Anda di halaman 1dari 15

DEFINISI ATTACHMENT

Keterikatan (attachment) merupakan suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya atau
orang-orang yang istimewa dalam kehidupan mereka.
Perilaku attachment pada bayi meliputi kedekatan dengan ibu seperti mengikuti ibu,

menangis serta memanggil ibu jika ibu tiada di pandangan matanya.

- Menurut Ainsworth (dlm Belsky, 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi
dengan pengasuh di tahun-tahun awal kehidupannya.

- Attachment juga dikatakan sebagai suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara
satu individu dengan individu yang lain.

Jenis-jenis Keterikatan
i) Type A - CEMAS-MENGHINDAR /ANXIOUS-AVOIDANT
Ditemukan pada 20% sampel penelitian.
Anak menolak kehadiran ibu, menampakkan permusuhan,

Kurang memiliki resiliensi ego dan kurang mampu mengekspresikan emosi negatif

Anak juga tampak mengacuhkan dan kurang tertarik dengan kehadiran ibu

ii ) Type B - KETERIKATAN AMAN


Ditemukan pada 70% subjek penelitian.
Ibu digunakan sebagai dasar eksplorasi.

Anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian melakukan eksplorasi,

Anak kembali pada ibu ketika ada orang asing, tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya

Anak merasa terganggu ketika ibu pergi dan menunjukkan kebahagiaan ketika ibu kembali.

iii) Type C - CEMAS-MENOLAK /ANXIOUS-RESISTANT).


ditemukan pada10% subjek penelitian.
Menunjukkan keengganan untuk mengeksplorasi lingkungan.

Beberapa tampak selalu menempel pada ibu dan bersembunyi dari orang asing.

Anak tampak sedih ketika ditinggal ibu dan sulit untuk tenang kembali meskipun ibu telah kembali.

Mampu mengekspresikan emosi negatif namun dengan reaksi yang berlebihan.

Kesan attachment kepada perkembangan sosioemosi kanak-kanak


Kebergantungan terhadap orang yang rapat dengannya amat tinggi. Kanak-kanak kurang keyakinan diri. Kurang
berdikari dan mengharapkan pertolongan orang lain. Sukar untuk memulakan hubungan sosial dan persahabatan.
Sikap tidak mudah percaya kepada orang lain yang tidak dikenali. Tidak mudah terpengaruh dengan perkara baru
sama ada negatif atau positif. Lebih memahami perasaan orang yang dekat dalam hidupnya.

Kesimpulan
Perkembangan sosio-emosi pd kanak-kanak adalah penting utk diteliti kerana segala perbuatan yg dilakukan semasa
kanak-kanak akan membentuk perilaku tertentu dgn. efek psikologi tertentu. Jadi ,pengasuhan yg baik oleh orang yg
paling rapat dgn kanak-kanak akan melahirkan emosi yg baik dan mengembangkan rasa percaya kanak-kanak yg
akan membentuk peribadi akan datang.
ATTACHMENT BEHAVIOR
Attachment adalah pertautan. Keterikatan (kasih sayang, simpati) yang kuat terhadap
seseorang merupakan hasil dari interaksi atau hubungan interpersonal. Attachment anak
terhadap orang tua, terutama ibunya yang mengasuh sudah mulai tumbuh pada saat ia
lahir. Interaksi atau hubungan interpersonal ini berpengaruh pada pertumbuhan intelektual
dan bahasa, seperti yang dituliskan Helen Bee[2], Interpersonal interactions are
important for growth of the childs intellectual skill and language, (p.238). Kemampuan
intelektual dan bahasa ini merupakan dua unsur dasar kemampuan berelasi sampai dewasa.
TIGA POLA INSECURE ATTACHMENT
Mary Ainsworth[8] mengamati lebih jauh tentang berbagai sikap seorang ibu
terhadap anaknya berkaitan dengan terbentuknya attachment. Menurutnya, anak yang
protes atau menyatakan ketidak senangan terhadap keterpisahan (diturunkan dari
gendongan atau pelukan) dan mendapatkan kembali ketentraman dengan hadirnya orang
yang meninggalkannya akan membuat anak merasa aman. Namun sekitar dua per-tiga anak
tidak menunjukkan pola semacam ini. Pola ini disebut insecure attachment, yang
mengakibatkan mereka mengalami hambatan dalam eksplorasi di kemudian hari. Tiga pola
insecure attachment yang diamati Ainsworth, adalah sebagai berikut:
A.

