Anda di halaman 1dari 38

I.

Klarifikasi Istilah
1.

Kejang: Suatu kondisi medis saat otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan
peregangan dengan sangat cepat sehingga menyebabkan gerakan yang tidak
terkendali.

2.

Diazepam: Obat penenang golongan benzodiazepine, digunakan sebagai anksiolitik,


agen anti panik, sedatif, relaksan otot rangka, anti konvulsan, dan dalam
penatalaksanaan gejala-gejala akibat penghentian penggunaan alkohol.

3.

Bangkitan: Gangguan aktivitas mental motorik, sensorik, atau otonom yang relatif
singkat dan mendadak akibat aktivitas serebral paroksismal abnormal.

4.

Tonus otot hipertonis: Keadaan peningkatan tonus otot rangka, meningkatnya


resistensi otot terhadap peregangan pasif.

5.

Brudzinski I: Keadaaan dimana bila leher tertekuk maka akan terjadi fleksi dari lutut
(karena iritasi meningen).

6.

Brudzinski II: Keadaan bila tungkai difleksikan secara pasif maka akan terjadi fleksi
pada tungkai kontralateralnya pada meningitis.

7.

Asam valproate: Obat anti kejang golongan natrium valproat yang diberikan secara
oral

untuk

menangani

kejang

dengan

cara

mengembalikan

keseimbangan

neurotransmitter GABA.
8.

Refleks Babinski: Dorsofleksi ibu jari kaki dan 4 jari lainnya membentuk kipas atau
fanning pada perangsangan telapak kaki; timbul bila terdapat lesi pada traktus
piramidalis walaupun merupakan refleks normal pada bayi.

9.

Tremor: Gemetar atau menggigil yang involunter.

10.

Kaku kuduk: Rasa kaku di belakang leher yang menandakan serangan pada selaput
dan corda spinalis, positif pada meningitis. Tahanan yang terjadi saat fleksi leher.

11.

Kernig sign: terdapat tahanan dalam pelurusan kaki pada sudut kurang dari 135 o saat
melakukan fleksi pinggul (articulatio coxae) akibat iritasi meningeal.

II. Identifikasi Masalah


1

1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun 6 bulan, BB 14 kg.Datang ke rumah sakit


dengan keluhan kejang tanpa disertai demam. (Main Problem)
2. Pasien kejang dua kali. Kejang pertama selama 5 menit, kejang kedua selama lebih
dari 10 menit. Interval 10 menit. Inter iktal pasien tidak sadar. Post iktal pasien sadar
setelah diberi diazepam per rektal 2 kali.
3. Hemiparese dekstra: Penderita sering tersedak bila minum (parese N.?)
4. Sebelum terjadi serangan kejang, terdapat batuk, pilek yang sudah berlangsung 3 hari
tanpa demam.
5. Pada usia 6 bulan penderita mengalami kejang disertai demam tinggi dan didiagnosis
menderita meningitis. Penderita dirawat di rumah sakit selama lima belas hari.
6. Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam sebanyak
dua kali.
7. Usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak tinggi.
Penderita berobat ke dokter dan dberi obat asam valproat. Setelah sembilan bulan
berobat, orang tua menghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang.
Penderita sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai
sepeda roda tiga.
8. Pemeriksaan fisik:
Kesadaran kompos mentis. Suhu aksila 36,5oC. Tekanan darah 90/45 mmHg. Nadi
100x/menit. Frekuensi napas 30x/menit
9. Pemeriksaan neurologis:
- Kepala: Tampak mulut penderita mencong ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih
Nampak dan kedua bola mata dapat menutup. Saat penderita diminta
-

mengeluarkan lidah, terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah


Ektremitas: Pergerakan Lengan dan tungkai kanan tampak terbatas dan
kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan
dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari
pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar
usianya. Tonus otot hipertoni dan reflex lengan dan tungkai kanan meningkat,

dan ditemukan reflex Babinski di kaki sebelah kanan


Tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk, brudzinsky I dan II maupun

kerning tidak dijumpai


III. Analisis Masalah
1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun 6 bulan, BB 14 kg.Datang ke rumah sakit dengan
keluhan kejang tanpa disertai demam.
a. Apa hubungan usia, jenis kelamin dan berat badan dengan keluhan?
Rasio jenis kelamin anak epilepsi, lelaki sedikit lebih banyak dibanding anak
perempuan yaitu hal ini sesuai dengan penelitian Shorvon dkk,yang mendapatkan
2

rasio 1,1 dan Cowan dkk.1,5 .Sebaran usia kasus yang diteliti sesuai dengan
insidens epilepsi yang berubah-ubah menurut usia, yaitu insidens tertinggi pada
usia anak dini, mencapai nadirnya pada usia dewasa dini, dan naik kembali pada
usia tua. Bangkitan epilepsi jarang dijumpai pada usia bulan-bulan pertama, dan
lebih sering antara usia 4 bulan-4 tahun, kemudian frekuensinya menurun sampai
remaja.
b. Berapa berat badan normal anak usia 3 tahun 6 bulan?
Berdasarkan IDAI, untuk menentukan BB normal berdasarkan usia dapat
dilihat dari grafik pertumbuhan anak WHO. Anak laki-laki dengan usia 3 tahun 6
bulan masih berada di Z-score di antara 2 dan -2 apabila memiliki BB 12-19 kg.
Adapun BB ideal untuk usia ini adalah 15 kg. Sehingga pada kasus ini dengan BB
14kg, pasien tergolong normal.

c. Bagaimana mekanisme kejang?


Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya.
Hal tersebut diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai
pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2]
berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA];
3

atau 3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang.
d. Mengapa kejang tidak disertai demam?
Kejang pada kasus ini tidak disertai demam karena pada kasus ini kejang
bukan disebabkan infeksi pada selaput otak atau meningitis seperti yang terjadi
pada saat anak ini 6 bulan, melainkan oleh status epileptikus. Umumnya, status
epileptikus mempunyai jenis kejang yang tidak disertai demam. Karena itulah
pada kasus ini kejang tidak disertai demam.
2. Pasien kejang dua kali. Kejang pertama selama 5 menit, kejang kedua selama lebih
dari 10 menit. Interval 10 menit. Inter iktal pasien tidak sadar. Post iktal pasien sadar
setelah diberi diazepam per rektal 2 kali.
a. Apa tipe kejang pada kasus ini?
Pada kasus ini kejang dideskripsikan sebagai bangkitan di mana seluruh tubuh
penderita tegang, mata mendelik ke atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh
tubuh. Seluruh tubuh tegang atau kaku merupakan istilah untuk tipe tonik,
sedangkan kelojotan ialah jenis klonik. Pada kasus ini terjadi kejang generalisata
tonik klonik.
b. Mengapa kejangnya berulang?
Bangkitan berulang bersifat unprovocated (tanpa adanya faktor pencetus).
Setiap terjadi perubahan fungsi otak atau sel-sel neuron di otak , maka akan
terjadi

ketidakseimbangan

(berlebihan)

muatan

listrik.

Saat

terjadi

ketidakseimbangan antara neurotransmiter excitatory dan inhibitory akan


menimbulkan bangkitan kejang. Namun demikian beberapa penyelidikan
mengungkapakan bahwa neurotransmitter acethylcholine (Ach) merupakan zat
yang merendahkan potensial membran postsinaptik. Apabila sudah cukup ach
tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron
kortikal dipermudah. Ach diproduksi oleh neuron-neuron kolinergik dan mermbes
keluar dari permukaan otak. Kesadaran awas-waspada lebih banyak acethylcoline
merembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur. Pada jejas otak
terdapat lebih banyak Ach daripada dalam keadaan otak sehat. Pada tumor serebri
4

atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari
meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi
penimbunan setempat dari acethylcholine. Penimbunan Ach setempat harus
mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran
sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Mungkin karena harus menunggu
waktu sehingga tercapai konsentrasi yang dapat mengungguli ambang lepas
muatan neuron. Oleh karena itu fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi
secara berkala.
c. Bagaimana farmakodinamik diazepam?
Target dari kerja benzodiazepine adalah reseptor GABA. Reseptor ini terdiri
dari subunit , , dan dimana berkombinasi dengan lima atau lebih dari
membrane postsinaptik. Benzodiazepine meningkatkan efek GABA dengan
berikatan ke tempat yang spesifik dan afinitas tinggi. Reseptor ionotropik ini,
suatu protein heteroligometrik transmembran yang berfungsi sebagai kanal ion
klorida, yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibiotrik. Benzodiazepin
meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh GABA. Pemasukan ion klorida
tersebut menyebabkan hyperpolarisasi kecil yang menggerakkan potensial
postsinaps menjauh dari threshold sehingga menghambat kejadian potensial aksi.
d. Mengapa antara kejang pasien tidak sadar?
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Padahal korteks serebri dan batang otak merupakan dua pusat anatomi yang
mengatur kesadaran.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga
lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun,
sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Akibatnya adanya
disritmia pada bagian otak tertentu ini bisa memberikan manifestasi penurunan
kesadaran.
3. Hemiparese dekstra: Penderita sering tersedak bila minum.
5

a. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme hemiparese dekstra?


Epilepsi (kejang berulang) muatan listrik berlebih dilepaskan oleh nuclei
intralaminares talami mengenai kortex motorik sinistra lesi pada traktus
piramidalis (UMN) refleks fisiologis meningkat, tonus dan refleks babinsky
(+), jaras traktus kortikospinalis (dari gyrus precentralis-decussatio piramidalistraktus kortikospinal lateralis-inervasi otot kontralatera tungkai) lengan dan
tungkai kanan lemah.
b. Apa penyebab dari bagaimana mekanisme tersedak bila minum?
Kejang > 5 menit

merusak saraf Nervus IX (Glossofaring)

terganggu fungsi nervus tidak berjalan dengan baik (Karena epiglotis


mengalami parese sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya minuman masuk
ke laring dan menimbulkan reflek batuktersedak
4. Sebelum terjadi serangan kejang, terdapat batuk, pilek yang sudah berlangsung 3 hari
tanpa demam.

a. Apa hubungan batuk, pilek terhadap kejang?


Tidak ada hubungan.

5. Pada usia 6 bulan penderita mengalami kejang disertai demam tinggi dan didiagnosis
menderita meningitis. Penderita dirawat di rumah sakit selama lima belas hari.
a. Apa hubungan meningitis dengan serangan kejang yang diderita sekarang?
Berdasarkan penelitian, kejang demam menjadi resiko terjadinya epilepsi pada
2-5% kasus. Kejang demam pernah diderita anak ini pada usia 6 bulan akibat
meningitis. Meningitis yang diderita anak ini kemungkinan besar sudah sembuh
saat diobati 15 hari di rumah sakit, namun meningitis ini dapat menyebabkan
gejala sisa dan masuk ke dalam otak berupa sikatrik. Gejala sisa meningitis
tersebut akan menyebabkan lesi pada otak. Lesi pada otak ini akan menyebabkan
produksi asetilkolin yang berlebihan dan eksitasi rangsang saraf yang berlebihan
yang akan menyebabkan kejang. Jadi, akan terjadi kejang yang tidak disertai
demam.

b. Bagaimana patofisiologi meningitis?


Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ
atau jaringan tubuh yang lain. Virus/bakteri menyebar secara hematogen sampai
ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia,
Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput
otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus
dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam
minggu kedua selsel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan,
bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di
lapisaan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan
oleh bakteri.
6. Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam sebanyak
dua kali.
a. Bagaimana hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan penyakit sekarang?
Kejang yang dulu pernah dialami oleh penderita mengakibatkan kejang pada
kasus (rekurensi).
b. Apa indikasi pemberian obat asam valproate dan bagaimana farmakodinamiknya?

Indikasi penggunaan asam valproat yaitu pada pasien kejang, kelainan bipolar,
dan

sakit

kepala

migrain.

