Anda di halaman 1dari 20

BAB II

Sindroma Ovarium Polikistik


(SOPK)
Polycystic ovary syndrome (PCOS) atau Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) adalah
suatu kelainan endokrin yang paling sering jumpai reproduktif melibatkan 5-10% pada
perempuan usia produktif. Sindrom ini paling banyak diperdebatkan dan menimbulkan pendapatpendapat yang kontroversial dalam bidang Ginekologi Endokrinologi dan Reproduksi oleh
karena gejala-gejala sindrom ini juga beragam dan sangat bervariasi serta penemuan
laboratorium dan radiologi sering dijumpai dalam batas normal sehingga menimbulkan kesulitan
dalam menentukan suatu batasan yang dapat diterima secara umum untuk pemakaian dalam
praktek klinik sehari-hari. Dengan berkembangnya teknologi, fokus penelitian untuk mencari
penyebab SOPK terus berubah dari faktor ovarium, poros hipotalamas-hipofisis-ovarium, hingga
gangguan aktifitas insulin, ketiga faktor ini berinteraksi dalam pengaturan fungsi ovarium
Gambaran klinik dan patologi dari ovarium polikistik atau mikropolikistik pertama kali di
deskripsikan oleh Antonio Vallisneri pada tahun 1721. Tetapi sindroma ini sendiri di perkenalkan
jauh setelah itu oleh Irving Stein dan Michael Leventhal pada tahun 1935 di RS Michael Reese,
Chicago, Amerika serikat, berdasarkan observasi mereka terhadap hubungan antara amenorrhea,
hirsutism dan kegemukan pada wanita yang ovariumnya membesar dengan kista folikel yang
banyak dan penebalan fibrotik dari tunika albuginea dan kortical stroma. Dalam

kenyataan

bahwa gambaran ovarium polikistik juga banyak terdapat pada wanita yang sama sekali normal
dan tidak ada kelainan fenotip ovarium dan endokrin. Inilah yang menjadi alasan mengapa jarang
adanya konsensus tentang kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosa SOPK.
2.1. Definisi dan Phenotip

Sebelum dikeluarkannya kriteria Roterdam 2003, kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa
SOPK adalah Kriteria National Institute of Health (NIH) 1990. Kriteria NIH 1990 mencakup
hiperandrogenisme, oligo-ovulasi dan eksklusi penyakit lain, diagnosis SOPK ditegakkan apabila
ketiga komponen tersebut terpenuhi. Kriteria terbaru Kriteria AE /PCOS sosiety 2009 dimana
untuk mendiagnosa SOPK harus memenuhi kriteria :
1. Hyperandrogenisme (klinik/biologi)
2. disfungsi ovarium(oligoovulasi atau ovarium polikistik)
3. Dengan menyampingkan keainan lain yang terkait
Tetapi kriteria ini masih jarang dipakai.
Definisi yang paling dapat diterima secara internasional pada saat ini seperti yang
diadopsi pada tahun 2003 oleh European Society for Human Reproduction dan Embryology and
the American Society for Reproductive Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM
Rotterdam Consensus.

Gambar 2.1 kriteria SOPK


Dalam konsensus ini diperlukan adanya dua dari tiga kriteria untuk menegakan diagnosa
yaitu :
a) Oligo/anovulation
Siklus menstruasi normal mencerminkan fungsi ovulasi yang normal. Sekitar 60-85% pasien
SOPK memiliki gangguan menstruasi dan jenis yang paling sering adalah oligomenore dan
amenore.
b) Hiperandrogen
Hiperandrogen pada kriteria Rotterdam 2003 mencakup tanda-tanda klinis atau biokimiawi
1. Hiperandrogen klinis : meliputi hirsutism, acne, alopecia (male-pattern balding) dan
virilisasi yang nyata.

Hirsustisme adalah tanda kelebihan androgen yang paling jelas dan merupakan gejala
yang penting pada SOPK, penilaian hirsustisme dilakukan dengan skor Ferriman-Galwey
yang dimodifikasi (mEG).

Gambar 2.2. Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG) untuk penilaian hirsutisme. Setiap area diberikan
skor 0-4 dan penilaian 9 area tersebut dijumlahkan. Skor 15:hirsutisme ringan, skor 16-25: hirsutisme sedang, dan
skor25: hirsutisme berat.

2.