insecure-avoidant

Anak protes pada keterpisahan sesaat/diturunkan dari gendongan dan ketika ada orang
yang memberi perhatian datang atau memeluknya, anak tersebut akan mendekat dengan
sikap yang gelisah, gugup, dan takut.
B.

insecure-ambivalent

Pada saat anak protes, anak tidak dapat ditentramkan kecuali orang yang memberi
perhatian kembali dan anak akan membenamkan diri dalam pangkuan atau melekat erat
(seakan tidak ingin lepas lagi).
C.

insecure-disorganized,

Sikap anak seperti pola yang pertama dan yang kedua, yang sulit ditentukan untuk masuk
kedalam kedua pola tersebut.

SIKAP IBU DAN POLA ATTACHMENT PADA ANAK


Satu kontribusi besar berikutnya dari Ainsworth dan murid-muridnya, ketika mereka
mengadakan penelitian untuk menemukan hubungan antara orang tua dan bayinya pada
tahun pertama kehidupan bayi. Hal yang utama dari penemuan mereka adalah tanggapan

orang tua terhadap bayinya memiliki dampak yang besar, yang ditulis oleh Jerome Holmes,
sebagai berikut[9]
The kernel of their findings was that parental responsiveness to infant affect is a key
determinant of secure attachment.the mothers of the secure infants pick their babies up
more, and generally seem more aware of them and their needs than the parents of
insecure children (p.8)
Mereka menemukan tiga sikap orang tua atau lingkungan terhadap bayi atau anaknya yaitu,
Pertama, memberi respon yang konsisten. Kedua, secara konsisten tidak memberi respon
dan Ketiga, memberi respon yang tidak konsisten.
Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak dengan berbagai pola attachment
yang negatif diatas, ditemukan adanya berbagai sikap orang tua yang tidak tepat terhadap
bayi/anaknya, yang seringkali disebabkan mereka tidak mengalami kepuasan di dalam
pernikahan mereka[10] yaitu,

Orang tua dari anak yang merasa aman, akan memberi respon dengan cepat ketika
bayi mereka menunjukkan tanda-tanda distress (menderita, sedih). Mengajak
bayinya bermain bersamanya, dan secara umum lebih memperhatikan dan aware
akan kebutuhan bayi mereka dari pada sikap ibu dari anak yang merasa tidak aman.
Orang tua dari anak yang insecure avoidant, bersikap lebih kasar dan hanya
menjalankan tugas saja.

Orang tua dari anak yang insecure ambivalent , cenderung kurang memenuhi
kebutuhan anak, seringkali mengabaikan bayi mereka ketika mereka dengan jelas
mengalami kesedihan. Dan mengganggu bayi mereka ketika mereka sedang bermain
dengan gembira.

Orang tua dari anak insecure disorganized, cenderung memberi tekanan-tekanan dan
memperlakukan anaknya dengan kejam.

Teori Vygotsky
Vygotsky merupakan satu di antara tokoh konstruktivis. Konstruktivisme adalah argumen bahwa pengetahuan
merupakan konstruksi dari seseorang yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar dipahami sebagai seseorang
yang membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif dan terus-menerus
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori
Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya
pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masingmasing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam zone of proximal development
mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan
dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang
ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah scaffolding. Scaffolding adalah memberikan kepada seorang anak sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut serta memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu

mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, serta menguraikan
masalah
ke
dalam
bentuk
lain
yang
memungkinkan
siswa
dapat
mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya. Pertama, menghendaki setting kelas kooperatif,
sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif
dalam masing-masing zone of proximal development mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran
menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu
interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-konsep dan
pemecahan masalah
Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si
anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk
memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih
tinggi seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap
sebagai alat kebudayaan tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada
anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman pembelajaran yang dipandu.
Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak
tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial yang bersifat
interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi
aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer dan mengenal huruf. Interaksi
institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya.
Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut
Vygotsky, keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung.
Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan
melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang
berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.
Aliran psikologi yang dipegang oleh Vygotsky lebih mengacu pada kontruktivisme karena ia lebih menekankan pada
hakikat pembelajaran sosiokultural. Dalam analisisnya, perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan
oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara aktif. Oleh karenanya, konsep teori
perkembangan kognitif Vygotsky berkutat pada tiga hal:
Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua aturan, yaitu tataran sosial lingkungannya
dan tataran psikologis yang ada pada dirinya.
Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari,
Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak
akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain. Vygotsky membedakan antara
actual development dan potential development pada anak. Actual development ditentukan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah
seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama
dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial
development, di mana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah
seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.

Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan pada interaksi sosial dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika
siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat.
Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat
memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturutturut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian
mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa siswa
belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulation).
Mediasi
Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci utama memahami proses-proses sosial dan
psikologis. Makanya, jika dikaji lebih mendalam teori perkembangan kognitif Vygotsky akan ditemukan dua jenis
mediasi, yaitu metakognitif dan mediasi kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotic yang
bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan diri) yang mencakup self planning, self monitoring, self
checking, dan self evaluation. Media ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Sedangkan media kognitif
adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengetahuan tertentu.
Sehingga media ini dapat berhubungan dengan konsep spontan (yang mungkin salah) dan konsep ilmiah (yang
lebih terjamin kebenarannya).
Inti Teori Vygotsky
Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual atau kognitif anak. Vygotsky
memandang bahwa kognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang
yang lebih tahu.
Secara singkat, teori perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial dengan budaya mendahului.
Maksudnya dari relasi dengan budaya membuat seorang anak mengalami kesadaran dan perkembangan kognisi. Jadi
intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam
pembentukan pengetahuan. Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak.
Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan
spontan mempunyai sifat lebih kurang teridentifikasi secara jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan
pengetahuan ilmiah sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya lebih luas, logis, dan
sistematis. Kemudian proses belajar adalah sebuah perkembangan dari pengertian spontan menuju pengertian yang
lebih ilmiah.
Pengetahuan ilmiah terbentuk dari sebuah proses relasi anak dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini bergantung pada
seberapa besar kemampuan anak dalam menangkap model yang lebih ilmiah. Dalam proses ini bahasa memegang
peranan yang sangat penting. Bahasa sebagai alat berkomunikasi yang membantu anak dalam menyampaikan
pemikirannya dengan orang lain. Dengan demikian diperlukan sebuah penyatuan antara pemikiran dan bahasa.
Seorang anak dalam masa pembelajarannya, idealnya harus mampu memvisulisasikan apa yang menjadi
pemikirannya dalam bahasa. Ketika hal tersebut telah mampu terwujud itu berarti ia juga telah mampu
menginternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara-sendiri. Menurut Vygotsky
seorang anak yang mampu melakukan pembicaraan pribadi lebih berpeluang untuk lebih baik dalam hubungan
sosial. Karena pembicaraan pribadi adalah sebuah langkah awal bagi seorang anak untuk lebih mampu
berkomunikasi secara sosial. Bahasa adalah sebuah bentuk awal yang berbasis sosial. Pandangan Vygotsky ini
berkonfrontasi dengan Piaget yang lebih menekankan pada percakapan anak yang bersifat egosentris.
Unsur yang perlu untuk dibahas lebih lanjut adalah mengenai kebudayaan dan masyarakat. Seperti sudah dikatakan
pada awal penjelasan tadi, dalam teori Vygotsky, kebudayaan adalah penentu utama perkembangan individu.
Kebudayaan sendiri terdiri dari beberapa bentuk, seperti bahasa, agama, mata pencaharian, dan lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam teori Vygotsky terdapat tiga klaim besar. Pertama, bahwa
kemampuan kognitif seorang anak dapat diketahui hanya jika dianalisis dan ditafsirkan. Kedua, kemampuan kognitif
diperoleh dengan bantuan kata, bahasa, dan bentuk percakapan, sebuah bentuk alat dalam psikologi yang membantu
seseorang untuk mentransformasi kegiatan mental. Vygotsky berargumen bahwa sejak kecil seorang anak mulai

menggunakan bahasa untuk merencanakan setiap aktivitasnya dan mengatasi masalahnya. Ketiga, kemampuan
kognitif berasal dari hubungan-hubungan sosial ditempelkan pada latar belakang sosiokultural.
Aplikasi dan Implikasi Teori dalam Pendidikan
Agar pembahasan tentang teori Vygotsky langsung terasa bagi usaha pengembangan kognitif, banyak usaha konkret
yang dapat dilakukan dalam mengaplikasikan teori tersebut, misalnya:

1. Teori Vygotsky menuntut pada penekanan interaksi antara peserta didik dan tugas-tugas belajar. Mengedepankan
suatu proses belajar dimana siswa lebih berperan aktif. Dengan demikian peran guru lebih bergeser lebih menjadi
fasilitator konstruksi siswa.

