Anda di halaman 1dari 13

JOURNAL READING

Acute Appendicitis - Appendectomy or the Antibiotics First


Strategy
Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik
Bagian Ilmu Bedah RSUD dr. Soewondo Kendal

Disusun oleh :
Vicky Novitasari
01.211.6549

Pembimbing :
dr. H. Firdaus Novi H., Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG

2015HALAMAN PENGESAHAN
Nama

Vicky Novitasari

NIM

012116549

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat

Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian

Ilmu Bedah

Judul

Acute Appendicitis Appendectomy or the Antibiotics First


Strategy

Kendal, 31 Oktober 2015


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah RSUD dr. Soewondo Kendal

Pembimbing,

dr. H. Firdaus Novi H., Sp.B

APENDISITIS AKUT APENDIKTOMI ATAU


PEMBERIAN ANTIBIOTIK DAHULU
Seorang pria 56 tahun dengan nyeri perut sejak 2 hari yang lalu. Rasa sakit awalnya di
sekitar pusat tapi berpindah ke perut kuadran kanan bawah sejak 6 jam yang lalu. Pria ini
memiliki indeks massa tubuh (berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi
badan dalam meter) 33, suhu tubuh 100 F (37,8 C), dan hasil hitung jumlah leukosit
sebanyak 11.500 per milimeter kubik. Palpasi pada sisi kanan perut bagian bawah teraba
kenyal. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan oleh primary care physician setelah dilakukan
pemeriksaan di klinik, dan hasilnya konsisten dengan appendisitis. Sebelumnya dia sudah
pernah menjalani tiga prosedur bedah: Nissen fundoplication terbuka dengan komplikasi
emboli paru dan dua kali tindakan bedah insisi hernia dengan mesh. Setelah menerima
hasil CT scan, ia menemukan informasi secara online tentang dokter di Eropa yang
menggunakan antibiotik saja untuk mengobati usus buntu, dan ia meminta keterangan
secara spesifik tentang pilihan itu. Bagaimana Anda akan mengelola hal ini?

MASALAH KLINIK
Sekitar 300.000 orang menjalani operasi usus buntu setiap tahun di Negara Inggris, dengan
perkiraan angka kejadian insiden apendisitis berkisar dari 7 sampai 14%, atas dasar jenis
kelamin, harapan hidup, dan presisi dengan yang diagnosis yang telah dikonfirmasi.1,2 Setelah
diperhitungkan untuk appendektomi pada pasien yang tidak memiliki usus buntu (disebut
appendiktomi negatif), banyak yang telah menggunakan angka dari appendiktomi sebagai
pengganti untuk angka kejadian appendisitis. Meskipun insiden dari appendiktomi mirip pada
pria dan wanita, pria memiliki insiden appendicitis yang lebih tinggi.3
Penggunaan alat pencitraan yang canggih dan laparoskopi mungkin telah meningkatkan jumlah
pasien yang terdiagnosis,4 beberapa dari mereka mungkin mengalami gejala yang menghilang
tanpa appendiktomi atau mungkin tidak pernah berkembang menjadi appendisitis secara klinis.3
Overdiagnosis yang menyatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya dibuktikan
dengan melakukan uji coba5 pada pasien dengan nyeri perut non-specific yang secara acak
diminta untuk dilakukan laparoskopi atau hanya menunggu dan mengamati perubahan.
Apendisitis diidentifikasi sekitar 30% pada pasien dalam kelompok yang menjalani laparoskopi
dibandingkan dengan kurang dari 6% dari pasien dalam kelompok observasi, temuan yang
mempertanyakan pentingnya secara klinis dari kasus yang diidentifikasi dengan cara
laparoskopi.

PATOFISIOLOGI

Pemahaman yang lebih baik tentang


patofisiologi apendisitis penting dalam
mengevaluasi potensi dari strategi
pengobatan dengan antibiotik sebagai lini
pertama. Apendisitis secara historis diduga
akibat obstruksi lumen fekalit, distensi,
pertumbuhan bakteri berlebih, peningkatkan
tekanan intraluminal, dan pertumbuhan
jaringan progresif dengan gangren dan
perforasi.6 Namun, sebuah studi terbaru
memastikan bahwa tekanan luminal pada
pasien dengan apendisitis menunjukkan
peningkatan tekanan hanya pada seperempat
dari jumlah pasien apendisitis.7 Demikian
pula, dalam sebuah studi lain, fekalit
diidentifikasi hanya 18% dari jumlah pasien
dengan usus buntu (dan 29% dari mereka
dengan usus buntu eksterna).8 Bukti yang
berkembang juga menunjukkan bahwa
perforasi belum tentu tanda dari obstruksi
appendix. Appendicitis dengan perforasi dan
tanpa perforasi memiliki ciri yang berbeda,3
pada apendisitis dengan perforasi pada
umumnya pasien akan mengalami gejala
inflamasi atau terjadi perubahan pada kolon
yang microbiome.9