Hiperandrogen biokimiawi
Tanda biokimiawi hiperandrogen adalah peningkatan kadar androgen di sirkulasi.
Androgen terpenting yang biasanya digunakan untuk mendiagnosis adalah testosteron.
Androgen lain yang meningkat mencakup androstenedione, DHEA, DHEA-S, diantara
androgen tersebut yang lebih sensitif untuk mendiagnosis hiperandrogen adalah
testosterone bebas (free T) atau free androgen index (FAI).

c) Gambaran ovarium polikistik


Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG (12 atau lebih folikelfolikel dengan ukuran diameter antara 2-9 mm dan/atau peningkatan volume ovarium (>10 ml).
distribusi folikel dan ekogenitas stroma tidak termasuk dalam kriteria
Syarat pemeriksaan ultrasonografi untuk menilai gambaran ovarium polikistik adalah :
1. Dilakukan oleh operator berpengalaman
2. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara transvaginal terutama pada pasien
obesitas.
3. Pada perempuan dengan menstruasi teratur, pemeriksaan dilakukan pada fase folikuler
awal (hari 3-5). Pada perempuan dengan oligo-/amenore pemeriksaan dapat dilakukan
pada hari manapun atau diantara hari 3-5 setelah progestin-induced withdrawal bleeding.
4. Perhitungan volum ovarium dilakukan dengan rumus 0.5 x panjang x lebar x tebal.
5. Jumlah folikel dihitung pada potongan longitudinal dan anteroposterior. Ukuran folikel
dinyatakan sebagai rata-rata diameter kedua potongan tersebut.

Gambar 2.2. Pengukuran diameter tiga dimensi dari ovarium untuk menghitung volume

Fenotip

HA

PCO

Frekuensi

Frekuensi

Di Italia

(Wiweko)

Frekuensi
(Pangastuti)

Klasik tipe 1

53,9%

30,8%

30,5%

Klasik tipe II

8,9%

4,6%

20%

SOPK berovulasi

28,8%

4,6%

4,8%

SOPK normoandrogenik

8,4%

60%

44,8%

Tabel 2.1. Fenotip SOPK (Hestiantoro, 2013)


Keterangan : A : Anovulasi kronik, HA : Hiperandrogen, PCO : Gambaran ovarium polikistik

Negara

Penulis

Total

A+O+ P

A+O

O+P

A+P

kasus

Taiwan

Hsu

171

51.8

8.8

18.2

21.2

Korea

Chae

166

52,5

13.9

31.3

2.4

USA

Shorf

258

58,1

14.3

14.3

13.2

USA

Welt

418

71,3

1.7

8.6

18.4

France

Dewally

406

60,6

6.7

16.3

16.5

UK

Barber

309

61,8

13.6

24.6

Italy

Belosi

349

73,6

7.5

13.3

5.5

Indonesia

Sumapraja

105

30.5

30.5

44.8

4.8

Total

2178

Tabel 2.2.. Distribusi Fenotip SOPK (Hestiantoro, 2013)

2.2. Gambaran klinik


Gejala SOPK cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon yang menyebabkan
SOPK terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala akan menjadi jelas setelah berat badan

meningkat pesat. Gejala yang timbul dapat bervariasi mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai
gejala seperti infertilitas, anovulasi kronik yang ditandai dengan amenorea, oligomenorea,
gangguan haid atau perdarahan uterus disfungsional, jerawat, hirsutisme atau maskulinisasi, dan
obesitas. Liang dkk menyatakan diantara ketiga kriteria diagnosis SOPK, gambaran ovarium
polikistik adalah kriteria yang paling sering ditemukan mencapai 90% kriteria ini nampaknya
stabil dan tidak berubah dengan seiring bertambahnya usia pasien.

2.3. Etiologi dan patofisiologi


Etiologi dan patofisiologi SOPK sampai saat ini masih belum diketahui. Beberapa faktor
diduga sebagai penyebab :
2.3.1.Genetika
Telah diketahui terdapat hubungan familial pada penderita SOPK, penelitian pada keluarga atau
family studies menunjukan bahwa prevalensi SOPK secara bermakna lebih tinggi 5-10 kali pada
anggota keluarga dibandingkan populasi umum. Dahulu diperkirakan bahwa penurunan SOPK
terjadi secara autosomal dominan atau tertaut- X tetapi hal ini tidak ditunjang dengan bukti yang
kuat, ragamnya kelainan metabolik SPOK memberikan pertanyaan baru, jalur atau kelainan
metabolik manakah yang berperan pada pola penurunan (dasar genetik). Berbagai penelitian
untuk mencari dasar genetik pada SOPK kini berfokus pada gen yang terlibat pada resistensi
insulin dan hiperandrogenisme. Nelson dkk (1999) menemukan bahwa sel teka pasien SOPK
yang dikultur secara in vitro secara persiten mensekresikan testosteron yang lebih banyak di
bandingkan dari perempuan normal, temuan ini menunjang adanya defek instrinsik (genetik).