2. Menggunakan zone of proximal development. Dengan penyesuaian terus menerus.

3. Banyak menggunakan teman sebaya sebagai guru. Artinya bahwa memang bukan hanya orang dewasa yang
mampu membantu seorang anak dalam perkembangan kognitifnya. Karena faktanya memang bahasa teman sebaya
lebih mudah untuk dipahami dalam interaksinya.

Analisis Psikologi Pendidikan


Analisis awal adalah langsung membandingkan inti teori Vygotsky. Hal pertama yang menjadi sorotan kita adalah
tentang argumen bahwa interaksi sosial dan budaya lebih berperan dalam pengembangan kognitif anak. Inti
penekanan teori Vygotsky adalah bahwa interaksi sosial dengan sesuatu di luar dirinya yang membuat kognitif anak
berkembang. Dengan demikian, zone proximal development anak semakin meningkat.
Teori Vygotsky tentang bahasa sebagai alat untuk seseorang dalam mengembangkan kognitif mengalami keselarasan
dengan pandangan dalam psikologi pendidikan. Dalam filsafat pendidikan pun beranggapan bahwa manusia
membutuhkan pendidikan untuk bertahan. Manusia membutuhkan bahasa untuk mampu mendapatkan pengetahuan
atau ia mempelajari bahasa yang berfungsi sebagai alat transformasi pengetahuan tersebut. Lebih dalam bahwa
proses transfer ilmu mampu terjadi dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya.
Kemudian dalam teori Vygotsky terdapat pula beberapa unsur yang menjadi agen perubahan. Artinya seorang anak
perlu mendapat bimbingan dari orang lain yang mempunyai pengetahuan yang lebih dari dirinya. Proses
pendampingan secara dialektika membantu meningkatkan perkembangan kognitif anak. Pengetahuan anak yang
awalnya masih dalam bentuk spontan, berubah menjadi semakin tertata, sistematis dan logis.
Teori Vygotsky di atas juga mengalami keselarasan dengan teori dalam psikologi pendidikan. Dalam psikologi
pendidikan kita dapat menemukan beberapa konsep tentang agen-agen perubahan untuk membantu anak
mengembangkan kognitifnya. Agen-agen perubahan dalam psikologi pendidikan adalah keluarga dan negara. Agenagen perubahan seolah-olah menjadi tombak dalam usaha mengembangkan kognitif atau intelektual. Peran mereka
sangat sentral dalam membantu anak mengolah pengetahuan spontan mereka menjadi pengetahuan yang lebih
tertata, sistematis, dan logis.
Kesimpulan
Pada intinya dapat disimpulkan bahwa dalam teori Vygotsky mengandung banyak unsur psikologi pendidikan,
khususnya pokok bahasan pendidikan dan budaya. Jika dalam teori Vygotsky anak perlu berinteraksi dengan
budaya. Maka dalam filsafat pendidikan pun dapat kita temukan bahwa bahasa, sebagai hasil budaya juga menjadi
sangat sentral bagi berkembangnya kognitif. Bahasa menjadi alat transfer ilmu. Beberapa konsep dalam psikologi

pendidikan juga selaras dengan teori pengembangan kognitif Vygotsky. Psikologi pendidikan telah memberikan
landasan filosofis bagi teori-teori pengembangan intelektual.