STRATEGI DAN EVIDENCE


DIAGNOSA
Diagnosis dari apendisitis didukung oleh
adanya riwayat nyeri perut yang dimulai di
bagian perut tengah dan bermigrasi ke
kuadran kanan bawah perut dan nyeri saat
di-palpasi pada pemeriksaan fisik, mual atau
muntah, leukositosis ringan, dan demam
ringan, tapi tanda ini tidak selalu muncul,
kurang dari 50% dari pasien mungkin
memiliki semua tanda ini.10 Pada penelitian
yang melibatkan pasien dengan nyeri perut,
di antaranya terdiagnosis apendisitis (tanpa
pemeriksaan ultrasonografi), faktor
pendukung terkuat apendisitis adalah
migrasi sakit ke kuadran kanan bawah
(dengan odds rasio 3,4; 95% interval
kepercayaan [CI], 1,5-7,8) dan muntah
(dengan odds rasio 5,4; 95% CI, 2,4-12,4).10
Penggunaan alat pencitraan untuk
penegakan diagnostik, yang paling sering
adalah CT (Gambar. 1) atau ultrasonografi,
dapat meminimalkan risiko terjadinya
kesalahan diagnosis dan dapat mengurangi
angka tindakan appendiktomi yang tidak
perlu.11 Meskipun sensitivitas dan spesifitas

dari pencitraan pada apendisitis dilaporkan


bervariasi di seluruh studi, baik sensitivitas
dan spesifisitas CT, dengan atau tanpa
kontras antegrad, adalah yang paling baik (>
90%)12 dan lebih unggul daripada
ultrasonografi; tambahan lagi, sensitivitas
dan spesifisitas CT lebih konsisten
dibanding ultrasonografi, yang
sensitivitasnya berkisar 44-100% dan
spesifisitas 47-99%.13 Pencitraan dengan
resonansi magnetik atau MRI memiliki
karakteristik kinerja yang mirip dengan
CT,14 tapi karena biayanya lebih tiggi,
meskipun dia yang paling unggul namun
penggunaannya terbatas pada pasien yang
tidak boleh terkena radiasi dan oleh karena
itu ultrasonografi mendapat keunggula pada
pasien dengan kehamilan.15
Penggunaan sistem penilaian
Alvarado,16,17 yang meliputi temuan dalam
pemeriksaan klinis dan nilai laboratorium,
sangat membantu dalam mendiagnosa
Apendisitis (Tabel 1). Skor berkisar dari 1
sampai 10, dengan skor yang lebih tinggi
menunjukkan risiko yang lebih besar dari
Apendisitis. Ketika skor kurang dari 4,
resiko terjadinya apendisitis jarang, dan
pencitraan serta Intervensi lainnya dapat
dihindari.18,19 Ketika pencitraan digunakan,
pemilihan ultrasonografi berkualitas tinggi
harus dipertimbangkan sebagai tindakan
pencitraan awal, tetapi hanya jika memiliki
akurasi cukup tinggi. Jika ultrasonografi
dengan kualitas tinggi tidak tersedia atau
jika ultrasonografi gagal untuk
memvisualisasikan apendisitis, CT dengan
protokol radiasi dosis rendah sering
digunakan. Dalam praktik sehari-hari
pemilihan uji diagnostik diutamakan yang
berkualitas tinggi tidak dominan atau ketika
radiasi adalah lebih diutamakan (misalnya,
selama trimester pertama kehamilan),
strategi menunggu dengan pengamatan
mungkin tepat. Di antara pasien berisiko
tinggi (misalnya, orang-orang dengan
gangguan fungsi kekebalan tubuh) yang

