Klarifikasi Istilah
1.
Kejang: Suatu kondisi medis saat otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan
peregangan dengan sangat cepat sehingga menyebabkan gerakan yang tidak
terkendali.
2.
3.
Bangkitan: Gangguan aktivitas mental motorik, sensorik, atau otonom yang relatif
singkat dan mendadak akibat aktivitas serebral paroksismal abnormal.
4.
5.
Brudzinski I: Keadaaan dimana bila leher tertekuk maka akan terjadi fleksi dari lutut
(karena iritasi meningen).
6.
Brudzinski II: Keadaan bila tungkai difleksikan secara pasif maka akan terjadi fleksi
pada tungkai kontralateralnya pada meningitis.
7.
Asam valproate: Obat anti kejang golongan natrium valproat yang diberikan secara
oral
untuk
menangani
kejang
dengan
cara
mengembalikan
keseimbangan
neurotransmitter GABA.
8.
Refleks Babinski: Dorsofleksi ibu jari kaki dan 4 jari lainnya membentuk kipas atau
fanning pada perangsangan telapak kaki; timbul bila terdapat lesi pada traktus
piramidalis walaupun merupakan refleks normal pada bayi.
9.
10.
Kaku kuduk: Rasa kaku di belakang leher yang menandakan serangan pada selaput
dan corda spinalis, positif pada meningitis. Tahanan yang terjadi saat fleksi leher.
11.
Kernig sign: terdapat tahanan dalam pelurusan kaki pada sudut kurang dari 135 o saat
melakukan fleksi pinggul (articulatio coxae) akibat iritasi meningeal.
rasio 1,1 dan Cowan dkk.1,5 .Sebaran usia kasus yang diteliti sesuai dengan
insidens epilepsi yang berubah-ubah menurut usia, yaitu insidens tertinggi pada
usia anak dini, mencapai nadirnya pada usia dewasa dini, dan naik kembali pada
usia tua. Bangkitan epilepsi jarang dijumpai pada usia bulan-bulan pertama, dan
lebih sering antara usia 4 bulan-4 tahun, kemudian frekuensinya menurun sampai
remaja.
b. Berapa berat badan normal anak usia 3 tahun 6 bulan?
Berdasarkan IDAI, untuk menentukan BB normal berdasarkan usia dapat
dilihat dari grafik pertumbuhan anak WHO. Anak laki-laki dengan usia 3 tahun 6
bulan masih berada di Z-score di antara 2 dan -2 apabila memiliki BB 12-19 kg.
Adapun BB ideal untuk usia ini adalah 15 kg. Sehingga pada kasus ini dengan BB
14kg, pasien tergolong normal.
atau 3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang.
d. Mengapa kejang tidak disertai demam?
Kejang pada kasus ini tidak disertai demam karena pada kasus ini kejang
bukan disebabkan infeksi pada selaput otak atau meningitis seperti yang terjadi
pada saat anak ini 6 bulan, melainkan oleh status epileptikus. Umumnya, status
epileptikus mempunyai jenis kejang yang tidak disertai demam. Karena itulah
pada kasus ini kejang tidak disertai demam.
2. Pasien kejang dua kali. Kejang pertama selama 5 menit, kejang kedua selama lebih
dari 10 menit. Interval 10 menit. Inter iktal pasien tidak sadar. Post iktal pasien sadar
setelah diberi diazepam per rektal 2 kali.
a. Apa tipe kejang pada kasus ini?
Pada kasus ini kejang dideskripsikan sebagai bangkitan di mana seluruh tubuh
penderita tegang, mata mendelik ke atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh
tubuh. Seluruh tubuh tegang atau kaku merupakan istilah untuk tipe tonik,
sedangkan kelojotan ialah jenis klonik. Pada kasus ini terjadi kejang generalisata
tonik klonik.
b. Mengapa kejangnya berulang?
Bangkitan berulang bersifat unprovocated (tanpa adanya faktor pencetus).