Fase

Generativitas

VS

Stagnasi

dari

Erikson

Erikson (1968) percaya bahwa orang dewasa tengah baya menghadapi persoalan hidup yang signifikan-generativitas
vs stagnasi, adalah nama yang diberikan Erikson pada fase ketujuh dalam teori masa hidupnya. Generativitas
mencangkup rencana-rencana orang dewasa yang mereka harap dapat dikerjakan guna meninggalkan warisan
dirinya sendiri pada generasi selanjutnya.
Sebaliknya, stagnasi (disebut juga penyerapan-diri) berkembang ketika individu merasa bahwa mereka tidak
melakukan apa-apa bagi generasi berikutnya. Orang dewasa tengah baya mengembangkan generativitas dengan
beberapa cara yang berbeda (Kotre, 1984).
Melalui generativitas biologis, orang dewasa hamil dan melahirkan anak. Melalui generativitas parental (orang tua),
orang dewasa memberikan asuhan dan bimbingan kepada anak-anak. Melalui generativitas kultural, orang dewasa
menciptakan, merenovasi atau memelihara kebudayaan yang akhirnya bertahan. Dalam hal ini objek generatif
adalah kebudayaan itu sendiri.
Melalui generativitas kerja, orang dewasa mengembangkan keahlian yang diturunkan kepada orang lain. Dalam hal
ini, individu generaf adalah seseorang yang mempelajari keahlian.
Melalui generativitas, orang dewasa mempromosikan dan membimbing generasi berikutnya melalui aspek-aspek
penting kehidupan seperti menjadi orang tua (parenting), memimpin, mengajar dan melakukan sesuatu yang
bermanfaat bagi masyarakat (Mc Adams, 1990). Orang dewasa generatif mengembangkan warissan diri yang posif
dan kemudian memberikannya sebagai hadiah pada generasi berikutnya.
Teori

Transformasi

dari

Gould

Roger Gould (1975, 1978, 1980, 1994) menghubungkan fase dan krisis dalam pandangannya tentang transformasi
perkembangan. Menurutnya, paruh kehidupan adalah sama bergejolaknya dengan masa remaja, dengan

penegecualian bahwa selama masa dewasa tengah usaha untuk menangani krisis mungkin akan menghasilkan
kehidupan yang lebih bahagia dan lebih sehat.
Dia percaya bahwa dalam usia 20-an, kita menerima peran-peran baru; dalam usia 30-an kita mulai merasa terjepit
dengan tanggung jawab kita, dalam usia 40-an kita mulai merasakan perasaan urgensi bahwa hidup kita cepat
berlalu.
Menurutnya, menangani krisis paruh kehidupan dan menyadari bahwa perasaan urgensi merupakan reaksi alami
terhadap fase ini membantu kita menuju jalan kematangan yang dewasa.
Teori Musim-Musim Kehidupan dari Levinson
Daniel Levinson (1978, 1980) dalam The Season of Mans Life (Musim-Musim Kehidupan Manusia) menekankan
bahwa tugas-tugas perkembangan harus dikuasai pada masing-masing fase. Pada masa dewasa awal, dua tugas
utama yang harus dikuasai adalah mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan bagi kehidupan dewasa dan
mengembangkan struktur kehidupan yang stabil.
Menurutnya, usia 20-an sebagai novice phase (fase orang baru) dari perkembangan orang dewasa. Novice phase
adalah waktu untuk eksperimentasi yang bebas dan waktu untuk menguji impian di dunia nyata. Kira-kira pada usia
28 sampai 33 tahun, individu mengalami periode transisi dimana ia harus menghadapi persoalan penentuan tujuan
yang lebih serius.
Pada usia 30-an, individu biasanya berfokus pada keluarga dan perkembangan karir. Pada tahu-tahun berikutnya
pada periode ini, individu memasuki fase Becaming Ones Own man (atau BOOM, Menjadi diri Sendiri).
Pada usia 40, individu telah mencapai tempat yang stabil dalam karirnya dan sekarang harus melihat ke depan pada
jenis kehidupan yang akan dijalaninya sebagai orang dewasa usia tengah baya.
Menurutnya, perubahan ke masa dewasa tengah berlangsung kira-kira 5 tahun dan mengharuskan orang dewasa
untuk berusaha mengatasi empat konflik utama yang telah ada dalam kehidupannya sejak masa remaja: (1) menjadi
muda vs. menjadi tua, (2) menjadi destruktif vs. menjadi konstruktif, (3) menjadi maskulin vs. menjadi feminism,
dan (4) terikat pada otang lain vs. terlepas dari mereka.

Menurutnya, keberhasilan transisi paruh baya kehidupan terletak pada seberapa efektif individu mengurangi sifatsifat barlawanan dan menerima masing masing dari mereka sebagai int

Who is he?
Daniel Levinson graduated from Yale as a psychologist. He later developed a
comprehensive theory of adult development. This theory is important because it is one of
the only ones which suggests that development and growth happens well into the adult
years.

