Anda di halaman 1dari 152
of. John Titaley, Th.D a UKSW Salatiga Menjadi Kristen & Menjadi Indonesia Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi Indonesia Copyright © 2009 oleh Steve Gaspersz Diterbitkan olen PT BPK Gunung Mulia Ji. Kwitang 22-23, Jakarta 10420 E-mail: publishing@bpkgm.com Website: www:bpkgm.com Anggota IKAPI Hak Cipta dilindungi Undang-undang Cetakan ke-1: 2009 Penyunting: Eko Y.A. Fangohoy, Irayati Tampubolon, Anton Sulistiyanto Tata Letake: Panjibudi Desain Sampul: Hendry Katalog dalam Terbitan (KDT) Gaspersz, Steve Iman tidak pernah amin: menjadi Kristen & menjadi Indonesia / oleh Steve Garpersz; - Cet. 1.— Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009 xvi + 204 him. ; 14x 21 em 1, Renungan 1 Judul 261 ISBN 978-979-687-666-2 Daftar Isi Kata Pengantar Benang Merah. xi DAEs? scencnsrmunwonmnrenunwnmananannanenanas xv Bagian | - Indonesia dalam Ceritaku 1.__Avatar 3 2. ML 9 3.__Ayat-ayat Cinta untuk Siapa: 17 4. _Menjadi Indonesia: Masihkah Realistis? 23 5.__Indonesia Raya atau Indonesia Rawa?, Sf 6. Pilpres: Menyorot dari Lekuk yang Lain 36 Z._Ke Sekolah - Ke Mana?... 43 8. Sepak Bola dan Rasisme. 48 9. Satpol PP: Solusi atau Masalah 55 10; Pérenipuatt-nincnonianacnnnamnananmmmnarce 61 Bagian Il - Beragama dalam Indonesiaku 11. Agama-agama dan HIV/AIDS 69 12. Membidik yang Salah atau Salah Membidik: 74 13. Beragama yang Repot... 80 14. 86 15. Mencari yang Tersentuh dan Bebas: Teologi Feminis Indonesia Pasca~Marianne Katoppo 90 xv 16. Lectio Divin: 94 17. Banjir..... 100 18. Mengasihi Musuh? Capek Deh 105 19. Anakku Sekolah! .... 20. Idul Fitri bagi Seorang Kristen......c..seessecssseesenesesneeeenneese 116 Bagian Ill - Beriman dalam Budayaku 21. Marinyo dan Andarinyo 123 22. Gereja Puing-puing. 127 23. Gereja dan Adat. 136 24. Saat Ambon Pecah Lagi 149 25. Nol Kilometer: Sekelumit Catatan tentang Kit: 156 26. Reformasi Misi Gereja: Apa Lagi?...... 161 27. Signifikansi Praksis Gerakan Keesaan Gereja dalam Konteks Polemik Ideologi Politik di Indonesia 170 28. Maarif Award untuk Rakyat Maluku 180 29. Palestina-Israel: Secuil Pandangan 185 30. Mena Muria: Sebuah Tafsir Simbol Budaya .. 191 31. Daniel Sahuleka: The Legend..............-:100-s0essesseeeeeseeees 196 Catatan ....... 200 Tentang Penulis 204 xvi Iman Tidak Pernah Amin BAGIAN | i INDONESIA DALAM $j} CERITAKU __ Avatar Am kami, Kainalu, terpincut berat dengan film animasi Avatar”. Hampir setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia memaksa agar diizinkan menonton film itu sampai selesai. Akibatnya, beberapa kali ia terlambat ke sekolah. Yah, susahnya film anak-anak diputar sepagi itu. Semula kami merasa berat dengan kebiasaan menontonnya ini, tetapi lama-kelamaan kami terdorong oleh rasa ingin tahu: apa sebenarnya yang diceritakan film itu. Beberapa kali kami menyempatkan diri untuk menontonnya. Wow, ternyata film animasi Avatar itu sarat ajaran kebijaksanaan Timur yang dikemas dengan menarik. Sekarang bukan hanya Kainalu, kami pun orangtuanya ketagihan menikmati alur cerita dan ungkapan hikmat (wise words) yang kerap muncul dalam adegan-adegan Avatar. Kendati episodenya diulang-ulang, namun rasanya kami tak kunjung bosan menikmati ceritanya. Malah, kami sampai hafal alur ceritanya. image not available image not available menyabot tanah warga; banyak anggota DPR yang marah karena tidak mendapat fasilitas hidup ala konglomerat sebagai konsekuensi mewakili rakyat yang hidup melarat; anak-anak sekolah yang marah karena temannya diejek anak-anak dari sekolah lain; warga miskin yang marah karena gubuk-gubuk mereka digusur tanpa ampun; para pengacara yang marah karena kliennya dituduh sembarangan; kaum beragama yang marah karena ada kelompok beragama lain yang mendompleng nama agamanya padahal praktiknya dianggap menyimpang; polisi marah kepada tentara, tentara marah kepada polisi; dan seribu kemarahan lainya. Negeri kita benar-benar sedang menjadi pabrik raksasa yang memproduksi aneka produk kemarahan. Tinggal pilih: mau marah yang rasa apa—rasa caci- maki, rasa bogem, rasa pentungan kayu, rasa buldoser, atau bahkan rasa arsenik (seperti yang dialami sahabat kita, Munir). Menuju Habitus Baru? Mengapa kita tampaknya begitu menikmati energi kemarahan? Jawabannya bisa bermacam-macam, bergantung pada siapa yang menjawabnya. Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Akan tetapi, rasanya sayang sekali jika bangsa yang begini besar dengan kejamakan (bahasa, etnis, agama, budaya) terkuras habis energinya hanya untuk marah-marah. Energi kemarahan yang menampak dalam berbagai tampilan bangsa kita ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai energi luar biasa jika itu diarahkan bagi pengembangan kesadaran berbangsa secara positif. Tentu saja proses membangun kesadaran positif dengan energi tersebut bukanlah sesuatu yang gampang bin mudah. Justru saya melihat bahwa sekarang ini kita tidak membutuhkan negasi terhadap energi sosial itu, tetapi membutuhkan habitus baru yang mampu mewadakinya. Wadak itu adalah ”kita’, bangsa ini, dengan segala kemajemukannya. Spirit itu adalah komitmen dan konsensus untuk 6 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available mereka asal jiplak (aspak) alias asal mangap (asma) alias asal bunyi (asbun). Kalau mereka mau protes, harus jelas dong argumentasi, logika, korelasi logis dengan variabel-variabel yang mereka ajukan. Kalau cuma menyoroti judulnya, itu si# namanya sentimen belaka, bukan argumen. Menurut produsernya, film ini memang lebih menguak persoalan free-sex yang sudah semakin biasa dan terbuka di masyarakat kita (Indonesia). Dulu, mungkin kita tidak terbiasa berbicara secara blak-blakan soal free-sex; soal itu terselip diam- diam dan menjadi kebiasaan bisu masyarakat kita: dilakukan oleh banyak orang, tetapi disimpan agar hanya diketahui segelintir orang. Sekarang yang dilakukan adalah sebaliknya: dilakukan oleh banyak orang dan diketahui oleh semua orang. Itulah yang dikatakan produsernya yang sempat saya rekam sepintas. Ia juga mengakui bahwa film ini lebih merupakan media melakukan sex-education kepada para remaja. Saya sih—yang bukan artis dan produser film—melihat feno- mena ini biasa-biasa saja. Yang luar biasa adalah respons orang atau kelompok tertentu yang rupanya terusik dengan judul film itu—lagi- lagi hanya judulnya. Sejauh pengamatan saya, mereka sama sekali tidak mengutak-atik alur film itu: pesan apa yang ingin disampaikan oleh suatu media. Jika seluruh ckspresi estetis hanya dipahami dalam cakrawala pemikiran yang sempit semacam itu, dalam hal ini hanya terpesona atau terusik oleh yang kelihatan sambil melupakan pemaknaannya, saya jadi cemas juga, sebab jangan-jangan masyarakat kita sudah mati rasa dalam menikmati ekspresi seni nan estetis. Kita ribut dengan apa yang kelihatan tetapi abai pada pesan yang terkandung di dalamnya. Benarkah seperti itu? Rasanya tidak juga. Karena ternyata dalam banyak hal masyarakat kita malah cenderung mendiamkan apa yang kelihatan dan ribut dengan yang tidak kelihatan. Mau contohnya? Kita cenderung mendiamkan ketidakdisiplinan berlalu-lintas yang nyata-nyata terjadi setiap hari di depan batang hidung kita dan 10 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available Namun, sayang seribu sayang, dari hari ke hari kita mendapati wilayah negara kita semakin disesaki oleh orang-orang miskin. Mereka bukan hanya tidak punya uang tetapi kehilangan kualitas hidup; mereka bukan hanya tidak bisa makan tetapi tidak mampu lagi membayangkan apa yang bisa dimakan; mereka bukan hanya putus sekolah tetapi frustrasi apakah bisa sekolah dan untuk apa sekolah; mereka bukan hanya menjadi pengangguran tetapi tidak mampu memperoleh pekerjaan seperti apa yang bisa dimasuki jika semuanya sudah dikuasai jaringan koneksi orang dalam; mereka bukan hanya menjadi preman karena desakan hidup tetapi menjadi pilihan sadar, karena aparat negara pun sudah berlagak layaknya preman berseragam; mereka bukan hanya kehilangan rumah tetapi juga hak-hak atas tempat tinggal di sejumput tanah Indonesia Raya ini; dan masih banyak ML-ML jenis ini. Kita tidak tahu harus menghadapi situasi ini dengan cara apa. Namun, Prof. Muhammad Yunus, peraih Nobel Ekonomi, mengatakan: "Saya ingin menjadi murid orang-orang miskin. Mereka adalah profesor saya.” Something was wrong. Why did my university courses not reflect the reality of Sufiya’ life? I was angry, angry at myself, angry at my economic department and the thousands of intelligent professors who had not tried to address this problem and solve it [Muhammad Yunus, Banker to the Poor, PublicAffairs 2003, him. 48]. Oleh karena itu, ia menanggalkan seluruh prestisenya sebagai profesor ekonomi dan berempati untuk belajar dari orang miskin di negaranya. Hanya dengan cara itulah kemiskinan dapat dipahami akarnya dan dicari solusinya. \4 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available Ayat-ayat Cinta untuk Siapa? ada tahun 2008, ada hari libur panjang selama empat hari. Hari- hariliburitucukup memberikan kesempatan untuk meregangkan otot dan urat syaraf. Apalagi liburan tersebut berkaitan dengan perayaan dua hari keagamaan, yakni Maulid Nabi Muhammad SAW (20 Maret) dan Wafat Yesus Kristus (21 Maret). Akan tetapi, begitulah, rupanya metabolisme tubuh sudah sedemikian terbentuk oleh iklim kepadatan kerja dan kemacetan lalu-lintas Jakarta sehingga rasanya tidak enak juga kalau terlalu lama berleha-leha. Pada hari terakhir libur, hari Minggu, saya membeli koran Kompas (Minggu, 23 Maret 