Untuk

farmakodinamiknya,

asam

valproat

meningkatkan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA) di otak, dan juga


menghambat sodium dan calcium channels sehingga dapat menghambat lepas
muatan repetitif frekuensi tinggi oleh neuron (menghasilkan efek anti epileptik).
c. Apa dampak dari penghentian pemberian obat tersebut?
Kejang akan berulang dan dapat menjadi lebih parah. Ada baiknya obat
digunakan minimal 1 tahun dan dihentikan secara bertahap jika setelah 2 tahun
dari pemberian obat tidak ada kejang. Bila selama pemberian obat terjadi kejang,
tambahkan menjadi 2 obat anti epilepsi atau ganti dengan jenis lain dan hitung
ulang waktu pengobatan hingga 2 tahun bebas dari kejang.
7. Usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak tinggi.
Penderita berobat ke dokter dan dberi obat asam valproat. Setelah sembilan bulan
berobat, orang tua menghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang.
Penderita sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai
sepeda roda tiga.
a. Bagaimana tahap perkembangan normal pada anak?
Menurut IDAI: Anak pada usia ini tertarik mendengarkan cerita dan percakapan
di sekitarnya. Ia dapat menyebutkan nama, umur, dan jenis kelaminnya, serta
menggunakan kalimat-kalimat panjang (>4 kata) saat berbicara. Pada usia 4
tahun, bicaranya sepenuhnya dapat dimengerti oleh orang lain. Anak sudah dapat
menceritakan dengan lancar dan cukup rinci tentang hal-hal yang dialaminya.
Kemampuan fisik : Pada usia ini, tubuh anak mulai tumbuh dengan lebih kuat. Ia
juga semakin aktif dengan beragam gerakan. Seorang anak bisa naik turun
tangga, memanjat, naik sepeda roda tiga, melompat, serta semakin lincah untuk
berlari.
Kemampuan motorik : Anak akan mendapatkan kemampuan motorik yang cukup
baik seperti memegang pensil, memotong kertas, mampu menekan beragam
tombol di mainannya, bisa melepas pakaian sendiri, dan masih banyak lagi.
8

Kemampuan berbicara : Seorang anak mampu mengucapkan beberapa kata


dengan baik dan bahkan mereka bisa memperkenalkan nama lengkap dengan
percaya diri. Perkembangan imajinasi Anak bisa merencanakan sesuatu, membat
konstruksi dengan mainan mereka, dan ikut campur dalam pembicaraan yang kita
lakukan.
b. Bagaimana hubungan penyakit yang diderita ini terhadap perkembangan anak?
(normal atau tidak)
Tidak ada hubungan karena perkembangan anak normal sampai sebelum terjadi
kejang.
8. Pemeriksaan fisik:
Kesadaran kompos mentis. Suhu aksila 36,5oC. Tekanan darah 90/45 mmHg. Nadi
100x/menit. Frekuensi napas 30x/menit
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Pemeriksaan

Hasil

Pemeriksaan
Kesadaran
Compos Mentis
Nadi
100x/menit
Respiratory Rate
30x/menit
Temperatur
36,5oC
Tekanan
darah 90/45 mmHg

Nilai Normal

Interpretasi

Compos Mentis
68-138x/menit
20-50x/menit
36,5-37,2oC
90-99/65 mmHg

Normal
Normal
Normal
Normal
Diastole rendah,

(TD)

namun perlu
dilakukan
pemeriksaan
ulang untuk
menetapkan
apakah TD
benar-benar
menurun

b. Bagaimana mekanisme abnormal hasil pemeriksaan fisik?


Tidak diketahui secara pasti, bisa jadi akibat penggunaan obat diazepam.
9. Pemeriksaan neurologis:
9

Kepala: Tampak mulut penderita mencong ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih
Nampak dan kedua bola mata dapat menutup. Saat penderita diminta mengeluarkan

lidah, terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah


Ektremitas: Pergerakan Lengan dan tungkai kanan tampak terbatas dan
kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat
sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa.
Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot
hipertoni dan reflex lengan dan tungkai kanan meningkat, dan ditemukan reflex

Babinski di kaki sebelah kanan


Tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk, brudzinsky I dan II maupun
kerning tidak dijumpai
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan
neurologis?
a) Kepala : Tampak mulut penderita mencong ke sebelah kiri. Lipatan dahi
masih nampak dan kedua bola mata dapat menutup. Saat penderita
diminta mengeluarkan lidah, terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor
lidah.
Interpretasi

: Mulut mencong ke sebelah kiri, deviasi lidah ke kanan

disertai tremor abnormal, ada kelumpuhan di N. VII dan N. XII


Mekanisme

(1) Mulut mencong ke sebelah kiri


Keadaan di atas merupakan penanda adanya lesi pada nervus
fasialis. Jika terdapat lesi pada satu sisi nervus fasialis, mulut akan
miring. Sebagian besar daerah gigi-geligi diperlihatkan pada sisi saraf
yang masih utuh karena mulut tertarik ke sisi yang sehat.
Bagian nucleus facialis yang mengendalikan otot-otot wajah
bagian

atas

menerima

serabut

kortikonuklearis

dari

kedua

hemispherium cerebri sehingga lesi yang mengenai upper motot


neuron hanya menyebabkan paralisis otot-otot wajah bagian bawah.
Akan tetapi, pasien dengan lesi pada nucleus motorius n. facialis atau
nervus facialisnya saja yaitu lesi lower motor neuron semua otot
wajah pada sisi lesi akan lumpuh. Kelopak mata bawah dan sudut
10

mulut akan turun. Air mata akan mengalir melalui kelopak mata
bawah, dan saliva keluar dari sudut mulut. Pasien tidak dapat
menutup matanya dan tidak dapat memperlihatkan gigi geliginya
pada sisi lesi.

