di
beberapa

lokasi

anatomi

yang

berbeda

yaitu

intraventrikular,

intraparenkimal,

subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang umum dipakai yaitu intraventrikular dan
intraparenkimal (microtransducer sensor). Metode subarakhnoid dan epidural sekarang
jarang digunakan karena akurasinya rendah. Pengukuran tekanan LCS lumbal tidak
memberikan estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila dilakukan pada TIK meningkat.
Beberapa metode lain seperti Tympanic Membrane Displacement/TMD, Optic nerve sheath
diameter/ONSD namun akurasinya sangat rendah.
1

Pemantauan secara tidak langsung


Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK
yaitu
a

Tingkat kesadaran (GCS)

Pemeriksaan pupil

Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)

Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis

Adanya mual atau muntah

Keluhan nyeri kepala

Vital sign saat itu

Oftalmoskopi
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan
TIK.Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari. Tapi
sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema dapat
memberikan informasi mengenai proses perjalanan penyakit.

45

Gambar oftalmoskopi
-

Neuroimaging
Pada pasien yang dicurigai
peningkatan

TIK

sebaiknya

dilakukan

pemeriksaan CT scan kepala. Neuroimaging digunakan untuk menetapkan diagnosa


yang mengakibatkan TIK meningkat, serta melengkapi informasi yang diperoleh dari
anamnesa dan pemeriksaan.Pencitraan tidak dapat menggantikan pemantauan TIK
invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan ketika status klinis pasien hanya
membutuhkan penempatan monitor TIK dalam waktu singkat. Dalam keadaan ini,
pengulangan

pencitraan

setiap

kali

perubahan

status

pasien

dapat

mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya, hematoma cedera kepala)


yang kemudian memerlukan penempatan monitor. Pendekatan ini dapat digunakan
untuk menunda atau menghindari penempatan monitor TIK dalam kasus di mana
kebutuhan untuk itu awalnya kurang jelas.

Gambar neuroimaging
-

Neurosonology
TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk penilaian
aliran darah arteri basal otak.Semua cabang utama arteri intrakranial biasanya dapat
46

diinsonasi baik arteri kranial anterior, media dan posterior melalui tulang temporal
(kecuali pada 10% pasien, dimana insonasi transtemporal tidak memungkinkan),
arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan arteri vertebral dan arteri
basilar melalui foramen magnum.TCD mengukur kecepatan aliran darah, dalam
sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel pemantauan esensial
kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan indikator pulsatility index
(PI), rasio perbedaan antara kecepatan aliran sistolik dan diastolik dibagi rata-rata
kecepatan aliran, biasanya kurang lebih sama dengan 1. Penggunaan klinis yang
paling umum dari TCD adalah pemantauan untuk vasospasme, terutama setelah SAH.
Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran sistolik dan penurunan diastolik
(aliran sistolik 120 sangat sugestif dan 200 konfirmasi dari penurunan diameter
lumen), mengakibatkan peningkatan PI (nilai di atas 3:1 sangat sugestif terjadi
penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat mendeteksi perubahan progresif
dalam kecepatan aliran dan PI akibat vasospasme pada SAH. Penyempitan lumen
dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik sendiri seperti dalam autoregulasi
dan vasospasme yang benar, atau dengan hiperplasia intimal seperti dalam
"vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa terjadi karena kompresi ekstrinsik
dari arteri terutama peningkatan difus TIK mengakibatkan penekanan yang
menyebabkan penyempitan arteri basal.Seluruh peningkatan dalam kecepatan aliran
dan PI dapat menunjukkan kompresi ekstrinsik difus arteri karena TIK meningkat.
Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk memberikan alternatif
pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat menggantikan pemantauan TIK
langsung. Para dokter yang menggunakan TCD untuk monitor pasien SAH harus
selalu ingat bahwa perubahan penyempitan lumen yang difus mungkin menunjukkan
peningkatan TIK. Beberapa upaya telah dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai
hilangnya autoregulasi dan menilai adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.

