Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia dimana penderita laki-laki lebih banyak daripada wanita. Epilepsi
sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang
berat bagi penyandangnya

Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini, yang akan

menurun pada usia dewasa muda sampai dewasa tua, kemudian akan meningkat lagi pada usia
lanjut. Epilepsi ( juga disebut kejang ayan ) ditandai dengan aktivitas berlebihan yang tidak
terkendali dari sebagian atau seluruh system saraf pusat.. Orang yang mempunyai faktor
predisposisi timbulnya epilepsi akan mendapat serangan bila nilai basal dari eksitabilitas system
saraf (atau bagian yang peka terhadap keadaan epileptic ) meningkat diatas nilai ambang
kritisnya. Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga dibawah nilai ambang ini, maka serangan
epilepsi tidak akan terjadi.
Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, 1-3%
penduduk dunia dinyatakan telah menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di
antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya
telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization
(WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsy. Di Indonesia sendiri
penelitian epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila memakai angka
prevalensi dapat diperkirakan bahwa penduduk Indonesia saat ini yang berjumlah sekitar 220
juta jiwa, akan ditemukan 1,1 hingga 4,4 juta penderita penyandang epilepsi, yang 40% nya
masih dalam usia reproduksi.
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Namun bias juga terjadi
pada usia lanjut akibat beberapa factor resiko. Insidensi epilepsy pada orang tua sering terjadi
diatas usia 65 tahun. Kejadian epilepsy pada orang tua memiliki kerumitan tersendiri dalam
menegakkan diagnosis hingga pemberian terapi. Hal ini disebabkan karena pada orang usia
lanjut telah terjadi perubahan fisiologi tubuh.

Definisi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi
ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.

Status epileptikus

merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan
kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.5
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan atau
bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (unprovoked).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut
yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk

berulang.

Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan
tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang
(obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu
tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga
dikenal bermacam jenis epilepsi.

Epidemiologi :
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara
berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000.7 Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak

mendapatkan pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak


dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun
(262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). 9
Kejang epilepsy adalah kondisi neurologis ketiga yang paling sering teridentifikasi pada
orang tua, yang terjadi pada kondisi umum seperti penyakit serebrovaskular dan demensia.
Ketika dipoltkan terhadap usia, kejadian epilepsi memiliki distribusi secara substansial dengan
prevalesni kejadian pada anak-anak di bawah 5 tahun dan orang dewasa di atas 60 tahun. Setelah
usia 60thn kejadian epilepsi meningkat pesat, memuncak dalam usia 80 tahun, Hal ini bias
menunjukkan kejadian epilepsi lebih besar terjadi pada orang tua dibandingkan pada kelompok
usia yang lebih muda.
Di Amerika umur 65 dan lebih tua merupakan insiden tahunan rata-rata tingkat usia
epilepsy, tahun 2001 hingga 2005 adalah 10,8 per 1,000 penduduk. Studi besar di Finlandia
mengungkapkan tingkat insiden epilepsi di masa kanak-kanak dan usia menengah semakin
menurun dan insisdensi pada usai lanjut semakin meningkat. Di Amerika Serikat, dengan angka
tinggi ras Afrika Amerika (18.7 per 1.000), ras Asia Amerika dan penduduk asli Amerika (5.5
dan 7,7 per 1.000) lebih rendah daripada ras kulit putih (10.2 per 1,000). Gejala kejang akut ini
juga umum terjadi pada pasien yang lebih tua. Kejadian serangan akut pada pasien berusia 60
tahun diperkirakan 50 sampai 100 per 100.000 per tahun. Penelitian ini juga menemukan risiko
3.6% mengalami kejang gejala akut di umur 80 tahun, yang terkait dengan perkembangan
epilepsy. Penyebab utama gejala kejang akut antara lain cedera otak (trauma)penyakit
serebrovaskular, efek samping obat, dan infeksi sistem saraf pusat.

Etiologi
Etiologi yang paling umum teridentifikasi pada pasien usia lanjut dengan kejang
adalah stroke. Insiden

penyakit serebrovaskular tersebut meningkat seiring dengan

pertambahan usia, dan secara akurat meningkatkan prevalensi epilepsi setelah usia 65
tahun. Sekitar 7% dari stroke iskemik dan 15% dari stroke kortikal hemoragic dirumitkan
oleh kejang akut atau awal (dalam waktu 2 minggu dari onset stroke), dan sekitar
sepertiga dari pasien tersebut akan berkembang menjadi epilepsi. 10% pasien stroke
tanpa kejang awal juga akan berkembang menjadi epilepsy di akhir. Penyebab lain dari