Gambar Perbedaan lesi perifer dan sentral nervus fasialis

(2) Deviasi lidah ke kanan dan tremor


Terjadi kelumpuhan/ parese pada N. XII (hipoglossal), lidah akan
berdeviasi

ke

arah

sisi

yang

lemah

pada

lesi

unilateral

(Marjono&Sidharta, 2010).
b) Ekstremitas : Pergerakan lengan dan tungkai kanan tampak terbatas dan
kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai
11

kanan dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak bias melawan
tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan
kuat sewajar usianya. Tonus otot hipertoni dan reflex fisiologis lengan
dan tungkai kanan meningkat, dan ditemukan reflex babinski di kaki
sebelah kanan.\
Interpretasi

: Lengan dan tungkai kanan lemah dan pergerakan

terbatas, tonus otot hipertoni, refleks fisiologis lengkan dan tungkai


kanan meningkat, refleks babinski di kaki sebelah kanan abnormal,
ada kelumpuhan di UMN
Mekanisme:
(1) Hemiparesis dextra
Kerusakan

pada

seluruh

korteks

piramidalis

sesisi

menimbulkan kelumpuhan UMN pada belahan sisi tubuh kontralateral.


Kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum meruntuhkan semua neuron
korteks piramidalis sesisi akan menimbulkan kelumpuhan pada
belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai sedang.
(2) Refleks fisiologis lateral kanan meningkat
Ada kerusakan pada UMN
(3) Hipertonia
Hipertonia merupakan ciri khas bagi disfungsi komponen
ekstrapiramidal

susunan

UMN

(Mardjono&Sidharta,

2010).

Hipertonia tidak terjadi apabila lesi hanya melibatkan korteks motorik


primer. Hipertonia baru akan tampak saat area 6 dan 4s yang
merupakan korteks motorik tambahan ikut mengalami lesi.
Hipertonia terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks
motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsik medula spinalis.
(4) Relfeks babinski di kaki kanan
Lesi pada UMN membangkitkan refleks Babinsky. Mekanisme
pasti bagaimana refleks patologis dibangkitkan masih belum bisa
dijelaskan (Mardjono&Sidharta, 2010).

12

c) Tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk, brudzinsky I dan II


maupun kernig tidak dijumpai.
Interpretasi

: Normal, pasien tidak sedang menderita meningitis.

b. Bagaimana cara pemeriksaan neurologis pada kasus?


1) Rigiditas nuchae: (Kaku kuduk)
Istilah nuchae merujuk pada bagian belakang leher. Rigiditas nuchae
berarti bahwa baik pasien maupun pemeriksa tidak mampu melakukan fleksi
kepala pasien karena spasme refleks otot nuchae (ekstensor). Iritasi ruang
subarakhnoid, paling sering oleh inflamasi (ensefalitis atau meningitis) atau
karena darah subaraknoid, menyebabkan rigiditas nuchae.
Teknik untuk menguji rigiditas nuchae

Pasien dalam posisi berbaring telentang dan relaks, tempatkan tangan


anda di bawah bagian belakang kepala pasien dan dengan hati-hati
coba lakukan fleksi leher. Pada keadaan normal, ia akan menekuk
dengan bebas. Jika pasien memiliki rigiditas nuchae, leher melawan
fleksi dan pasien merasa kesakitan. Jika rigiditas nuchae berat, anda
dapat menaikkan kepala pasien dan badan dengan tulang belakang
seperti batang lurus atau pasien seperti patung.

Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi meningeal,


pemeriksa harus membedakannya dari bentuk rigiditas servikal
lainnya. Dengan rigiditas nuchae yang nyata, leher hanya melawan
fleksi. Leher bergerak bebas melalui rotasi dan ekstensi, karena
gerakan ini tidak meregangkan meninges, medula spinalis, dan nerve
root. Untuk menunjukkan rigiditas hanya mempengaruhi otot nuchae,
lakukan dua hal berikut ini:
o Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief gulingkan
kepala pasien dari satu sisi ke sisi lainnya untuk menunjukkan
rotasi kepala yang bebas meski ada resistensi terhadap fleksi
o Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala jatuh ke
arah belakang, menguji kebebasan ekstensi
o Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap gerakan
leher ke segala arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae secara khusus
13

berarti resistensi terhadap fleksi leher, yaitu rigiditas bagian


belakang leher

2) Brudzinski neck sign

Cara pemeriksaan
o Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh
pemeriksa sehingga dagu menyentuh dada

Reaksi abnormal: fleksi pangkal paha dan lutut sebagai respon


terhadap fleksi leher

3) Brudzinski kontralateral

Cara pemeriksaan
o Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di sendi
lutut dan fleksi di sendi panggul, lutut kemudian difleksikan

Reaksi abnormal: tungkai kontralateral timbul gerakan fleksi di sendi


lutut

4) Kernig sign

Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus di tempat tidur
14

o Kaki fleksi pada pangkal paha dengan lutut dalam keadaan


fleksi
o Kemudian usahakan ekstensi lutut
o Ulangi untuk sisi yang lain

Interpretasi hasil :
o Lutut lurus tanpa kesulitan: normal
o Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernigs signbilateral
mengindikasikan iritasi meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi
pada radikulopati (bandingkan dengan straight leg raising)

5) Babinskis sign

Cara: pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan


ujung palu refleks

Reaksi: dorsofleksi ibujari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan


melebar jari-jari lainnya

6) Chaddocks sign

Cara: pemerika menggores di bawah dan sekitar maleolus eksterna ke


arah lateral dengan palu refleks ujung tumpul

Reaksi: sama dengan Babinskis sign

7) Gordons sign

Cara: pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat

Reaksi: sama dengan Babinskis sign

8) Schaeffers sign
15

Cara: pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat

Reaksi: sama dengan Babinskis sign

9) Oppenheims sign

Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan
telunjuk pada permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal

Reaksi: sama dengan Babinski sign

10) Rossolimos sign

Stimulasi

Respon normal

Respon abnormal : plantar fleksi jari dengan cepat

dorsofleksi ringan jari-jari kaki/tidak ada gerakan

11) Pemeriksaan N.IX


Kelumpuhan pada N. Hipoglossus akan menimbulkan gangguan pergerakan
lidah.

Akibat gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak


dapat diucapkan dengan baik, disebut dengan disartria.