2008). Sembari membalik-balik halamannya, mata saya terpaku pada satu kolom bertajuk Kagumi Orang Muda, Jusuf Kalla Menonton "Ayat-ayat Cinta”. Jujur saja, ketertarikan saya membaca kolom tersebut sebenarnya lebih didorong rasa ingin tahu apa alur cerita film itu—maklum, waktu itu tanggal tua sehingga hasrat nonton saya belum kesampaian. Namun, setelah membaca dua kali, saya agak menyesal karena tidak menemukan apa impresi Wapres Jusuf Kalla (JK) mengenai alur cerita film tersebut. Membaca kolom tersebut, saya malah menemukan beberapa plot narasi berita yang sedikit saja kena~-mengena dengan judul kolomnya. Saya hanya ingin mengambil tiga bagian yang menarik untuk dicermati: Satu. ”Wapres ingin menonton film itu karena kagum dengan anak- anak muda yang bergiat di balik film yang mencetak rekorjumlah penonton hingga tiga juta.” Jika dapat ditafsir, bagian ini hendak menyatakan secara tidak langsung bahwa JK lebih terdorong menonton film itu karena kagum dengan jumlah penonton yang mencapai angka tiga juta, dan oleh karena itu memberi apresiasi pada kinesja para sineas muda yang menggarapnya. Mari lihat apa kata JK tentang itu: ’Saya terus terang kagum dengan anak- anak muda yang ada di balik film itu. Mereka semua kreatif dan semua berusia di bawah 35 tahun”. Substansi dan makna film itu sendiri yang diterima JK sebagai penonton [ternyata] tidak muncul atau direkam dalam kolom berita tersebut. Kedua. Benarkah JK tidak memberikan impresi sama sekali atas film 18 itu? Ternyata tidak. JK tetap memberikan impresinya, dan ini yang unik: "Ini menandakan pertumbuhan kita sedang terjadi dan belum pernah terjadi sebelumnya setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Ini sering luput kita lihat.” Efek dari menonton film itu bagi JK ternyata bukan pada alur narasinya atau pesan apa yang hendak dikomunikasikan oleh para pembuat film itu kepada penikmatnya. Di sini ada semacam ambiguitas pemaknaan, apakah indikator pertumbuhan [ekonomi?] negara ini bertumpu pada tampilnya sineas-sineas muda ataukah pada rekor angka tiga juta penontonnya. Lebih lanjut, agak naifrasanya jika indikator kreativitas orang-orang muda hanya dipaku pada Iman Tidak Pernah Amin tampilnya segelintir para selebriti muda yang membentuk kelas sosial baru dalam masyarakat kita. Pasalnya, kelas sosial baru ini lahir dan bertumbuh dalam suatu dunia kenyamanan yang menyediakan kepada mereka fasilitas melimpah-ruah untuk bereksperimen dalam kreativitas yang mahal ini—apalagi sampai mempekerjakan artis yang berwarganegara dan sudah pasti berwajah "asing”. Sementara itu, di sebelah lain kehidupan kita, yang luput dari penglihatan kita adalah kinerja kaum muda progresif yang memberi makna berindonesia dengan model kreativitas mereka sendiri, yang jauh dari sorotan lampu kamera ‘wartawan atau rekaman media massa. Ketiga. Film ini bagi JK, melahirkan sebentuk tafsir sosial tersendiri sebagaimana dikutip berikut ini: "Wapres mengakui, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi mencapai 6,3 persen, kemiskinan masih tinggi. Dengan terus tumbuhnya ckonomi, Wapres berharap kemiskinan makin terkikis dan jumlah rakyat miskin berkurang.” Sungguh, saya yang bodoh dalam soal ekonomi dan hitung-hitungan matematis mikro/makroekonomi ini merasa sesak dengan tafsir JK tersebut. Dalam pengamatan saya, perspektif JK tersebut memperlihatkan bahwa perspektif pembangunan kebangsaan negara ini masih dilihat dalam kerangkakerjaevolusioner-alamidanlineardimanapertumbuhan ekonomi yang tinggi—yang kerap menjadi indikator kemajuan atau modernisasi—dilihat sebagai unsur yang dengan sendirinya akan membenahi atau mendorong kemajuan pada bidang- bidang kehidupan rakyat lainnya. Padahal, kita semua saat ini sedang berada pada puncak kemacetan membangun kebudayaan bangsa dan sedang mengalami degradasi kultural, jika bukan sosial-politik, yang sedang membawa republik ini terpuruk. Ayat-ayat Cinta untuk Siapa? 9 image not available image not available ”ayat” menjadi ”adat” (aspek budayawi) kemanusiaan. Jika demikian halnya, bukanlah mustahil ”ayat-ayat cinta” menggairahkan seluruh energi sosial kita kepada ”adat-adat cinta” di mana cinta~mencintai dalam artinya yang hakiki (ontologis - Tillich) menjadi tradisi dalam kehidupan bersama kita di republik ini. "Ayat-ayat cinta” menjadi kebudayaan mencinta, di mana Sang Tuhan tampil dalam gairah cinta universal yang membongkar tembok-tembok primordialisme dan fanatisme semu, termasuk atas nama Tuhan itu sendiri. Jadi, Pak Wapres, menikmati "Ayat-ayat Cinta” jangan melulu dilihat dalam grafik pertumbuhan ekonomi, karena sebagai suatu karya seni ”Ayat-ayat Cinta” mesti disimak dalam kacamata tafsir simbolis kebudayaan dan karenanya berpesan tentang sesuatu yang tak terukur oleh rumus-rumus matematis. Kalau jumlah penikmat film itu menembus angka tiga juta, itu semata-mata rakyat kita sedang haus dengan sentuhan kebijakan penuh cinta. Rakyat sudah jenuh dan sumpek dengan dagelan keadilan, sandiwara kemakmuran, horor penggusuran, thriller kekerasan, dalam reality show keseharian. Kami, rakyat Indonesia, sedang mimpi hidup dalam tatanan sosial-politik- budaya yang penuh cinta, karena agama-agama kami memang ingin agar kami—yang mengaku beragama—tampil sebagai para pelaku cinta. 