Kelompok 2 :
Amita Winda Ayu
Dhea Rahmanisa
Herdiyan nor
Masnah Mahardika
Muhammad Riza F
Nurwahyuni Octafia
Rosella Puji Astuti
BAB I
PENDAHULUAN
Akut abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan
darurat dalam abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan
pembedahan. Keadaan darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena perdarahan, peradangan,
perforasi atau obstruksi pada alat pencemaan. Peradangan bisa primer karena peradangan alat
pencernaan seperti pada apendisitis atau sekunder melalui suatu peritonitis karena perforasi
tukak lambung, perforasi dari Payers patch,pada typhus abdominalis atau perforasi akibat
trauma (Dombal and Margulies, 1996).
Akut abdomen meliputi 20-40% dari pasien rawat inap, dan 50-65% dari kasus akut
abdomen tidak memiliki diagnosis awal yang akurat (Dombal and Margulies, 1996). Dalam
sebuah penelitian, diperoleh data bahwa penyebab terbanyak akut abdomen adalah nyeri
abdomen non spesifik (33,0%), diikuti dengan apendisitis akut (23,3%) dan kolik bilier (8,8%).
Nyeri abdomen non spesifik banyak terdapat pada wanita muda, sedangkan apendisitis akut
banyak pada pria muda, dan kolik bilier pada wanita tua. Hampir separuh kasus akut abdomen
memerlukan tindakan operatif (Miettinen, et al, 1996).
Pada akut abdomen, apapun penyebabnya, gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut
pada daerah abdomen. Kadang-kadang penyebab utama sudah jelas seperti pada trauma abdomen
berupa vulnus abdominis penetrans namun kadang-kadang diagnosis akut abdomen baru dapat
ditegakkan setelah pemeriksaan fisik serta pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan
laboratorium serta pemeriksaan radiologi yang lengkap dan masa observasi yang ketat (Dombal
and Margulies, 1996).
Pasien akut abdomen dapat jatuh pada kondisi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu,
dalam penanganannya diperlukan diagnosis awal, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan
yang tepat.
BAB II
AKUT ABDOMEN
2.1 Definisi dan Epidemiologi
Istilah akut abdomen merupakan tanda dan gejala yang disebabkan penyakit intra
abdominal dengan nyeri sebagai keluhan utama, timbul mendadak, dan biasanya membutuhkan
terapi pembedahan. Banyak penyakit yang menimbulkan gejala di perut, beberapa di antaranya
tidak memerlukan terapi pembedahan, sehingga evaluasi pasien dengan nyeri abdomen harus
cermat. Manajemen yang benar dari pasien dengan akut abdomen memerlukan keputusan yang
tepat terkait dengan waktu tentang perlunya untuk melakukan operasi pembedahan. Keputusan
ini membutuhkan evaluasi dari riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, data laboratorium, dan tes
pencitraan. Sindrom acute abdominal pain menyebabkan sejumlah besar kunjungan ke rumah
sakit dan dapat terjadi pada mereka yang sangat muda, sangat tua, laki-laki maupun perempuan,
dan semua tingkatan sosioekonomi (Brewer BJ, Golden GT,1999).
Semua pasien dengan nyeri abdomen harus menjalani evaluasi untuk menegakkan
diagnosis sehingga pengobatan tepat waktu dan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Kasus abdominal pain tercatat 5% sampai 10% dari semua kunjungan gawat darurat atau 5
sampai 10 juta pasien di Amerika Serikat (Graff LG, Robinson D, 2001).
Studi lain menunjukkan bahwa 25% dari pasien yang datang ke gawat darurat mengeluh
nyeri perut (Cordell WH et all, 2002).
Diagnosis bervariasi sesuai untuk kelompok usia, yaitu anak dan geriatri. Sebagai contoh
nyeri perut pada anak-anak lebih sering disebabkan oleh apendisitis , sedangkan penyakit
empedu, usus diverticulitis, dan infark usus lebih umum terjadi pada bayi (Graff LG, Robinson
D, 2001).
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Perkembangan dari anatomi rongga perut dan organ-organ visera mempengaruhi
manifestasi, patogenesis dan klinis dari penyakit abdominal peritoneum dan persarafan sensoris
viseral sangat penting untuk evaluasi acute abdominal disease (Gray SW, 1997).
Setelah 3 minggu perkembangan janin, usus primitif terbagi menjadi foregut, midgut,
dan hindgut. Arteri mesenterika superior menyuplai dari ke midgut (bagian keempat duodenum
sampai midtransversal kolon). Foregut meliputi faring, esofagus, lambung, dan proksimal
duodenum, sedangkan hindgut terdiri dari kolon distal dan rektum. Serabut aferen yang
menyertai suplai vaskuler memberikan persarafan sensoris pada usus dan terkait peritoneum
viseral.
Sehingga,
aferen celiac
penyakit
axismenghasilkan
pada
proksimal
nyeri
epigastrium.
Rangsangan
di
sekum
serabut
atau
apendiks (midgut) mengaktifkan saraf aferen yang menyertai arteri mesenterika superior
menyebabkan rasa nyeri di periumbilikalis, dan penyakit kolon distal menginduksi serabut saraf
aferen sekitar arteri mesenterika inferior menyebabkan nyeri suprapubik. Saraf prenikus dan
serabut saraf aferen setinggi C3, C4, dan C5 sesuai dermatom bersama-sama dengan arteri
prenikus mempersarafi otot-otot diafragma dan peritoneum sekitar diafragma. Rangsangan pada
diafragma menyebabkan nyeri yang menjalar ke bahu. Peritoneum parietalis, dinding abdomen,
dan jaringan lunak retroperitoneal menerima persarafan somatik sesuai dengan segmen nerve
roots.(Diethelm et al,1997).
Peritoneum parietalis kaya akan inervasi saraf sehingga sensitif terhadap rangsangan.
Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal akan menghasilkan sensasi yang tajam dan
terlokalisir di area stimulus. Ketika peradangan pada viseral mengiritasi pada peritoneum
parietal maka akan timbul nyeri yang terlokalisir. Banyak peritoneal signs yang berguna
dalam diagnosis klinis dari acute abdominal pain. Inervasi dual-sensorik dari kavum abdomen
yaitu serabut aferen viseral dan saraf somatik menghasilkan pola nyeri yang khas yang
membantu dalam diagnosis. Misalnya, nyeri pada apendisitis akut nyeri akan muncul pada area
periumbilikalis dan nyeri akan semakin jelas terlokalisir ke kuadran kanan bawah saat
peradangan melibatkan peritoneum parietal. Stimulasi pada saraf perifer akan menghasilkan
sensasi yang tajam, tiba-tiba, dan terlokalisir dengan baik. Rangsangan pada saraf sensorik
aferen intraperitoneal pada acute abdominal pain menimbulkan nyeri yang tumpul (tidak jelas
pusat nyerinya), nyeri tidak terlokalisasi dengan baik, dengan onset gradual/ bertahap dan durasi
yang lebih lama. Nervus vagus tidak mengirimkan impuls nyeri dari usus.
Sistem saraf aferen simpatik mengirimkan nyeri dari esofagus ke spinal cord. Saraf
aferen dari kapsul hepar, ligamen hepar, bagian central dari diafragma, kapsul lien, dan
perikardium memasuki sistem saraf pusat dari C3 sampai C5. Spinal cord dari T6 sampai T9
menerima serabut nyeri dari bagian diafragma perifer, kantong empedu, pankreas, dan usus
halus. Serabut nyeri dari colon, appendik, dan visera dari pelvis memasuki sistem saraf pusat
pada segmen T10 sampai L11. Kolon sigmoid, rektum, pelvic renalis beserta kapsulnya, ureter
dan testis memasuki sistem saraf pusat pada T11 dan L1. Kandung kemih dan kolon
rektosigmoid dipersarafi saraf aferen dari S2 sampai S4. Pemotongan, robek, hancur, atau
terbakar biasanya tidak menghasilkan nyeri di visera pada abdomen. Namun, peregangan atau
distensi dari peritoneum akan menghasilkan sensasi nyeri. Peradangan peritoneum akan
menghasilkan nyeri viseral, seperti halnya iskemia. Kanker dapat menyebabkan intraabdominal
pain jika mengenai saraf sensorik.
Abdominal pain dapat berupa viseral pain, parietal pain, atau reffered pain. Visceral
pain bersifat tumpul dan kurang terlokalisir dengan baik, biasanya di epigastrium, regio
periumbilikalis atau regio suprapubik. Pasien dengan nyeri viseral mungkin juga mengalami
gejala berkeringat, gelisah, dan mual. Nyeri parietal atau nyeri somatik yang terkait dengan
gangguan intraabdominal akan menyebabkan nyeri yang lebih inten dan terlokalisir dengan
baik. Referred pain merupakan sensasi nyeri dirasakan jauh dari lokasi sumber stimulus yang
sebenarnya. Misalnya, iritasi pada diafragma dapat menghasilkan rasa sakit di bahu. Penyakit
saluran
empedu
atau
kantong
empedu
dapat
menghasilkan
nyeri
bahu.
Distensi dari small bowel dapat menghasilkan rasa sakit ke bagian punggung bawah.
Selama minggu ke-5 perkembangan janin, usus berkembang diluar rongga peritoneal,
menonjol melalui dasar umbilical cord, dan mengalami rotasi 180 berlawanan dengan arah
jarum jam. Selama proses ini, usus tetap berada di luar rongga peritoneal sampai kira-kira
minggu 10, rotasi embryologik menempatkan organ-oragan visera pada posisi anatomis dewasa,
dan pengetahuan tentang proses rotasi semasa embriologis penting secara klinis untuk evaluasi
pasien dengan acute abdominal pain karena variasi dalam posisi ( misalnya, pelvic atau
retrocecal appendix) (Buschard K, Kjaeldgaard A,1993).
nyeri
di
sekitar
umbilikus.
Bagian
saluran
cerna
yang
lainnya
adalah hindgut yaitu pertengahan kolon transversum sampai dengan kolon sigmoid yang
menimbulkan nyeri pada bagian perut bawah. Jika tidak disertai dengan rangsangan
peritoneum nyeri tidak dipengaruhi oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif
bergerak(Sjamsuhidajat , dkk., 2004).
e.) Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan pada rongga
di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering ditemukan pada peritonitis setempat maupun
peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat terangsangnya
peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat lokasi nyerinya, dan pada tempat
itu terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan
defans muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri yang timbul pada pasien
akut abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
f.) Nyeri kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus menerus karena
berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat pemeriksaan penderita
peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskuler
secara refleks untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat (Sjamsuhidaja, dkk., 2004).
g.) Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan biasanya
diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus, batu ureter, batu
empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami
oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul
(Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam serangan, penderita sangat
gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut yang hilang timbul
mual atau muntah dan gerak paksa.
h.) Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan tidak
mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis. Lebih lanjut akan
tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok karena
resorbsi toksin dari jaringan nekrosis.
i.) Nyeri pindah
Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya pada tahap awal
appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan peritoneum, nyeri viseral dirasakan di
sekitar pusat disertai rasa mual. Setelah radang mencapai diseluruh dinding termasuk
peritoneum viserale, terjadi nyeri akibat rangsangan yang merupakan nyeri somatik. Nyeri
pada saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang meradang, yaitu perut kuadran kanan
bawah. Jika appendiks mengalami nekrosis dan ganggren nyeri berubah lagi menjadi nyeri
yang hebat menetap dan tidak mereda. Penderita dapat jatuh pada keadaan yang toksis.
Pada perforasi tukak peptikduodenum, isi duodenum yang terdiri dari cairan asam garam
empedu masuk ke rongga abdomen sehingga merangsang peritoneum setempat. Pasien akan
merasakan nyeri pada bagian epigastrium. Setelah beberapa saat cairan duodenum mengalir
ke kanan bawah, melalui jalan di sebelah lateral kolon ascendens sampai sekitar caecum.
Nyeri akan berkurang karena terjadi pengenceran. Pasien sering mengeluh nyeri berpindah
dari ulu hati pindah ke kanan bawah.proses ini berbeda dengan yang terjadi pada appendisitis
akut. Akan tetapi kedua keadaan ini, appendisitis akut maupun perforasi duodeum akan
mengakibatkan general peritonitis jika tidak segera ditangani dengan baik.
b. Permulaan nyeri dan intensitas nyeri
Bagaimana bermulanya nyeri pada akut abdomen dapat menggambarkan sumber nyeri.
