Anda di halaman 1dari 16

Abstrak

SCI / trauma medulla spinalis merupakan salah satu cedera yang dapat menyebabkan kematian
terbesar pada masa akut dan juga tingkat kecacatan yang tinggi pasca akut. Terapi
medikamentosa seperti penggunaan metilprednisolon dosis tinggi masih menjadi sebuah
kontroversi. Perlu dilakukan penelitian terbaru untuk menentukan steroid dapat digunakan atau
dengan pengobatan yang lain.
Kata kunci : trauma medulla spinalis, steroid, metilprednisolon.
Pendahuluan
Spinal Cord Injury (SCI) mempengaruhi sekitar 11.000 warga AS setiap tahun dan
memiliki prevalensi 250.000. Rasio kejadian antara laki-laki-perempuan adalah 4:1, dan usia
rata-rata pasien adalah32,6 tahun. Pengobatan untuk fase akut berfokus pada perawatan suportif
dan pencegahan komplikasi sekunder yang dapat terjadi.
SCI sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan salah satu cedera hebat yang
memberikan signifikansi besar pad morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas, dan biaya
yang ditanggung oleh pasien. Tingkat mortalitas yang tinggi yaitu sekitar 50% pada SCI
umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan mortalitas pasien yang bertahan
hidup dan dapat dibawa ke rumah sakit adalah 16%. Pasien dengan SCI membutuhkan
penyesuaian terhadap berbagai masalah seperti, mobilitas, psikologis, urologis, pernapasan, kulit,
disfungsi seksual dan ketidakmampuan untuk bekerja. Selain itu biaya yang dikeluarkan oleh
pasien untuk pengobatan tidaklah sedikit.
SCI meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang
meng- akibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan
refl eks, baik komplet ataupun inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab
kematian dan kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi
penduduk USA dan membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan
asuransi di USA.
Terapi steroid bukan tanpa risiko. Kebanyakan pasien dengan cedera tulang belakang
akut yang dirawat di unit perawatan intensif, memiliki politrauma, memiliki gangguan kapasitas
paru-paru dan rentan terhadap sepsis.

Spinal Cord Injury


Definisi
Cedera medulla spinalis atau spinal cord injury (SCI) didefinisikan sebagai cedera atau
kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara
sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, ataupun otonom.2
Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun. Sekarang ini
diperkirakan sekitar 183.000-230.000 pasien dengan SCI yang bertahan hidup di Amerika
Serikat.3
Cedera ini umumnya terkena pada pria dewasa muuda dengan rata-rata usia sekitar 28
tahun. Hampir seluruh (80,6%) penderita SCI adalah laki-laki karena resiko tinggi terhadap
kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang berkaitan dengan rekreasi. Tingkat
mortalitas yang tinggi (50%) pada SCi umumnya terjadi pada saat akut atau pada saat kejadian
cedera.4
Etiologi
Sejak tahun 2005 etiologi utama dari SCI adalah traumatic Antara lain kecelakaan lalulintas, jatuh dan kekerasan. Etiologi nontraumatik antara lain gangguan vascular, autoimun,
degeneratif, infeksi iatrogenik dan lesi onkogenik.1
Patofisiologi
Mekanisme cedera
Lokasi SCI secara berurutan Antara lain daerah cervical (C5-6), thoracolumbal junction,
thorakalis dan lumbalis. Mekanisme cedera umumnya merupakan aspek utama menentukan
lokasi SCI, seperti contoh kecelakaan lalulintas yang utamanya melibatkan daerah servikal baik
akibat hiperfleksi atau hiperekstensi, jatuh yang terutama melibatkan daerah yang terkena tanah

terlebih dahulu seperti contoh jatuh dengan kaki menumpu melibatkan daerah thorakolumbal
akibat fraktur kompresi, jatuh dengan bokong menumpu melibatkan daerah lumbar.