Setiap terjadi perubahan fungsi otak atau sel-sel neuron di otak , maka akan
terjadi
ketidakseimbangan
(berlebihan)
muatan
listrik.
Saat
terjadi
atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari
meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi
penimbunan setempat dari acethylcholine. Penimbunan Ach setempat harus
mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran
sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Mungkin karena harus menunggu
waktu sehingga tercapai konsentrasi yang dapat mengungguli ambang lepas
muatan neuron. Oleh karena itu fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi
secara berkala.
c. Bagaimana farmakodinamik diazepam?
Target dari kerja benzodiazepine adalah reseptor GABA. Reseptor ini terdiri
dari subunit , , dan dimana berkombinasi dengan lima atau lebih dari
membrane postsinaptik. Benzodiazepine meningkatkan efek GABA dengan
berikatan ke tempat yang spesifik dan afinitas tinggi. Reseptor ionotropik ini,
suatu protein heteroligometrik transmembran yang berfungsi sebagai kanal ion
klorida, yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibiotrik. Benzodiazepin
meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh GABA. Pemasukan ion klorida
tersebut menyebabkan hyperpolarisasi kecil yang menggerakkan potensial
postsinaps menjauh dari threshold sehingga menghambat kejadian potensial aksi.
d. Mengapa antara kejang pasien tidak sadar?
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Padahal korteks serebri dan batang otak merupakan dua pusat anatomi yang
mengatur kesadaran.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga
lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun,
sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Akibatnya adanya
disritmia pada bagian otak tertentu ini bisa memberikan manifestasi penurunan
kesadaran.
3. Hemiparese dekstra: Penderita sering tersedak bila minum.
5
5. Pada usia 6 bulan penderita mengalami kejang disertai demam tinggi dan didiagnosis
menderita meningitis. Penderita dirawat di rumah sakit selama lima belas hari.
a. Apa hubungan meningitis dengan serangan kejang yang diderita sekarang?
Berdasarkan penelitian, kejang demam menjadi resiko terjadinya epilepsi pada
2-5% kasus. Kejang demam pernah diderita anak ini pada usia 6 bulan akibat
meningitis. Meningitis yang diderita anak ini kemungkinan besar sudah sembuh
saat diobati 15 hari di rumah sakit, namun meningitis ini dapat menyebabkan
gejala sisa dan masuk ke dalam otak berupa sikatrik. Gejala sisa meningitis
tersebut akan menyebabkan lesi pada otak. Lesi pada otak ini akan menyebabkan
produksi asetilkolin yang berlebihan dan eksitasi rangsang saraf yang berlebihan
yang akan menyebabkan kejang. Jadi, akan terjadi kejang yang tidak disertai
demam.
Indikasi penggunaan asam valproat yaitu pada pasien kejang, kelainan bipolar,
dan
sakit
kepala
migrain.
Untuk
farmakodinamiknya,
asam
valproat
Hasil
Pemeriksaan
Kesadaran
Compos Mentis
Nadi
100x/menit
Respiratory Rate
30x/menit
Temperatur
36,5oC
Tekanan
darah 90/45 mmHg
Nilai Normal
Interpretasi
Compos Mentis
68-138x/menit
20-50x/menit
36,5-37,2oC
90-99/65 mmHg
Normal
Normal
Normal
Normal
Diastole rendah,
(TD)
namun perlu
dilakukan
pemeriksaan
ulang untuk
menetapkan
apakah TD
benar-benar
menurun
Kepala: Tampak mulut penderita mencong ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih
Nampak dan kedua bola mata dapat menutup. Saat penderita diminta mengeluarkan
atas
menerima
serabut
kortikonuklearis
dari
kedua
mulut akan turun. Air mata akan mengalir melalui kelopak mata
bawah, dan saliva keluar dari sudut mulut. Pasien tidak dapat
menutup matanya dan tidak dapat memperlihatkan gigi geliginya
pada sisi lesi.
ke
arah
sisi
yang
lemah
pada
lesi
unilateral
(Marjono&Sidharta, 2010).
b) Ekstremitas : Pergerakan lengan dan tungkai kanan tampak terbatas dan
kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai
11
kanan dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak bias melawan
tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan
kuat sewajar usianya. Tonus otot hipertoni dan reflex fisiologis lengan
dan tungkai kanan meningkat, dan ditemukan reflex babinski di kaki
sebelah kanan.\
Interpretasi
pada
seluruh
korteks
piramidalis
sesisi
susunan
UMN
(Mardjono&Sidharta,
2010).