His theory:
At the center of Levinson's theory is the life structure. This is an underlying pattern of an
individual's life at any given point in time. A person's life structure is shaped mainly by
their social and physical environment, and it primarily involves family and work. Other
variables such as religion, race, and status are often important as well.
In his theory there are two key concepts:
1) the Stable Period - This is the time when a person makes crucial choices in life.
2) the Transitional Period - This is the end of a person's stage and the beginning of a
new one. Life during these transitions can be either rocky or smooth, but the quality and
significance of ones life commitments often change between the beginning and end of a
period.
There are 6 stages of adulthood in Levinson's theory titled "Seasons of a Man's Life":
1) Early adult transition (17-22) - leave adolescence, make preliminary choices
for adult life
2) Entering the adult world (22-28) - make initial choices in love, occupation,
friendship, values, lifestyle
3) Age 30 transition (28-33) - changes occur in life structure, either a moderate
change or, more often, a severe and stressful crisis
4) Settling down (33-40) - establish a niche in society, progress on a timetable, in
both family and career accomplishments; are expected to think and behave like a parent
so they are facing more demanding roles and expectations .
5) Mid-life transition (40-45) - life structure comes into question, usually a time
of crisis in the meaning, direction, and value of each person's life. neglected parts of the
self (talents, desires, aspirations) seek expression. Men are seen more as parents than as
brothers to other men who are somewhat younger than them and this message comes

as an irritation at first. Also at this time, men becoming increasingly aware of death and
they are reminded of how short life really is. They become involved in trying to leave a
legacy and this usually forms the core of the second half of his life.
6) Entering middle adulthood (45-50) - choices must be made, a new life
structure formed. person must commit to new tasks.
* Some sources also stated that there was a late adulthood stage during which time a
man spent time reflecting on past achievements and regrets, and making peace with one's
self and others (including God).
** Daniel Levinson later went on to write a book titled Seasons of a Woman's Life.

Problems with Levinson's theory:


Daniel Levinson collected the data for his study many decades ago, shortly after the
Great Depression ended. Due to the time period, the men used for this study have 3
things in common:
1) they come from stable families
2) they had realistic goals for their life
3) became adults in an expanding economy
Men who have grown up in the last four or five decades , however, have had to deal
with less stable families due to high divorce rates, and they tend to have goals which are
much more difficult to achieve. They have also had to deal with a fluctuating economy,
and because of these differences it is difficult to apply Levinson's studies to today's
generation.

How does this theory apply to school?

Since most most sources state that Levinson's theory begins at the age of 17 in the
Early Adult Transition, there isnt any reference to how one develops during the school
years.

How does this theory apply to society?


"Adults hope that life begins at 40--but the great anxiety is that it ends there." - Daniel
Levinson
There are a number of attitudes expressed which would appear to have an affect on
society. Firstly, many people are making the transition from youth to adulthood without
any hope or optimism. This says that society as a whole throughout this age bracket is
lacking enthusiasm and drive. When men near the age of thirty, they have new
expectations in society such as to provide for their children and aging parents. They are
seen more as fathers than they were previously. The occurance of a culminating event in
a man's life surfaces the midlife transition stage. When this happens, men usually become
interested in acts of humanitarianism, and they are more cautious as they come to terms
with the reality of death.

How does this theory apply to the workplace?

In Levinson's book he claims, the dreams we have are so compelling that nothing short
of total success satisfies.
Once men reach the age of thirty, or so, they are taking more senior positions in their
jobs as their focus is to provide care for their children and their aging parents. Once a
man reaches his forties, he begins questioning, Is this all I am going to do for the rest of
my life?. This often causes one to drastically change their field of work, an act that has
come to be known as a midlife crisis. By this age, men have often made the amount of
money that they desire and so they begin looking into jobs that benefit others.

Positive Peer Pressure


The ability to develop healthy friendships and peer relationships depends on a
teen's self-identity, self-esteem, and self-reliance.
At its best, peer pressure can mobilize your teen's energy, motivate for
success, and encourage your teen to conform to healthy behavior. Peers
can and do act as positive role models. Peers can and do demonstrate appropriate
social behaviors. Peers often listen to, accept, and understand the frustrations,
challenges, and concerns associated with being a teenager.