Tabel 1. Frekuensi SCI berdasarkan tingkat cedera


Tabel dikutip dari : Deerwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related
Diseases. In: Suarez Jl. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey. Humana Press.
2004. P.417-32.
Cedera pada Medulla spinalis dalapt terjadi secara mandiri, namun sering kali tulang
belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena trauma yang dialami. Hal penting
yang perlu diketahui adalah walaupun derejat kerusakan kolumna vertebralis umumnya
menyebabkan cedera medulla spinalis yang serius namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi.
Kerusakan minor dari koluumna vertebralis umumnya tidak menyebabkan deficit neurologis,
namun tetap mungkin menyebabkan deficit neurologis yang serius. Trauma dapat menyebabkan
cedera pada medulla spinalis melalui kompresi langsung dari tulang, ligament atau diskus,
hamtoma, gangguan perfusi dan atau traksi.11
Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan menjadi
fraktur-dislokasi, fraktur murni dan dislokasi murni (frekuensi relative 3:1:1). Ketiga tipe dari
cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, Antara lain kompresi vertical dengan
anterofleksi atau dengan retrofleksi. Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika
gaya diberikan. Kedua vertebra servikalis yang bersangkutan akan mengalami stress maksimum

dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas akan tedorong kebawah (kadang
terbelah jadi dua). Fragmen posterior dari korpus vertebra yang mengalami fraktur akan
terdorong ke belakang dan memebrikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fraktur).
Mekanisme cedera ini merupakan jenus yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya
melibatkan daerah C5=6 (subluksasi atau dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari
interspinous dan posterior longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak stabil.
Cedera yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan dislokasi. Cedera medulla
spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau
vascular.11
Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertical dengan posisi kepala ekstensi. Stress
utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan predikel) dari vertebra servikalis bagian tengah
C5-6, dimana dapat terjadi fraktur unilateral, bilateral dan robekan dari ligamen anterior. Cedera
hiperekstensi dari medulla spinalis umumnya tejadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra atau
misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang tejadi dapat menjadi
serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat penonjolan ligamentum flavum atau
dislokasi vertebra yang sementara karena robekan ligament. Walaupun, penggunaan ct-scan dan
x-ray tulang belakang lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang, adanya
robekan dan penonjolan lingamen dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan menggunakan
MRI. Selain itu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat diakibatkan oleh central cervical cord
syndrome. Cedera dengan mekanisme ini umumnya melibatkan orang tua dan pasien dengan
spinal canal stenosis.11

Gambar. Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-6


dengan robekan pada interspinosus dan posterioir longitudinal
ligaments, kapsul facet dan diskus intervertebralis posterior.
Gambar dikutip dari: Friedberg SR, Magge SN. Chapter 60.
Trauma to the spine and spinal cord. In: Jones HR, Srinivasan J,
Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elseviers,
Saunders. 2012.p. 562-71

Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera dengan mekanisme ini,
korpus vertebra mengalami pemendekan dan mungkin terjadi wedge compression fracture
dengan aspek posterior dari korpus masuk ke dalam kanal spinalis. Wedge fracture umumnya
stabil karena ligament intak, namun

apabila terdapat fragmen yang masuk kedalam kanal

spinalis biasanya terdapat kerusakan ligament sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi
kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop fracture (tidak stabil).11

Gambar. Cedera Kompresi


Gambar dikutip dari: Friedberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the spine and spinal cord.
In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elseviers,
Saunders. 2012.p. 562-71
Patofisiologi molekuler
Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala dan tanda klinis
akibat dari cedera primer dan sekunder. Terdapat 4 jenis mekanisme cedera primer pada medulla
spinalis Antara lain benturan dengan kompresi persisten, benturan dengan kompresi sementara,
distraksi dan laserasi/transection. Mekanisme cedera primer yang paling umum adalah benturan
disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture dengan retropulsi dari
fragmen tulang yang memeberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture), fraktur-