diduga mengalami apendisitis, tindakan


menunggu dan mengamati akan menjadi
masalah, laparoskopi bisa dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan memotong
appendix, jika diperlukan.
TERAPI BEDAH
Urgent apendiktomi telah menjadi andalan
untuk pengobatan pada apendisitis sejak
akhir 1800-an, dengan kemajuan pesat pada
1990-an, ketika penggunaan laparoskopi
disarankan sebagai terapi operatif yang lebih
konvensional dibandingkan pembedahan
terbuka di kuadran kanan bawah.20 Di
Amerika Serikat, Apendiktomi dilakukan
dengan laparoskopi pada 60 sampai 80%
kasus, dengan rawat inap berlangsung ratarata selama 1 sampai 2 hari dan tingkat
komplikasi 1 sampai 3%.21,22 Terapi
pembedahan dengan laparoskopi
kontraindikasi pada pasien dengan
peningkatan tekanan intra abdominal atau
peningkatan volume udara pada abdomen,
yang paling sering karena gangguan
cardiopulmoner. Sebagian besar terapi
pembedahan yang dilakukan di Amerika
Serikat dilakukan secara laparoskopi tetapi
dikonversi ke pembedahan terbuka karena
keterbatasan teknis, ketahanan tubuh,
operasi sebelumnya, komplikasi penyakit,
atau pengalaman bedah.22,23
Sebuah studi kohort nasional
menunjukkan bahwa tingkat infeksi kulit
setelah laparoskopi appendiktomi sebesar
3,3% dibanding 6,7% setelah apendektomi
terbuka, dan median rata-rata rawat inap 1
hari setelah prosedur.24 Sebuah tinjauan
sistematis dari uji coba laparoskopi dan
apendektomi terbuka menunjukkan bahwa
kejadian infeksi kulit lebih dari 50% lebih
rendah dengan laparoskopi (rasio odds, 0,43;
95% CI, 0,34-0,54), dan lamanya tinggal di
rumah sakit 1,1 hari lebih pendek (95% CI,
0,7-1,5).25 Penilaian secara unblinded
menunjukkan bahwa metode laparoskopi

dikaitkan dengan rasa sakit pascaoperasi


menunjukkan perbedaan nyeri antara
kelompok yang minimal dibandingkan
pasien yang mendapatkan tindakan
pembedahan terbuka.26 Tindakan
laparoskopi membutuhkan biaya awal yang

lebih besar daripada yang digunakan dalam


prosedur pembedahan terbuka, tapi secara
formal penilaian efektivitas biaya jika
dihitung dengan biaya rawat inap pasca
prosedur yang lebih singkat, pasien lebih
menyukai metode laparoskopi.27

Meski telah menjadi tindakan rutin


dilakukannya apendiktomi segera setelah
diagnosis ditegakkan, nilai efektivitas dari
early apendiktomi masih dipertanyakan.
Dalam peniaian kohort seluruh negara

bagian pada pasien dewasa yang menjalani


apendiktomi, waktu antara dilakukannya
evaluasi di departemen darurat dan operasi
tidak menjadi prediktor dari risiko
perforation.28 Data ini menimbulkan

pertanyaan tentang melakukan urgent


apendiktomi dengan tujuan mencegah
perforasi. Studi observasional lain yang
sama menunjukkan bahwa waktu tunggu
lebih lama untuk operasi adalah idak terkait
dengan risiko yang lebih tinggi terjadinya
perforasi tetapi dikaitkan dengan risiko
tinggi infeksi saat pembedahan.

apendiktomi. Tingkat crossover untuk


operasi dalam waktu 48 jam setelah mulai
pemberian antibiotik berkisar antara 0-53%.
Karena penelitian menggunakan kriteria
yang berbeda untuk memicu crossover,
variabilitas ini menunjukkan substantial
heterogeneity dari efek pengobatan pada
pasien atau variasi dalam kesediaan dokter
untuk menggunakan strategi antibiotik.

AREAS OF UNCERTAINTY
Sebuah keraguan utama dalam pengelolaan
apendisitis adalah apakah operasi
apendiktomi yang dibutuhkan atau apakah
antibiotik saja, dengan apendiktomi
dilakukan hanya jika apendisitis tidak
sembuh (strategi antibiotik sebagai lini
pertama), adalah alternatif alasan wajar.
Pengobatan radang usus buntu dengan
strategi antibiotic sebagai lini pertama
adalah metode jaman dulu, digunakan untuk
pasien yang mengalami proses inflamasi
lambat, dengan phlegmon dan mungkin
abses. Saat ini, antibiotik intra vena
diberikan pada pasien, dan drainase abses
dilakukan setelah beberapa hari untuk
menghindari penyulit30 yang berpotensi
menimbulkan komplikasi sehingga
dilakukan ileocecectomy atau ileostomi.
Sukses dengan metode terapi antibiotik
tunggal yang diberikan pada Personil
Angkatan Laut dengan apendisitis sementara
mereka berada di laut (dan tidak memiliki
akses ke ruang operasi) mendukung strategi
ini untuk diterapkan pada pasien dengan
apendisitis tanpa komplikasi.31
Uji coba selanjutnya, beberapa uji
coba acak32-37 membandingkan metode
apendiktomi dan strategi antibiotic (dengan
apendiktomi jika ada indikasi) untuk
apendisitis tanpa komplikasi dan
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
dalam kelompok strategi antibiotik pertama
mampu menghindari dilakukannya