Negative Peer Pressure


The need for acceptance, approval, and belonging is vital during the teen years.
Teens who feel isolated or rejected by their peers or in their family
are more likely to engage in risky behaviors in order to fit in with a group.
In such situations, peer pressure can impair good judgment and fuel risk-taking
behavior, drawing a teen away from the family and positive influences and luring
into dangerous activities.
For example, teens with ADHD, learning differences or disabilities are often rejected
due to their age-inappropriate behavior, and thus are more likely to associate with
other rejected and/or delinquent peers. Some experts believe that teenage girls
frequently enter into sexual relationships when what they are seeking is
acceptance, approval, and love.
A powerful negative peer influence can motivate a teen to make choices
and engage in behavior that his or her values might otherwise reject.
Some teens will risk being grounded, losing their parents' trust, or even facing jail
time, just to try and fit in or feel like they have a group of friends they can identify
with and who accept them. Sometimes, teens will change the way they dress, their
friends, give up their values or create new ones, depending on the people they hang
around with.

Some teens harbor secret lives governed by the influence of their peers. Some
including those who appear to be well-behaved, high-achieving teens when they are
with adults engage in negative, even dangerous behavior when with their peers.
Once influenced, teens may continue the slide into problems with the law,
substance abuse, school problems, authority defiance, gang involvement, etc.
If your teen associates with people who are using drugs or displaying selfdestructive behaviors, then your child is probably doing the same.

Encourage Healthy and Positive Relationships


It is important to encourage friendships among teens. We all want our children to
be with persons who will have a positive influence, and stay away from persons who
will encourage or engage in harmful, destructive, immoral, or illegal activities.
Parents can support positive peer relationships by giving their teenagers
their love, time, boundaries, and encouragement to think for themselves.
Specifically, parents can show support by:
Having a positive relationship with your teen. When parent-teen
interactions are characterized by warmth, kindness, consistency,
respect, and love, the relationship will flourish, as will the teen's selfesteem, mental health, spirituality, and social skills.
Being genuinely interested in your teen's activities. This allows
parents to know their teen's friends and to monitor behavior, which is
crucial in keeping teens out of trouble. When misbehavior does occur,
parents who have involved their children in setting family rules and
consequences can expect less flack from their children as they calmly
enforce the rules. Parents who, together with their children, set firm
boundaries and high expectations may find that their children's abilities
to live up to those expectations grow.
Encouraging independent thought and expression. In this way,
teens can develop a healthy sense of self and an enhanced ability to
resist peer pressure.

When Parents Don't Approve

You may not be comfortable about your son or daughter's choice of friends or peer
group. This may be because of their image, negative attitudes, or serious behaviors
(such as alcohol use, drug use, truancy, violence, sexual behaviors).
Here are some suggestions:
Get to know the friends of your teen. Learn their names, invite
them into your home so you can talk and listen to them, and introduce
yourself to their parents.
Do not attack your child's friends. Remember that criticizing your
teen's choice of friends is like a personal attack.
Help your teen understand the difference between image
(expressions of youth culture) and identity (who he or she is).

Keep the lines of communication open and find out why these
friends are important to your teenager.
Check whether your concerns about their friends are real and
important.
If you believe your concerns are serious, talk to your teenager about
behavior and choices -- not the friends.
Encourage your teen's independence by supporting decisionmaking based on principles and not other people.
Let your teen know of your concerns and feelings.
Encourage reflective thinking by helping your teen think about his or
her actions in advance and discussing immediate and long-term
consequences of risky behavior.
Remember that we all learn valuable lessons from mistakes.
No matter what kind of peer influence your teen faces, he or she must learn how to
balance the value of going along with the crowd (connection) against the
importance of making principle-based decisions (independence)

And you must ensure that your teen knows that he or she is loved and valued as an
individual at home.