Gambar 2.2. Patofisiologi SOPK

2.3.2. Dalam rahim, lingkungan dan ras


Walaupun kebanyakan kasus ditransmisikan secara genetik, akan tetapi faktor
lingkungan juga dapat terlibat karena SOPK juga dapat didapatkan dengan adanya eksposur
terhadap androgen yang berlebihan pada saat tertentu dalam masa fertil. Pada masa ini terdapat
peningkatan penemuan tentang hipotesa etiologi yaitu adanya eksposur terhadap androgen
yang berlebihan pada fetus wanita didalam kandungan dapat menyebabkan SOPK. Walaupun
sumber dari kelebihan androgen in utero tidak diketahui, pada hewan percobaan mencit
menunjukan bahwa eksposur pada fetus mencit terhadap kelebihan androgen menunjukan
manifestasi serupa SOPK pada manusia yaitu hipersekresi dan gangguan pulsatilitas LH,
hiperandrogenisme dan resistensi insulin. Escobar-Morreale (2005) membuat model pengaruh
lingkungan dan kehidupan dalam rahim terhadap terjadinya SOPK. Kehamilan yang

mengalami gangguan pada unit feto plasenta akan mengakibatkan pertumbuhan janin
terhambat dan bayi yang kecil untuk masa gestasinya. Bayi-bayi ini mempunyai predisposisi
mengalami resistensi insulin di kemudian hari, terutama jika mereka juga mengalami gaya
hidup yang buruk. Franks (2012), menjelaskan bahwa androgen tersebut sangat mungkin
berasal dari ovarium janin sendiri predisposisi genetik karena androgen dari ibu akan diubah
menjadi estrogen oleh aromatase plasenta.
Pada penelitian mengenai SOPK pada berbagai ras dan etnik ditemukan bahwa prevalensi
SOPK pada berbagai ras tidak berbeda tetapi ras berpengaruh pada manifestasi klinis SOPK
seperti resistensi insulin, obesitas, hiperandrogenisme, dislipidemia. Perbedaaan menifestasi
klinis ini mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan,seperti pola makan, kebiasaan olah raga
dan gaya hidup.

Gambar 4. Hubungan antara obesitas dan hiperandrogenisme pada SOPK

2.3.3. Gangguan fungsi aksis hipotalamus/hipofisis-ovarium


SOPK sering dianggap sebagai lingkaran setan, dapat dimulai dari mana saja dan akan
berakhir pada terjadinya hiperandrogen dan anovulasi.

Terjadi gangguan umpan balik denan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga tidak
pernah terjadi kenaikan cukup adekuat kadar FSH. Kenaikan LH merangsang sintesa androgen
sedangkan peningkatan kadar androstenedion diperifer diubah menjadi estron. Kenaikan kadar
testosteron akan menekan sekresi sex hormone binding protein (SHBG) dihati. Sehingga kadar
testosteron dan estradiol bebas meningkat. Kenaikan kadar estron dan estradiol akan memberi
umpan balik positif terhadap LH, sehingga LH lebih meningkat lagi. Sedangkan kadar FSH
tetap rendah tetapi masih terjadi pertumbuhan folikel sampai stadium antral dengan penampang
kurang lebih 8 mm. Terjadilah penumpukan folikel keci lberjajar ditepi ovarium, tapi tidak
membesar apalagi ovulasi. Pada sisi lain meningkatnya kadar testosteron menyebabkan
hirsustisme dan atresia folikel karena suasana intrafolikuler dominan androgen bukan estrogen.
Belum jelas benar dari mana mula lingkaran yang saling terkait tersebut (Samsulhadi,1999).
Tahun 1970, ilmuwan Yen mengutarakan bahwa peningkatan LH dibandingkan FSH
merupakan karakteristik sindroma ini, sehingga pada saat menemukan morfologi ovarium
polikistik disertai dengan peningkatan rasio LH : FSH dapat digunakan untuk mendiagnosis
sindroma ini (Salehi et al, 2004).