dislokasi dan rupture diskus akut. Mekanisme kedua yaitu benturan dengan penyakit degenerasi
servikal. Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis akibat gaya fleksi,
ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan gangguan perfusi yang merupakan mekanisme
ketiga. Cedera distraksi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera medulla spinalis
tanpa ditemukannya kelainan pada gambaran radiologis. Mekanisme cedera terakhir yaitu
laserasi dapat disebebkan oleh cedera karena roket, senapan api, dislokasi dari fragmen tulang
yang tajam dan distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan transection total sampai cedera
minor. Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu
bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba (perifer). Adanya kecenderungan cedera pada
bagian substansia kelabu dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan
adanya pembuluh darah yang lebih banyak. Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh
darah (microhemorrhage) dalam hitungan menit awal pasca trauma sampai beberapa jam
kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemua dan hipoksia medulla spinalis. Kerusakan terjadi
akibat dari kebutuhan metabolism yang tinggi dari medulla spinalis. Selain pembuluh darah,
neuron juga mengalami kerusakan dan transmisinya terganggu akibat edema pada daerah cedera.
Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan menit awal dan anntinya berlanjut
menyebabkan iskemia cedera sekunder. Substansia kelabu mengalami kerusakan ireversibel
dalam 1 jam pertama pasca cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera.2,4
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla
spinalis. Mekanisme cedera sekunder, meliputi syok neurogenic, gangguan vascular,
eksitotoksisitas, kerusakan sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera
imunologis, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lain.2,4
Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya syok neurogenic. Terdapat beberapa
interpretasi dari syok ini, namun literature umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang
inadekuat akibat parese serius pada vasomotor (gangguan keseimbangan vasodilatasi dan
vasokonstriksi pada arteriole dan venules). Syok neurogenic merupakan akibat dari syok spinal
yang merupakan manifestasi dari cedera medulla spinalis. Cedera primer menyebabkan
peningkatan ion potassium pada rongga ekstraselular sehingga mengakibatkan hilangnya
aktivitas somatic, reflex dan autonomic dibawah level kerusakan tersebut. Syok neurogenic
disebabkan hilangnya tonus simpanus yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi dengan
penurunan resistensi perifer dan cardiac output. Syok ini umunya bermanifestasi Antara 4-6 jam

setelah cedera diatas level T6 terjadi. Syok spinal dan neurogenic merupakan kondisi sementara
yang dapat bertahan sampai 6 minggu pascacedera.2,4
Diagnosis
Evaluasi klinis
Dugaan terhadap adanya SCI didapatkan melalui anamnesis terutama pada mekanisme
cedera dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada daerah spinal (nyeri) dan deficit
neurologis. Juga harus diarahkan ke SCI bila ada gejala otonom (retensio urin, konstipasi, ileus,
hipotermia, hipotensi, bradikarida), deficit motoric dan sensorik. Dan sebagai penunjang klinis
adalah pemeriksaan radiologis.2,8,9
Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detail diperlukan untuk melihat perjalanan
klinis dari SCI sesuai klasifikasi ASIA.
Langkah-langkah :
Menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensor points
Menentukan level motoric dengan key motor muscles
Menentukan single neurological level
Menentukan apakah cedera komplit atau inkomplit berdasarkan adanya sacral sparing
Menentukan ASIA impairment scale
Pemeriksaan bulbocavernous (BCR) atau Osinski reflex merupakan pemeriksaan untuk
menentukan muncul dan selesainya periode dari shok spinal. Reflex ini melibatkan level S2-4
medulla spinalis. Tidak adanya BCR tanpa adanya SCI pada bagian sacral mengindikasikan
adanya syok spinal dan umumnya reflex ini akan kembali pertama kali setelah periode syok
spinal berakhir. Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa
cedera komplit dari SCI. di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak tejadi
syok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equine.
2,8,9,10

The image cannot be displayed. Your computer may not have enough memory to open the image, or the image may have been corrupted. Restart your computer, and then open the file again. If the red x still appears, you may have to delete the image and then insert it again.