Nyeri dapat tiba-tiba hebat atau secara cepat berubah menjadi hebat, tetapi dapat pula bertahap
menjadi semakin nyeri. Misalnya pada perforasi organ berongga, rangsangan peritoneum
akibat zat kimia akan dirasakan lebih cepat dibandingkan proses inflamasi. Demikian juga
intensitas nyerinya. Sesorang yang sehat dapat pula tiba-tiba langsung merasakan nyeri perut
hebat yang disebabkan oleh adanya sumbatan, perforasi atau pluntiran. Nyeri yang bertahap
biasanya disebabkan oleh proses radang, misalnya pada kolesistitis atau pankreatitis.
c. Posisi pasien
Posisi pasien dalam mengurangi nyeri dapat menjadi petunjuk. Pada pankreatitis akut
pasien akan berbaring ke sebelah kiri dengan fleksi pada tulang belakang, panggul dan lutut.
Kadang penderita akan duduk bungkuk dengan fleksi sendi panggul dan lutut. Pasien dengan
abses hati biasanya berjalan sedikit membungkuk dengan menekan daerah perut bagian atas
seakan-akan menggendong absesnya.
Appendisitis akut yang letaknya retrosaekum mendorong penderitanya untuk berbaring
dengan fleksi pada sendi panggul sehingga melemaskan otot psoas yang teriritasi. Gawat perut
yang menyebabkan diafragma teritasi akan menyebabkan pasien lebih nyaman pada posisi
setengah duduk yang memudahkan bernafas. Penderita pada peritonitis lokal maupun umum
tidak dapat bergerak karena nyeri, sedangkan pasien dengan kolik terpaksa bergerak karena
nyerinya (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
g. Bartomier-Michelsons sign
Nyeri bertambah saat palpasi di right iliac region ketika pasien berbaring pada salah satu sisi
tubuhnya dibandingkan saat pasien berada pada posisi terlentang.
h. Aure-Rozanovas sign
Nyeri bertambah pada palpasi dengan jari di right Petit triangle (bisa menjadi tanda positif
Shchetkin-Bloombergs sign). Khas untuk posisi appendix retrocecal.
i. Blumberg sign
Juga disebut sebagai nyeri rebound. Palpasi mendalam visera atas appendix meradang diduga
diikuti dengan pelepasan tiba-tiba tekanan menyebabkan nyeri menunjukkan tanda Blumberg
positif dan peritonitis.
j. McBurney sign
Tenderness pada 2/3 jarak antara umbilikus dan spina iliaka anterior superior.
k. Murphy sign
Selama inspirasi, isi perut didorong ke bawah karena diafragma bergerak turun (dan paru-paru
membesar). Jika pasien berhenti bernapas (kantong empedu empuk dan bergerak ke bawah,
ada kontak dengan jari-jari pemeriksa) dan mengernyit dengan menangkap napas, tes ini
dianggap positif. Sebuah tes positif juga tidak memerlukan rasa sakit pada melakukan
manuver di sisi kiri pasien.
l. Cullen sign
Perubahan warna kebiruan periumbilikalis.
m. Grey-Turner sign
Perubahan warna pada area flank.
n. Kehr sign
Nyeri berat pada bahu kiri.
o. Chandelier sign
Manipulasi cervix menyebabkan pasien mengangkat panggulnya.
2.4 Penyebab
2.4.1 Penyebab Utama
Berikut adalah daftar beberapa kondisi yang mendasari akut abdomen yang sering terlihat dalam
komunitas (Kavanagh, 2004) :
1.
Acute cholecystitis.
2.
3.
Acute pancreatitis.
4.
Ectopic pregnancy.
5.
Diverticulitis.
6.
7.
8.
9.
Gastroenteritis.
Right hypochondriac
Epigastric
Left hypocondriac
Pancreatitis
Cholecystitis
Gastritis
Biliary colic
Pepti colic
Hepatitis
Myocardial infarction
Right lumbar
Umbilical
Left lumbar
Renal colic
Renal colic
Appendicitis
Intestinal ischaemia
Aortic aneurysm
Gastroenteritis
Crohns disease
Right iliac
Hypogastric
Left Iliac
Appendicitis
Cystitis
Sigmoid diverticulitis
Crohns disease
Urinary Retention
Dysmenorrhea
Endometriosis
2.5 Diagnosis
A. Anamnesis
Dalam anamnesis penderita akut abdomen, perlu ditanyakan dahulu permulaan nyerinya (kapan
mulai, mendadak atau berangsur). Nyeri yang berangsur saat permulaan dan bertambah berat
disebabkan karena proses peradangan yang mendasarinya. Dari letaknya (menetap, berpindah)
dapat diperkirakan penyakit yang mendasarinya sesuai dengan asal organ pada masa embrional
atau sesuai dengan regio abdomen di mana organ itu berada. Nyeri yang terlokalisasi di suatu
tempat dan hilang timbul disebabkan kolik dari organ berlumen. Keparahannya dan sifatnya
(seperti ditusuk, tekanan, terbakar, irisan atau bersifat kolik), seseorang yang sehat kemudian
menderita nyeri perut yang hebat disebabkan oleh adanya sumbatan, perforasi, atau puntiran.
Perubahan nyeri (bandingkan dengan permulannya) sesuai dengan perkembangan patologi dari
penyekit yang mendasarinya. Misalnya pada tahap awal appendisitis, sebelum radang mencapai
permukaan peritoneum, nyeri viseral dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual. Setelah radang
mencapai diseluruh dinding termasuk peritoneum viserale, terjadi nyeri akibat rangsangan yang
merupakan nyeri somatik. Nyeri pada saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang meradang,
yaitu perut kuadran kanan bawah. Lama nyeri bisa memberikan gambaran apakah termasuk akut,
subakut, atau kronis. Dan faktor yang mempengaruhinya seperti memperingan atau memperberat
nyeri, misalnya sikap tubuh, makanan, minuman, nafas dalam, batuk, bersin, defekasi, dan miksi.