47

Gambar neurosonologi
2

Pemantauan secara langsung


Pemantauan TIK secara langsung dapat dilakukan dibeberapa lokasi sesuai dengan
anatomi kepala
-

Subarachnoid Screw
Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini
ditempatkan ke dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup berongga
yang memungkinkan CSF untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan untuk menjadi
sama. Keuntungan metode ini adalah infeksi dan risiko perdarahan rendah. Aspek
negatif termasuk kemungkinan kesalahan permantauan TIK, salah penempatan
sekrup, dan oklusi oleh debris.

Kateter subdural / epidural


Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK. Metode ini
kurang invasif tetapi juga kurang akurat.Hal ini tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau
perdarahan.
Kateter subdural / epidural Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk
memantau TIK. Metode ini kurang invasif tetapi juga kurang akurat. Hal ini tidak
dapat digunakan untuk mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang lebih
rendah dari infeksi atau perdarahan.
48

Intraparenkimal (microtransducer sensor)


Pemantauaan

TIK

intraparenkimal

menggunakan

microtransducer

yang

diletakkan di parenkim otak melalui lubang kecil dan baut tengkorak yang
memungkinkan pemantauan TIK simultan, mikrodialisis serebral dan oksigenasi
jaringan otak. Posisi pilihan perangkat tersebut adalah pada subtansia alba regio
frontal nondominan pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada
cedera otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada hemisfer
kontralateral dari hematoma intraserebral. Perangkat yang berbeda juga tersedia,
termasuk fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK pneumatic Spiegelberg
juga memungkinkan kalibrasi in vivo dan pemantauan intrakranial. Monitor TIK
Neurovent-P adalah kateter serbaguna yang menggabungkan TIK, oksigenasi jaringan
otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus diinterpretasikan dengan hatihati dan berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis pasien. Ketika ada
perbedaan yang signifikan antara nilai pemantauan dan gejala klinis, penggantian atau
penempatan kembali probe harus dipertimbangkan.
-

Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy
Tehnik intraventrikular merupakan gold standard pemantauan TIK, yaitu kateter
diinsersikan ke dalam ventrikel lateral biasanya melalui burr hole kecil di frontal
kanan. Tehnik ini juga dapat digunakan untuk mengalirkan LCS dan memberikan
obat intratekal seperti pemberian antibiotika pada kasus ventrikulitis yang
kemungkinan disebabkan oleh pemasangan kateter itu sendiri.
Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya memungkinkan
pemantauan TIK intermiten bila saluran ventrikel ditutup.Kateter ventrikel tersedia
secara komersial memiliki transduser tekanan dalam lumennya, sistem ini
memungkinkan pemantauan TIK dan drainase LCS simultan.
Beberapa komplikasi bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain
kebocoran LCS, masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase LCS
yang berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau terapi tidak
sesuai berkaitan dengan pembacaan TIK dengan gelombang kecil, kegagalan
49

elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-lubang kecil di ujung kateter dapat


tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin, dan kateter dapat berpindah
sehingga sebagian atau seluruh ujung kateter terletak dalam parenkim otak bukan
dalam ventrikel. Dalam kasus tersebut, drainase LCS akan menghasilkan gradien
tekanan signifikan antara lumen kateter ventrikel dan ventrikel. Jika diduga ada
obstruksi kateter, irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat mengembalikan patensi
kateter. Prosedur ini harus dilakukan dengan memperhatikan asepsis, dimana
manipulasi berulang berhubungan dengan tingginya insiden infeksi sistem saraf
pusat.Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan. Ventrikulitis dan meningitis adalah
komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa, yang disebabkan oleh kontaminasi
langsung kateter selama pemasangan atau secara retrograde oleh kolonisasi bakteri
pada kateter. Kejadian infeksi dilaporkan sekitar 5-20%.Penggunaan sistem drainase
tertutup dan sampling LCS aseptik dan pembilasan kateter dan pengangkatan yang
benar kateter yang tidak dibutuhkan dapat meminimalkan risiko infeksi terkait
kateter.LCS dapat mencetuskan infeksi karena pengulangan akses ke sistem
drainase.Sampling LCS lebih diindikasikan karena kriteria klinis khusus daripada
menjadi sampling rutin.
Posisi pasien saat pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser harus sama
tinggi dengan titik referensi. Titik referensi yang paling umum adalah foramen
Monro. Titik referensi 0 adalah garis imajiner anatara puncak telinga dan kantus
bagian luar mata.
amanya waktu pemakaian kateter ventrikuler bervariasi.Secara umum lama waktu
pemakaian adalah dua minggu atau tergantung kondisi pasien. Risiko infeksi
meningkat pada pemakaian yang lebih lama. Pemberian antibiotik profilaksis
dikaitkan dengan tingginya insiden infeksi LCS yang resisten antibiotika. Sebaliknya,
penggunaan antibiotik dapat menurunkan kejadian infeksi berhubungan dengan
kateter. Setelah dicabut, ujung kateter harus dikirim untuk kultur, dimana
pertumbuhan bakteri berkaitan dengan risiko tinggi terjadi meningitis, dan tes
sensitivitas antibiotika berdasarkan atas analisis mikrobiologi dapat menjadi pedoman
terapi (IB, Adi, 2013).

50

Tipe Monitor
Intraventrikular
Intraparenkimal

Subarakhnoid/subdural
Epidural

Keuntungan
Gold standard, pengukuran
TIK global, digunakan
untuk diagnosis dan terapi
Angka
infeksi
dan
perdarahan rendah (1%),
penempatan mudah

Kerugian
Angka infeksi tinggi (520%), resiko perdarahan
2%
Mengukur TIK regional,
tidak dapat dikalibrasi
ulang
setelah
ditempatkan,
penyimpangan (3 mmHg)
Angka
infeksi
dan Pengukuran tidak dapat
perdarahan rendah
percaya, jarang digunakan
Resiko perdarahan lebih Pengukuran tidak dapat
rendah jika dibandingkan dipercaya
dengan
monitor
intraventrikular
dan
intraparenkimal,
kadang
dipakai pada pasien dengan
koagulopati

Tabel 1. Monitor tekanan intrakranial (Sumber : Decision Making in Neurocritical Care)

51

Gambar pemantauan secara langsung.

2.15

Asuhan

Keperawatan Umum

Pengkajian
1

Kegawatdaruratan
Primary Survey
Menurut

Rab,

Tabrani

2007,

pengkajian

primer

dalam

asuhan

kegawatdaruratan meliputi :
a

Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas

pasien.

L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna
mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi perawat
b

Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea,
ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki
atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.

Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi,
bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan
nadi pasien.

Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan
nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri
atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang
cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan,
pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
a

A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V


52

V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga


korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien,

jika tidak merespon lanjut ke P.


P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata

(supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.

Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan
cidera :
1

Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)


Ciri :

a Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)


b Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c Tidak ada intoksikasi alkoholatau obat terlarang
d Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang) dengan ciri :
a Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b Konkusi
c Amnesia pasca trauma
d Muntah
e Tanda
kemungkinan
fraktur
kranium
(tanda

battle,mata

rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).


Cidera kepala berat (kelompok resiko berat) dengan ciri :
a Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
b Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c Tanda neurologis fokal
d Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
Exposure of extermitas
3

Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi,
contusio, bullae, atau abrasi.
2

Secondary Survey

53

Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah
mulai membaik.
1

Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan

bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial,
servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain,
fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam
sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E :

Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang

menyebabkan adanya keluhan utama)

54

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver

or get

rid of a hangover (Eye-opener)


Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi
alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : dalam setahun terakhir ini
seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing Association, 2007):
1)
2)
3)
4)

Hurtyou physically?
Insulted or talked down to you?
Threathened you with physical harm?
Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :

1) Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? apa yang membuat nyerinya lebih
baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat
nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
2) Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri)
3) Radiates: apakah nyerinya menyebar? menyebar kemana? apakah nyeri terlokalisasi
di satu titik atau bergerak?
4) Severity : seberapa parah nyerinya? dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri
dan 10 adalah nyeri hebat
5) Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? berapa lama
nyeri itu timbul? apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan
nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?