Hasil klinis antara pasien yang


secara acak diberi pengobatan strategi
antibiotik secara umum menguntungkan,
tetapi angka keberhasilan yang tidak
konsisten (termasuk penurunan jumlah sel
darah putih,33 menghindari peritonitis,37 dan
penurunan gejalan secara umum),34-36 dan
beberapa percobaan memiliki sampel yang
sangat kecil (Tabel S1 di supplemen-tary
Lampiran, tersedia dengan teks penuh ini
Artikel di NEJM.org). Dibandingkan dengan
pasien yang diberi tindakan early
appendectomy, pasien dengan strategi

antibiotic memiliki skor nyeri yang lebih


rendah atau serupa,33,36,37diperlukan dosis
narkotik yang lebih sedikit,33 dan mampu
pulih kembali lebih cepat,33,36 tetapi hasil ini
tidak dinilai di semua studi. Angka kejadian
perforasi tidak lebih tinggi secara signifikan
pada pasien dengan strategi antibiotik; tibatiba, dalam dua uji coba,35,36 pasien dengan
appendectomy first memiliki angka kejadian
perforasi lebih tinggi secara signifikan.
Akhirnya tindakan appendiktomi di
kesampingkan setelah awalnya
appendiktomi diutamakan, setelah
keberhasilan terapi dengan antibiotic 10
sampai 37% dari pasien secara acak
diberikan strategi antibiotic (berarti waktu
untuk Appen-dectomy, 4,2-7 bulan dalam
hasil tiga studi yang telah dilaporkan33,34,37).
Data dari follow-up jangka panjang sudah
tidak tersedia, dan karena itu tidak jelas
apakah kemungkinan dari penggunaan
appendiktomi diteruskan semakin meningkat
atau hanya digunakan sebagai stabilisasi
sewaktu-waktu. Dalam sebuah laporan yang
melampirkan informasi hasil patologis
bedah berikutnya,37 13% dari pasien yang
menjalani appendiktomi (setelah awalnya
sukses dengan terapi antibiotik) tidak benarbenar memiliki apendisitis; dengan
demikian, sesungguhnya apendisitis rekuren
tidak diketahui. Sebuah studi berbasis
populasi yang menggunakan data
administratif rawat inap di California
menunjukkan bahwa 5,9% dari pasien yang
memiliki kode diagnostik apendisitis (tapi
tidak appendiktomi) di indeks masuk
menjalani operasi usus buntu dalam 30 hari
setelah pulang dari rumah sakit, dan hanya

4% memiliki rawat inap berulang untuk


Appendicitis di tahun-tahun berikutnya
(median follow-up, 7,4 tahun, waktu median
untuk mengulang Rawat inap, 1,9 tahun).38
Percobaan yang secara acak
melibatkan berbagai intervensi dan jangka
waktu pengobatan. Sebuah protokol khas
(Tabel 2) termasuk 48 jam antibiotik
intravena saat pasien berada di rumah sakit,
diikuti pemberian antibiotic oral selama 7
hari yang sensitif terhadap organisme khas
yang ditemukan pada infeksi intraabdominal
(misalnya ciprofloxacin dan metronidazole),
dan tidak termasuk tindakan pengulangan
pencitraan untuk mengkonfirmasi resolusi
dari appendisitis. Dalam beberapa
penelitian, pasien diberi antibiotic oral
sementara di rumah sakit jika mereka tidak
memiliki efek samping yang tidak dapat
diterima. Mengingat rendahnya tingkat
kepatuhan terhadap regimen antibiotik
dalam berbagai keadaan kondisi kesehatan,
masih harus ditentukan apakah dalam "dunia
nyata" hasil dari strategi antibiotik akan
cocok dengan hasil uji coba acak terkontrol.
Selain itu, semua studi ini dilakukan di
Eropa, dan faktanya bahwa pasien bedah
lebih sering menjalani appendiktomi (3482%), dengan terkait durasi yang lebih lama
tinggal di rumah sakit setelah operasi
(berarti, sekitar 3 hari) di Amerika Serikat,
membatasi ekstrapolasi dari hasil ke
Amerika Serikat. Semua studi dikecualikan
pasien dengan tanda-tanda perforasi atau
Sepsis dan mereka yang hamil atau memiliki
fungsi kekebalan tubuh terganggu, dan satu
studi dikecualikan perempuan,34 terbatas
untuk dilakukan generalisasi.

