Anda di halaman 1dari 12

FENOMENA PENGEMIS AKIBAT FUNGSI NEGARA YANG TIDAK

BERJALAN MAKSIMAL
MAKALAH
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Disusun:
1.
2.
3.
4.

Dennisa Istifani
Dewi Arum Sari
Rabiatul Adawiyah
Rosidah Sartika

2225140352
2225142264
2225142266
2225143419

Kelas 14SC Kelompok 2

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kesempatan, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Penyusunan

makalah

ini

bertujuan

untuk

memenuhi

tugas

mata

kuliah

Kewarganegaraan. Selain itu, diharapkan makalah ini dapat semakin meningkatkan kesadaran
pembaca akan fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar serta mengawasi kebijakan
pemerintah dalam memberantas isu-isu sosial khususnya pengemis.
Penyusun menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam makalah ini baik dari segi
pengetikan maupun penyusunannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penyusun harapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya para
pembaca.

Jakarta, 07 April 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

ii

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang.........................................................................

1.2.

Rumusan Masalah.......................................................................

1.3.

Tujuan dan Manfaat...................................................................

1.4.

Sistematika Penulisan............................................................

BAB II

PEMBAHASAN

1. Fenomena Pengemis di Ibukota ................................................


2. Macam-Macam Pengemis..........................................................
3. Faktor-Faktor Terbentuknya Pengemis......................................
4. Peraturan Daerah Tentang Pengemis.........................................
5. Upaya Menanggulangi Masalah Pengemis
yang Menjamur di Ibukota.........................................................

3
4
5
5
6

BAB III PENUTUP


1. Saran..................................................................................
2. Kesimpulan........................................................................

8
8

DAFTAR PUSTAKA
ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Jakarta sebagai ibukota Negara yang tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, pusat
perekonomian, pusat pendidikan, pusat perdagangan tetapi juga pusat berkumpulnya
masyarakat antar daerah baik secara ras, etnis dan agama. Tingginya angka urbanisasi

menunjukkan bahwa masyarakat dari daerah memandang Jakarta sebagai tempat


pengharapan mereka demi kualitas hidup yang lebih baik.
Ironisnya hal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusianya. Tingkat pendidikan yang rendah serta minimnya keterampilan dan soft skill
membuat mereka memilih cara instan untuk mendapatkan uang. Dengan menjadi pengemis
mereka tidak memerlukan kemampuan khusus, sehingga hal ini menjadi fenomena yang
semakin hari semakin meningkat terjadi di setiap sudut Ibukota.
Selain faktor kemiskinan dan minimnya keterampilan, penulis memandang bahwa
Negara memiliki fungsi kesejahteraan dan kemakmuran tidak berjalan maksimal. Fungsi
kesejahteraan dan fungsi pendidikan ini masih belum merata dirasakan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, penulis mencoba menjabarkan permasalahan pengemis dengan
megaitkannya dengan fungsi Negara yang tidak berjalan dengan maksimal.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan-rumusan masalah sebagai berikut:
1. Fenomena Pengemis di Ibukota
2. Macam-Macam Pengemis
3. Faktor-Faktor Terbentuknya Pengemis
4. Peraturan Daerah Tentang Pengemis
5. Upaya Menanggulangi Masalah Pengemis yang Menjamur di Ibukota

1.3.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan, juga sebagai bahan pembelajaran agar kita semakin sadar
dengan isu-isu sosial dan memonitor kebijakan pemerintah dalam menjalankan fungsi negara.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca
pada umumnya.
1.4.
Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan makalah ini adalah dimulai dari Bab I sampai dengan
Bab III.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Fenomena Pengemis di Ibukota
Pengemis perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah serius,
terutama dengan semakin banyaknya permasalahan sosial ekonomi dan politik yang
ditimbulkannya. Terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau
daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan. Kemudian dengan adanya krisis
berkepanjangan yang tak kunjung menemui jalan terang untuk keluar dari krisis, telah
membuat pengemis menjadi salah satu profesi yang paling favorit dijalankan oleh orangorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, mereka yang tak kunjung mendapat pekerjaan,
ataupun mereka yang menjadi korban pemberhentian kerja sepihak, karena perusahaan
mereka yang tak mampu lagi membiayai gaji pegawai yang terlalu membludak.
Bahkan anak-anak mereka pun juga terpaksa harus terseret dalam mata pencaharian
ini. Hal ini bahkan dijadikan mereka sebagai profesi. Pengemis dalam pandangan