55

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tandatanda vital.Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen,
tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association(2007).
Komponen
Suhu

Nilai normal
36,5-37,5

Keterangan
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu.
Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi

Nadi

60-100x/menit

penyakit, infeksi dan injury.


Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas

Respirasi

12-20x/menit

dan kesamaan.
Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas, dan
inspeksi dari usaha bernafas.
Tada dari peningkatan usah
abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1
kalimat penuh.
56

Saturasi oksigen

>95%

Saturasi oksigen di monitor


melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan

Tekanan darah

120/80 mmHg

di jari tangan atau kaki.


Tekanan darah mewakili
dari gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan
tahanan vaskuler perifer.
Tekanan sistolik
menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan
fungsi tahanan vaskuler

Berat badan

perifer.
Berat badan penting
diketahui di UGD karena
berhubungan dengan
keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.

57

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang
kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b

Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila
terdapat cedera di sekitar mata

jangan lalai memeriksa mata, karena

pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi


sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),
apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan atau
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane
timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
6) Mulut

dan faring : inspeksi pada bagian

mucosa terhadap tekstur, warna,

kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
c. Vertebra servikalis dan leher
58

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya

deformitas tulang atau krepitasi,

edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d.

Toraks
Inspeksi

: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk

adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,


frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Lombardo, 2005)
Palpasi

: seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,

emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.


Perkusi

: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)
e.

Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan
dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.Adanya paralisis
dapat

disebabakan

oleh

kerusakan

kolumna

vertebralis

atau

saraf

perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal,
dan

alat

imobilisasi

dilakukan

samapai

terbukti

tidak

ada

fraktur

servikal.Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai


terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak
dengan leher sebagai sumbu.Jelaslah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan
imobilisasi.Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.Harus
dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan
intra cranial.Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus
59

diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila
ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah
syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori
3. Pemeriksaan Penunjang
1

Laboratorium (darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah)

CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,


determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak)

MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif

Cerebral Angiopathy: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan


jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis


(perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun thorak.

CSF, Lumbal Punksi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan


subarachnoid.

ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika


terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi

keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).


3

Diagnosa Keperawatan Sesuaikan dengan keadaan px di IGD hanya 8 jam


1 Ketidakefektifan bersihan jalan napas bd akumulasi secret, sisa muntahan
2

Ketidakefektifan pola nafas bd spinal cord injury, trauma kepala

Nyeri akut bd trauma jaringan dan reflex spasme otot sekunder

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral bd edema cerebral, peningkatan TIK

Resiko kekurangan volume cairan bd mual muntah dan perdarahan

Resiko infeksi bd tempat masuknya organisme sekunder akibat trauma

60

Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No
Keperawatan
1. Ketidakefektifan
bersihan

NOC

NIC

Setelah diberikan asuhan Airway Management:

jalan keperawatan selamajam 1. Auskultasi

napas bd akumulasi jalan napas klien bebas


secret,

sisa dengan KH:

muntahan

adanya

suara

suara

napas,

napas

catat

tambahan

(ronchi, wheezing,gurgling)
2. Lakukan fiksasi pada daerah

a. RR normal (12-

kepala leher untuk meminimalkan

24x/menit)
b. Ritme pernapasan
reguler
c. Klien mampu untuk

terjadinya gerakan
3. Lakukan pembebasan jalan napas
secara manual dengan teknik jaw

mengeluarkan secret,
sisa muntahan
d. Tidak terdengar suara
napas tambahan

thrust maneuver secara hati-hati


untuk

mencegah

terjadinya

gerakan leher
4. Lakukan pembebasan jalan napas

(ronchi, wheezing,

dengan

alat

(nasophaaryngeal

gurgling)

airway/oropharyngeal airway) jika


dibutuhkan
5. Monitoring pernapasan dan status

2.