Pertanyaan tentang apakah


Komplikasi berkaitan dengan penundaan
operasi; lamanya terapi antibiotik; jumlah
waktu yang dihabiskan di rumah sakit,
kantor dokter, dan departemen Emergensi
(Tabel S1 di supplemen-tary Lampiran);
kecemasan tentang kelanjutan nyeri perut di
masa mendatang; dan jumlah biaya
perawatan berbeda substantif antara pilihan
pengobatan. Bagaimanapun, faktor yang
terkait dengan risiko yang lebih tinggi
kekambuhan tidak jelas, dan saat ini tidak
mungkin untuk mengidentifikasi pasien
yang harus dioperasi langsung atau
menawarkan strategi antibiotik.
Kedepannya, percobaan multicenter di
Inggris diperlukan untuk mengatasi hasil
klinis dan pasien yang dilaporkan dengan
strategi antibiotik, dibandingkan dengan
early appendectomy. Untuk menentukan
apakah strategi antibiotic "Sebagus" early
appendectomy untuk appendicitis tanpa
komplikasi, keberhasilan dalam menghindari
appendiktomi perlu diimbangi terhadap
peningkatan lamanya rawat inap terkait
dengan penundaan appendiktomi,
penyelamatan, ketakutan dan beban
kekambuhan, dan setiap perbedaan dalam
tingkat komplikasi dan kualitas hidup efek
dari dua metode tersebut.
Biaya dari dua strategi belum bisa
dibandingkan secara langsung kecuali dalam
studi kecil dari Turki (yang dibandingkan
semua biaya, termasuk biaya pendaftaran

kembali bagi pasien yang menggunakan


strategi antibiotik pertama)35 dan Swedia
(yang dibandingkan biaya yang terkait
dengan rawat inap saja)36; kedua penelitian
menunjukkan total biaya perawatan yang
lebih tinggi pada appendiktomi. Namun,
beberapa peristiwa rehospitalization pada
pasien dengan appendiktomi berbeda secara
potensial dalam tingkat komplikasi
dibanding mereka yang menggunakan
strategi antibiotik, biaya dari kesalahan
kerja, dan biaya dukungan pengasuh juga
menjadi pertimbangan ulang dalam
membandingkan biaya dua metode ini.
Faktor lain yang berpotensi relevan
dengan manfaat dan risiko dari
appendiktomi adalah pertanyaan apakah
usus buntu memiliki fungsi fisiologis aktif
atau hanyalah sebuah vestigial organ.
Pengamatan bahwa usus buntu telah
berevolusi secara independen dari sekum di
banyak spesies mendukung kemungkinan
peran fungsional.39 Bakteri diasingkan di
appendix dapat bertindak sebagai "rumah
aman," repopulating usus dengan bakteri
sehat setelah penyakit diare masif. Misalnya,
kambuhnya infeksi Clostridium difficile
(meskipun bukan primary C. difficile
infection40) secara signifikan lebih umum
antara pasien dengan riwayat appendiktomi
dibandingkan mereka dengan appendix
utuh.41