Gambar 2.4. Ovulasi

Pada fisiologis pertumbuhan folikel tahap-tahap awal pertumbuhan folikel pra-antrum


dan pematangan oosit tidak memerlukan stimulasi gonadotropik, namun bantuan hormon
diperlukan untuk membentuk antrum, perkembangan folikel lebih lanjut, dan sekresi estrogen.
Estrogen, FSH, dan LH semuanya diperlukan.pembentukan antrum diinduksi oleh FSH. Baik
FSH maupun estrogen merangsang proliferasi sel-sel granulosa. Baik FSH maupun LH
diperlukan untuk sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel. Baik sel granulosa maupun sel teka
berpartipasi dalam pembentukan estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen memerlukan
sejumlah langkah berurutan, dengan langkah terakhir adalah perubahan androgen menjadi
estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan androgen tetapi kapasitasnya mengubah androgen
menjadi estrogen terbatas. Sel-sel granulosa, dipihak lain mudah mengubah androgen menjadi

estrogen tetapi tidak mampu membuat androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka untuk
merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk
meningkatkan perubahan androgen teka menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah
sudah cukup untuk mendorong perubahan menjadi estrogen ini, kecepatan sekresi estrogen oleh
folikel terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase
folikel. Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat karena
bertambahnya jumlah sel folikel penghasil estrogen.
Bahan dasar yang digunakan untuk biosintesis steroid oleh ovarium adalah kolesterol.
Bukti-bukti menunjukan bahwa kolesterol yang digunakan adalah steroidgenesis di turunkan dari
sirkulasi low density protein (LDL). Awalnya LDL berikatan dengan reseptor membran khusus
yang terletak pada sel steroidogeneik. Lipoprotein yang terikat pada reseptor diinternalisasikan
dalam bentuk vesikel indositosik. Vesikel ini nantinya akan menyatu dengan lisosom dimana
protease dan esterasenya mendegradasi lipoprotein. Pada ovarium kolesterol dan sel amino tidak
teresterfisi (unesterified) dilepaskan untuk digunakan. Kolesterol ditransportasikan ke
mitokondria dan diubah menjadi pregnenolon yang kemudian di pakai dalam alur biosintetik
untuk sintesis androgen, estrogen dan progesteron.
Konversi ke progesteron yang mengandung senyawa C21 melibatkan pregnenolon
sebagai hasil sementara. Senyawa C21 kemudian dapat dikonversi menjadi androgen C19,
dehidroepiendosteron (DHEA) androstenedion, dan testosteron. Produksi steroid pada
perkembangan folikel didasarkan pada teori dua-sel; dua-gonadotropin. Telah diketahui bahwa
sel granulosa bila dikultur mampu mensintesis estrogen dari kolesterol, dan apabila sel granulosa
dan sel teka tersebut dikultur secara bersamaan terdapat peningkatan yang sangat berarti pada
laju biosintesis. Saat ini sudah disepakati bahwa di bawah pengaruh LH sel teka interna

mensintesis dan mensekresi steroid androgenik C19 (andostenedion dan testosteron) dan
kemudian berdifusi dengan membran basalis dan masuk dalam sel granulosa dimana dengan
pengaruh FSH dan induksi enzim aromatase akan mengaromatisasi lingkaran A steroid. Proses
tersebut akan mengkonversi andostenedion menjadi senyawa estrogenik (estron dan estradion).
Oleh karena itu dapat dilihat dilihat bahwa hormon laki-laki dapat memainkan peran langsung
dalam gonad perempuan selain itu diduga bahwa tingkat produksi androgen lokal yang
menginduksi terjadinya atresia folikuler.

Gambar 2.5. Teori dua sel dua gonadotropin pada steroidogenesis


Penyusunanteori dua sel menjelaskan pembentukan estradiol dalam komplek folikel. Menurut
hipotesa ini, LH merangsang sintesis prekusor-prekusor androgenik terutama androstenedion
dan testosteron dalam jumlah sediki pada sel teka. Androgen-androgen ini kemudian berdifusi
menembus membran basalis yang memisahkan sel-sel teka dari sel granulosa. Sebagian