masyarakat umum, adalah manusia tidak berguna, bahkan dianggap sampah masyarakat,
seperti dilaporkan hasil penelitian Bappeda DKI Jakarta.
Pada penelitian tersebut ditunjukkan bahwa pengemis diperkotaan pada umumnya
memiliki harta di desanya, tapi mereka ingin mencari nafkah dengan cara mudah. Mereka
berlatar belakang pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar dan lebih banyak yang tidak sekolah;
bertempat tinggal liar dan pada lingkungan yang tidak sehat; tidak memiliki kartu tanda
penduduk (KTP); mengkonsumsi makanan alakadarnya, dan mobilitas spasial rendah (hanya
dalam kota). Selain itu mereka memiliki tingkat partisipasi budaya yang juga rendah, aspirasi
dan aktivitas politik sangat rendah, dan berorientasi jangka pendek, serta potensi sumber daya
manusia diberi sebutan sampah masyarakat. (Engkus, Bandung : April 2009).

2. Macam-Macam Pengemis
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta
di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari
orang lain. Seharusnya pengemis adalah orang yang benar-benar dalam kesulitan dan
mendesak karena tidak ada bantuan dari lingkungan sekitar dan dia tidak punya suatu
keahlian yang memadai, bukan karena malas untuk mencari mata pencaharian layak lain.
Para pengemis boleh jadi memakai baju kumal dan compang camping, tangan atau
kaki diperban, jalan tersoak-soak, suara memelas, dan sebagainya, yang disengaja diciptakan
untuk menarik dan menjatuhkan hati dermawan untuk memberikan sedekah. Tidak jarang
juga mereka memanfaatkan keterbatasan fisik yang sesungguhnya (misalnya karena tuna
netra) untuk mendukung penampilan dalam menjalankan profesi mereka. Akan tetapi
bukan tidak mungkin bahwa diantara mereka terdapat pengemis-pengemis yang
menampilkan front stage untuk menciptakan kesan seperti yang mereka harapkan, tetapi
mereka harus mengalami konflik batin dengan penampilan mereka di belakang itu (back
stage). Sebab diantara pengemis ada yang juga pelajar, ibu rumah tangga, atau bekerja di
sawah ladang yang terpaksa mengemis.
Pengemis memang beragam, ada yang menjadikan itu sebagai profesi sehingga
mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Ada yang malas bekerja, tidur ketika ingin
tidur, mengemis ketika tidak ada uang untuk membeli makanan dan marah-marah apabila
diberi uang recehan di bawah nominal Rp 500,00. Selain itu sebetulnya pemberian uang pada
pengemis/pengamen/pengelap kaca mobil merupakan pelanggaran peraturan daerah setempat.
DKI Jakarta mempunyai Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pasal 40 c
yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau
barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Pelanggar pasal tersebut dapat
dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda
paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.1
Mengemis juga tidak hanya dapat dilakukan sendiri. Mereka dapat melakukannya dengan
keluarga ataupun teman mereka. Seperti misalnya mereka yang buta, kebanyakan selama
mengemis mereka dibimbing dan dituntun saat berjalan oleh rekan mereka yang menemani.
Mengemis pun saat ini sudah menjadi pekerjaan di setiap umur. Dari mulai anak-anak, hingga
mereka yang tua renta menjalani profesi yang sama, mengemis. Bahkan tak jarang sekarang
kita temui segerombolan pengemis anak-anak ataupun ibu-ibu yang mengemis sambil
menggendong anak berusia balita. Adapula pengemis yang meminta sedekahnya dengan cara
memaksa dan jika si pengemis tidak diberi uang maka si pengemis pun akan marah-marah
sendiri karena kecewa tidak diberi uang.
3. Faktor-Faktor Terbentuknya Pengemis
1 http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/02/23/jangan-beri-uang-pada-pengemis/ Dikutip Hari Rabu
Tanggal 5 April 2016 Pukul 16:00
4