Posisi pasien dalam mengurangi nyeri dapat menjadi petunjuk. Pada pankreatitis akut pasien
akan berbaring ke sebelah kiri dengan fleksi pada tulang belakang, panggul dan lutut. Kadang
penderita akan duduk bungkuk dengan fleksi sendi panggul dan lutut. Pasien dengan abses hati
biasanya berjalan sedikit membungkuk dengan menekan daerah perut bagian atas seakan-akan
menggendong absesnya. Appendisitis akut yang letaknya retrosaekum mendorong penderitanya
untuk berbaring dengan fleksi pada sendi panggul sehingga melemaskan otot psoas yang
teriritasi. Gawat perut yang menyebabkan diafragma teritasi akan menyebabkan pasien lebih
nyaman pada posisi setengah duduk yang memudahkan bernafas. Penderita pada peritonitis lokal
maupun umum tidak dapat bergerak karena nyeri, sedangkan pasien dengan kolik terpaksa
bergerak karena nyerinya (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Muntah sering didapatkan pada pasien akut abdomen. Pada obstruksi usus tinggi, muntah tidak
akan berhenti dan bertambah berat. Konstipasi didapatkan pada obstruksi usus besar dan pada
peritonitis umum. Nyeri tekan didapatkan pada iritasi peritoneum. Jika ada radang peritoneum
setempat ditemukan tanda rangsang peritoneum yang sering disertai defans muskuler. Pertanyaan
mengenai defekasi, miksi daur haid, dan gejala lain seperti keadaan sebelum serangan akut
abdomen harus dimasukkan dalam anamnesis (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum, wajah, denyut nadi, pernafasan, suhu
badan dan sikap berbaring. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok dan infeksi atau sepsis
juga perlu diperhatikan. Pada pemeriksaan perut inspeksi merupakan bagian yang penting.
Auskultasi dilakukan sebelum perkusi dan palpasi. Lipat paha dan tempat hernia lain diperiksa
secara khusus. Umumnya diperlukan colok dubur untuk membantu penegakan diagnosis.
Pemeriksaan perut yang sukar dicapai seperti daerah retoperitoneal, regio subfrenik dan panggul
dapat dicapai secara tidak langsung dengan uji tertentu. Dengan uji iliopsoas diperoleh informasi
mengenai regio retroperitoneal, dengan uji obturator diperoleh informasi mengenai panggul dan
dengan perkusi tinju didapat informasi dari subfrenik. Dengan menarik testis ke arah kaudal
dapat dicapai daerah dasar panggul.
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum douglas kurang memberikan informasi pada
peritonitis murni, nyeri pada satu sisi menunjukan kelainan di daerah panggul. Colok dubur
dapat membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus karena pada paralisis dijumpai
ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampulanya kolaps. Pemeriksaan
vagina menambah informasi kemungkinan kelainan di organ ginekologis (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).
Pemeriksaan fisik meluputi inspeksi auskultasi perkusi dan palpasi. Tanda-tanda khusus pada
trauma daerah abdomen adalah penderita kesakitan. Pernafasan dangkal karena nyeri didaerah
abdomen. Penderita pucat, keringat dingin. Bekas-bekas trauma pada dinding abdomen, memar,
luka, prolaps omentum atau usus. Kadang-kadang pada trauma tumpul abdomen sukar
ditemukan tanda-tanda khusus, maka harus dilakukan pemeriksaan berulang oleh dokter yang
sama untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perubahan pada pemeriksaan fisik. Pada ileus
obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksinya letak rendah, dan bila orangnya kurus
kadang-kadang terlihat peristalsis usus (Darm-steifung).
Palpasi pada kasus akut abdomen memberikan rangsangan peritoneum melalui peradangan atau
iritasi peritoneum secara lokal atau umum tergantung dari luasnya daerah yang terkena iritasi.
Palpasi akan menunjukkan 2 gejala yaitu nyeri dan muscular rigidity/ defense musculaire. Nyeri
yang memang sudah dan akan bertambah saat palpasi sehingga dikenal gejala nyeri tekan dan
nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul rasa nyeri di daerah peradangan dan daerah
penekanan dinding abdomen. Defense musculaire/ muscular rigidity ditimbulkan karena rasa
nyeri peritonitis diffusa dan rangsangan palpasi bertambah sehingga terjadi defense musculaire.
Perkusi pada akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal yaitu perasaan nyeri oleh ketokan jari yang
disebut sebagai nyeri ketok dan bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi usus yang
berisikan gas karena ileus obstruksi letak rendah. Auskultasi tidak memberikan gejala karena
pada akut abdomen. Pemeriksaan rectal toucher atau perabaan rektum dengan jari telunjuk juga
merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya trauma rektum atau keadaan ampulla
recti apakah berisi faeces atau teraba tumor (Sjamsuhidajat et all, 2004).
C. Pemeriksaan Penunjang
Setelah data-data pemeriksaan fisik terkumpul diperlukan juga pemeriksaan tambahan berupa
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line
data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit.
Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak terutama pada kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang
meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus.
Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar. Pemeriksaan urine
rutin menunjukkan adanya trauma pads saluran kemih bila dijumpai hematuria. Urin yang jernih
belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital. Pemeriksaan radiologi
foto thorak Selalu harus diusahakan pembuatan foto thorak dalam posisi tegak untuk
menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks atau trauma pads thoraks. Harus juga diperhatikan
adanya udara bebas di bawah diafragma atau adanya gambaran usus dalam rongga thoraks pada
hernia diafragmatika.
Plain abdomen akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas
retroperitoneal dekat duodenum, corpus alienum, perubahan gambaran usus. Intravenous
Pyelogram karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada
ginjal. Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan Bereuna sebagai pemeriksaan tambahan pada
penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
Pemeriksaan khusus abdominal paracentesis Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat
berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000
eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi. Pemeriksaan
laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber
penyebabnya. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rektosigmoidoskopi.
Pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada
trauma abdomen. Dari data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
tambahan dan pemeriksaan khusus dapat diadakan analisis data untuk memperoleh diagnosis
kerja dan masalah-masalah sampingan yang perlu diperhatikan. Dengan demikian dapat
ditentukan tujuan pengobatan bagi penderita dan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencapai tujuan pengobatan (Sjamsuhidajat et all, 2004).
2.6 Manajemen
Keputusan untuk melakukan tindak bedah pada akut abdomen sangat bergantung pada diagnosis.
Jika sulit ditentukan apakah diperlukan operasi atau tidak, sebaiknya pasien dipantau dengan
seksama dan berulang-ulang diperiksa kembali. Sementara itu, saluran cerna diistirahatkan
dengan memuaskan pasien, dekompresi lambung dengan pemasangan pipa lambung, dan
pemberian infus. Hampir semua kelainan akut abdomen memerlukan pembedahan untuk
mengatasi penyebabnya. Beberapa keadaan seperti kolesistitis akut, pankreatitis akut, atau
radang panggul pada tahap tertentu dapat ditanggulangi tanpa pembedahan.