Tabel 2. AmericanSpinalInjuryAssociation.
http://www.asiaspinalinjury.org/publications/59544_sc_Exam_Sheet_r4.pdf

Tatalaksana
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat
diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan secara

cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi.
Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus, atau hilang
tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan adanya flushing menunjukkan
hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma.10
Penatalaksanaan Gawat Darurat
Stabilisasi vertebra
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat diimobilisasi
sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala.
Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan
fiksasi segmen bersangkutan. Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak
dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma
inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen konservatif.
Pasien diimobilisasikan pada sebuah papan, tulang belakang disejajarkan, tulang cervical
diimobilisasi dengan kantong pasir atau perangkat sejenis dan pasien segera dibawa ke Trauma
Center yang terdapat dokter spesialis. Di IGD, stabilitas harus dinilai dan resusitasi segera
dilakukan. Seluruh tulang belakang harus disurvei oleh radiografi dan, jika mungkin, dilakukan
CT-scan untuk mengidentifikasi bagian yang tidak stabil. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
harus dilakukan jika ada defisit neurologis atau dicurigai adanya cedera ligament dan lakukan
konsultasi segera ke dokter bedah tulang belakang. Rotorest-bed, dengan sabuk dapat digunakan
sementara untuk imobilisasi tulang.10
Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain yang terjadi
di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat
mengubah bioenergetik seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino
eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan ATP yang
pada akhirnya menyebabkan kematian sel.
Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan
terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis
reseptor opioid, gangliosida, thyrotropin- releasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium,

termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil baik namun
sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis bermakna.
Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan
dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi
peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi, diikuti
oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik
yang akan memperparah kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun,
penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan
vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan
aliran darah ke perifer.
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema
vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat pelepasan endorfi n
dari hipofisis, dan meng- hambat respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai
antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena
kadar antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan
faktor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma,
inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta inhibisi
prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study)
menyarankan dosis tinggi sebesar 30mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan
sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh
kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian
NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30mg/kgBB bolus IV selama 15 menit
dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam berikutnya dengan nalokson
(antireseptor opioid) 5,4mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus
selama 23 jam. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam
pascatrauma. Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai
48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba
pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid, dan ternyata
tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru
mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek

samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive
care unit (ICU), dan kematian.3,4,5,8,9,10
Metilprednisolon mencegah:
-

Peroksidasi lipid
o Mempertahankan aliran darah spinal, metabolism, homeostatis Na-K, mengurangi
kerusakan protein neuro filament

Iskemia post trauma

Kerusakan membran neuron dan mikrovaskular

Potensi efek samping dari dosis tinggi pemberian steroid pada pasien trauma meliputi:6
-

Meningkatkan insiden komplikasi infeksi dan sepsis

Peningkatan insiden & keparahan komplikasi pernapasan

Peningkatan kejadian emboli paru

Memburuknya cedera kepala

Peningkatan insiden perdarahan gastrointestinal

Peningkatan kejadian pankreatitis

Kemungkinan cedera organ viskus dengan tanda-tanda akut abdomen

Prospective, Randomized Controlled Trials


Study
NASCIS 1 USA, 1984

NASCIS 2 USA, 1990

Otani Japan, 1994

NASCIS 3 USA, 1997

Design
Prospective, randomized, double-blind.
Methylprednisolone, 2 dose regimens.
Prospective, randomized, double-blind.
Methylprednisolone, Naloxone, Placebo
Prospective, randomized*, un-blinded.
Methylprednisolone vs ?Placebo
Prospective, randomized, double-blind.
Methylprednisolone, Tirilizad

Outcome
Negative.

Negative.

Negative.

Negative.

Petitjean, Pointillart France, 1998, 2000

Prospective, randomized, single-blind.


Methylprednisolone, Nimodipine, Placebo

Negative.