Faktor penyebab terbentuknya pengemis dikarenakan adanya fungsi Negara yang


tidak berjalan maksimal yaitu fungsi kesejahteraan (welfare function). Analisis penyebab
permasalahan sosial gelandangan dan pengemis merupakan akumulasi dan interaksi dari
berbagai permasalahan seperti hal hal kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya
keterampilan kerja yang dimiliki, lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain
sebagaianya. Masalah ini merupakan salah satu Masalah Sosial Strategis, karena dapat
menyebabkan beberapa masalah lainnya dan juga bersifat penyakit di masyarakat.
Faktor-faktor tersebut diantarantya sebagai berikut:
1) Faktor ekonomi, pengemis dihadapkan pada kemiskinan keluarga dan sempitnya
lapangan pekerjaan yang ada.
2) Faktor geografis, kondisi tanah tandus, bencana alam yang tidak terduga.
3) Faktor sosial, akibat arus urbanisasi dari desa ke kota tanpa diseret partisipasi
masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.
4) Faktor pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan,
kurangnya pembinaan dan pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat.
5) Faktor psikologis, adanya keretakan keluarga yang menyebabkan anak tidak terurus,
ingin melupakan keinginan masa lalu yang tidak bahagia, dan kurangnya gairah kerja.
6) Faktor budaya, lunturnya nilai-nilai normatif budaya masyarakat akibat perubahan
sosial yang tidak berumah tangga terdapat pengkaderan secara langsung.
7) Faktor agama, kurangnya pemahaman agama, lemahnya iman, kurang tabah dalam
menjalani cobaan hidup, dan juga putus asa dalam menghadapi nasib serta tidak mau
berusaha.
4. Peraturan Daerah Tentang Pengemis

Menurut Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 Pasal 40 tentang Ketertiban Umum,
dinyatakan bahwa setiap orang atau badan dilarang:
1. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan,
dan pengelap mobil;
2. menjadi pengemis, pedagang asongan, dan pengelap mobil;
3. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau
barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
Dalam Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 dijelaskan bahwa para pengamen,
pengemis, dan pedagang asongan dilarang dan diancam dengan denda Rp.100.000 s/d
Rp 2.000.000 atau kurungan 10 s/d 60 hari (Pasal 40 ayat b). Termasuk sebagian besar
diantaranya adalah anak-anak jalanan.
Dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2007 Pasal 5 ayat 1 tentang penanganan
gelandangan dan pengemis berbunyi: Kegiatan tindakan preventif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan dengan cara antara lain:
5

a. penyuluhan;
b. bimbingan sosial; dan
c. pembinaan sosial.