2 Iman Tidak Pernah Amin 4 Menjadi Indonesia: Masihkah Realistis? ertanyaan di atas terbuka bagi siapa saja. Tentu, banyak ragam jawaban dan interpretasi yang akan muncul menanggapi soal ter- sebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini sekarang makin menguat dan menggumpal dalam sikap fatalistis: apakah kita masih bisa terus berjalan dalam komitmen kebangsaan yang bernama Indonesia? Kegundahan itu bukannya tidak beralasan bila kita melihat eskalasi suhu politik tanah air yang akhir-akhir ini semakin memanas. Banyak faktor yang memicu munculnya gejolak tersebut. Suatu kenyataan bahwa gejolak internal berdampak sangat signifikan bagi upaya pemulihan situasi sosial Indonesia yang untuk sementara waktu sedang tertatih-tatih. Kita memang sedang membangun kembali infra~ maupun suprastruktur negara kita yang sudah terpuruk selama beberapa tahun terakhir ini akibat disorientasi penataan sistem bernegara di segala bidang. Tentu saja, pembangunan yang dimaksud tidak hanya 23 dalam arti fisik semata, melainkan lebih pada rekonstruksi struktur kesadaran dan mentalitas kebangsaan yang dilandaskan pada ideologi nasional yang disepakati bersama. Kesepakatan ideologis itulah yang sebenarnya memberikan roh bagi eksistensi dan daya tahan hidup suatu bangsa. Inilah sebenarnya makna hakiki dari apa yang sering disebut nation building. Karakter nation building itu sendiri bukanlah wahyu ilahi yang jatuh dari surga, tetapi produk pergulatan manusia memaknai inter- relasi dengan sesamanya dalam wujud simbol-simbol kebudayaan tertentu. Simbol-simbol kebudayaan ini, meskipun merupakan pan- tulan refleksi manusia universal, tetap merupakan suatu ekspresi yang terkungkung dalam batasan-batasan berdimensi temporal. Apalagi ketika simbol-simbol kultural tersebut mengalami proses institusionalisasi, yang berarti ia makin memperoleh legitimasi sosial dalam pengambilan keputusan publik. Dengan kata lain, sebagai simbol-simbol kebudayaan, karakter tersebut tidak bersifat perenial, tetapi selalu mengalami metamorfosis—baik secara natural maupun artifisial. Iru semua terjadi karena setiap manusia memiliki perbedaan persepsi mengenai eksistensi kediriannya di dalam konteks hidup masing-masing. Jadi, manusia itu sendiri tidak bebas nilai karena dikurung dalam "sangkar” tradisi, bahasa, kekerabatan, adat-istiadat, religiositas, pandangan dunia, dan pengetahuannya. Kendati demikian, manusia tidak tenggelam dalam kenisbian kultural tersebut.Sebagai makhluk yang selalu menjadi atau berproses, manusia terus-menerus memberi makna kepada dunianya dalam kerangka membangun suatu peradaban yang lebih maju daripada yang sudah ada. Oleh karena itu, manusia mesti bersosialisasi, sebab peradaban itu sendiri mesti dibangun bersama-sama. Sosialisasi ini merupakan lompatan keluar dari kurungan kebudayaannya untuk berjumpa dengan mereka yang lain, yang juga melompat keluar dari kurungan yang sama meskipun konteksnya berbeda. Pada saat itulah 4 Iman Tidak Pernah Amin terjadi perjumpaan kreatif yang mendorong terciptanya kehidupan baru dengan spektrum yang lebih kompleks dan berwarna-warni. Karakter nation building adalah suatu bentuk lompatan keluar untuk bertemu sebagai manusia-~manusia yang berkehendak secara sadar melakukan dialog komunikatif di dalam suatu tatanan sosial yang beradab. Implikasi pengertian ini mencuat dalam aspek eksternal dan internal. Secara internal, tatanan sosial yang disebut masyarakat itu secara kontinyu bergerak dengan aturan mainnya sendiri. Secara eksternal, masyarakat itu juga meretas kebuntuan komunikasi dengan masyarakat lainnya sehingga mereka bisa membentuk masyarakat dengan identitas yang lebih makro. Pada titik inilah sebenarnya kita bisa memahami makna globalisasi. Jadi, karakter nation building itu sendiri merupakan perpaduan dinamis antara apa yang internal dan eksternal, lokal dan global. Fenomena itu sudah berlangsung berabad-abad, meski intensitas globalisasi (eksternal) lebih terasa selama beberapa dekade akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Itu disebabkan oleh gebrakan teknologi komunikasi dan informasi yang memperlancar akselerasi relasional antarmanusia, antarbangsa, antarperadaban. Benturan Peradaban Prof. Samuel Huntington, guru besar ilmu politik internasional dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, pernah mengajukan tesis mengenai benturan peradaban (clash of civilization). la mencermati bahwa pasca-Perang Dingin akan terjadi suatu pergeseran besar dalam peta kekuatan politik global yang lebih banyak dimotori oleh perubahan-perubahan mendasar dalam kepentingan politik internasional dari kedua negara superpower Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sejarah mencatat bahwa dalam dinamika hubungan internasional yang fluktuatif dan kadang-kadang memanas, Uni Soviet tidak mampu lagi survive dengan ideologi Marxis-Leninisme Menjadi Indonesia: Masihkan Realistis? 