Bab Ii
Bab Ii
kenyataan
bahwa gambaran ovarium polikistik juga banyak terdapat pada wanita yang sama sekali normal
dan tidak ada kelainan fenotip ovarium dan endokrin. Inilah yang menjadi alasan mengapa jarang
adanya konsensus tentang kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosa SOPK.
2.1. Definisi dan Phenotip
Sebelum dikeluarkannya kriteria Roterdam 2003, kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa
SOPK adalah Kriteria National Institute of Health (NIH) 1990. Kriteria NIH 1990 mencakup
hiperandrogenisme, oligo-ovulasi dan eksklusi penyakit lain, diagnosis SOPK ditegakkan apabila
ketiga komponen tersebut terpenuhi. Kriteria terbaru Kriteria AE /PCOS sosiety 2009 dimana
untuk mendiagnosa SOPK harus memenuhi kriteria :
1. Hyperandrogenisme (klinik/biologi)
2. disfungsi ovarium(oligoovulasi atau ovarium polikistik)
3. Dengan menyampingkan keainan lain yang terkait
Tetapi kriteria ini masih jarang dipakai.
Definisi yang paling dapat diterima secara internasional pada saat ini seperti yang
diadopsi pada tahun 2003 oleh European Society for Human Reproduction dan Embryology and
the American Society for Reproductive Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM
Rotterdam Consensus.
Hirsustisme adalah tanda kelebihan androgen yang paling jelas dan merupakan gejala
yang penting pada SOPK, penilaian hirsustisme dilakukan dengan skor Ferriman-Galwey
yang dimodifikasi (mEG).
Gambar 2.2. Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG) untuk penilaian hirsutisme. Setiap area diberikan
skor 0-4 dan penilaian 9 area tersebut dijumlahkan. Skor 15:hirsutisme ringan, skor 16-25: hirsutisme sedang, dan
skor25: hirsutisme berat.
2.
Hiperandrogen biokimiawi
Tanda biokimiawi hiperandrogen adalah peningkatan kadar androgen di sirkulasi.
Androgen terpenting yang biasanya digunakan untuk mendiagnosis adalah testosteron.
Androgen lain yang meningkat mencakup androstenedione, DHEA, DHEA-S, diantara
androgen tersebut yang lebih sensitif untuk mendiagnosis hiperandrogen adalah
testosterone bebas (free T) atau free androgen index (FAI).
Gambar 2.2. Pengukuran diameter tiga dimensi dari ovarium untuk menghitung volume
Fenotip
HA
PCO
Frekuensi
Frekuensi
Di Italia
(Wiweko)
Frekuensi
(Pangastuti)
Klasik tipe 1
53,9%
30,8%
30,5%
Klasik tipe II
8,9%
4,6%
20%
SOPK berovulasi
28,8%
4,6%
4,8%
SOPK normoandrogenik
8,4%
60%
44,8%
Negara
Penulis
Total
A+O+ P
A+O
O+P
A+P
kasus
Taiwan
Hsu
171
51.8
8.8
18.2
21.2
Korea
Chae
166
52,5
13.9
31.3
2.4
USA
Shorf
258
58,1
14.3
14.3
13.2
USA
Welt
418
71,3
1.7
8.6
18.4
France
Dewally
406
60,6
6.7
16.3
16.5
UK
Barber
309
61,8
13.6
24.6
Italy
Belosi
349
73,6
7.5
13.3
5.5
Indonesia
Sumapraja
105
30.5
30.5
44.8
4.8
Total
2178
meningkat pesat. Gejala yang timbul dapat bervariasi mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai
gejala seperti infertilitas, anovulasi kronik yang ditandai dengan amenorea, oligomenorea,
gangguan haid atau perdarahan uterus disfungsional, jerawat, hirsutisme atau maskulinisasi, dan
obesitas. Liang dkk menyatakan diantara ketiga kriteria diagnosis SOPK, gambaran ovarium
polikistik adalah kriteria yang paling sering ditemukan mencapai 90% kriteria ini nampaknya
stabil dan tidak berubah dengan seiring bertambahnya usia pasien.
mengalami gangguan pada unit feto plasenta akan mengakibatkan pertumbuhan janin
terhambat dan bayi yang kecil untuk masa gestasinya. Bayi-bayi ini mempunyai predisposisi
mengalami resistensi insulin di kemudian hari, terutama jika mereka juga mengalami gaya
hidup yang buruk. Franks (2012), menjelaskan bahwa androgen tersebut sangat mungkin
berasal dari ovarium janin sendiri predisposisi genetik karena androgen dari ibu akan diubah
menjadi estrogen oleh aromatase plasenta.