PEDOMAN
American College of Surgeons,42
perkumpulan bedah saluran pencernaan,43
dan Organisasi tingkat Dunia untuk
Emergency Surgery44 semua
menggambarkan appendiktomi (baik
laparoskopi atau terbuka) sebagai
pengobatan pilihan untuk appendisitis.
Berkaitan dengan strategi antibiotik,
Amerika College of Surgeons menunjukkan
bahwa hal ini "mungkin efektif, tetapi ada
kesempatan lebih tinggi terulangnya "42;
Organisasi Bedah dari perawatan saluran
pencernaan menyarankan bahwa itu adalah
"bukan pengobatan yang bisa diterima
secara luas"43; dan World Society of Surgery
Emergency menyatakan bahwa "metode
konservatif ini memiliki tingkat
kekambuhan yang tinggi oleh karena itu
metode ini tidak lebih baik dibanding
dengan appendiktomi Pengobatan
antibiotik non-operatif mungkin digunakan
sebagai pengobatan alternatif untuk pasien
tertentu, untuk pasien dengan kontraindikasi
dilakukannya operasi."44 Rekomendasi
dalam artikel ini secara umum konsisten
dengan panduan.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pasien yang dijelaskan sebelunya memiliki
gejala klinis dan tanda yang konsisten
dengan akut Appendisitis, dan diagnosis
dikonfirmasi dengan pencitraan. Di Amerika
Serikat, pengobatan yang biasa
direkomendasikan untuk orang dengan
apendisitis tanpa komplikasi adalah prompt
appendectomy. Pengobatan dengan
laparoskopi lebih disukai untuk pembedahan
terbuka oleh sebagian besar ahli bedah
(karena insiden terjadinya infeksi saat
operasi lebih rendah dan waktu pulih lebih
cepat untuk pasien dengan kegiatan biasa)
pada pasien tanpa kontraindikasi untuk
laparoskopi. Namun, pengalaman di Eropa
menunjukkan bahwa strategi antibiotic

sebagai terapi awal merupakan alternatif


yang perlu dipertimbangkan, terutama pada
pasien yang telah memiliki komplikasi
bedah sebelum dan memiliki preferensi yang
kuat untuk menghindari appendiktomi.
Pasien harus memahami bahwa percobaan
acak di eropa yang membandingkan terapi
antibiotik ini dengan appendiktomi telah
menunjukkan bahwa hal ini tidak
berhubungan dengan peningkatan risiko
perforasi atau tingkat yang lebih tinggi dari
komplikasi; Namun, uji coba ini juga
menunjukkan bahwa sebanyak separuh
pasien yang mengalami kegagalan
pengobatan dini, dan semuanya memiliki
resiko apendisitis berulang yang mungkin
akhirnya memerlukan appendiktomi.
Sejauh ini masih harus ditentukan
apakah manfaat secara potensial
menghindari operatif dengan terapi
antibiotik ataukah malah akan menjadi
beban untuk pasien dikaitkan dengan
kekambuhan di masa depan, lamanya
pengobatan dan ketidakpastian yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup.
Mempertimbangkan hal ini bahwasanya
benar untuk dilakukannya appendiktomi,
seperti yang dilakukan di Amerika Serikat,
memiliki keamanan yang sangat
menguntungkan dan membutuhkan waktu
rawat inap yang lebih singkat. Meskipun
appendiktomi merupakan pengobatan yang
direkomendasikan untuk usus buntu,
Clinicians harus menginformasikan pasien
dengan tepat tentang bukti terkait dengan
strategi antibiotik, serta ketidakpastian. Saya
merekomendasikan hal ini, sambil
menunggu informasi lebih lanjut mengenai
efektivitas strategi pengobatan dengan
antibiotic lini pertama dan hasil jangka
panjang dari strategi ini, pasien yang tertarik
mempertimbangkan terapi antibiotik harus
didorong untuk berpartisipasi dalam uji
klinis. Ketika strategi antibiotic digunakan
di luar percobaan klinis, saya akan
mendorong dokter yang mengobati untuk

memasukkan pengalaman mereka dalam


registrasi pasien (lihat Lampiran Supplementary).

Dr. Flum reports receiving


consulting fees from BenchMark Medical
and Pacira Pharmaceuticals and providing
expert testi-mony related to medical
malpractice cases for Surgical Consult-ing.
No other potential conflict of interest
relevant to this article was reported.
Disclosure forms provided by the author are
available with the full text of this article at
NEJM.org.

REFERENSI
1. Weiss AJ, Elixhauser A, Andrews RM.
Characteristics of operating room procedures in U.S. hospitals, 2011: statistical brief
#170. Rockville, MD: Agency for
Healthcare Research and Quality, 2006
(https:/ / www .hcup-us .ahrq .gov/
reports/statbriefs/ sb170-Operating-RoomProcedures-United-States-2011 .jsp).
2. Addiss DG, Shaffer N, Fowler BS, Tauxe
RV. The epidemiology of appendici-tis and
appendectomy in the United States. Am J
Epidemiol 1990; 132: 910-25.
3. Andersson R, Hugander A, Thulin A,
Nystrm PO, Olaison G. Indications for
operation in suspected appendicitis and
incidence of perforation. BMJ 1994;
308:107-10.
4. Buckius MT, McGrath B, Monk J, Grim
R, Bell T, Ahuja V. Changing epide-miology
of acute appendicitis in the Unit-ed States:
study period 1993-2008. J Surg Res 2012;
175: 185-90.
5. Morino M, Pellegrino L, Castagna E,
Farinella E, Mao P. Acute nonspecific abdominal pain: a randomized, controlled trial
comparing early laparoscopy versus clinical
observation. Ann Surg 2006; 244:881-6.
6. Wangensteen OH, Dennis C. Experimental proof of the obstructive origin of

appendicitis in man. Ann Surg 1939;