kejang pada orang tua antara lain tumor, penyakit degeneratif seperti penyakit Alzheimer,
trauma kepala, racun/faktor metabolik, dan pengaruh obat-obatan. Studi menunjukkan
bahwa sekitar 11-16 % dari semua pasien dengan penyakit Alzheimer akan berdampak
pada kejang yang lebih parah.
Pada Orang tua, gejala fokal epilepsy merupakan tanda untuk mengidentifikasi
etiologi sekuurang-kurangnya 70% dari kasus yang ada. penyebab paling sering epilepsi
pada orang tua adalah penyakit serebrovaskular (40.7%) dan gangguan degeneratif
(16.5%). Tumor (5,5%), traumatik (2.2%), Komplikasi metabolik, pengaruh obat, dan
infeksi naun jarang ditemukan. Selain itu penyebab secara idiopatik generalized epilepsi
(IGE) biasanya terjadi setelah usia penderita 60 tahun . Munculnya IGE lazim pada orang
tua yang sebelumnya sering mengalami kejang.

Kebanyakan kasus timbulnya IGE

akhir-akhir ini terjadi dalam usia 40 hingga 50 tahun pada wanita yang diduga ada
kaitannya dengan peristiwa menopause dan penekanan hormone seksual. Sumber lain
telah menunjukkan peningkatan terjadinya kejang terjadi pada usia antara 40 dan 60
tahun.
Diagnosis
Dalam menetapkan diagnosis epilepsi pada orang tua lebih sulit daripada populasi pada
umumnya. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagaian fakta mnunjukan bahwa banyak orang
sering tidak

memahami berbagai bentuk kejang, dan kurang tepatnya dalam menganggapi

perilaku atau sensasi yang tidak biasa dari dampak perubahan yang terjadi selama penuaan.
Kejang dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan dapat melibatkan hal-hal seperti tatapan kosong,
perasaanyang muncul secara tiba-tiba seperti rasa takut atau sukacita, halusinasi, atau gerakan
yang tidak teratur. Diagnosis juga mungkin lebih rumit karena mungkin orang tua hidup sendiri
atau dengan seseorang yang memiliki kesulitan dalam mengamati, mengingat, atau
menggambarkan kejang yang terjadi. Orang tua juga mungkin memiliki gangguan lain yang
menyerupai kejang, kondisi medis seperti mudah pingsan, panic attacks, hiperventilasi dan
vertigo (pusing ekstrim).
Sebelum mendiagnosa epilepsi, pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk menentukan
apakah ada tidaknya kondisi medis lain yang bisa menyebabkan kejang. Sebagai contoh,
gangguan

metabolic

seperti

elektrolit

akibat

dari

diare

berat

atau

muntah,

atau

ketidakseimbangan glukosa

yang disebabkan oleh gula darah rendah. Selain pemeriksaan

laboratorium, pemeriksaan fisik secara menyeluruh perlu dilakukan, prosedur yang digunakan
untuk menetapkan diagnosis epilepsy pada umumnya meliputi riwayat medis dan tes diagnostik.
Riwayat medis sangat penting dalam penilaian dokter. Hal tersebut
kesehatan keluarga dan deskripsi rinci

karakteristik, awal, dan

melibatkan riwayat

frekuensi kejang. Dalam

mendiagnosa epilepsy pada orang tua juga harus mengetahui riwayat pemakaian obat-obatan.
Salah satu tes diagnostic untuk epilepsy adalah electroencephalogram (EEG),. EEG digunakan
untuk merekam aktivitas listrik otak. Tes Neuroimaging juga kadang-kadang digunakan untuk
memberikan gambar dari otak. Counted Tomography (CT) dan magnetic resonance imaging
(MRI) scan menyediakan gambar struktur otak. Tes neuroimaging lain seperti magnetic
resonanssi spektroskopi (MRS) dan tomografi emisi positron (PET) menunjukkan bagaimana
fungsi otak dan digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan tindakan bedah. Penting untuk
dicatat bahwa kadang-kadang tes diagnostik tidak mendeteksi kelainan. Misalnya, seseorang
dengan epilepsi mungkin memiliki EEG normal karena tidak ada aktivitas abnormal selama
rekaman atau aktivitas yang terlalu dalam di otak untuk direkam.
Kejang
Ada banyak jenis kejang. Jenis dibedakan berdasarkan area otak dan dikelompokkan menjadi
dua kategori: parsial dan umum. Jika aktivitas listrik berlebihan tiba-tiba terjadi di salah satu
bagian dari otak disebut kejang parsial. Jika aktivitas listrik melibatkan seluruh otak disebut
kejang umum. Kadang-kadang kejang mulai sebagian dan kemudian menyebar dan menjadi
umum. Kondisi tersebut disebut sebagai kejang parsial-umum sekunder.
Kejang Parsial
Kejang parsial terdiri dari dua bentuk: parsial sederhana (sebelumnya disebut fokus) dan parsial
kompleks (sebelumnya disebut psikomotor atau lobus temporal). Pada kejang parsial sederhana
penderita tetap sadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Di kejang parsial kompleks pasien
tidak sadar. Kejang parsial sederhana biasanya mulai secara tiba-tiba dan berlangsung selama
menit ke menit. Gejala yang timbul biasanya dalam bentuk sensasi yang tidak biasa, perasaan
atau gerakan, yang disebut aura. Aura dapat mengambil berbagai bentuk. Sebagai contoh, aura