25 sehingga ambruk dan terpecah menjadi negara-negara kecil yang sampai hari ini masih terus diguncang perang saudara. Amerika Serikat (AS), simbolisasi kekuatan kapitalisme dunia, seolah-olah muncul sebagai pemenang. Itu juga berarti AS menjadi satu-satunya negara adikuasa. Kenyataan ini telah menggiring AS untuk menempatkan diri sebagai satu-satunya negara supermodern yang paling berpengaruh di dunia. Justru di situ soalnya: AS tidak lagi memiliki musuh utama yang mampu menjadi rival sekaligus kontrol atas segala kiprahnya. Dengan demikian, AS bebas menanamkan cakarnya di segala bidang (pertahanan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, dan sebagainya). Hampir di semua negara, AS menjadi kekuatan imperialisme baru yang menciptakan "musuh-musuh” ideologis baru dalam suatu jejaring global. Bagi sementara pihak, kenyataan ini menimbulkan persoalan karena AS memberlakukan double standard: menjadi kiblat mo- dernitas sebagai garda utama kebebasan manusia (HAM), sekaligus kekuasaan yang represif. Pemberlakuan standar ganda ini paling jelas tampak dari keterlibatan AS dalam konflik Palestina-Israel. Bagi AS sendiri, sulit melepaskan citra sebagai ”pihak yang selalu mengalah” ketika berhadapan dengan Israel yang "keras kepala” dalam kasus ini (sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi- posisi vital di pemerintahan AS didominasi oleh kelompok Yahudi perantauan). Meski sebenarnya lebih bernuansa politis, namun di lingkungan internasional, konflik Palestina-Israel telah berkembang secara manipulatif menjadi konflik agama (Yahudi vs Islam). Akan tetapi, karena Yahudi secara salah kaprah selalu dikaitkan dengan Kristen maka jadilah konflik segitiga: Yahudi—Islam—Kristen. Pada momentum inilah, menurut saya, sedang terjadi suatu benturan kebudayaan yang luar biasa hebatnya karena sudah mengalami bias ke ranah paling sensitif: agama. Apakah ini yang dimaksud Huntington sebagai benturan peradaban? Saya kurang yakin. Sebab saya percaya 26 Iman Tidak Pernah Amin Huntington tidak akan mengabaikan konflik Inggris-Irlandia Utara yang juga sarat dengan muatan konflik agama (Protestan vs Katolik); atau India-Pakistan (Hindu vs Islam). Apa yang bisa dikatakan secara singkat hanyalah bahwa pada dasarnya tidak ada satu konflik pun yang disebabkan oleh perbedaan agama. Seluruh konflik yang terjadi sebenarnya hanya memperebutkan satu: KEKUASAAN. Siapa yang menguasai siapa dan apa yang bisa dipakai untuk menguasai orang lain. Di sinilah sebenarnya agama pada tampilan wajahnya yang lain menunjukkan potensi dimanipulasi sebagai "senjata” untuk melumpuhkan, me- matahkan kekuasaan pihak lain dan menguasainya. Agama telah menjadi fenomena sosial yang sangat ideologis. Dalam wacana ini pula, "Tuhan” sebagai Realitas Ultim-Transenden bergerak secara antropomorfis menjadi ”panglima perang” yang memberangus musuh-musuh-Nya (atau musuh manusia?). Betapa mengerikan bila kekuasaan Tuhan sebagai Realitas Ultim takluk di bawah kekuasaan manusia yang terbatas dan definit. Kalau sudah begitu, siapa yang menjadi "tuhan”? Tuhan per se dalam misteri adikodrati-Nya atau manusia yang menuhankan dan mentransendensikan kekuasaannya sendiri? Indonesia: di Persimpangan Jalan Pasca-peristiwa 11 September 2001, ketegangan meruncing antara AS dengan kelompok teroris [?] yang selama ini sudah beberapa kali melakukan aksi teror dalam berbagai bentuk di AS (mungkin juga di negara-negara lain sekutu AS). Banyak analisis yang melihat pertautan antara aksi vandalis di World Trade Center New York dan Markas Pentagon Washington DC dengan kekecewaan kelompok- kelompok perjuangan nasional pembebasan Palestina atas sikap AS yang ambivalen terhadap konflik Palestina-Israel. Ada pula yang melihat bahwa rangkaian peristiwa teror ini tidak dapat dilepaskan Menjadi Indonesia: Masihkan Realistis? 