110:629-47.
7. Arnbjrnsson E, Bengmark S. Obstruction of the appendix lumen in relation to
pathogenesis of acute appendicitis. Acta
Chir Scand 1983; 149: 789-91.
8. Singh JP, Mariadason JG. Role of the
faecolith in modern-day appendicitis. Ann R
Coll Surg Engl 2013; 95: 48-51.
9. Jackson HT, Mongodin EF, Davenport
KP, Fraser CM, Sandler AD, Zeichner SL.
Culture-independent evaluation of the appendix and rectum microbiomes in chil-dren
with and without appendicitis. PLoS One
2014; 9(4): e95414.
10. Petroianu A. Diagnosis of acute appendicitis. Int J Surg 2012; 10: 115-9.
11. Drake FT, Flum DR. Improvement in the
diagnosis of appendicitis. Adv Surg 2013;
47: 299-328.
12. Hlibczuk V, Dattaro JA, Jin Z, Falzon L,
Brown MD. Diagnostic accuracy of
noncontrast computed tomography for
appendicitis in adults: a systematic re-view.
Ann Emerg Med 2010; 55: 51,-9.
13. Pinto F, Pinto A, Russo A, et al. Accuracy of ultrasonography in the diagno-sis
of acute appendicitis in adult patients:

review of the literature. Crit Ultrasound J


2013; 5: Suppl 1: S1-S2.

scopic and open appendicectomy in a national cohort. Br J Surg 2014; 101: 1135-42.

14. Leeuwenburgh MM, Wiarda BM,


Wiezer MJ, et al. Comparison of imaging
strategies with conditional contrastenhanced CT and unenhanced MR imag-ing
in patients suspected of having appendicitis: a multicenter diagnostic performance study. Radiology 2013; 268: 135-43.

22. Papandria D, Lardaro T, Rhee D, et al.


Risk factors for conversion from laparoscopic to open surgery: analysis of 2138
converted operations in the American
College of Surgeons National Surgical
Quality Improvement Program. Am Surg
2013; 79: 914-21.

15. Theilen LH, Mellnick VM, Longman


RE, et al. Utility of magnetic resonance
imaging for suspected appendicitis in
pregnant women. Am J Obstet Gynecol
2015; 212: 345.e1-345.e6.

23. Sakpal SV, Bindra SS, Chamberlain RS.


Laparoscopic appendectomy conver-sion
rates two decades later: an analysis of
surgeon and patient-specific factors resulting
in open conversion. J Surg Res 2012; 176:
42-9.

16. Ohle R, OReilly F, OBrien KK, Fahey


T, Dimitrov BD. The Alvarado score for
predicting acute appendicitis: a systemat-ic
review. BMC Med 2011; 9: 139.
17. Alvarado A. A practical score for the
early diagnosis of acute appendicitis. Ann
Emerg Med 1986; 15: 557-64.
18. Jones RP, Jeffrey RB, Shah BR, Desser
TS, Rosenberg J, Olcott EW. The Alvarado
score as a method for reducing the num-ber
of CT studies when appendiceal ultra-sound
fails to visualize the appendix in adults. AJR
Am J Roentgenol 2015; 204:519-26.
19. Tan WJ, Pek W, Kabir T, et al. Alvara-do
score: a guide to computed tomogra-phy
utilization in appendicitis. ANZ J Surg 2013;
83: 748-52.
20. Masoomi H, Nguyen NT, Dolich MO,
Mills S, Carmichael JC, Stamos MJ. Laparoscopic appendectomy trends and outcomes in the United States: data from the
Nationwide Inpatient Sample (NIS), 20042011. Am Surg 2014; 80: 1074-7.
21. Andersson RE. Short-term complications and long-term morbidity of laparo-