bias saja berupa istorsi dalam penglihatan, suara, atau bau, secara tiba-tiba, gerakan pada satu
daerah tubuh, pusing, atau emosi berlebih.
Aura merupakan kejang parsial sederhana yang mungkin terjadi sendiri atau mungkin dampak
dari kejang parsial komplek atau kejang umum. Selama kejang parsial kompleks, seseorang
mengalami perubahan kesadaran dan mungkin tampak terlihat bingung. Kejang biasanya disertai
dengan aura yang muncul sebelum adanya perubahan kesadaran. Gerakan tdak terkontrol juga
bisa muncul seperti bibir mengunyah, memukul, menarik pakaian, atau berjalan tidak teratur
Saat pola kejang telah tampak, persamaan pola akan terus terjadi pada setiap kejang yang timbul.
Kejang pada umumnya berlangsung antara satu dan dua menit dan sering diikuti oleh periode
postictal disorientasi atau kebingungan.
Kejang Umum
Kejang umum biasa terjadi dalam dua bentuk: absence (tanpa kejang) atau tonik-klonik (dengan
kejang).

Kejang Absence (sebelumnya disebut petit mal)

mengakibatkan adanya tatatpan

kosong yang berlangsung kurang dari 10 detik. Kejang dimulai dan berakhir secara tiba-tiba,
dan

terdapat gangguan kesadaran terjadi selama kejang. Serangan ini kadang-kadang

disalahartikan sebagai melamun . Setelah kejang, kesadaran muncul kembali secara cepat.
Kejang Tonik klonik (sebelumnya disebut grand mal) biasanya berlangsung dari satu sampai tiga
menit. Fase tonik, jenis kejang ini biasanya berbentuk keluarnya tangisan atau mengerang,
kehilangan kesadaran, dan jatuh, serta adanya otot-otot yang menegang. Tahap kedua atau fase
klonik ditandai dengan kejang menyentak dan otot berkedut pada ekstremitas. Biasanya gerakan
melibatkan seluruh tubuh. Kesadaran kembali perlahan-lahan dan orang sering mengalami
periode kelelahan, kebingungan, atau sakit kepala parah setelah kejang. Jenis serangan umum
lainnya meliputi kejang atonic dan myoclonic. Kejang atonic terjadi dengan hilangnya tonus otot
secara mendadak, mengakibatkan penderita jatuh atau hampir jatuh, menjatuhkan benda, atau
mengangguk-anggukan kepala secara involunter. Biasanya, kejang ini berlangsung selama
beberapa detik. Kejang Myoclonic merupakan kejang yang mendadak, yang terjadi tiba-tiba dari
bagian tubuh seperti lengan atau kaki, menyebabkan penderita jatuh, dan berlangsung sangat
singkat.

Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh
kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan
istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.
Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu

serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.13
Etiologi

Tatalaksana
Ketika kejang telah terbukti berasal dari epilepsy, pertanyaan pertama adalah apakah kejang
diprovokasi atau tidak karena terkait akan pertimbangan sebagai kejang gejala akut. Biasanya
gejala kejang tersebut tidak memerlukan terapi obat antiepilepsi berkepanjangan. Jika kejang
pertama muncul secara diprovokasi, pertanyaan kedua adalah: "Apakah kejang tersembut
berisiko kambuh dan harus diterapi?". Tidak ada jawaban yang jelas dalam literatur. Dalam
prespektif epidemiologi, tingkat kekambuhan kejang semakin meningkat dari 14, 29 hingga
34% di 1, 3 dan 5 tahun setelah kejang pertama. Tetapi pada kejang sebagai gejala, tergantung
pada keadaan klinis yang muncul, risiko meningkat dari 20 hingga 80% pada 5 tahun kedepan.
Lesi serebral dan discharge epileptiform pada EEG merupakan faktor risiko yang jelas untuk
kekambuhan setelah kejang pertama. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa kekambuhan
kejang pertama lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut.
Namun, tidak ada kesepakatan tentang kejang berulang setelah perawatan. Studi tidak
menunjukkan adanya perbedaan tingkat kekambuhan dengan atau tanpa pengobatan bahkan
dalam studi pertama pasien memiliki tingkat kekambuhan kejang lebih rendah (pertama Group
1993). Karena tingkat kekambuhan yang tinggi, diperlukan penanganan setelah adanya kejang
yang tidak di provokasi pada kondisi adanya lesi pada otak atau abnormalitas epileptiform.
Untuk

kejang pertama yang diprovokasi dan asalnya tidak diketahui,

keputusan untuk

mengobati harus secara individual karena adanya evaluasi factor resiko, peningkatan risiko
status epilepticus pada usia lanjut, risiko cedera serius terutama patah tulang pada pasien
osteoporosis, dan potensi peristiwa buruk obat-obatan antiepileptic (Fig. 1).