27 image not available image not available mayoritas; mereka juga tidak memilih Republik Islam” meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, mereka memilih nama baru “Indonesia” yang memberi ruang hidup bagi segenap manusia dengan kekayaan ekspresi kulturalnya masing-masing. Se- lain pluralitas, kesetaraan di antara manusianya juga dijamin secara konsekuen. Dengan demikian, Indonesia sebagai realitas politik baru (lahir 17 Agustus 1945) menjadi suatu tempat yang di dalamnya perjumpaan kemanusiaan terjadi dan terus berlangsung. Sekali lagi, ini jika kita mau tetap setia pada komitmen para pendiri bangsa ini untuk membentuk suatu negara modern yang berwawasan humanis, bukan sektarian atau primordial. Indonesia seperti itu pada hakikatnya memberikan suatu ke- longgaran bagi pendewasaan berdemokrasi yang santun tanpa mesti terperangkap dalam segmen-segmen primordialisme yang vulgar, Namun, kalau ternyata sepanjang perjalanan sejarahnya kita melihat bahwa untuk menjadi bangsa yang dewasa membutuhkan proses jatuh-bangun—sejauh itu mendorong pemerdekaan setiap warga negara—itu harus dipacu dan dipertahankan. Sebaliknya, bila ternyata komitmen untuk menjadi bangsa yang majemuk dengan wawasan modern tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis yang mengikat, dan pada akhirnya menciptakan polarisasi yang semakin mengerucut, maka kita perlu melakukan re-visi: masih relevankah kita menyebut diri orang Indonesia tanpa suatu keterbukaan untuk menerima kehadiran orang lain secara setara? Atau kesadaran historis kita sudah menjadi begitu pejal sehingga seperti orang linglung yang lupa daratan? Atau mungkin yang lebih spesifik: masih realistiskah untuk menjadi Indonesia? 30 Iman Tidak Pernah Amin 3 Indonesia Raya atau Indonesia Rawa? Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku Indonesia hebangsaanku, bangsa dan tanah airku Marilah kita berseru Indonesia bersatu Hiduplah tanabku, hiduplah negeriku Bangsaku, rakyatku, semuanya Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya Indonesia Raya merdeka, merdeka Tanabku, negeriku yang kucinta Indonesia Raya merdeka, merdeka Hiduplab Indonesia Raya 3 image not available image not available Jalu perhelatan akbar di Gelora Bung Karno, dengan tarian-tarian massal dan komentar-komentar basi tentang Indonesia. Berapa biaya yang terkuras untuk acara boong-boongan seperti itu? Tak tahulah. Yang pasti lebih besar dari anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin se-Jakarta Utara (soalnya, saya tinggal di wilayah itu yang konon paling banyak MaMi-nya—maksudnya *masyarakat miskin”). Itu memang cuma acara boong-boongan, karena usai acara yang ”katanya” membangkitkan nasionalisme kita, kita malah disuguhi realitas pahit bahwa para pemimpin negeri ini sama sekali telah kehilangan roh nasionalisme. Mulut mereka menyemburkan uap busuk nasionalisme untuk dihirup oleh rakyat yang sudah sempoyongan sekarat. Nasionalisme kita—setelah 100 tahun KitNas—ternyata ber- hasil menciptakan gen sosial baru yang disebut "masyarakat miskin’. Jika Alvin Toffler pernah mengidentifikasi gelombang perubahan dari "masyarakat agraris” ke "masyarakat industri”, lalu peradaban Barat melanjutkannya dengan "masyarakat teknologi”, kita di Indonesia juga tidak mau kalah dengan menciptakan gen "masyarakat miskin” (MaMi). Jika dulu era agraris ditinggalkan dan orang berbondong- bondong masuk ke dunia industri, kita kini bersemangat berbondong- bondong mendaftarkan diri sebagai masyarakat yang telah mengidap gen MaMi. Semua rame-rame bikin kartu miskin, termasuk yang sebenarnya tidak miskin. Jauh sebelum gejala gen MaMi semakin tampak—dengan infus BLI—embrionya sudah hidup dan makin meluas menghancurkan puluhan desa, merendam habis ribuan hektar tanah pertanian, menendang keluar penduduk yang atap rumahnya pun tak tampak karena tercelup lumpur panas, yang hingga kini tak jelas pe- nanganannya selain membuat tanggul yang semakin tinggi. Kini, gen MaMi makin diformalkan sebagai identitas baru Indonesia Raya. Nasionalisme kita memang semakin tenggelam dalam lumpur dan rawa. Pemimpin negara berbicara sesuka hati, mengumbar 34 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available dan program-program kerja yang akan dilakukannya, tetapi tanpa kepekaan, bisa jadi seluruh uraian programnya hanya mengawang, tidak menggawang. Spiritualitas Politik Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang cerdas. Itu pasti. Namun kecerdasan tidaklah cuma terukur pada kemampuan membaca teks- teks teori sehingga menampilkannya bak ensiklopedi berjalan, atau pada gelar akademik yang disandang. Lebih jauh, ia juga semestinya mampu membaca konteks secara cermat dengan kepekaan nurani yang tajam. Kepekaan nurani tidak lahir dalam ruang-ruang kelas kuliah di kampus-kampus atau di ruang-ruang seminar. Kepekaan nurani lahir dari pergolakan batin yang menatap ke- nistaan dan penderitaan manusia sebagai sebuah penghinaan bagi kemuliaan Tuhan, Sang Pencipta. Artinya, kesadaran itu