Tanda dan hasil pemeriksaan yang memerlukan pertimbagan dilakukan laparotomi eksplorasi
diantaranya :
1. Pemeriksaan fisik
Massa yang nyeri, khususnya jika disertai suhu tinggi atau hipotensi
Tanda sepsis seperti panas tinggi, takikardi, takipneu, leukositosis, perubahan mental
2. Pemeriksaan radiologik
Pneumoperitoneum
a. Appendisitis akut
Appendectomy tetap-satunya terapi kuratif radang appendix, tetapi manajemen pasien dengan
massa appendiceal biasanya dapat dibagi menjadi 3 kategori berikut pengobatan:
Pasien dengan phlegmon atau abses kecil: Setelah intravena (IV) terapi antibiotik,
appendectomy interval dapat dilakukan 4-6 minggu kemudian.
Pasien dengan abses yang didefinisikan dengan baik yang lebih besar: Setelah drainase
perkutan dengan antibiotik IV dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan kateter di
tempat. Appendectomy interval dapat dilakukan setelah fistula ditutup.
Meskipun ada banyak kontroversi atas manajemen nonoperative apendisitis akut, antibiotik
memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan kondisi ini. Antibiotik
dipertimbangkan untuk pasien dengan appendisitis harus memiliki jangkauan penuh aerobik
dan anaerobik. Durasi administrasi terkait erat dengan tahap appendisitis pada saat diagnosis,
baik mempertimbangkan temuan intraoperatif atau evolusi pasca operasi. Menurut beberapa
penelitian, profilaksis antibiotik harus diberikan sebelum setiap appendectomy. Ketika pasien
menjadi afebris dan sel darah putih (WBC) count normal, pengobatan antibiotik dapat
dihentikan. Cefotetan dan Cefoxitin tampaknya menjadi pilihan terbaik dari antibiotik (Craig,
2011).
b. Kolik Bilier
Terapi utama kolik bilier adalah menggunakan analgesic kuat seperti diklofenak 350 mg atau
ibuprofen. Walaupun secara teoritis pemberian analgesic opioid seperti morfin dapat
meningkatkan nyeri karena menyebabkan spasme otot sphincter Odii, pemberian opioid
sangat efektif dalam menghilangkan nyeri pada kondisi akut. Pada kasus berat, pasien harus
rawat inap, diberi analgesic intravena dan cairan untuk menggantikan kehilangan melalui
muntah.
Terapi definitive batu empedu termasuk:
Menggunakan terapi oral untuk melarutkan garam empedu dan mengeluarkan batu,
sepertiursodeoxycholic acid (UDCA), bila operasi dianggap tidak aman. Terapi ini dapat
juga digunakan sebelum operasi.
Menggunakan teknik keyhole untuk membuka sphincter Odii dan mengambil batu, atau
mengalirkan batu keluar dengan endoscopic retrograde
choliangiopancreatography (ERCP). Bila terdapat striktur atau penyempitan saluran
empedu, dapat dilakukan sphincterotomi.
c. Crohns disease
Tujuan utama dari pengobatan penyakit Crohn adalah mencapai kondisi klinis, laboratoris,
dan histologis sebaik mungkin dengan menekan respon inflamasi. Pada anak-anak juga
diperhatikan bagaimana cara agar pasien mendapat nutrisi yang adekuat untuk pertumbuhan.
Terapi diberikan secara bertahap. Pasien dengan kondisi ringan diobati dengan aminosalicylic
acid (5-ASA), antibiotik, dan terapi nutrisi. Bila tidak ada respon atau bila kondisi semakin
memburuk maka dapat diberikan kortikosteroid dan terapi imunomudalsi dengan 6mercaptopurine (6-MP; Purinethol) atau methotrexate (Folex PFS, Rheumatrex). Tindakan
operasi memainkan peran penting dalam mengontrol gejala dan mengobati komplikasi
penyakit Crohn (DHaens, 2008).
d. Sistitis
Pada sistitis tanpa komplikasi dapat diberikan antibiotik Cotrimoksasol 2 x 1, Ciprofloksasin
2 x 1, selama 5 hari terapi. Karena keadaan nyeri yang sangat menganggu karena kontraksi
buli buli dapat diberikan antispasmodik seperti papaverin, atau hyoscine butil-bromide.
Jika nyeri tidak teratasi dapat diberikan analgetik. Pasien disarankan banyak minum, jangan
minum alkohol, kopi, soda, yang menyebabkan iritasi pada buli buli (Tessy, 2003).
e. Retensi Urin
Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar, penatalaksanaan ditetapkan
berdasarkan masalah yang berkaitan dengan penyebab retensi urinnya. Pilihannya adalah :
1. Kateterisasi
rendah disarankan selama serangan akut diverticulitis sehingga dapat mengurangi jumlah yang
dikeluarkan melalui kolon yang dapat memperparah diverticulitis. Pada diverticulitis berat
dengan demam tinggi dan nyeri, pasien dirawat inap dan diberi antibiotic intravena.
Operasi dilakukan pada:
Pasien dengan obstruksi usus persisten dan abses yang tidak berespon pada antibiotic.
Operasi biasanya dilakukan dengan drainase pus dan reseksi segmen kolon yang
mengandung divertkulum, biasanya kolon sigmoid.
Komplikasi divertikulum pada kandung kemih, seperti infeksi saluran kemih berulang
dan keluarnya gas usus selama urinasi.
monoterapi memberikan hasil yang baik hingga 70%. Perawatan di rumah sakit atau dengan
isolasi diperlukan apabila penderita mengalami komplikasi dari hepatitis ini.
Ter a p i s u p o r t i f d i l a k u k a n d e n g a n p e m b a t a s a n a k t i v i t a s , p e m b e r i a n
makanan terutama harus
Ursedeoksikolikasid (UDCA)
Kolestasis berkepanjangan diberi vitamin larut dalam lemak dan terapi simptomatis untuk
menghilangkan rasa gatal yaitu kolestiramin.
Minum banyak
Antibiotika
Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya di bagi 2 :
Penatalaksanaan Umum
Pemberian Oksigen
Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C, takikardi atau kelainan jantung.
Dalam
pemberian
antibiotika
pada
penderita
pneumonia
sebaiknya
berdasarkan
mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan :
Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan pemberian
antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.
Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena
itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiric. Pewarnaan gram sebaiknya dilakukan.
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotic, yang cukup manjur mengatasi pneumonia oleh
bakteri., mikoplasma, dan beberapa kasus ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di
rumah. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa pengaturan
pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pada pasien yang
berusia pertengahan, diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan kondisi tubuh.
Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia mikoplasma akan letih lesu dalam waktu
yang panjang.
m. Gastroenteritis
Gastroenteritis terjadi secara akut dan dapat sembuh dengan sendirinya tanpa membutuhkan
terapi farmakologi.Terapi objektif adalah mengganti kehilangan cairan dan elektrolit.
Rehidrasi oral pada anak lebih dipilih dengan dehidrasi ringan sampai sedang.
Metoclopramide dan ondansentron dapat sangat berguna pada anak
1. Rehidrasi
Terapi primer gastroenteritis pada anak dan dewasa adalah rehidrasi yaitu mengganti
kehilangan air dan elektrolit. Hal ini dapat dicapai dengan terapi rehidrasi oral (oral
rehydration terapi/ORT), tetapi pemberian intravena diperlukan jika terdapat penurunan
kesadaran atau terdapat gangguan motilitas dari traktus gastrointestinal.21,22 Terapi rehidrasi
dengan karbohidrat kompleks yang terbuat dari gandum atau beras bisa lebih dibanding
dengan karbohidrat sederhana.Minuman bergula seperti softdrink dan jus buah tidak
direkomendasikan pada anak kurang dari 5 tahun karena dapat memperparah diare.Air putih
dapat digunakan apabila rehidrasi dengan karbohidrat sederhana tidak tersedia.
1. Medikasi
2.
3.
4.
5.
Antiemetics
Antibiotics
Antimotility agents
Antispasmotics
n. Iskemi Intestinal
Berbagai pendekatan terapi tersedia untuk iskemi usus berdasar pada ketajaman dan luasnya
penyakit. Adanya tanda-tanda peritoneal perlu dilakukan eksplorasi bedah, di mana infark
usus mungkin telah terjadi. Reseksi usus infark serta embolectomy dapat dicapai selama
proses ini. Dengan tidak adanya tanda-tanda peritoneal, embolectomy bedah masih dianggap
sebagai standar perawatan. Namun, pendekatan radiologi intervensi telah efektif digunakan.
Infus Intra-arteri agen trombolitik seperti streptokinase, urokinase atau aktivator plasminogen
jaringan rekombinan telah terbukti efektif bila digunakan dalam waktu 12 jam onset gejala.
Embolectomy bedah berpantang mendukung pendekatan yang kurang invasif mungkin tepat
pada pasien dengan risiko operasi yang cukup. Dalam non-oklusif iskemia mesenterika, infus
dari vasodilator intra-arteri, seperti papaverine ke dalam arteri mesenterika superior mungkin
semua yang diperlukan untuk membalikkan vasokonstriksi dan mencegah infark usus.
Pada pasien dengan trombosis vena mesenterika, pencarian keadaan yang mendasari
hiperkoagulasi penting untuk mencegah rekuren penyakit. Kehadiran tanda-tanda peritoneal
harus segera dilakukan eksplorasi bedah. Pada pasien asimptomatik, antikoagulan dapat
diberikan 3-6 bulan dengan evaluasi berulang. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian
heparin diikuti warfarin meningkatkan survival. Pasien dengan kondisi medis tertentu seperti
kelainan pembekuan dan atrial fibrilasi memerlukan antukoagulan seumur hidup.
Revaskularisasi menunjukkan perbaikan gejala jangka panjang sampai 96% pada pasien
dengan iskemi mesenterika kronis yang dapat dilakukan operasi. Bypass graft terdokumentasi
dengan harapan hidup 5 tahun 78%. Dekade sebelumnya, percutaneous transluminal
mesenteric angioplasty dengan atau tanpa stent merupakan alternatif terapi untuk pasien yang
telah diseleksi. Penelitian sebelumnya menunjukkan angiopasty memberikan hasil yang sama
dengan bypass dan embolektomy pada sedikit pasien. Alternatif ini digunakan pada pasien
dengan risiko tinggi revaskularisasi.
Beberapa indikasi kolitis iskemi perlu dimanajemen (Kotak 3). Pada banyak kasus, iskemi
membaik saat hipoperfusi yang mendasarinya juga membaik. Banyak pasien membutuhkan
berat, penghilang nyeri yang kuat digunakan untuk mengobati gejala tersebut. Mungkin juga
dibutuhkan obat untuk mengontrol mual dan muntah.
Gizi. Untuk mengistirahatkan pancreas, gizi diberikan melalui selang makan
Cairan intravena. Karena tubuh dapat mengalami dehidrasi selama pancreatitis akut, cairan
dimasukkan melalui selang yang dihubungkan dengan vena.
Jika tidak ada komplikasi, pankreatitis akut membaik dalam beberapa hari (nhs, 2011).
Kebanyakan pasien yang menderita pancreatitis akut ringan akan siap meninggalkan rumah
sakit dalam 5-7 hari (nih, 2008).
Pankreatitis akut berat
Pada kasus pancreatitis akut berat, peradangan jaringan pancreas sangat parah sehingga
beberapa diantaranya mengalami mati/nekrosis. Nekrosis jaringan sangat berbahaya karena
jaringan yang mati merupakan lahan yang baik utnuk infeksi bakteri yang dapat menyebar ke
dalam darah (sepsis) dan bagian loain dari tubuh sehingga menyebabkan kegagalan berbagai
macam organ.
Hal lain yang membahayakan dari pancreatitis akut berat adalah hilangnya cairan yang
banyak dari tubuh yang akan mengurangi jumlah darah dalam tubuh (syok hipovolumik).
Syok hipovolumik dapat mengancam jiwa karena tubuh membutuhkan darah kaya oksigen
untuk bertahan. Untuk mengatasinya maka perlu dimasukkan dalam ICU. Penyuntikan
antibiotic digunakan untuk menghindari jaringan yang mati dari infeksi.
Cairan intravena digunakan untuk mengganti kehilangan cairan dan mencegah syok
hipovolumik. Peralatan pernafasan digunakan untuk menilai pernafasan dan selang makanan
digunakan untuk nutrisi tubuh. Pembedahan mungkin dibutuhkan untuk mengambil jaringan
mati dari pancreas. Pasien tinggal di ICU sampai resiko infeksi, kegagalan organ dan syok
hipovolumik sudah teratasi. Hal ini bisa membutuhkan 14 hari rawat inap atau bisa lebih jika
pancreatitis akut memberat.