12
Cara pemeriksaan
o Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh
pemeriksa sehingga dagu menyentuh dada
3) Brudzinski kontralateral
Cara pemeriksaan
o Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di sendi
lutut dan fleksi di sendi panggul, lutut kemudian difleksikan
4) Kernig sign
Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus di tempat tidur
14
Interpretasi hasil :
o Lutut lurus tanpa kesulitan: normal
o Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernigs signbilateral
mengindikasikan iritasi meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi
pada radikulopati (bandingkan dengan straight leg raising)
5) Babinskis sign
6) Chaddocks sign
7) Gordons sign
8) Schaeffers sign
15
9) Oppenheims sign
Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan
telunjuk pada permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal
Stimulasi
Respon normal
Encephalitis
Heatstroke
Hypoglycemia
Hyponatremia
Withdrawal Syndromes
b. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan apa diagnosis kerja dari kasus ini?
Diagnosis kerja: Status epileptikus
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti dan detail,
pemeriksaan fisis lengkap dan EEG serta dibantu oleh pemeriksaan pencitraan
bila ada indikasi.
Pada episode kejang pertama, anamnesis harus ditujukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding lain sebagai penyebab kejang, seperti infeksi SSP, trauma,
kelainan metabolik, hipoglikemi, gangguan elektrolit, keracunan obat, atau
toksin. Bila tidak ditemukan penyebab tersebut, kecurigaan dapat mengarah pada
epilepsi dan minta orang tua untuk menggambarkan dengan detail faktor pemicu,
awitan, durasi, frekuensi, dan jenis bangkitan kejang. Selidiki apakah ada keadaan
organik yang mendasari melalui pemeriksaan lingkar kepala, pertumbuhan,
pemeriksaan neurologis.
Tanyakan mengenai postur tubuh sianosis, kontrol sfingter kandung kemih,
dan periode post-iktal apakah tampak mengantuk atau sakit kepala.
Pemeriksaan EEG berguna untuk menegakkan diagnosis epilepsi bila ditemukan
aktivitas epileptiform pada periode inter-iktal atau abnormalitas fokal
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada keadaan kurang tidur (sleep-deprived).
Pemeriksaan pencitraan diindikasikan pada:
1) Anak dengan gambaran kejang fokal atau kejang umum yang bukan
merupakan bagian dari sin. drom klinis dengan penyebab genetik(misalnya
BECTS, CAE, JAE, atau JME 2)
2) Anak usia <2 tahun
Pemeriksaan pencitraan yang disarankan adalah MRI karena lebih superior
dalam mengidentifikasi struktur anatomi dan proses patologis, seperti mesial
temporal sclerosis, malaformasi vaskular. atau tumor kecil(misalnya glioma),
CT scan dapat digunakan bila MRI tidak tersedia atau bila terdapat
kontraiindikasi penggunaan MRI. namun perlu diingat bahwa beberapa keadaan
di atas mungkin tidak dapat didentifikasi pada CT Scan.
c. Apa pemeriksaan penunjang lainnya?
17
Trauma kepala
Tumor otak
Malaformasi otak
Idiopatik
namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang
mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Selain itu, pada kasus ini,
juga sudah dijelaskan pada analisis sebelumnya bahwa gejala sisa akibat
meningitis juga berperan dalam kejadian kejang yang berujung pada status
epileptikus.
f. Apa saja manifestasi klinis dari kasus ini?