24. Ingraham AM, Cohen ME, Bilimoria


KY, Pritts TA, Ko CY, Esposito TJ. Comparison of outcomes after laparoscopic
versus open appendectomy for acute appendicitis at 222 ACS NSQIP hospitals.
Surgery 2010; 148: 625-35.20797745
25. Sauerland S, Jaschinski T, Neugebauer
EA. Laparoscopic versus open surgery for
suspected appendicitis. Cochrane Data-base
Syst Rev 2010; 10: CD001546.
26. Katkhouda N, Mason RJ, Towfigh S,
Gevorgyan A, Essani R. Laparoscopic versus open appendectomy: a prospective
randomized double-blind study. Ann Surg
2005; 242: 439-48.
27. Haas L, Stargardt T, Schreyoegg J. Costeffectiveness of open versus laparo-scopic
appendectomy: a multilevel ap-proach with
propensity score matching. Eur J Health
Econ 2012; 13: 549-60.
28. Drake FT, Mottey NE, Farrokhi ET, et
al. Time to appendectomy and risk of perforation in acute appendicitis. JAMA Surg
2014; 149: 837-44.
29. Teixeira PG, Sivrikoz E, Inaba K, Talving P, Lam L, Demetriades D. Appendec-

tomy timing: waiting until the next morn-ing


increases the risk of surgical site infections.
Ann Surg 2012; 256: 538-43.
30. Olsen J, Skovdal J, Qvist N, Bisgaard T.
Treatment of appendiceal mass a
qualitative systematic review. Dan Med J
2014; 61: A4881.
31. Wojciechowicz KH, Hoffkamp HJ, van
Hulst RA. Conservative treatment of acute
appendicitis: an overview. Int Marit Health
2010; 62: 265-72.
32. Varadhan KK, Neal KR, Lobo DN.
Safety and efficacy of antibiotics com-pared
with appendicectomy for treatment of
uncomplicated acute appendicitis: metaanalysis of randomised controlled
trials. BMJ 2012; 344: e2156.
33. Eriksson S, Granstrm L. Random-ized
controlled trial of appendicectomy versus
antibiotic therapy for acute appen-dicitis. Br
J Surg 1995; 82: 166-9.
34. Styrud J, Eriksson S, Nilsson I, et al.
Appendectomy versus antibiotic treat-ment
in acute appendicitis: a prospective
multicenter randomized controlled trial.
World J Surg 2006; 30: 1033-7.
35. Turhan AN, Kapan S, Ktk E,
Yiitba H, Hatipolu S, Aygn E. Comparison of operative and non operative
management of acute appendicitis. Ulus
Travma Acil Cerrahi Derg 2009; 15: 459-62.
36. Hansson J, Krner U, Khorram-Manesh
A, Solberg A, Lundholm K. Ran-domized
clinical trial of antibiotic thera-py versus
appendicectomy as primary treatment of
acute appendicitis in un-selected patients. Br
J Surg 2009; 96: 473-81.
37. Vons C, Barry C, Maitre S, et al.
Amoxicillin plus clavulanic acid versus

appendicectomy for treatment of acute


uncomplicated appendicitis: an open-label,
non-inferiority, randomised controlled trial.
Lancet 2011; 377: 1573-9.
38. McCutcheon BA, Chang DC, Marcus
LP, et al. Long-term outcomes of patients
with nonsurgically managed uncompli-cated
appendicitis. J Am Coll Surg 2014;218: 90513.
39. Smith HF, Parker W, Kotz SH, Laurin
M. Multiple independent appearances of the
cecal appendix in mammalian evolu-tion
and an investigation of related eco-logical
and anatomical factors. C R Pa-levol 2013;
12: 339-54.
40. Sanders NL, Bollinger RR, Lee R,
Thomas S, Parker W. Appendectomy and
Clostridium difficile colitis: relationships
revealed by clinical observations and immunology. World J Gastroenterol 2013;
19:5607-14.
41. Im GY, Modayil RJ, Lin CT, et al. The
appendix may protect against Clostridium
difficile recurrence. Clin Gastroenterol
Hepatol 2011; 9: 1072-7.
42. American College of Surgeons. Operation brochures: appendectomy, 2014
(https:/ / www .facs .org/ education/ patienteducation/ patient-resources/ operations).
43. Society for Surgery of the Alimentary
Tract. SSAT patient care guidelines: appendicitis (http://ssat .com/
guidelines/Appendicitis .cgi).
44. Sartelli M, Viale P, Catena F, et al. 2013
WSES guidelines for management of intraabdominal infections. World J Emerg
Surg2013; 8: 3.
Copyright 2015 Massachusetts Medical
Society.

Anda mungkin juga menyukai