5. Upaya Menanggulangi Masalah Pengemis yang Menjamur di Ibukota


Berikut ini adalah upaya-upaya menanggulangi persoalan tersebut:
1. Untuk meminimalisir berkembangnya pengemis, pemerintah seharusnya menjaring
koordinator para pengemis jalanan tersebut. Karena merekalah yang bertanggung
jawab dalam mengirim orang-orang untuk mengemis. Jika koordinator-koordinator ini
bisa dijaring, maka penulis yakin masalah pengemis di ibukota dan sekitarnya akan
berkurang secara signifikan.
2. Setelah menjaring koordinator pengemis pun masih ada kemungkinan bertambahnya
pengemis. Karena faktor ekonomi(kemiskinan dan pengangguran), maka untuk
mengatasi hal tersebut, dinas sosial bisa meminimalisir dengan menambahkan jumlah
lapangan kerja. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah
minimnya jumlah lapangan kerja sehingga banyak yang menganggur.
3. Bagi keluarga-keluarga yang berpendapatan rendah sehingga tidak mampu untuk
bertempat tinggal yang layak, pemerintah dapat menyediakan suatu kompleks rumah
tinggal milik Negara atau apartemen-apartemen milik Negara yang dapat
dipergunakan oleh keluarga tersebut secara gratis dalam kurun waktu tertentu sampai
mereka dirasa akan mampu untuk mendapatkan pendapatan yang layak untuk tinggal
di rumah atau apartemen sewaan yang murah tetapi sehat dan layak huni. Dengan
menempatkan keluarga-keluarga yang kurang beruntung dalam hal materi tersebut
dalam suatu kompleks bersama, maka pengawasan dengan mudah dapat dilakukan.
4. Bagi para pengemis dan gelandangan, para pengemis yang memang mengemis karena
berada dalam kondisi kekurangan, maka pemerintah dapat menempatkan mereka
dalam rumah atau apartemen milik Negara tersebut, sambil mereka mendapatkan
pembinaan untuk mampu bekerja untuk dapat mempunyai kehidupan yang layak bagi
dirinya atau keluarganya. Bahkan bagi mereka yang bersedia, pemerintah dapat
mengirim mereka sebagai warga transmigrasi agar mempunyai pendapatan yang
cukup bagi keluarganya. Sementara bagi mereka yang mengemis karena menjadikan
mengemis sebagai pekerjaan dan sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya,
penulis kira pemerintah harus berani memberikan hukuman pidana bagi mereka
karena telah melanggar undang-undang kesejahteraan masyarakat.
Tak hanya upaya-upaya diatas yang dapat membantu mengatasi persoalan pengemis
yang kian hari kian menjamur. Ada banyak program-program yang diberikan pemerintah
dalam menangani permasalahan Gelandangan dan pengemis ini. Kebijakan-kebijakan dari
pemerintah dalam membatasi Gelandangan dan pengemis untuk berada di tempat-tempat
umum juga merupakan salah satu programnya. Namun pada umumnya program ini tidak
dapat membuat efek jera terhadap para Gelandangan dan pengemis.

Masyarakat menginginkan satu program yang benar-benar pro dengan rakyat dalam
mengentaskan masalah ini, juga bagaimana untuk dapat mengembangkan masyarakat miskin
untuk dapat hidup sejahtera agar masalah Gelandangan dan Pengemis ini tidak berulang.
Berikut adalah beberapa program yang telah ada, antara lain :

1.

Panti

Panti merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan


sarana tempat tinggal dalam satu atap yang dihuni oleh beberapa keluarga.
2.

Liposos Lingkungan Pondok Sosial (Liposos)

Liposos/Linkungan Pondok Sosial merupakan bentuk penanganan gelandangan dan


pengemis yang lebih mengedepankan sistem hidup bersama didalam lingkungan sosial
sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat pada umumnya.
3.

Transit home

Transit home merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis yang bersifat
sementara sebelum mendapatkan pemukiman tetap di tempat yang telah disediakan.
4.

Pemukiman

Pemukiman merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan


menyediakan tempat tinggal yang permanen di lokasi tertentu.
5.

Transmigrasi

Transmigrasi merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan


menyediakan fasilitas tempat tinggal baru di lokasi lain terutama di luar pulau Jawa. Dan
beberapa program kebijakan pemerintah seperti larangan mengemis di tempat umum, operasi
Yustisi di Jakarta bagi orang-orang yang tidak memiliki KTP yang berpotensi menjadi
Gelandangan dan Pengemis, dan program-program lainnya. Program lain adalah dalam
bentuk penguatan ekonomi keluarga dan peningkatan pendidikan
6.