-
postur abnormal
otot hipertoni
kejang
penurunan kesadaran
bradikardi, takipneu
20
Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20
menit kemudian.
Turunkan demam :
Anti Piretika : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5 10
mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3 4 kali per hari.
Kompres : suhu > 39 C dengan air hangat, suhu > 38 C dengan air biasa.
menjaga
keseimbangan
air
dan
elektrolit,
pertahankan
21
3B, seorang dokter mampu membuat diagnosis klinis dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada pasien.
IV. Hipotesis
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun 6 bulan mengalami status epileptikus disertai
hemiparese dekstra dan parese N.IX.
V. Kerangka Konsep
Anak laki-laki,Usia
14kg6 bulan, riwayat meningitis, kejang disertai demam
Defisit neurologis (hemiparese dekstra tipe sentral serta parese N. VII, N. IX dan N. XII)
Refleks
babinski kanan (+)
Lengandan
dantremor
tungkai kanan sedikit
melemah
Mulut tampak mencong
Lidah deviasi
ke kiri ke kanan
22
ke
trigeminus
(n.V),
vestibulocochlearis
(n.VIII),
abducens
(n.VI),
glossopharyngeus
facialis
(n.IX),
vagus
(n.VII),
(n.X),
olfactorius,
nervus
opticus,
dan
nervus
vestibulocochlearis
23
c. Serabut aferen khusus (SAK), yang terdiri atas SAK somatik yang
menghantarkan impuls dari reseptor khusus (mata, telinga) dan SAK
viseral yang menghantarkan impuls kecap dan bau.
d. Serabut eferen somatik umum, yang mempersarafi otot-otot rangka (III, IV,
VI, XII).
e. Serabut eferen viseral, yang mempersarafi otot polos, otot jantung, dan
kelenjar (parasimpatis/ simpatis)
f. Serabut eferen brankhio-metrik khusus yang mempersarafi otot-otot derivat
arkus brankhialis (n.V untuk arkus 1, n.VII untuk arkus 2, n. IX untuk arkus
3, n. X dan n. XI untuk arkus selanjutnya).
Berbagai komponen saraf otak, fungsi, serta celah di cranium yang dilewati
oleh saraf-saraf tersebut untuk meninggalkan cavum crania diringkas sebagai
berikut:
No
Nama
Tempat
keluar di
Olfactorius
Sensorik (SVA)
otak
Celah-celah
Penghidu
di
lamina
cribrosa
ossis
II
III
Opticus
Oculomotorius
Sensorik (SSA)
Motorik
(GSE,
GVE)
Penglihatan
ethmoidalis
Canalis
opticus
Fissura
orbitalis
superior
medial;
IV
Trochlearis
Trigeminus
Divisi
Motorik (GSE)
Sensorik (GSA)
ophtalmicus
Divisi maxillaris
Sensorik (GSA)
konstriksi
pupil;
akomodasi mata
Membantu menggerakkan
Fissura
orbitalis
lateral
superior
Fissura
orbitalis
hidung;
juga
membran
superior
mukosa
sinus
parasanal
Foramen
24
Motorik (SVE)
mandibularis
rotundum
mukosa
sinus
dan
lempeng maxilla
Otot-otot pengunyah, M.
Foramen
mylohyoideus,
ovale
m.
digastricus
venter
Nama
Komponen
dan
m.
tensor
tympanicum.
Fungsi
Tempat
keluar di
otak
Sensorik (GSA)
Kulit pipi;
kulit di atas
membrane
Abducens
Motorik (GSE)
anterior lidah
M.
rectus
lateralis
menggerakkan
VII
Facialis
Motorik (SVE)
ke
orbitalis
lateral
Otot-otot wajah dan kulit
superior
Meatus
kepala, m. stapedius, m.
acusticus
digastricus
interna,
venter
posterior,
Sensorik (SVA)
mata
Fissura
dan
m.
stylohyoideus.