Retrospective Studies
Study

Design

Outcome

Prendergast USA, 1994 Retrospective Negative


Gerhart USA, 1995

Retrospective Negative

George USA, 1995

Retrospective Negative

Gerndt USA, 1995

Retrospective N/A (looked at adverse events)

Poynton Ireland, 1997

Retrospective Negative

Tabel 2. dikutip dari : Brohi K. Steroids for Spinal Cord Injury. 2005. Downloaded from:
http://www.trauma.org/archive/spine/steroids.html.

The Canadian Spine Society and the Canadian Association of Emergency Physicians
telah mengadopsi rekomendasi komite bahwa infus metilprednisolon dosis tinggi, 24-jam
dimulai dalam waktu 8 jam pasca cedera tulang belakang tidak menjadi pengobatan standar atau
pedoman untuk pengobatan, melainkan pilihan pengobatan, yang memiliki bukti pada level II
dan III yang sangat lemah.7

Kesimpulan
Secara keseluruhan, manfaat dari steroid dianggap yang terbaik, terutama untuk pasien
dengan quadriplegia komplit atau inkomplit, perbaikan kecil dalam hal kekuatan motorik di satu
atau lebih otot dapat memberikan keuntungan fungsional penting untuk kehidupannya.
Administrasi steroid tetap merupakan preferensi kelembagaan dan dokter pada cedera
tulang belakang. Pemberian steroid dosis tinggi dalam waktu 8 jam dari cedera untuk semua
pasien dengan cedera tulang belakang akut dilakukan oleh sebagian besar dokter.
Rekomendasi pengobatan SCI saat ini adalah untuk mengobati semua pasien dengan
cedera tulang belakang sesuai dengan protokol sesuasi daerahnya masing-masing. Jika steroid
yang direkomendasikan, maka harus dimulai dalam waktu 8 jam pasca cedera dengan protokol
steroid berikut: methylprednisolone 30 mg / kg bolus lebih dari 15 menit dan infus
metilprednisolon sebesar 5,4mg/kg/jam untuk 23 jam mulai 45 menit setelah bolus. Akan tetapi
bukti klinis dari penelitian yang telah dilakukan masih menjadi kontroversi. Karena penggunaan
steroid bukanlah tanpa resiko.Kebijakan Rumah Sakit yang akan menentukan apakah protokol
NASCIS II atau NASCIS III dapat digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Friedberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones
HR. Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012.p 562-71.
2. Chin
LS.
Spinal
Cord
Injuries.
Emedicine
Medscape
2013.
http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
3. National Spinal Cord injury Statistical Center. Spinal Cord Injury facts and Figures at a
Glance. Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded from: http://www.nsisc.uab.edu
4. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/1149070-overview#a0199
5. Gupta Ak, Gelb AW. Chapter 32. Spinal Cord Injury. In: Hunt K, Laing R. Essentials of
Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Elsevier, Saunders. 2008.p 211-15.
6. Brohi K. Steroids for Spinal Cord Injury. 2005. Downloaded from:
http://www.trauma.org/archive/spine/steroids.html
7. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: not a Standard of Care. 2003.
Downloaded from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC153684/
8. Lynn DJ, Newton HB, Rae-Grant AD. Spinal Cord Syndromes,Acute. The 5-Minute
Neurology Consult. P 378-9.
9. Lindsay KW, Bone I. Spinal Trauma. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 4th
edition. Elsevier, Churcill Livingstone. 2004.p 411-15
10. Cheng LL, Aldrich Em, et al. Spinal Cord Injury. In: Johnson RT, Griffin JW, Mcarthur
JC. Current Therapy in Neurologic Disease. 6th edition. Mosby. 2002.p 238-43.
11. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In. Ropper AH,
Samuel MA, eds. Adams and Victors Principles of Neurology. 9th edition. New York:
McGraw-Hill;2009. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.

Anda mungkin juga menyukai