Pada penelitian mengenai SOPK pada berbagai ras dan etnik ditemukan bahwa prevalensi
SOPK pada berbagai ras tidak berbeda tetapi ras berpengaruh pada manifestasi klinis SOPK
seperti resistensi insulin, obesitas, hiperandrogenisme, dislipidemia. Perbedaaan menifestasi
klinis ini mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan,seperti pola makan, kebiasaan olah raga
dan gaya hidup.
Terjadi gangguan umpan balik denan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga tidak
pernah terjadi kenaikan cukup adekuat kadar FSH. Kenaikan LH merangsang sintesa androgen
sedangkan peningkatan kadar androstenedion diperifer diubah menjadi estron. Kenaikan kadar
testosteron akan menekan sekresi sex hormone binding protein (SHBG) dihati. Sehingga kadar
testosteron dan estradiol bebas meningkat. Kenaikan kadar estron dan estradiol akan memberi
umpan balik positif terhadap LH, sehingga LH lebih meningkat lagi. Sedangkan kadar FSH
tetap rendah tetapi masih terjadi pertumbuhan folikel sampai stadium antral dengan penampang
kurang lebih 8 mm. Terjadilah penumpukan folikel keci lberjajar ditepi ovarium, tapi tidak
membesar apalagi ovulasi. Pada sisi lain meningkatnya kadar testosteron menyebabkan
hirsustisme dan atresia folikel karena suasana intrafolikuler dominan androgen bukan estrogen.
Belum jelas benar dari mana mula lingkaran yang saling terkait tersebut (Samsulhadi,1999).
Tahun 1970, ilmuwan Yen mengutarakan bahwa peningkatan LH dibandingkan FSH
merupakan karakteristik sindroma ini, sehingga pada saat menemukan morfologi ovarium
polikistik disertai dengan peningkatan rasio LH : FSH dapat digunakan untuk mendiagnosis
sindroma ini (Salehi et al, 2004).
estrogen tetapi tidak mampu membuat androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka untuk
merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk
meningkatkan perubahan androgen teka menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah
sudah cukup untuk mendorong perubahan menjadi estrogen ini, kecepatan sekresi estrogen oleh
folikel terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase
folikel. Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat karena
bertambahnya jumlah sel folikel penghasil estrogen.
Bahan dasar yang digunakan untuk biosintesis steroid oleh ovarium adalah kolesterol.
Bukti-bukti menunjukan bahwa kolesterol yang digunakan adalah steroidgenesis di turunkan dari
sirkulasi low density protein (LDL). Awalnya LDL berikatan dengan reseptor membran khusus
yang terletak pada sel steroidogeneik. Lipoprotein yang terikat pada reseptor diinternalisasikan
dalam bentuk vesikel indositosik. Vesikel ini nantinya akan menyatu dengan lisosom dimana
protease dan esterasenya mendegradasi lipoprotein. Pada ovarium kolesterol dan sel amino tidak
teresterfisi (unesterified) dilepaskan untuk digunakan. Kolesterol ditransportasikan ke
mitokondria dan diubah menjadi pregnenolon yang kemudian di pakai dalam alur biosintetik
untuk sintesis androgen, estrogen dan progesteron.
Konversi ke progesteron yang mengandung senyawa C21 melibatkan pregnenolon
sebagai hasil sementara. Senyawa C21 kemudian dapat dikonversi menjadi androgen C19,
dehidroepiendosteron (DHEA) androstenedion, dan testosteron. Produksi steroid pada
perkembangan folikel didasarkan pada teori dua-sel; dua-gonadotropin. Telah diketahui bahwa
sel granulosa bila dikultur mampu mensintesis estrogen dari kolesterol, dan apabila sel granulosa
dan sel teka tersebut dikultur secara bersamaan terdapat peningkatan yang sangat berarti pada
laju biosintesis. Saat ini sudah disepakati bahwa di bawah pengaruh LH sel teka interna
mensintesis dan mensekresi steroid androgenik C19 (andostenedion dan testosteron) dan
kemudian berdifusi dengan membran basalis dan masuk dalam sel granulosa dimana dengan
pengaruh FSH dan induksi enzim aromatase akan mengaromatisasi lingkaran A steroid. Proses
tersebut akan mengkonversi andostenedion menjadi senyawa estrogenik (estron dan estradion).