Pemilihan

Terapi

Pedoman

untuk pilihan pengobatan

orang tua dengan epilepsi sama seperti penderita epilepsy pada umumnya. Namun, pertimbangan
khusus harus diperhitungkan karena pada orang tua terdapat hipersensitifitas terhadap obat
antiepilepsi (AED) (Table 1). Obat yang ideal untuk pasien usia lanjut tidak ada. Idealnya, obat
tersebut harus efektif, bias ditoleransi dengan metabolisme yang sederhana dan tanpa adanya
interaksi obat yang signifikan. Pilihan dari AED sulit karena ada beberapa bukti data penggunaan
obat ini pada pasien dengan usia tua dan lansia dapat menyebabkan co-disease(s).
Karena sfat dan pharmacokinetic sensitivitas pada pasien usia lanjut sangat bervariasi, tidak ada
dosis yang spesifik. Dengan demikian, dosis harus disesuaikan secara individual. Aturan pertama
secara umum adalah "mulai rendah dan lambat"; kedua adalah monoterapi, selama mungkin.
Namun, mencari fek samping obat secara aktif harus tetap dilakukan.

AED lama memiliki farmacokinetic yang komplek (fenitoin), efek samping kognitif
(phenobarbitone),

efek

osteoporosis

(phenobarbitone,

fenitoin)

atau

induksi

hepatic

(carbamazepine, phenobarbitone, fenitoin), harus dihindari sebanyak mungkin pada pasien usia
lanjut. Jika pengobatan dengan fenitoin atau phenobarbitone adalah wajib, pemantauan secara
aktif terkait efek samping osteoporosis oleh osteodensitometry harus dilakukan dan dalam
perawatan pasien osteopenic dengan suplemen kalsium dan vitamin D harus diperkenalkan..

Dalam pengobatan lini pertama dan karena adanya efek samping merugikan penggunaan
valproate sebaiknya dengan titrasi cepat atau menggunakan jalur intravena jika diperlukan.
Pilihan ini dibenarkan karena studi tidak menemukan adanya bukti perbedaan yang signifikan
antara fenitoin dan valproate untuk hasil terapi (Tudur et al. 2001). Ketika penggunaan AED
secara mendesak tidak wajib, AED baru diusulkan sesuai dengan pedoman untuk penggunaan
AED baru pada epilepsy onset baru (Perancis et al. 2004). Pada penelitian secara doubleblind,
studi multicenter pada pasien usia lanjut, kemanjuran dari lamotrigine telah terbukti sama seperti
carbamazepine, namun efek samping laju penarikan secara signifikan lebih tinggi daripada
carbamazepine Hasil ini adalah baru-baru ini dikonfirmasi oleh penelitian veteran US (Rowan et
al. 2005). Topiramate adalah pengobatan alternative lini pertama lain. Hasil studi dari monoterapi
topiramate terakhir telah menunjukkan tingkat retensi tinggi dan toleransi yang baik untuk obat
di pasien kelompok usia lanjut (Groselj et al. 2005). Terdapat juga beberapa bukti untuk
penggunaan gabapentin dan levetiracetam pada orang tua. Mengenai gabapentin, sebuah studi
doubleblind menunjukkan toleransi yang lebih daripada carbamazepine pada pasien orang tua.
Selain itu dalam kemanjuran, tidak ada perbedaan, antara gabapentin, carbamazepine dan
lamotrigine. Data terakhir mengenai penggunaan levetiracetam pada pasien tua menunjukkan
adanya toleransi yang menguntungkan. Kemanjuran levetiracetam ditunjukkan dalam analisis
subset terapi label terbuka dan terapi lini pertama pada pasien usia lanjut (Alsaadi et al. 2004)
(Fig. 2).

Meskipun studi awal pada

sekelompok kecil
pasien

usia lanjut (Kutluay et al. 2003),

penggunaan

oxcarbazepine

lebih

kontroversial
oranghiponatremi

orang tua karena risiko tinggi terjadinya


secara

signifikan (< 125 mmol/l). Ketika digunakan pada orang tua, evaluasi kadar natrium harus
dilakukan, terutama jika oxcarbazepine terkait dengan diuretik, NSAIDs atau carbamazepine dan
adanya hiponatremi terkait dengan gejala (Schmidt et al. 2001)

Anda mungkin juga menyukai