hanya terbentuk dalam realitas ”jalanan”, di mana seluruh jejaring kompleks aktivitas riil manusia berlangsung secara telanjang. Dalam lingkup pemahaman demikian, eksplorasi keberagamaan menjadi salah satu kunci utama dalam prospek kepemimpinan di republik ini. Jika dibahasakan secara lain, seorang pemimpin semestinya memiliki visi teologis yang membentuk seluruh konstruksi kesadaran dan moralitasnya, sebagai pertanggungjawaban amanah kepemimpinannya kepada rakyat dan Tuhannya. Visi teologis seorang negarawan menjadi penting, karena melaluinya seorang pemimpin bangsa menyadari batas-batas kekuasaannya sebagai manusia. Ini merupakan refleksi dari kemahatakterbatasan Sang Tuhan, sehingga ia tidak mencoba-coba menuhankan dirinya melalui eksperimentasi kekuasaan-tanpa-batas. Konstatasi itu tidak hendak menempatkan “agama” sekadar kumpulan simbol-simbol khusus atau ritual-ritual tertentu, tetapi menaruhnya dalam bingkai sistem nilai dan rujukan moralitas yang 38 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available dalamnya setiap warga negara merasa hidup di dalamnya dan meng- hidupi Pancasila itu sendiri. Pancasila memang bukan ”agama’” dalam arti tradisional. Akan tetapi, Pancasila tentu sah-sah saja jika diperlakukan sebagai sebuah kredo politik sejauh urgensinya diletakkan secara proporsional. Artinya, konteks kemajemukan Indonesia tentu tidak bisa hanya direduksi pada rujukan sistem nilai primordial budaya atau agama tertentu saja. Indonesia dihidupi oleh kemajemukannya, dan itu berarti di- butuhkan sebuah kesepakatan nilai-nilai berbangsa yang memberi ruang bagi setiap orang tanpa tersekat dalam ikatan primordialnya, untuk berekspresi secara santun dan cerdas. Setiap orang berhak memberi makna dalam gerak "menjadi Indonesia”. Dengan de- milian, Indonesia sebenarnya sclalu berada dalam proses menjadi, dan belum usai. 42 Iman Tidak Pernah Amin Ke Sekolah - Ke Mana? ada pertengahan tahun 2008, kami mengantar anak kami Kainalu untuk mencari sekolahnya yang baru. Tersisa beberapa bulan ke depan, Kainalu menghabiskan kegiatan bermain dan belajamnya di jenjang taman kanak-kanak (TK). Pihak TK sudah mengundang rapat orangtua murid untuk membicarakan tahap akhir kegiatan "mabel” (main-belajar) dan sudah menyepakati soal waktu dan tempat perpisahan. Mengingat waktu yang terus bergulir, kami mempertimbangkan untuk segera mencari sekolah dasar sebelum masa pendaftaran murid baru ditutup. Ini soal yang gampang-gampang susah. Gampang, karena banyak sekolah yang bertebaran di sekitar kompleks rumah kami. Susah, karena dalam menentukan pilihan kami mempunyai standar tertentu sehingga dari yang banyak itu kami harus memilih mana yang—menurut kami, orangtua—cocok untuk Kainalu. Maklumlah, mendengar dan menyimak berita-berita yang beredar tentang ma- 43 raknya tindakan kekerasan terbuka/terselubung di sekolah-sekolah, baik oleh para guru maupun teman-teman sebaya, membuat kami benar-benar harus selektif. Selain itu, faktor yang tidak bisa diabaikan ialah pertimbangan mutu sekolah itu sendiri. Masalah dana tentu juga diperhitungkan, tetapi untuk sementara mesti diabaikan karena di mana lagi sih di Jakarta ini bisa mendapatkan sekolah yang di dalamnya uang pendaftarannya murah tetapi bermutu? Rasanya sudah dimaklumi oleh publik bahwa yang murah itu selalu identik dengan murahan, dan mahal itu sudah pasti bermutu. Meskipun saya sendiri menganggapnya nisbi, karena saya mengakui bahwa ukuran-ukuran sumir semacam itu tetap perlu diuji kesahihannya. Akan tetapi, lagi-lagi, kami harus tunduk pada hukum sosial bahwa citra yang berkembang atau dikembangkan oleh khalayak itulah yang cenderung menjadi ukuran. Sekelumit pengalaman itu tiba-tiba menyentakkan kesadaran dalam diri saya, betapa sulitnya orangtua saya dahulu ketika harus mencari sekolah yang baru. Untunglah, pada masa saya masih bersekolah dasar di Malang, jarak antara rumah-sekolah tidak terlalu jauh sehingga dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau bersepeda. Lalu lintas kota pun tak terlalu sibuk sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan orangtua kami. Yang cukup meringankan, saya kira, adalah pertimbangan soal mutu "sekolah negeri” dan "sekolah swasta” yang tidak terlampau mencolok sehingga orangtua kami pun tidak terlalu ekstrem dalam menentukan pilihan. Meskipun, saya tahu, faktor itu pun tak luput dari perhitungan mereka. Siapa sih orangtua yang mau melihat anaknya dididik dalam sebuah lembaga pendidikan yang tak jelas program dan output-nya? Sekarang, itulah yang kami rasakan. Kalau dulu, saya melihat sekolah tak lebih dari suatu mekanisme alamiah yang mesti dilakukan dalam perkembangan hidup seseorang sejak ia masih anak hingga mencapai jenjang usia dewasa. Namun, seiring dengan