Mengobati penyebab utama
Penting untuk mengobati penyebab utama sehingga tidak jatuh pada kondisi yang lebih berat.
Jika batu empedu bertanggungjawab terhadap terjadinya penyakit, perlu dirujuk untuk
pembedahan mengambil batu empedu. Perlu juga saran untuk mengonsumsi makanan rendah
lemak untuk mengurangi jumlah kolesterol dalam darah dan mengurangi resiko untuk
terbentuknya batu empedu (nhs, 2011).. Selain itu perlu disarankan untuk tidak merokok dan
minum-minuman keras (nih, 2008).
r. Gastritis
Obat-obatan yang menguraqngi jumlah asam lambung dapat mengurangi gejala dari gastritis dan
membantu penyembuhan permukaan lambung. Obat-obatan tersebut adalah (Jones, 2010) :
Antasid, seperti Alka-Seltzer, Maalox, Mylanta, Rolaids dan Rio-pan. Banyak merk dipasaran
menggunakan kombinasi yang berbeda dari 3 dasar garam magnesium, kalsium dan
aluminium- dengan hidroksida atau ion bikarbonat untuk menetralkan asam di lambung. Obatobatan ini dapat menimbulkan efek samping seperti diare atau konstipasi.
Penghambat Histamin 2 (H2), seperti famotidine (pepcid ac) dan ranitidine (zantac 75).
Penghambat H2 emnurunkan produksi asam.
Penghambat pompa proton (PPIs), seperti omeprazole (prilosec, zegerid), lansoprazoloe
(prevacid), pantoprazole (protonix), rabeprazole (aciphex), esomeprazole (nexium) dan
dexlansoprazole (kapidex). PPIs meneurunkan produksi asam lebih efektif dibanding
penghambat H2.
Pengukuran atau pengobatan tambahan mungkin dibutuhkan tergantung dari penyebab
gastritis. Sebagai contoh, jika gastritis disebabkan penggunaan NSAID jangka panjang, dokter
mungkin menyarankan pasien untuk menghentikan konsumsi NSAID, menurunkan dosis
NSAID atau mengganti kepada obat penghilang nyeri yang lain. PPIs digunakan untuk
mencegah stress lambung pada pasien dengan sakit berat (Jones, 2010).
Mengobati infeksi H. pylori merupakan hal yang penting, walaupun orang tersebut tidak
menunjukkan gejala dari infeksi. Infeksi H. pylori yang tidak diobati dapat menyebabkan
terjadinya kanker atau ulkus pada lambung dan usus kecil. Pengobatan yang paling sering
adalah terapi yang mengkobinasikan PPI dan dua antibiotic biasanya amoxicillin dan
clarithromycin- untuk membunuh bakteri. Pengobatan dapat termasuk bismuth subsalicylate
(pepto-bismol) untuk membunuh bakteri (Jones, 2010).
Setelah pengobatan, dokter akan menggunakan pernafasan atau feses untuk meyakinkan bahwa
sudah tidak ada infeksi H. pylori. Mengobati infeksi dapat diharapkan untuk menyembuhkan
gastritis dan untuk menurunkan resiko penyakit yang berhubungan dengan gastritis seperti
ulkus peptikum, kanker lambung dan limfoma (Jones, 2010).
Airway
Assess whether the airway is patent. A simple question such as How are you? establishes to
things-the patients level of consciousness and whether the airway is patent.
It is evident that Sams airway is patent as he is speaking to us. However, as he is vomiting, it is
important to recognize that this has the potential to obstruct the airway and therefore needs to be
monitored closely.
Breathing
Assess the rate, depth and ease of respiration. The normal rate is around 12-18 breaths per
minute. This is important to be aware of as respiratory rate deviation from normal is now widely
accepted as being one of the earliest indicators of patient deterioration. As Sams respiratory rate
is 25 BREATHS per minutes, it is evident that his condition has deteriorated and he is acutely
unwell. It is also important at this stage to listen to the chest and to observe the assessor muscles
for any other signs of increased respiratory effort or difficulty breathing such as reduced oxygen
saturation levels.
Circulation
When assessing circulation , it is important to consider heart rate and blood pressure, look at the
skin for signs of reduced peripheral perfucion, determine capillary refill time and observe for and
signs of haemorrhage, fluid loss or for signs of internal bleeding. Cardiac monitoring should also
be used when avaible.
In Sams case, it is evident that his heart rate has increased. Blood pressure may be within
normal limits at present due to the compensatory mechanisms that exist within the body to
maintain homeostatis. It is important therefore to monitor this closely as it may deteriorate it or
when the compensatory mechanisms because exhausted. It may also be useful to monitor the
patients temperature at this point as it evident that his temperature is slightly elevated at 37.4C.
Disability
This refers to the assessment of consciousness level. A quick, easy scoring system that can be
used is the AVPU score which assesses whether the patient is alert, can respond to voice, pain or
is unresponsive.
It is apparent that Sam is alert and therefore does not require any further assessment under this
area for now. However, depending on the patients illness or signs of altering levels of
consciousness, it may also be useful to assess using the Glaslow Coma Scale. Monitoring blood
sugar for signs of hypo-or hyperglycaemia can also be useful to explain altered levels of
consciousness.
Exposure
This is a top-to-toe, fron-to-back examination of the patient observing for any obvious signs of
bleeding, bruising, swelling, rashes or signs of previous surgery. At this stage it is also important
to assess the patients level of pain if you have not done so already.
On examination, it is obvious that Sam has a distended abdomen, is comlaining of colicky
abdominal pain and is scoring his pain as 8 out of 10.
Nursing Intervention
Menilai apakah jalan napas paten.
pertanyaan
sederhana
seperti
Sebuah
'Bagaimana
sebagai
penyimpangan
tingkat
lain
dari
peningkatan
upaya
Ketika
kejenuhan
menilai
oksigen
sirkulasi,
berkurang.
penting
untuk
mempertimbangkan
denyut
jantung
dan
perfusion
perifer,
menentukan
Philpot
2002).
kebelakang
mengamati
setiap
tubuh
pasien
tanda-tanda
untuk
seperti
perdarahan, memar, bengkak, ruam atau tandatanda operasi sebelumnya. Pada tahap ini juga
penting untuk menilai tingkat nyeri pasien jika
anda belum melakukannya (Ahern and Philpot
2002).