Parenting Advice to Help Your Child Manage Negative Peer Influences


Here are some coaching tips to keep in mind when approaching your teen about this issue:
Positive relationships with adults and peers are one of the best insulators against negative influences. Adults
does not only apply to parents, but to coaches, teachers, academic advisors, etc. Sometimes these other adults may
actually hold more sway over your teen's susceptibility to negative influences because they may know more than
you do about what is really going on. They can also speak to your teen from a different vantage point and their
words may not be seen as just another lecture from Mom or Dad.
Approach the topic of negative influences with open ended, nonjudgmental statements rather than closed
minded questions and pronouncements. Remember that most of these negative influences are better known as
friends by your teen. Teens tend to be rather sensitive about parents passing judgment about who they hang out with.
Try not to step into the role of interrogator who makes them feel like you are grilling them for information or trying
to scare them out of a friendship. Instead of the question, "Do you think his parents know that he does so and so?"
try, "When he does that it must make you wonder what to do." It's often better to be indirect.
Be careful about making arbitrary rules about negative influences; you might drive your teen into a more
susceptible position. It is important to respect the truism that by keeping your child away from something too
strictly, you may in the long run increase their attraction to it. Try to gather as much information about the "wrong
crowd," including your teen's thoughts and feelings and those of other kids and adults. When the time is right, share
these ideas with your teen, being careful to match your tone to their feelings, and ensure that your comments are
more fact based and less opinion. Don't let this issue place undue strain upon your relationship.
When the door to difficult discussions opens, be prepared with what you're going to say. One way to broach the
subject is by suggesting that they will be meeting up with all kinds of situations and may kinds of kids. If they aren't
willing to share some of these challenges with you, they won't help you understand just how prepared they are to
deal with the tough situations in life. And if you don't have a sense of how equipped they are to deal with tough
challenges, how are you going to have the peace of mind to extend their privileges? This places the onus of talking
on them, and allows you to refer back to this discussion if you need to in the future.

Effective Strategies for Coping with Peer Pressure


While the point has been made here that peer influence and peer pressure do not necessarily have to be negative,
peer pressure can lead youth towards unhealthy and unsafe behaviors. To minimize the negative effects of peer
pressure, youth, parents, school and community leaders must come together to establish workable and effective
strategies to guide teen behavior and to support their transition from children to mature, responsible adults. Here are
several strategies to consider (partly based on Brown, 1990):
1. Nurture teens abilities and self-esteem so that they are equipped to foster
positive peer relationships and deflect negative pressures. Adolescents with
positive self-concept and self-worth will be less likely to be easily swayed to follow
others negative influences. It is essential that these aspects of positive development
should be encouraged in youth.
2. Encourage positive relationships between significant adults and teens.
Parents, teachers, school counselors, other relatives and professionals should try to
have constructive and positive relationships with teens. These can serve as good
models for healthy relationships, and can be a venue through which the teens can
feel valued and where they can develop positive views about themselves. Youth
should know that they can go to these caring adults for help or advice about their
peer relationships.
3. Encourage diverse relationships. Parents, teachers, community leaders, and
clergy can model appreciation for ethnic, gender, socioeconomic status, religious,
and other differences and support cross-group friendships. Schools and youth
organizations can assist by encouraging youth from diverse backgrounds to work and
play together.
4. Support parent education programs for families with teenagers. Parents need
to be better informed about the dynamics of adolescent peer groups and the
demands and expectations teenagers face in peer relationships. Information is
available through various sources including books, some parenting magazines, and
other publications such as this one. Keep your eye out for programs particularly
targeted towards families and teen issues that might be available. Seeking
information is not a sign of weakness, and showing interest in these issues might
actually show your teens that you are concerned about them.
5. Equip youth with the skills necessary to resist negative behaviors, as well
as to make good decisions. Teens will inevitably be confronted with situations
where they will have to make a decision whether or not to engage in certain
behaviors, whether to give in to peer pressure, and also to make other difficult
decisions. It is essential that youth are given the necessary skills to analyze the
situation and make the appropriate decision. This includes helping youth develop the
skills for costs vs. benefits analysis teaching them to look at both the negative
and positive sides to making a decision. For instance, if being pressured to smoke,
the teen should be able to think about what the possible desired outcomes are (e.g.,
peer acceptance, looking cool, feeling excitement about trying something new)
with the possible undesirable outcomes (e.g., becoming hooked, the health issues,
smelling bad, the financial costs).
6. Teaching youth exit strategies or ways to say no to negative pressures. It
is best to try to deal with peer pressure before it even happens. Talk to youth about
potential scenarios, and think through strategies together on how to deal with those
scenarios if they arise. This could be done by discussing hypothetical scenarios or

even role-playing. It is helpful to think about these things ahead of time rather than
dealing with situations as they occur or trying to recover after they happen.

Anda mungkin juga menyukai