Ketidakefektifan
pola

nafas

oksigenasi klien
6. Berikan oksigen tambahan
Setelah diberikan asuhan Airway Management
bd keperawatan selama .

spinal cord injury, jam


trauma kepala

pola

nafas

klien

kembali adekuat
dengan kriteria hasil:

1.

Lakukan pemeriksaan fisik pada

paru-paru secara tepat


2. Auskultasi suara nafas, kedalaman,
suara nafas tambahan,
3. Monitor status respirasi dan status

1. Tidak ada penggunaan

oksigenasi
otot bantu nafas
4. Berikan
oksigenasi,
minimal
2. Tidak ada dyspnea
menggunakan simple mask
3. Gerak
dada
saat
bernafas simetris
3.

Nyeri

akut

bd Setelah diberikan asuhan Manajemen nyeri :


61

trauma

jaringan keperawatan

selama.

1. Kaji nyeri secara komprehensif

dan reflex spasme jam tingkat kenyamanan

(lokasi,

otot sekunder

frekuensi, kualitas dan faktor

klien

meningkat,

nyeri

terkontrol dg KH:
a. Klien

melaporkan

nyeri

berkurang

dg

scala nyeri 2-3


b. Ekspresi wajah tenang
c. Klien dapat istirahat
dan tidur

karakteristik,

durasi,

presipitasi).
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
3. Gunakan
teknik
terapeutik

untuk

pengalaman

komunikasi
mengetahui

nyeri

klien

sebelumnya.
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan,

pencahayaan,

kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri

(farmakologis/non

farmakologis).
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk

4.

mengatasi nyeri.
8. Kolaborasi untuk

pemberian

analgetik
9. Evaluasi

pengurang

tindakan

Resiko

nyeri/kontrol nyeri.
Setelah diberikan asuhan Monitoring tekanan intrakranium:

ketidakefektifan

keperawatan selama . 1. Kaji, observasi, evaluasi tanda-

perfusi

jaringan jam

menunjukan

tanda penurunan perfusi serebral:

cerebral bd edema status sirkulasi dan perfusi

gangguan mental, pingsan, reaksi

cerebral,

jaringan

pupil, penglihatan kabur, nyeri

peningkatan TIK

membaik dengan KH:


a. TD

klien

serebral
dalam

yang
rentang

normal (120/80 mmHg)


b. Tidak
ada
tanda

kepala, gerakan bola mata.


2. Hindari tindakan valsava manufer
(suction lama, mengedan, batuk
terus menerus).
3. Berikan oksigen sesuai instruksi
62

peningkatan TIK
c. Klien mampu bicara 4.
5.
dengan
jelas,
6.
menunjukkan

dokter
Lakukan tindakan bedrest total
Minimalkan stimulasi dari luar.
Monitor Vital Sign serta tingkat

kesadaran
perhatian 7. Monitor tanda-tanda TIK
8. Batasi gerakan leher dan kepala
dan orientasi baik
9. Kolaborasi pemberian obat-obatan
d. Fungsi sensori motorik
untuk
meningkatkan
volume
cranial utuh : kesadaran
intravaskuler
sesuai
perintah
membaik (GCS 15,
dokter.
tidak
ada
gerakan
konsentrasi,

5.

involunter)
Resiko kekurangan Setelah diberikan asuhan

1. Kaji intake dan out put.

volume cairan bd keperawatan selama .

2. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor

mual muntah dan jam


perdarahan

tidak

tanda-tanda

ditemukan
kekurangan

volume

cairan

atau

dehidrasi dengan KH:


a. membran

mukosa

kulit,

membran

mukosa,

dan

ubun-ubun atau mata cekung dan


out put urine.
3. Berikan cairan intra vena sesuai
program.

lembab
b. integritas kulit baik
c. nilai
6.

elektrolit

dalam

batas normal.
Resiko infeksi bd Selama
dilakukan
tempat

masuknya perawatan di Rumah Sakit

organisme
sekunder
trauma

klien

tidak

akibat infeksi

mengalami

yang

ditandai

dengan KH:
(rubor,

luka.
2. Monitor tanda-tanda vital: suhu
tubuh.
3. Lakukan perawatan luka dengan

a. Tidak ada tanda-tanda


infeksi

1. Kaji adanya drainage pada area

steril dan hati-hati.

kalor,

4. Kaji tanda dan gejala adanya

dolor, hilangnya fungsio

meningitis, termasuk kaku kuduk,

laesa)

iritabel, sakit kepala, demam,

b. suhu tubuh dalam batas

muntah dan kenjang.


63

normal
c. tidak ada pus dari luka
d. leukosit

dalam

batas

normal.

64

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Seorang laki-laki bernama Tn. H (45) dibawa ke IGD karena mengalami kecelakaan lalu
lintas.Saat dilakukan pengkajian klien tampak bingung dan mengalami penurunan kesadaran.
Hasil pengkajian menunjukkan Tn. H merintih kesakitan, membuka mata, tangannya
melokalisasi sumber nyeri, sempat muntah dannilai GCSnya adalah 11(E4 , M5 ,V2). Hasil CT
Scan menunjukkan adanya perdarahan yang menuju ke jaringan serebral. Terdapat cedera pada
lobus temporal, kebiruan pada kedua bola mata , terdapat edema pada wajah dan perdarahan
hidung, ada suara napas tambahan (gargling). Pada saat pengkajian TD: 110/70, Suhu: 38.5, RR:
24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt reguler, Riwayat alergi dan penyakit dahulu disangkal.
1

Pengkajian
1) Primary Survey
a. Airway + cara mengontrol cairan cerebrospinal
terdapat sumbatan jalan napas berupa sisa muntahan
L = Look/Pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
L = Listen/Terdengar suara napas tambahan (gargling),
F = Feel/ Aliran udara (hembusan) terasa lemah
a. Breathing
RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak
b. Circulation
TD: 110/70, Suhu: 38.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2 detik, kebiruan
pada kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin, basah, pucat.
c. Disability
- A (Allert)
- V (verbal)
-

merintih kesakitan
P (pain)
U (unresponsive)

:Klien Sadar
: Klien tidak merespon panggilan dari perawat, namun seperti
: Klien berespon terhadap nyeri
: responsive

Total Skor GCS dari klien adalah 11


E4 klien dapat membuka mata secara spontan ,
M5 klien dapat melokalisasi nyeri / tau arah nyeri ,
65

V2 klien merintih / mengerang .


d. Exposure of extermitas
Luka bagian kepala, suhu 38.5
2) Secondary survey
a. Anamnesis
A

: Klien tidak memiliki riwayat Alergi

: Klien tidak mengkonsumsi obat-obatan

: Klien tidak pernah menderita penyakit sebelumnya.

: Sebelum kejadian, klien mengkonsumsi obat-obatan

: Klien akan pulang ke rumah setelah pulang kerja dan mengalami kecelakaan.

b. Pemeriksaan fisik
a

B1 (breathing) : RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak, terdapat suara napas


tambahan (gargling)yang menunjukkan adanya sumbatan jalan napas berupa sisa

muntahan, pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan


B2 (blood)
: TD: 110/70, Suhu: 37.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular,
CRT > 2 detik, kebiruan pada kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral

c
d

dingin, basah, pucat


B3 (brain)
: dilatasi pupil ipsilateral, penurunan kesadaran.
B4 (bladder) : perut simetris, tidak ada jejas, tidak ada distensi kandung kemih,

terpasang kateter, warna urine kuning


B5 (bowel)
: bising usus +, tidak ada benjolan, perabaan massa tidak

ada,sempat muntah, asites ( - ).


B6 (bone)
: pergerakan terbatas, tidak ada kelainan bentuk tulang.

2. Analisa data
No

Data

Etiologi

Masalah keperawatan

.
1.