androstenedion dan testosteron akan mencapai cairan antrum sementara sisanya akan diubah
menjadi estradiol oleh sel granulosa, pada ovarium normal, androgen dihasilkan oleh lapisan sel
teka khususnya androstenedion dengan peran partial sebagai prekusor sintesis estrogen oleh selsel granulosa. Dengan demikian androgen dimanfaatkan dengan cara ini sehingga secara tidak
langsung membantu pertumbuhan folikel melalui stimulasi estradiol. Akan tetapi kadar tinggi
testosteron maupun dihidrotestosteron atau peningkatan ratio androgen terhadap estrogen telah
dijumpai pada folikel-folikel yang mengalami atresia, dan kenyataannya ini mengisyaratkan
bahwa adanya inhbisi androgen terhadap perkembangan folikel. Hal tersebut menjelaskan pada
sindroma ovarium ovarium polikistik tidak didapatkan perkembangan folikel normal. Pada
SOPK sel-sel teka akan dirangsang oleh kadar LH sehingga terdapat pembentukan androgen
yang berlebihan, tetapi kadar FSH nya rendah, maka sel-sel granulosa akan mengalami
penurunan kapasitas dalam mengubah androgen-androgen ini menjadi estrogen serta terjadi
anovulasi (Balen,2004).
Mekanisme androgen pada aksis hipotalamo-hipofisis pada manusia masih sedikit
dipahami saat ini. Bila terjadi kenaikan kadar testosteron yang suprafisiologik dalam sirkulasi
darah aakan menginduksi efek umpan balik negatif (negative feed back) dan mengganggu sistim
hipotalamo-hipofisis, dimana androgen akan menghalangi secara selektif efek estrogen pada
pertumbuhan dan perkembangan folikular, kelebihan androgen pada folikular akan mendorong
atresia folikular, bila terjadi kelebihan androgen pada perempuan akan menyerupai efek
fisiologis seperti pada laki-laki sebagai contoh kelebihan androgen pada perempuan dapat
menginduksi pertumbuhan rambut yang berlebihan (hirsustisme), maturasi organ seksual yang
berlebihan berakibat hipertrofi klitoris (clitoromegaly), suara yang semakin berat. Selain itu efek

androgen pada perempuan memiliki konsekuensi metabolik sistemik yang independen terhadap
sistem reproduksi.

Gambar 2. Pembentukan androgen oleh sel-sel teka folikel ovarium

Pada keadaan SOPK dengan kelainan utama anovulasi tampaknya karena kelebihan
produksi androgen di dalam ovarium yang menyebabkan sejumlah besar folikel preovulasi gagal
untuk merespons FSH. Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen yang
nantinya akan dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsif
terhadap stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar dan akan menghasilkan androgen lebih
banyak. Sel-sel teka yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan
sel-sel granulosa tidak aktif dan aktifitas aromatisasinya menjadi minimal. Akibat
ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista dengan diameter
antara 2-6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang, sehingga akan terbentuk folikel-folikel
berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang hiperplastik yang mengalami
luteinisasi sebagai respon peningkatan kadar LH.
Yen dkk mengajukan hipotesa klasik yang di dasarkan atas dua konsep besar yaitu
hiperandrogenism dan resistensi terhadap insulin. Hormon androgen ini mengalami aromatisasi

di jaringan perifer menjadi estrogen, menyebabkan ketidakseimbangan sekresi luteinizing


hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) pada tingkat pituitary yang menyebabkan
hipersekresi endogenous LH. LH ini sangat kuat menstimulasi produksi androgen didalam
ovarium. Insulin seperti juga LH menstimulasi langsung biosintesis hormon steroid di ovarium,
terutama androgen ovarium. Lebih lanjut, insulin menyebabkan menurunnya produksi sex
hormone binding globulin (SHBG) di dalam hati, yang menyebabkan meningkatnya kadar
androgen bebas. Dengan demikian kedua jalur diatas akan menstimulasi theca sel dari ovarium
sehingga terjadi peningkatan produksi androgen dari ovarium yang menyebabkan terganggunya
follikulogenesis, kelainan siklus haid dan oligo/anovulation kronik.

Gambar 2.5.........

Hiperespons pada ovarium dan androgen adrenal pada LH dan kortikotropin menjadi
karakteristik wanita yang mengalami SOPK akibat hasil dari peningkatan stimulasi insulin secara
kronik. Terlihat pada gambar bahwa kombinasi dari peningkatan level androgen dan obesitas
akan meningkatkan aromatisasi ekstraglandular pada jaringan lemak dan menyebabkan
pembentukan estrogen (asiklikestrogen) dalam bentuk estrone meningkat yang berdampak
umpan balik positif terhadap LH dan umpan balik negatif terhadap FSH sehingga kadar LH
meningkat dan kadar FSH menurun dalam plasma. Akibat dari peningkatan kadar LH dalam
plasma akan meningkatkan stimulasi stroma pada sel theca dan