Dalam keadaan diam, lidah tidak simetris, biasanya bergeser ke daerah


sehat karena tonus di sini menurun.

Bila lidah dijulurkan, lidah akan berdeviasi ke sisi sakit.

10. Aspek Klinis:


a. Apa saja diferensial diagnosis pada kasus ini?

Encephalitis

Heatstroke

Hypernatremia in Emergency Medicine

Hyperosmolar Hyperglycemic Nonketotic Coma

Hypocalcemia in Emergency Medicine

Hypoglycemia

Hyponatremia

Medication-Induced Dystonic Reactions

Neuroleptic Malignant Syndrome

Neurological Manifestations of Uremic Encephalopathy


16

Withdrawal Syndromes

b. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan apa diagnosis kerja dari kasus ini?
Diagnosis kerja: Status epileptikus
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti dan detail,
pemeriksaan fisis lengkap dan EEG serta dibantu oleh pemeriksaan pencitraan
bila ada indikasi.
Pada episode kejang pertama, anamnesis harus ditujukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding lain sebagai penyebab kejang, seperti infeksi SSP, trauma,
kelainan metabolik, hipoglikemi, gangguan elektrolit, keracunan obat, atau
toksin. Bila tidak ditemukan penyebab tersebut, kecurigaan dapat mengarah pada
epilepsi dan minta orang tua untuk menggambarkan dengan detail faktor pemicu,
awitan, durasi, frekuensi, dan jenis bangkitan kejang. Selidiki apakah ada keadaan
organik yang mendasari melalui pemeriksaan lingkar kepala, pertumbuhan,
pemeriksaan neurologis.
Tanyakan mengenai postur tubuh sianosis, kontrol sfingter kandung kemih,
dan periode post-iktal apakah tampak mengantuk atau sakit kepala.
Pemeriksaan EEG berguna untuk menegakkan diagnosis epilepsi bila ditemukan
aktivitas epileptiform pada periode inter-iktal atau abnormalitas fokal
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada keadaan kurang tidur (sleep-deprived).
Pemeriksaan pencitraan diindikasikan pada:
1) Anak dengan gambaran kejang fokal atau kejang umum yang bukan
merupakan bagian dari sin. drom klinis dengan penyebab genetik(misalnya
BECTS, CAE, JAE, atau JME 2)
2) Anak usia <2 tahun
Pemeriksaan pencitraan yang disarankan adalah MRI karena lebih superior
dalam mengidentifikasi struktur anatomi dan proses patologis, seperti mesial
temporal sclerosis, malaformasi vaskular. atau tumor kecil(misalnya glioma),
CT scan dapat digunakan bila MRI tidak tersedia atau bila terdapat
kontraiindikasi penggunaan MRI. namun perlu diingat bahwa beberapa keadaan
di atas mungkin tidak dapat didentifikasi pada CT Scan.
c. Apa pemeriksaan penunjang lainnya?
17

Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah


kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis. Untuk menentukan faktor
penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang yaitu:
1. Laboratorium
2. Pungsilumbal
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard
untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal:
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal.
4. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara
pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi.
5. Pemeriksaan Neuroradiologis
18

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk


melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan
CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih
rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
serta untuk membantu terapi pembedahan.
d. Apa etiologi dari kasus ini?
-

Infeksi sistem saraf pusat

Riwayat kejang sebelumnya

Trauma kepala

Tumor otak

Kelainan kongenital seperti sindrom Down, tuberous sklerosis, dan


neurofibromatosis

Malaformasi otak

Idiopatik

Pada kasus, etiologi nya adalah epilepsi post meningitis.


e. Bagaimana patofisiologi dari kasus ini?
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan
muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah
muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,
kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas
listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita
dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa
provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor
eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak
terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak,
19

namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang
mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Selain itu, pada kasus ini,
juga sudah dijelaskan pada analisis sebelumnya bahwa gejala sisa akibat
meningitis juga berperan dalam kejadian kejang yang berujung pada status
epileptikus.
f. Apa saja manifestasi klinis dari kasus ini?
-

asimetris pada pemeriksaan neurologis

postur abnormal

demam (suhu bisa lebih dari 38,50C)

otot hipertoni

kejang

penurunan kesadaran

bradikardi, takipneu

g. Apa komplikasi pada kasus ini?


Epilepsi dapat menimbulkan komplikasi berupa status epileptikus. Status
epileptikus terjadi ketika penderita mengalami kejang selama lebih dari lima
menit atau mengalami serangkaian kejang pendek tanpa kembali sadar di antara
kejang. Status epiliptikus dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak,
bahkan kematian.
Komplikasi lainnya yang juga jarang terjadi adalah kematian mendadak.
Hingga kini, penyebab kematian mendadak pada penderita epilepsi masih belum
dapat diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengemukakan bahwa itu berkaitan
dengan dampak pada jantung dan pernapasan akibat kejang.

h. Bagaimana tatalaksana dari kasus ini?


Penanganan pada saat kejang

Menghentikan kejang : Diazepam dosis awal 0,3 0,5 mg/KgBB/dosis IV


(perlahan-lahan) atau 0,4 0,6 mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA.

20

Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20
menit kemudian.

Turunkan demam :
Anti Piretika : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5 10
mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3 4 kali per hari.
Kompres : suhu > 39 C dengan air hangat, suhu > 38 C dengan air biasa.

Pengobatan penyebab : antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit


dasarnya.

Penanganan suportif lainnya meliputi : bebaskan jalan nafas, pemberian


oksigen,

menjaga

keseimbangan

air

dan

elektrolit,

pertahankan

keseimbangan tekanan darah.


Pencegahan Kejang

Pencegahan berkala ( intermiten ) untuk kejang demam sederhana dengan


Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan anti piretika pada saat anak menderita
penyakit yang disertai demam.

Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam


Valproat 15 40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 3 dosis. Sebagai
contoh, pada kasus untuk dosis awal, kita ambil 20 mg/KgBB asam valproat,
maka dibutuhkan 280 mg asam valproat dibagi menjadi 2 dosis sehingga
sehari diberikan 2 kali 140 mg asam valproat. Kita berikan obat dalam
bentuk sirup (5 cc setara 250 mg sehingga 1 cc setara 50 mg), maka kita
memerlukan 3 cc sirup (setara 150 mg) untuk 1 kali pemberian. Jadi, sehari
kita berikan 3 cc sirup dengan kandungan asam valproat sebanyak 2 kali.

i. Apa prognosis dari kasus ini?


Prognosis bergantung pada usia, riwayat kejang sebelumnya, frekuensi kejang,
dan terapi. Bila penanganan tepat dan cepat dilakukan, maka prognosis akan baik.
Bila usia onset pertama kejang >12 tahun, ada defisit neurologis (seperti retardasi
mental), riwayat kejang saat neonatus, maka prognosis akan lebih buruk.
j. Apa SKDI pada kasus ini?

21

3B, seorang dokter mampu membuat diagnosis klinis dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada pasien.

IV. Hipotesis
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun 6 bulan mengalami status epileptikus disertai
hemiparese dekstra dan parese N.IX.

V. Kerangka Konsep

Anak laki-laki,Usia
14kg6 bulan, riwayat meningitis, kejang disertai demam

lesi pada fokus epileptikus

Usia 12&18 bulan terjadi epilepsi


Terapi epilepsi rumatan dihentikan secara mendadak
Usia 3 tahun 6 bulan, epilepsi relaps dan terjadi status epilepticus

Defisit neurologis (hemiparese dekstra tipe sentral serta parese N. VII, N. IX dan N. XII)

Refleks
babinski kanan (+)
Lengandan
dantremor
tungkai kanan sedikit
melemah
Mulut tampak mencong
Lidah deviasi
ke kiri ke kanan

22

VI. Sintesis Masalah


1. Nervus Cranialis
Nervus cranialis Ada 12 saraf kranial yang
meninggalkan otak melalui foramina dan fissura di
tengkorak. Semua saraf ini didistribusikan

ke

kepala dan leher kecuali saraf kranial kesepuluh,


yang mempersarafi struktur-struktur yang berada di
toraks dan abdomen. Saraf-saraf otak tersebut
diberi nama sebagai berikut: olfactorius (n.I),
opticus (n.II), oculomotorius (n.III), trochlearis
(n.IV),

trigeminus

(n.V),

vestibulocochlearis

(n.VIII),

abducens

(n.VI),

glossopharyngeus

facialis
(n.IX),

vagus

(n.VII),
(n.X),

accessorius (n.XI), dan hypoglossus (n.XII) .


Nervus

olfactorius,

nervus

opticus,

dan

nervus

vestibulocochlearis

merupakan saraf sensorik murni. Nervus oculomotorius, nervus trochlearis,


nervus abducens, nervus accessorius, dan hypoglossus adalah saraf motorik
murni. Nervus trigeminus, nervus facialis, nervus glossopharyngeus, dan
nervus vagus merupakan saraf campuran motorik dan sensorik .
Nervus kranialis memiliki nuklei motorik dan/ atau sensorik di dalam otak
dan serabut-serabut saraf perifer keluar dari otak serta meninggalkan
tengkorak menuju organ sensorik atau efektor . Adapun serabut-serabut saraf
kranial dikelompokkan menjadi beberapa jenis:
a. Serabut aferen somatik, yang menghantarkan impuls rasa nyeri, suhu,
raba, tekanan, dan sensasi propioseptif melalui reseptor-reseptornya di
kulit, sendi, otot, dan sebagainya.
b. Serabut aferen otonom (viseral), yang menghantarkan impuls (nyeri) dari
organ visera.

23

c. Serabut aferen khusus (SAK), yang terdiri atas SAK somatik yang
menghantarkan impuls dari reseptor khusus (mata, telinga) dan SAK
viseral yang menghantarkan impuls kecap dan bau.
d. Serabut eferen somatik umum, yang mempersarafi otot-otot rangka (III, IV,
VI, XII).
e. Serabut eferen viseral, yang mempersarafi otot polos, otot jantung, dan
kelenjar (parasimpatis/ simpatis)
f. Serabut eferen brankhio-metrik khusus yang mempersarafi otot-otot derivat
arkus brankhialis (n.V untuk arkus 1, n.VII untuk arkus 2, n. IX untuk arkus
3, n. X dan n. XI untuk arkus selanjutnya).
Berbagai komponen saraf otak, fungsi, serta celah di cranium yang dilewati
oleh saraf-saraf tersebut untuk meninggalkan cavum crania diringkas sebagai
berikut:
No

Nama

Saraf-Saraf Kranial (Nervi Craniales)


Komponen
Fungsi

Tempat
keluar di

Olfactorius

Sensorik (SVA)

otak
Celah-celah

Penghidu

di

lamina

cribrosa
ossis
II
III

Opticus
Oculomotorius

Sensorik (SSA)
Motorik

(GSE,

GVE)

Penglihatan

ethmoidalis
Canalis

Mengangkat kelopak mata

opticus
Fissura

atas, menggerakkan bola

orbitalis

mata ke atas, bawah, dan

superior

medial;
IV

Trochlearis

Trigeminus
Divisi

Motorik (GSE)

Sensorik (GSA)

ophtalmicus

Divisi maxillaris

Sensorik (GSA)

konstriksi

pupil;

akomodasi mata
Membantu menggerakkan

Fissura

bola mata ke bawah dan

orbitalis

lateral

superior

Kornea, kulit dahi, kulit

Fissura

kepala, kelopak mata, dan

orbitalis

hidung;

juga

membran

superior

mukosa

sinus

parasanal

dan rongga hidung


Kulit wajah di atas maxilla;

Foramen

24

gigi geligi rahang atas;


membrane
hidung,
Divisi

Motorik (SVE)

mandibularis

rotundum

mukosa
sinus

dan

lempeng maxilla
Otot-otot pengunyah, M.