Oleh karena itu dapat dilihat dilihat bahwa hormon laki-laki dapat memainkan peran langsung
dalam gonad perempuan selain itu diduga bahwa tingkat produksi androgen lokal yang
menginduksi terjadinya atresia folikuler.
androstenedion dan testosteron akan mencapai cairan antrum sementara sisanya akan diubah
menjadi estradiol oleh sel granulosa, pada ovarium normal, androgen dihasilkan oleh lapisan sel
teka khususnya androstenedion dengan peran partial sebagai prekusor sintesis estrogen oleh selsel granulosa. Dengan demikian androgen dimanfaatkan dengan cara ini sehingga secara tidak
langsung membantu pertumbuhan folikel melalui stimulasi estradiol. Akan tetapi kadar tinggi
testosteron maupun dihidrotestosteron atau peningkatan ratio androgen terhadap estrogen telah
dijumpai pada folikel-folikel yang mengalami atresia, dan kenyataannya ini mengisyaratkan
bahwa adanya inhbisi androgen terhadap perkembangan folikel. Hal tersebut menjelaskan pada
sindroma ovarium ovarium polikistik tidak didapatkan perkembangan folikel normal. Pada
SOPK sel-sel teka akan dirangsang oleh kadar LH sehingga terdapat pembentukan androgen
yang berlebihan, tetapi kadar FSH nya rendah, maka sel-sel granulosa akan mengalami
penurunan kapasitas dalam mengubah androgen-androgen ini menjadi estrogen serta terjadi
anovulasi (Balen,2004).
Mekanisme androgen pada aksis hipotalamo-hipofisis pada manusia masih sedikit
dipahami saat ini. Bila terjadi kenaikan kadar testosteron yang suprafisiologik dalam sirkulasi
darah aakan menginduksi efek umpan balik negatif (negative feed back) dan mengganggu sistim
hipotalamo-hipofisis, dimana androgen akan menghalangi secara selektif efek estrogen pada
pertumbuhan dan perkembangan folikular, kelebihan androgen pada folikular akan mendorong
atresia folikular, bila terjadi kelebihan androgen pada perempuan akan menyerupai efek
fisiologis seperti pada laki-laki sebagai contoh kelebihan androgen pada perempuan dapat
menginduksi pertumbuhan rambut yang berlebihan (hirsustisme), maturasi organ seksual yang
berlebihan berakibat hipertrofi klitoris (clitoromegaly), suara yang semakin berat. Selain itu efek
androgen pada perempuan memiliki konsekuensi metabolik sistemik yang independen terhadap
sistem reproduksi.
Pada keadaan SOPK dengan kelainan utama anovulasi tampaknya karena kelebihan
produksi androgen di dalam ovarium yang menyebabkan sejumlah besar folikel preovulasi gagal
untuk merespons FSH. Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen yang
nantinya akan dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsif
terhadap stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar dan akan menghasilkan androgen lebih
banyak. Sel-sel teka yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan
sel-sel granulosa tidak aktif dan aktifitas aromatisasinya menjadi minimal. Akibat
ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista dengan diameter
antara 2-6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang, sehingga akan terbentuk folikel-folikel
berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang hiperplastik yang mengalami
luteinisasi sebagai respon peningkatan kadar LH.
Yen dkk mengajukan hipotesa klasik yang di dasarkan atas dua konsep besar yaitu
hiperandrogenism dan resistensi terhadap insulin. Hormon androgen ini mengalami aromatisasi
Gambar 2.5.........
Hiperespons pada ovarium dan androgen adrenal pada LH dan kortikotropin menjadi
karakteristik wanita yang mengalami SOPK akibat hasil dari peningkatan stimulasi insulin secara
kronik. Terlihat pada gambar bahwa kombinasi dari peningkatan level androgen dan obesitas
akan meningkatkan aromatisasi ekstraglandular pada jaringan lemak dan menyebabkan
pembentukan estrogen (asiklikestrogen) dalam bentuk estrone meningkat yang berdampak
umpan balik positif terhadap LH dan umpan balik negatif terhadap FSH sehingga kadar LH
meningkat dan kadar FSH menurun dalam plasma. Akibat dari peningkatan kadar LH dalam
plasma akan meningkatkan stimulasi stroma pada sel theca dan
menjadikan androgen
meningkat.