D. Asuhan Keperawatan
Diagnose I : Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis ( obstruksi / spasme duktus,
proses inflamasi, iskemia jaringan / nekrosis ).
NOC : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol dengan criteria hasil menunjukan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan sesuiindikasi untuk situasi individual.
NIC
:
1.1. Observasi dan catat lokasi nyeri , beratnya (skala 0 10 ) dan karakter nyeri
( menetap, hilang timbul , kolik )
1.2. Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman
1.3. Dorong menggunakan teknik relaksasi
1.4. Catat respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang dapat
menunjukan terjadinya komplikasi / kebutuhan terhadap intervensi
lebih lanjut
1.5 . Pertahankan status puasa, masukan / pertahankan pengisapan NGT sesuai indikasi
1.6. Berikan obat sesuai indikasi
1)
2)
3)
4)
Antibiotic
Diagnose II :
NOC
NIC
:
2.1. Timbang berat badan setiap hari
2.2. Dorong tirah baring / pembatasan aktivitas selama fase sakit akut
2.3. Anjurkan istirahat sebelum makan
2.4. Berikan kebersihan oral
2.5. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik , lingkungan menyenangkan
2.6
2.7
2.8. Mulai / tambahkan diet sesuai indikasi, missal : cairan jernih maju menjadi
makanan yang dihancurkan, rendah sisa, kemudian protein tinggi kalori, dan
rendah serat sesuai indikasi
Diagnose III : Infeksi, resiko tinggi terhadap tidak adekuatnya pertahanan utama perforasi /
rupture pada appendiks, peritonitis, pembentukan abses.
NOC : Setelah melakukan tindakan keperawatan selama.x/24 jam diharapkan infeksi tidak
terjadi dengan Kriteria hasil meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas
dari tanda infeksi / inflamasi drainase purulen, eritema dan demam.
NIC :
3.1. Awasi tanda vital, perhatikan adanya demam, menggigil, berkeringat, perubahan
mental, meningkatnya nyeri abdomen
3.2 . Lakukan pencucian tangan yang baik dengan perawatan luka aseptic , berikan
perawatan peripura
3.3. Lihat insisi dan balutan, catat karakteristik drainase luka / drain, adanya eritema
3.4. Berikan informasi yang tepat jujur pada pasien / orang terdekat
3.5. Ambil contoh drainase bila diindikasikan
3.6. Berikan antibiotic sesuai indikasi
3.7. Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan
:
4.1. Tentukan persepsi pasien tentang proses penyakit
4.2. Kaji ulang proses penyakit, penyebab / efek hubungan factor yang menimbulkan
gejala dan mengidentifikasi cara menurunkan factor pendukung
4.3. Kaji ulang Obat, tujuan, frekuensi, dosis, dan kemungkinan efek samping
4.4. Tekankan pentingnyaperawatan kulit, missal teknik cuci tangan dengan baik dan
perawatan perineal yang baik
4.5. Penuhi kebutuhan evaluasi jangka panjang dan evaluasi ulang periodic
DAFTAR PUSTAKA
Andersson P, Kvitting JP, Druvefors P; A phytobezoar in the acute abdomen. Am J
Brewer BJ, Golden GT, Hitch DC, et al: Abdominal pain: An analysis of 1,000 consecutive cases
in a University Hospital emergency room. Am J Surg 131:219-223, 1999.
Buschard K, Kjaeldgaard A: Investigation and analysis of the position, fixation, length, and
embryology of the vermiform appendix. Acta Chir Scand 139:293-298, 1993.
Cordell WH, Keene KK, Giles BK, et al: The high prevalence of pain in emergency
medical care. Am J Emerg Med 20:165-169, 2002.
Cornbluth A, Sachar DB, Salomon P. 1998. Crohns disease. Sleisenger & Fordtrans
Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Vol 2. 6th.
Philadelphia, Pa: WB Saunders Co.
Craig, et al. 2011. Appendicitis Treatment and Management. Emedicine.medscape.com.
DHaens G, Baert F, van Assche G, et al. 2008. Early combined immunosuppression or
conventional management in patients with newly diagnosed Crohns disease: an open
randomised trial (http://www.ncbi..nlm.nih.gov/pubmed/18295023, diakses pada tanggal 25 Juni
2011)
Diethelm AG, Stanley RJ, Robbin ML: The acute abdomen. In Sabiston DC (ed): Textbook of
Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical Practice, 15th ed. Philadelphia, WB Saunders,
1997, pp 825-846.
Dombal FT, Margulies M. 1996. Acute Abdominal Pain. Gut.bmj.com
Graff LG, Robinson D: Abdominal pain and emergency department evaluation. Emerg Med Clin
North Am 19:123-136, 2001.
Gray SW, Skandalakis JE: Embryology for Surgeons: The Embryological Basis for the
Treatment of Congenital Defects. Philadelphia, WB Saunders, 1997).
Holder, Andre. 2011. Dysmenorrhea in Emergency Medicine
(http://emedicine.medscape.com/article/795677, diakses pada tanggal 27 Juni 2011.
Kavanagh S; The acute abdomen assessment, diagnosis and pitfalls. UK MPS Casebook 2004
Feb;12(1):11-17.
Miettinen, et al. 1996. Acute Abdominal Pain in Adults.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
8739926
Mudgil, Shikha. 2009. Tubo Ovarian Abscess (http://emedicine.medscape.com/article/ 404537overview, diakses pada tanggal 28 Juni 2011)
Panes J, Gomollon F, Taxonera C, et al. 2007. Crohns disease: a review of current treatment
with a focus on biologics (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18034589, diakses pada tanggal
25 Juni 2011)
Reed GL, Ibebuogu UN, Thornton JW,; An unrecognized cause of acute abdomen in peripartum
cardiomyopathy. South Med J. 2008 Apr;101(4):447-8.
Sjamsuhidajat, et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC
Surg. 2009 Feb;197(2):e21-2. Epub 2008 Sep 11. [abstract]
Swierzewski, Stanley J. 2011. Acute Urinary Retention
(http://www.healthcommunities.com/acute-urinary-retention/overview-of-acute-urinaryretention.shtml, diakses pada tanggal 27 Juni 2011)
Tessy, Agus dkk. 2003. Sistitis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Thoreson
R,
of
inflammatory
bowel
disease:
an