menjadikan androgen

meningkat.
2.3.4. Resistensi insulin
Dalam patogenesis SOPK resistensi insulin mempunyai peran penting. Insulin adalah
hormon yang diperlukan oleh sel untuk mendapatkan energi dari glukosa. Namun kadang-kadang
sel tidak menunjukkan respon yang memadai terhadap aktivitas insulin. Keadaan ini disebut
sebagai resistensi insulin.
Resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar gula darah dan diabetes. Lebih dari 40%
penderita SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin, dan lebih dari 10% diantaranya akan
menderita diabetes melitus tipe 2 saat berusia sekitar 40 tahun. Kadar insulin yang tinggi seperti
ini dapat meningkatkan kadar hormon pria sehingga keluhan SOPK menjadi semakin parah.
Gangguan akibat dari resistensi insulin mengacu pada metabolisme glukosa. Kompensasi akibat
adanya hiperinsulinemia adalah peningkatan kerja insulin dan menyebabkan efek-efek yang
berlebihan pada organ lain termasuk stimulasi sekresi androgen ovarium oleh sel-sel adrenal.
Insulin juga dapat menurunkan produksi sex hormone-binding globulin (SHBG) di hepar.

Gambar 4 Beberapa teori untuk menjelaskan patogenesis SOPK

Pada tahun 1921, Achard dan Thiers pertama kali melaporkan suatu hubungan patofisiologi
antara hyperandrogenism dan metabolisme insulin dalam deskripsi mereka pada diabetes des
femmes barbe (diabetes pada wanita yang berjanggut). Selanjutnya pada tahun 1976, Kahn
dkk mendeskripsikan virilisasi yang signifikan pada gadis-gadis muda dengan resistensi insulin
berat, hal ini mengarahkan pada suatu eksplorasi lebih lanjut tentang sekresi insulin pada wanita
dengan hiperandrogen. Resistensi insulin didefinisikan sebagai penurunan kemampuan insulin
untuk menstimulasi pemasukan glukosa kedalam jaringan target, atau berkurangnya respon
glukosa pada pemberian sejumlah insulin sebagai respon kompensasi terhadap resistensi jaringan
target maka terjadilah hiperinsulinemia. Beberapa mekanisme telah di usulkan untuk
menjelaskan resistensi insulin, termasuk resistensi jaringan perifer target, penurunan
pembersihan di hepar, atau peningkatan sensitivitas pankreas. Penelitian dengan menggunakan
teknik

euglycemic

clamp

mengindikasikan

bahwa

wanita

hyperandrogenik

dengan

hiperinsuliemia mempunyai resistensi insulin perifer dan penurunan rerata pembersihan insulin

yang disebabkan oleh penurunan ekstraksi insulin di hepar. Resistensi insulin perifer pada SOPK
adalah bersifat unik disebabkan kelainan diluar aktifasi dari receptor kinase, yang disebut
sebagai penurunan tyrosine autophosphorylation dari reseptor insulin. Serine residue
phosphorylation yang berlebihan pada reseptor insulin menurunkan transmisi signal, dan hal ini
telah diusulkan untuk menjelaskan juga hyperandrogenism oleh serine phosphorylation pada saat
yang bersamaan dari enzyme P450c17 pada kelenjar adrenal dan ovarium, yang mana dapat
meningkatkan aktifitas 17,20-lyse dan produksi androgen. Resistensi insulin mungkin dapat
dihubung-sebabkan pada aktifitas yang lebih dari cytochrome P450c17, yang merupakan enzyme
kunci utama pada biosintesa androgen di ovarium dan kelenjar adrenal. Insulin sendiri, bekerja
melalui reseptornya, memperlihatkan suatu rangsangan biosintesa androgen pada ovariun dan
kelenjar adrenal, meningkatkan produksi luteinizing hormone (LH)-induced androgen oleh sel
theca sehingga menyebabkan hiperandrogenemia. Perbaikan hiperinsuliemia secara dramatik
akan menurunkan sirkulasi androgen pada kadar yang normal. Hiperinsulinemia mungkin juga
meningkatkan regulasi reseptor insulin-like growth factor-I (IGF-I), yang merupakan suatu
stimulator yang kuat dari sintesa LH-induced androgen, dan meningkatkan bioavailability dari
IGF-I yang disebabkan oleh supresi pada produksi IGF-binding protein I

Gambar 2. Kunci utama dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary
(Dikutip dari Homburg R)

Anda mungkin juga menyukai