Foramen

mylohyoideus,

ovale

m.

digastricus

venter

anterior, m. tensor veli


palatini,
No

Nama

Komponen

dan

m.

tensor

tympanicum.
Fungsi

Tempat
keluar di
otak

Sensorik (GSA)

Kulit pipi;

kulit di atas

mandibula dan sisi kepala,


gigi geligi rahang bawah
dan articulation temporo
mandibularis;

membrane

mukosa mulut dan bagian


VI

Abducens

Motorik (GSE)

anterior lidah
M.
rectus

lateralis

menggerakkan
VII

Facialis

Motorik (SVE)

ke

orbitalis

lateral
Otot-otot wajah dan kulit

superior
Meatus

kepala, m. stapedius, m.

acusticus

digastricus

interna,

venter

posterior,
Sensorik (SVA)

mata

Fissura

dan

m.

stylohyoideus.
Pengecapan
pertiga

facialis,
dari

bagian

Sekretomotorik

lidah,

dari

parasimpatis

dan palatum.

(GVE)

Kelenjar

dua-

anterior

dasar

mulut

foramen
sylomastoid
eus

ludah

submandibula
sublingual,
lakrimalis,

canalis

dan
kelenjar

dan

kelenjar

hidung dan palatum.


VIII

Vestibulocochle
ar
Vestibular

Sensorik (SSA)

Dari

utriculus,

sacculus,

dan canalis semicircularis-

Meatus
acusticus

25

Cochlear

Sensorik (SSA)

posis dan gerakan kepala


Organ Corti- pendengaran

internus
Meatus
acusticus

IX

Glossopharynge

Motorik (SVE)

us
Sekretomotorik

M.stylopharingeus-

internus
Foramen

membantu menelan.

jugulare

Kelenjar parotis.

parasimpatis
(GVE)
Sensorik

Sensasi
(GVA,

SVA, GSA)

umum

dan

pengecap dari dua pertiga


bagian posterior lidah dan
faring;

sinus

carotis

(baroreseptor);

corpus

carotis (kemoreseptor)
No

Nama

Komponen

Fungsi

Tempat
keluar di

Vagus

Motorik

(GVE,

SVE)
Sensorik

Jantung
darah

(GVA,

SVA, GSA)

dan

pembuluh

besar

di

laring,

trakea,

dan

paru;

toraks;

otak
Foramen
jugulare

bronkus,
traktus

alimentary dari faring ke


fleksura splenicus kolon;
hepar,

XI

Accessorius

Motorik (SVE)

Radix cranialis

ginjal,

dan

pankreas
Otot-otot palatum
(kecuali

m.

tensor

molle
veli

Foramen
jugulare

palatini), faring (kecuali m.


stylopharyngeus),
laring

(kecuali

cricothyroid)

XII

dan

di

m.

cabang-

Radiks spinalis

Motorik (SVE)

cabang n. vagus
M. sternocleidomastoideus

Foramen

Hypoglossus

Motorik (GSE)

dan m. trapezius
Otot-otot lidah (kecuali m.

jugulare
Canalis

palatoglossus)

hypoglossus

bentuk

dan

mengatur
pergerakan

lidah
Keterangan: GSA: aferen somatik umum, SSA: aferen somatik khusus, GVA:
aferen viseral umum, SVA: aferen visceral khusus, GSE: eferen somatik umum,
GVE: eferen viseral umum, SVE: eferen viseral khusus.

26

2. Kejang dan Epilepsi


Definisi
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat
darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami
sekali kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan
neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana,
dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan
gejala awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang
salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak
terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu.
Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini
kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
Patofisiologi
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat
berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom
yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status
epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu kejang berulang lebih
dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron
lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga
disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk
melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3] meningkatnya eksitasi
sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang
berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.
Klasifikasi
Klasifikasi kejang meliputi :
a. Bangkitan Parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
27

a) Dengan gejala motorik.


b) Dengan gejala sensorik.
c) Dengan gejala otonomik.
d) Dengan gejala psikis.
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran.
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.
3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak,
frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan
bibir.
2) Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau
terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup
otot. Dapat berulang atau tunggal.
3) Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap
dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi,
dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian
merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup,
konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi.
4) Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh
ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien
terjatuh.
5) Bangkitan klonik
28

Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.
dijumpai terutama sekali pada anak.
6) Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti
oleh gerakan klonik.
3. Status Epileptikus
Definisi
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar
kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus (Muttaqin, 2008).
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan
harusdimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu bangkitan (Kamus Kedokteran
Dorland, 2009).
Status Epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan
kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara serangan. Istilah
ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinue yang berakhir
sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Muttaqin, 2008).
Klasifikasi
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei
ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
29

status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik


umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.
Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.
Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada en selofati anoksia
berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas,
metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens
pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
30

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan
generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari
status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi
dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian
march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme,

gangguan

berbicara,

dan

keadaan

kebingungan

yang

berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus nonkonvulsif pada beberapa kasus.
31

Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum
yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status
epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi
berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya
karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang
berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang
berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10
persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak
pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Faktor Resiko dan Etiologi
Beberapa faktor meningkatkan resiko terjadinya epilepsi, seperti retardasi mental,
palsi serebral, ayah atau ibu dengan epilepsi, riwayat kejang tanpa disertai demam
sebelumnya. Etiologi dari penyakit ini antara lain infeksi sistem saraf pusat, tumor
otak, malaformasi otak, trauma kepala, kelainan kongenital, idiopatik.
Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan
muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan
ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang
lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi

membran

yang

berlangsung

singkat,

kemudian

inhibisi

akan

menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,
akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik
yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan
menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi.
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan
inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada
sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa
32

kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi
fisik dan retardasi mental. Selain itu, pada kasus ini, juga sudah dijelaskan pada
analisis sebelumnya bahwa gejala sisa akibat meningitis juga berperan dalam kejadian
kejang yang berujung pada status epileptikus.
Manifestasi Klinis
-

asimetris pada pemeriksaan neurologis

postur abnormal

demam (suhu bisa lebih dari 38,50C)