Razia

Razia merupakan proses penangkapan para gelandangan dan pengemis. Razia ini
dilakukan oleh pihak dinas sosial yang bekerja sama dengan satpol PP. Operasi penangkapan
ini dilakukan setiap hari dengan sasaran razia keseluruh jalanan kota. Ketika polisi dan satpol
PP melaksanakan razia, para pengemis dan gelandangan berusaha untuk kabur dengan berlari
menghindari kejaran para polisi. Penangkapan yang dilakukan oleh para polisi yang bekerja
sama dengan Satpol PP tersebut seringkali mengalami kesulitan, mulai dari pengejaran
hingga pemberontakan yang dilakukan oleh para gelandangan dan pengemis yang rata-rata
sudah seringkali keluar-masuk Liponsos. Namun, meskipun demikian penangkapan tetap
berjalan lancar dan mereka banyak yang tertangkap.

BAB III
PENUTUP

1. Saran
Fenomena pengemis di Ibukota Jakarta telah menjadi pemandangan yang
miris dan memperihatinkan. Jakarta sebagai tempat pengharapan masyarakat untuk
mendapat kehidupan yang lebih layak tidak selamanya berbuah manis.
Rendahnya tingkat pendidikan dan belum meratanya pertumbuhan ekonomi
menjadi faktor utama sebagai akibat dari fungsi Negara yang idealnya dapat
menjamin kesejahteraan hidup warganya.
Oleh karena itu, diperlukan berbagai tindakan preventif dari pemerintah secara
komprehensif. Penertiban bukanlah solusi tepat, tetapi Negara harus menjamin setiap
warganya untuk mendapat pendidikan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal
31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
Melalui pendidikan diharapkan pola pikir masyarakat dapat berubah dan tidak
bergantung pada belas kasihan masyarakat lainnya.
2. Kesimpulan
Jakarta sebagai pusat perekonomian membuat masyarakat mendapatkan
pekerjaan di Ibukota. Menjadi pengemis menjadi pilihan mereka untuk dijadikan
sebagai sebuah profesi. Fenomena maraknya pengemis ini semakin hari semakin
meningkat sekaligus memperlihatkan bahwa Negara yang seharusnya dapat menjamin
keadilan dan kesejahteraan warganya belum maksimal.
Selain faktor ekonomi, faktor sosial juga berperan dalam pembentukan
karakter masyarakat yang memlih profesi menjadi pengemis. Dengan mengharapkan
iba dari warga lain tanpa melihat proses belajar dan kerja keras, pengemis memiliki
pola pikir instan.
Pemerintah melalui Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 dijelaskan bahwa
para pengamen, pengemis, dan pedagang asongan dilarang dan diancam dengan denda
Rp.100.000 s/d Rp 2.000.000 atau kurungan 10 s/d 60 hari (Pasal 40 ayat b).
Meskipun demikian pengemis masih saja ada di berbagai sudut kota, upaya
pemerintah seperti penertiban, transmigrasi, liposos telah dilakukan namun masih
diperlukan upaya yang lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lubis, Efridani, SH., dkk. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: UPT MKU
UNJ.
2. Arief, Armai, Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan Dalam Rangka Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dan Stabilitas Nasional, Dalam Jurnal Fajar, LPM UIN Jakarta,
Edisi 4, No.1, November 2002.

3. https://alghif.wordpress.com/2012/03/31/peraturan-daerah-dki-jakarta-tentangketertiban-umum/ (diakses pada 6 April 2016, 21.00 WIB)


4. http://www.hukumproperti.com/2014/01/07/ringkasan-dari-peraturan-daerah-dkijakarta-nomor-8-tahun-2007-tentang-ketertiban-umum/ (diakses pada 6 April 2016,
21.25)
5. http://allaisyahsee.blogspot.co.id/2014/11/gepeng.html (diakses pada 6 April 2016,
20.25 WIB)

Anda mungkin juga menyukai