Pengecapan
pertiga
facialis,
dari
bagian
Sekretomotorik
lidah,
dari
parasimpatis
dan palatum.
(GVE)
Kelenjar
dua-
anterior
dasar
mulut
foramen
sylomastoid
eus
ludah
submandibula
sublingual,
lakrimalis,
canalis
dan
kelenjar
dan
kelenjar
Vestibulocochle
ar
Vestibular
Sensorik (SSA)
Dari
utriculus,
sacculus,
Meatus
acusticus
25
Cochlear
Sensorik (SSA)
internus
Meatus
acusticus
IX
Glossopharynge
Motorik (SVE)
us
Sekretomotorik
M.stylopharingeus-
internus
Foramen
membantu menelan.
jugulare
Kelenjar parotis.
parasimpatis
(GVE)
Sensorik
Sensasi
(GVA,
SVA, GSA)
umum
dan
sinus
carotis
(baroreseptor);
corpus
carotis (kemoreseptor)
No
Nama
Komponen
Fungsi
Tempat
keluar di
Vagus
Motorik
(GVE,
SVE)
Sensorik
Jantung
darah
(GVA,
SVA, GSA)
dan
pembuluh
besar
di
laring,
trakea,
dan
paru;
toraks;
otak
Foramen
jugulare
bronkus,
traktus
XI
Accessorius
Motorik (SVE)
Radix cranialis
ginjal,
dan
pankreas
Otot-otot palatum
(kecuali
m.
tensor
molle
veli
Foramen
jugulare
(kecuali
cricothyroid)
XII
dan
di
m.
cabang-
Radiks spinalis
Motorik (SVE)
cabang n. vagus
M. sternocleidomastoideus
Foramen
Hypoglossus
Motorik (GSE)
dan m. trapezius
Otot-otot lidah (kecuali m.
jugulare
Canalis
palatoglossus)
hypoglossus
bentuk
dan
mengatur
pergerakan
lidah
Keterangan: GSA: aferen somatik umum, SSA: aferen somatik khusus, GVA:
aferen viseral umum, SVA: aferen visceral khusus, GSE: eferen somatik umum,
GVE: eferen viseral umum, SVE: eferen viseral khusus.
26
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.
dijumpai terutama sekali pada anak.
6) Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti
oleh gerakan klonik.
3. Status Epileptikus
Definisi
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar
kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus (Muttaqin, 2008).
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan
harusdimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu bangkitan (Kamus Kedokteran
Dorland, 2009).
Status Epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan
kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara serangan. Istilah
ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinue yang berakhir
sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Muttaqin, 2008).
Klasifikasi
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei
ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
29
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan
generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari
status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi
dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian
march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme,
gangguan
berbicara,
dan
keadaan
kebingungan
yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus nonkonvulsif pada beberapa kasus.
31
Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum
yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status
epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi
berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya
karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang
berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang
berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10
persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak
pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Faktor Resiko dan Etiologi
Beberapa faktor meningkatkan resiko terjadinya epilepsi, seperti retardasi mental,
palsi serebral, ayah atau ibu dengan epilepsi, riwayat kejang tanpa disertai demam
sebelumnya. Etiologi dari penyakit ini antara lain infeksi sistem saraf pusat, tumor
otak, malaformasi otak, trauma kepala, kelainan kongenital, idiopatik.
Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan
muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan
ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang
lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi
membran
yang
berlangsung
singkat,
kemudian
inhibisi
akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,
akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik
yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan
menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi.
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan
inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada
sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa
32
kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi
fisik dan retardasi mental. Selain itu, pada kasus ini, juga sudah dijelaskan pada
analisis sebelumnya bahwa gejala sisa akibat meningitis juga berperan dalam kejadian
kejang yang berujung pada status epileptikus.
Manifestasi Klinis
-
postur abnormal
otot hipertoni
kejang
penurunan kesadaran
bradikardi, takipneu
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti dan detail, pemeriksaan
fisis lengkap dan EEG serta dibantu oleh pemeriksaan pencitraan bila ada indikasi.