DS: -

Trauma kepala

Ketidakefektifan bersihan jalan

DO: RR 24x/menit, tidak


ada tanda sesak, Suara

Klien muntah

napas Gargling dan

nafas

66

terdapat sumbatan jalan

Kerusakan

napas berupa sisa

neuromuscular +

muntahan pergerakan

penurunan kesadaran

dada simetris, adanya

penggunaan otot bantu

Penurunan reflek batuk

pernafasan

Tidak mampu
mengeluarkan muntahan

Akumulasi sisa
muntahan

Ketidakefektifan

2.

DS: -

bersihan jalan nafas


trauma kepala

Resiko ketidakefektifan perfusi

DO: TD : 110/70, Suhu:

jaringan serebral

37.5, RR: 24 x/mnt, Nadi kerusakan sel otak


82 x/mnt regular, CRT >

2 detik, kebiruan pada

gangguan autoregulasi

kedua bola mata dan

terdapat edema pada

suplai O2 menurun

wajah akral dingin,

basah, pucat.

gangguan metabolisme

produksi asam laktat


meningkat

edema serebral

Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral

3.

DS: -

Resiko Infeksi
67

DO: terdapat luka

Trauma Penetrasi

dibelakang kepala, nyeri,

kemerahan, bengkak,

Port de entry kuman

suhu: 38,5

Leukosit: 12.000 (/ul)

Resiko Infeksi

3. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd akumulasi sisa muntahan
2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral bd edema serebral
3) Risiko infeksi bd port the entry kuman akibat trauma
4. Intervensi Keperawatan
No
1.

Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan
bersihan

NOC

NIC

Setelah dilakukan

Airway Management:

jalan tindakan keperawatan

nafas bd akumulasi selama 1x24 jam


sisa muntahan

sesudah dilakukan pembebasan jalan

jalan napas klien

napas, catat hasilnya


2 Lakukan fiksasi pada daerah kepala leher

kembali paten

untuk meminimalkan terjadinya gerakan


3 Lakukan pembebasan jalan napas secara

(terbebas dari
sumbatan), dengan
kriteria hasil:

Resiko

Setelah

ketidakefektifan

tindakan keperawatan

perfusi

jaringan selama

cerebral bd edema klien

manual

dengan

maneuver

a. RR normal (1224x/menit)
b. Ritme pernapasan
reguler
c. Klien mampu
untuk
mengeluarkan
sisa muntahan
d. Tidak terdengar
suara gurgling
2.

1 Auskultasi suara napas sebelum dan

teknik

secara

jaw

thrust

hati-hati

untuk

mencegah terjadinya gerakan leher


4 Lakukan pembebasan jalan napas dengan
alat

oropharyngeal

dibutuhkan
5 Monitoring

airwayjika

pernapasan dan status

oksigenasi klien
6 Berikan oksigen

dilakukan Monitoring tekanan intrakranium:


2x24

jam

menunjukan

1. Kaji, observasi, evaluasi tanda-tanda


penurunan perfusi serebral: gangguan
mental,

pingsan,

reaksi

pupil,
68

cerebral

status sirkulasi dan


perfusi

jaringan

serebral

yang

penglihatan kabur, nyeri kepala, gerakan


bola mata.
2. Hindari tindakan

normal

(120/80

mmHg)
b. Tidak ada tanda
peningkatan TIK
c. Klien
mampu
bicara

dengan

manufer

(suction lama, mengedan, batuk terus

membaik dengan KH:


a. TD dalam rentang

valsava

3.
4.
5.
6.

menerus).
Berikan oksigen sesuai instruksi dokter
Lakukan tindakan bedrest total
Minimalkan stimulasi dari luar.
Monitor Vital Sign serta tingkat

kesadaran
7. Monitor tanda-tanda TIK
8. Batasi gerakan leher dan kepala
9. Kolaborasi pemberian obat-obatan untuk

jelas,

meningkatkan

menunjukkan

Manitol dengan dosis 1 gram/kg BB

konsentrasi,

bolus IV dan Furosemid dengan dosis

perhatian

dan

volume

intravaskuler

0,3 0,5 mg/kg BB IV

orientasi baik
d. Fungsi
sensori
motorik
utuh

cranial
:kesadaran

membaik
15,

(GCS

tidak

ada

gerakan
3.