2.3.4. Resistensi insulin
Dalam patogenesis SOPK resistensi insulin mempunyai peran penting. Insulin adalah
hormon yang diperlukan oleh sel untuk mendapatkan energi dari glukosa. Namun kadang-kadang
sel tidak menunjukkan respon yang memadai terhadap aktivitas insulin. Keadaan ini disebut
sebagai resistensi insulin.
Resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar gula darah dan diabetes. Lebih dari 40%
penderita SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin, dan lebih dari 10% diantaranya akan
menderita diabetes melitus tipe 2 saat berusia sekitar 40 tahun. Kadar insulin yang tinggi seperti
ini dapat meningkatkan kadar hormon pria sehingga keluhan SOPK menjadi semakin parah.
Gangguan akibat dari resistensi insulin mengacu pada metabolisme glukosa. Kompensasi akibat
adanya hiperinsulinemia adalah peningkatan kerja insulin dan menyebabkan efek-efek yang
berlebihan pada organ lain termasuk stimulasi sekresi androgen ovarium oleh sel-sel adrenal.
Insulin juga dapat menurunkan produksi sex hormone-binding globulin (SHBG) di hepar.
Pada tahun 1921, Achard dan Thiers pertama kali melaporkan suatu hubungan patofisiologi
antara hyperandrogenism dan metabolisme insulin dalam deskripsi mereka pada diabetes des
femmes barbe (diabetes pada wanita yang berjanggut). Selanjutnya pada tahun 1976, Kahn
dkk mendeskripsikan virilisasi yang signifikan pada gadis-gadis muda dengan resistensi insulin
berat, hal ini mengarahkan pada suatu eksplorasi lebih lanjut tentang sekresi insulin pada wanita
dengan hiperandrogen. Resistensi insulin didefinisikan sebagai penurunan kemampuan insulin
untuk menstimulasi pemasukan glukosa kedalam jaringan target, atau berkurangnya respon
glukosa pada pemberian sejumlah insulin sebagai respon kompensasi terhadap resistensi jaringan
target maka terjadilah hiperinsulinemia. Beberapa mekanisme telah di usulkan untuk
menjelaskan resistensi insulin, termasuk resistensi jaringan perifer target, penurunan
pembersihan di hepar, atau peningkatan sensitivitas pankreas. Penelitian dengan menggunakan
teknik
euglycemic
clamp
mengindikasikan
bahwa
wanita
hyperandrogenik
dengan
hiperinsuliemia mempunyai resistensi insulin perifer dan penurunan rerata pembersihan insulin
yang disebabkan oleh penurunan ekstraksi insulin di hepar. Resistensi insulin perifer pada SOPK
adalah bersifat unik disebabkan kelainan diluar aktifasi dari receptor kinase, yang disebut
sebagai penurunan tyrosine autophosphorylation dari reseptor insulin. Serine residue
phosphorylation yang berlebihan pada reseptor insulin menurunkan transmisi signal, dan hal ini
telah diusulkan untuk menjelaskan juga hyperandrogenism oleh serine phosphorylation pada saat
yang bersamaan dari enzyme P450c17 pada kelenjar adrenal dan ovarium, yang mana dapat
meningkatkan aktifitas 17,20-lyse dan produksi androgen. Resistensi insulin mungkin dapat
dihubung-sebabkan pada aktifitas yang lebih dari cytochrome P450c17, yang merupakan enzyme
kunci utama pada biosintesa androgen di ovarium dan kelenjar adrenal. Insulin sendiri, bekerja
melalui reseptornya, memperlihatkan suatu rangsangan biosintesa androgen pada ovariun dan
kelenjar adrenal, meningkatkan produksi luteinizing hormone (LH)-induced androgen oleh sel
theca sehingga menyebabkan hiperandrogenemia. Perbaikan hiperinsuliemia secara dramatik
akan menurunkan sirkulasi androgen pada kadar yang normal. Hiperinsulinemia mungkin juga
meningkatkan regulasi reseptor insulin-like growth factor-I (IGF-I), yang merupakan suatu
stimulator yang kuat dari sintesa LH-induced androgen, dan meningkatkan bioavailability dari
IGF-I yang disebabkan oleh supresi pada produksi IGF-binding protein I
Gambar 2. Kunci utama dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary
(Dikutip dari Homburg R)