otot hipertoni

kejang

penurunan kesadaran

bradikardi, takipneu

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti dan detail, pemeriksaan
fisis lengkap dan EEG serta dibantu oleh pemeriksaan pencitraan bila ada indikasi.
Pada episode kejang pertama, anamnesis harus ditujukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding lain sebagai penyebab kejang, seperti infeksi SSP, trauma, kelainan
metabolik, hipoglikemi, gangguan elektrolit, keracunan obat, atau toksin. Bila tidak
ditemukan penyebab tersebut, kecurigaan dapat mengarah pada epilepsi dan minta
orang tua untuk menggambarkan dengan detail faktor pemicu, awitan, durasi,
frekuensi, dan jenis bangkitan kejang. Selidiki apakah ada keadaan organik yang
mendasari melalui pemeriksaan lingkar kepala, pertumbuhan, pemeriksaan neurologis.
Tanyakan mengenai postur tubuh sianosis, kontrol sfingter kandung kemih, dan
periode post-iktal apakah tampak mengantuk atau sakit kepala.
Pemeriksaan EEG berguna untuk menegakkan diagnosis epilepsi bila ditemukan
aktivitas epileptiform pada periode inter-iktal atau abnormalitas fokal Pemeriksaan
EEG harus dilakukan pada keadaan kurang tidur (sleep-deprived).
Pemeriksaan pencitraan diindikasikan pada:
1) Anak dengan gambaran kejang fokal atau kejang umum yang bukan merupakan
bagian dari sin. drom klinis dengan penyebab genetik(misalnya BECTS, CAE,
JAE, atau JME 2)
2) Anak usia <2 tahun
33

Pemeriksaan pencitraan yang disarankan adalah MRI karena lebih superior dalam
mengidentifikasi struktur anatomi dan proses patologis,

seperti mesial temporal

sclerosis, malaformasi vaskular. atau tumor kecil(misalnya glioma), CT scan dapat


digunakan bila MRI tidak tersedia atau bila terdapat kontraiindikasi penggunaan MRI.
namun perlu diingat bahwa beberapa keadaan di atas mungkin tidak dapat
didentifikasi pada CT Scan.

Fase Epileptikus
Menurut Kariasa (2002), secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi
menjadi lima fase, yaitu :
a. Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti
peningkatan aliran darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan
glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan oleh asidosis laktat dan
terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel pada tahap ini.
b. Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan
tubuh beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa
serum kembali normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat
irreversibel pada tahap ini.
c. Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada
terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan saraf yang irreversibel.
d. Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama
tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan
mekanisme ventilasi.
e. Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh
klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan
otak berlanjut.

34

Tatalaksana
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan
anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan
segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang
paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan
Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari gaminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks
Reseptor-Barbiturat.
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Penanganan pada saat kejang

Menghentikan kejang : Diazepam dosis awal 0,3 0,5 mg/KgBB/dosis IV


(perlahan-lahan) atau 0,4 0,6 mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA. Bila
kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit
kemudian.

Turunkan demam :
Anti Piretika : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5 10
mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3 4 kali per hari.
Kompres : suhu > 39 C dengan air hangat, suhu > 38 C dengan air biasa.
35

Pengobatan penyebab : antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit


dasarnya.

Penanganan suportif lainnya meliputi : bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen,


menjaga keseimbangan air dan elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan
darah.

Pencegahan Kejang

Pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam sederhana dengan


Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan anti piretika pada saat anak menderita
penyakit yang disertai demam.
Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat
15 40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 3 dosis. Ada baiknya obat digunakan
minimal 1 tahun dan dihentikan secara bertahap jika setelah 2 tahun dari
pemberian obat tidak ada kejang. Bila selama pemberian obat terjadi kejang,
tambahkan menjadi 2 obat anti epilepsi atau ganti dengan jenis lain dan hitung
ulang waktu pengobatan hingga 2 tahun bebas dari kejang.

Komplikasi
Status epileptikus terjadi ketika penderita mengalami kejang selama lebih dari lima
menit atau mengalami serangkaian kejang pendek tanpa kembali sadar di antara
kejang. Status epiliptikus dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak, bahkan
kematian.
Komplikasi lainnya yang juga jarang terjadi adalah kematian mendadak. Hingga
kini, penyebab kematian mendadak pada penderita epilepsi masih belum dapat
diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengemukakan bahwa itu berkaitan dengan
dampak pada jantung dan pernapasan akibat kejang.

Prognosis
Prognosis bergantung pada usia, riwayat kejang sebelumnya, frekuensi kejang, dan
terapi. Bila penanganan tepat dan cepat dilakukan, maka prognosis akan baik. Bila
usia onset pertama kejang >12 tahun, ada defisit neurologis (seperti retardasi mental),
riwayat kejang saat neonatus, maka prognosis akan lebih buruk.
36

VII.Kesimpulan
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun 6 bulan mengalami status epileptikus et causa
epilepsi post meningitis disertai hemiparese dekstra dan parese N. VII, IX, dan XII.

VIII. Daftar Pustaka


Arifputera, Andy, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius.
Behrman, R.E. dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2. Diterjemahkan oleh
A. Samik Wahab. Jakarta: EGC
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Guyton, Arthur C., et al. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: EGC
Kania, Nia. 2007. Kejang pada Anak. Bandung: AMC Hospital.
Katzung, Bertram G.. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 12. Jakarta: EGC.
Mardjono, Mahar dan Priguna Sidharta. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.
Price, Sylvia A.. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6.
Jakarta: EGC.
Ramachandrannair,
Rajesh.
2014.
Pediatric
Status
Epilepticus.
http://emedicine.medscape.com/article/908394-overview, diakses pada 14
September 2015.
Sedyaningsih, Endang Rahayu. 2010. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
37

Snell, Richard S., dkk. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi 6.
Jakarta: EGC.
Soebadi, Amanda . 2013. Keterlambatan Bicara.
articles/klinik/keluhan-anak/keterlambatan-bicara.html,
September 2015.

http://idai.or.id/publicdiakses
pada
14

Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia.

38

Anda mungkin juga menyukai