involunter)
Resiko infeksi bd Selama
dilakukan

1. Kaji adanya drainage pada area luka.

port

2. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.

kuman
trauma

the

entry perawatan di Rumah


akibat Sakit

klien

mengalami

tidak
infeksi,

ditandai dengan KH:


a. suhu tubuh dalam
batas normal

3. Lakukan perawatan luka dengan steril


dan hati-hati.
4. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis,
termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit
kepala, demam, muntah dan kenjang.

b. tidak ada pus dari


luka
69

c. leukosit

dalam

batas normal.
5. Evaluasi Keperawatan
1 Jalan napas menjadi bersih dan tidak ada sisa muntahan dan sekret
2 Perfusi jaringan baik
3 Luka tertangani dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Penyebab utama dari trauma kepala yang
serius adalah kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas
merupakan akibat cedera kepala). Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat
dari ada atu tidaknya fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran,
70

dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013). Komplikasi akibat trauma kepala antara lain;
TIK meningkat, hematoma subdural kronik, syndrome pascakonkusi, pasien dengan fraktur
basis crania berisiko mengalami kebocoran SCF. Penatalaksanaan dengan mempertahankan
fungsi ABC, menilai status neurologis, penurunan risiko iskemi serebri dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa. Prognosis tergantung pada tingkat keparahan yang dialami,
17% pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam 2 tahun
pertama post trauma.

4.2 Saran
Sebagai perawat harus dapat memahami dan memberikan asuhan keperawatan yang
tepat khususnya pada klien dengan trauma kepala. Bila ditemukan kegawatdaruratan segera
laporkan dan observasi dengan ketat. Tentunya penanganan yang diberikan tergantung
pada derajat tingkat keparahannya.

Daftar Pustaka
Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Behrman, Kliegman, & Alvin, N. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 1. Jakarta: EGC.
Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC, p.66.
Brain Trauma Foundation, 2007. Journal of Neurotrauma, Volume 24, Suplement 1.

71

Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC). USA: Mosby Elsevier
Cullagh S Mc, Feinstein A Outcome after mild traumatic brain injury: an examination of
recruitment biasJ Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:3943
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.

Doengoes, Marilyn, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC


Doenges M.E. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company.
Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.
David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial Pressure in Decision
Making in Neurocritical Care. Thieme. New York. 2009; 195-218.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery.
Surez, J.I. editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Engram, barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Vol.3. Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 3. Jakarta:
EGC, p. 642.
Emergency Nurses Association. 2007. Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis
Missouri : Elsevier Mosby.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas Pekan Baru
Riau
Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6, EGC, Jakarta
Hernanta, I. (2013). Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-MEDIKA.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions
& Classification, 20152017. 10nded. Oxford: Wiley Blackwell
Grace, Pierce Adan Borley, Neil R. 2006. At A Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.91
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga, p.117.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.92.
72

MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/

Chapter

%20II.pdf
Mark S Greenberg. Intracranial Pressure in Handbook of Neurosurgery. 6th

ed. Thieme. New

York. 2006; 647-663


Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika

Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery. Surez, J.I.
editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. USA: Mosby
New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial Management.
2nd

Edition.

NSW

Health,

p.8.

Diakses

pada

http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf
Purnama,Eka.2007.Makalah

Cedera

Kepala.digilib.unimus.ac.id/files/.../jtptunimus-gdl-

ekapurnama-5391-2-babii.pdf
Satyanegara.2010.

Ilmu

Bedah

Syaraf

Edisi

IV.

Jakarta:

Gramedia

Pustaka

Utama

Suriadi& Rita Yuliani. 2001. AsuhanKeperawatanPadaAnak, Edisi I. Jakarta: CV SagungSeto.


Syaifuddin.2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.

73

Anda mungkin juga menyukai