Pada episode kejang pertama, anamnesis harus ditujukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding lain sebagai penyebab kejang, seperti infeksi SSP, trauma, kelainan
metabolik, hipoglikemi, gangguan elektrolit, keracunan obat, atau toksin. Bila tidak
ditemukan penyebab tersebut, kecurigaan dapat mengarah pada epilepsi dan minta
orang tua untuk menggambarkan dengan detail faktor pemicu, awitan, durasi,
frekuensi, dan jenis bangkitan kejang. Selidiki apakah ada keadaan organik yang
mendasari melalui pemeriksaan lingkar kepala, pertumbuhan, pemeriksaan neurologis.
Tanyakan mengenai postur tubuh sianosis, kontrol sfingter kandung kemih, dan
periode post-iktal apakah tampak mengantuk atau sakit kepala.
Pemeriksaan EEG berguna untuk menegakkan diagnosis epilepsi bila ditemukan
aktivitas epileptiform pada periode inter-iktal atau abnormalitas fokal Pemeriksaan
EEG harus dilakukan pada keadaan kurang tidur (sleep-deprived).
Pemeriksaan pencitraan diindikasikan pada:
1) Anak dengan gambaran kejang fokal atau kejang umum yang bukan merupakan
bagian dari sin. drom klinis dengan penyebab genetik(misalnya BECTS, CAE,
JAE, atau JME 2)
2) Anak usia <2 tahun
33
Pemeriksaan pencitraan yang disarankan adalah MRI karena lebih superior dalam
mengidentifikasi struktur anatomi dan proses patologis,
Fase Epileptikus
Menurut Kariasa (2002), secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi
menjadi lima fase, yaitu :
a. Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti
peningkatan aliran darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan
glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan oleh asidosis laktat dan
terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel pada tahap ini.
b. Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan
tubuh beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa
serum kembali normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat
irreversibel pada tahap ini.
c. Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada
terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan saraf yang irreversibel.
d. Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama
tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan
mekanisme ventilasi.
e. Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh
klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan
otak berlanjut.
34
Tatalaksana
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan
anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan
segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang
paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan
Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari gaminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks
Reseptor-Barbiturat.
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Penanganan pada saat kejang
Turunkan demam :
Anti Piretika : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5 10
mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3 4 kali per hari.
Kompres : suhu > 39 C dengan air hangat, suhu > 38 C dengan air biasa.
35
Pencegahan Kejang
Komplikasi
Status epileptikus terjadi ketika penderita mengalami kejang selama lebih dari lima
menit atau mengalami serangkaian kejang pendek tanpa kembali sadar di antara
kejang. Status epiliptikus dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak, bahkan
kematian.
Komplikasi lainnya yang juga jarang terjadi adalah kematian mendadak. Hingga
kini, penyebab kematian mendadak pada penderita epilepsi masih belum dapat
diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengemukakan bahwa itu berkaitan dengan
dampak pada jantung dan pernapasan akibat kejang.
Prognosis
Prognosis bergantung pada usia, riwayat kejang sebelumnya, frekuensi kejang, dan
terapi. Bila penanganan tepat dan cepat dilakukan, maka prognosis akan baik. Bila
usia onset pertama kejang >12 tahun, ada defisit neurologis (seperti retardasi mental),
riwayat kejang saat neonatus, maka prognosis akan lebih buruk.
36
VII.Kesimpulan
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun 6 bulan mengalami status epileptikus et causa
epilepsi post meningitis disertai hemiparese dekstra dan parese N. VII, IX, dan XII.
Snell, Richard S., dkk. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi 6.
Jakarta: EGC.
Soebadi, Amanda . 2013. Keterlambatan Bicara.
articles/klinik/keluhan-anak/keterlambatan-bicara.html,
September 2015.
http://idai.or.id/publicdiakses
pada
14
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia.
38