berjalannya waktu serta tempaan pengalaman, saya Ah Iman Tidak Pernah Amin makin menyadari bahwa sekolah bukanlah melulu "mekanisme’”, melainkan tanda "organisme” yang berproses dalam pembentukan jati diri dan karakter. Jika dulu sekolah hanya saya pahami sebagai pengasahan kemampuan berpikir kognitif, kini saya sadar bahwa saya keliru. Sekolah bukan tempat berpikir” semata, melainkan suatu sistem pembentukan karakter yang utuh dari setiap anak. Keprihatinan terhadap semakin sulitnya mencari sekolah yang bermutu—dalam kategori characters building—itulah yang membuat kami merasa harus semakin jeli dalam menentukan pilihan sekolah bagi anak kami. Mutu suatu sekolah tentu tidak hanya diukur dari ketersediaan fasilitas yang wah”, tetapi juga pada visi-misi sckolah tersebut. Selain itu, kapasitas gurunya pun mesti teruji, bukan dengan sederet gelar di depan dan/atau di belakang namanya, melainkan dari kemampuan mereka menjadi teladan yang pada gilirannya turut menanamkan suatu citra model pemimpin yang ideal bagi anak didik. Persoalan keteladanan ini tidak bisa dianggap basi karena bagi saya itulah esensi dari sekolah. Saya tidak bisa membayangkan diri saya seperti sekarang ini jika sejak jenjang SD hingga perguruan tinggi hanya dicekoki dengan seabrek ilmu, tanpa merujuk pada karakter kepemimpinan yang diperlihatkan oleh guru-guru saya— hanya berlomba membentuk manusia yang otaknya pintar, tetapi kepribadiannya rapuh. Dengan segala plus-minusnya, saya tetap respek terhadap pola pembentukan disiplin diri melalui upacara bendera setiap hari Senin; pemeriksaan rambut dan kuku; sepatu sekolah yang harus sama warna dan merek—supaya yang kaya tidak perlu pamer dan yang miskin tidak harus minder; buku-buku harus disampul dengan kertas berwarna coklat; mengikuti kegiatan pramuka untuk mengasah solidaritas dan keterampilan survive di tengah kondisi yang tidak memungkinkan. Wah, masih banyak lagi. Bernostalgia memang mengasyikkan. Namun, kini saya tak punya cukup waktu untuk melakukannya. Zaman sudah berubah. Ke Sekolah - Ke Mana? 45 Saya kini mempunyai anak yang harus melanjutkan sekolahnya di tengah krisis karakter yang melanda sekolah-sekolah kita. Saya tidak hendak menimpakan semua kesalahan di pundak para guru, karena mereka juga bergelut di tengah impitan hidup yang makin susah. Ingin membela murid malah dituduh membocorkan soal. Ingin menanamkan disiplin dituding melakukan kekerasan. Ingin membantu siswa dianggap mencari tambahan yang tidak pantas. Macam-macamlah. Padahal, berapa sib penghasilan seorang guru sekarang? Apalagi dengan kenaikan harga barang-barang yang jauh dari penghargaan kepada manusia. Tak heran jika sekolah kita kini semakin kedodoran dalam pembinaan dan penguatan karakter anak didik. Idealisme ’pahlawan tanpa tanda jasa” sudah tidak laku lagi di tengah-tengah tuntutan hidup zaman sekarang. Mau apa dengan model ”pahlawan” seperti itu, kalau ternyata yang diclu-clukan sebagai ”pahlawan” sekarang adalah orang-orang yang menuntut jasa besar alias uang upeti? Lihat saja, mister-mister yang duduk nyaman di Senayan yang "atas nama rakyat” berkoar-koar mengaku pahlawan pembela rakyat. Apakah mereka mau melakukan tugas-tugas mewakili rakyat tanpa "tanda jasa”? Masih kental dalam ingatan saya, ketika pada suatu waktu, saya dan istri saya, Nancy, menjadi fasilitator dan narasumber dalam kegiatan Retret Guru-guru Kristen se-Kecamatan Jatinegara. Saya menyaksikan betapa tangguhnya manusia-manusia yang mengabdi- kan dan mendedikasikan hidupnya menjadi guru. Kami menyebut mereka manusia tangguh—rasanya lebih pas ketimbang pahlawan tanpa tanda jasa—karena dalam segala keterbatasan mereka, baik yang tidak disengaja maupun disengaja, mereka tetap bersedia menjalani panggilan tugas ini. Belum lagi harus menangani berbagai persoalan di dalam keluarga mereka sendiri. Dalam hati kecil, kami tetap bermimpi bahwa dengan terus bersekolah Kainalu dapat menimba banyak pengalaman dan terus- 46 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available topi untuk Guus Hiddink yang memoles Rusia hingga mampu menggilas Belanda 3-1 dengan 2 gol yang dicetak pada injury time. Padahal Belanda masuk ke perempat final sebagai juara grup yang tak terkalahkan. Mentalitas tempur ”beruang kutub” yang luar biasa. Menikmati sepak bola tanpa ikatan emosional sebagai fans ternyata menyuguhkan kenikmatan tersendiri. Namun, apa yang selalu menjadi perhatian saya setiap kali me- nonton tayangan Euro 2008 justru adalah sebuah papan iklan di pinggir lapangan. Papan iklan? Ya, papan iklan bertuliskan "NO TO. RACISM”. Ungkapan itu cukup menggelitik karena dipasang di pinggir lapangan sepak bola yang dapat dilihat oleh semua penonton distadion maupun tertangkap semua kamera televisi. Tentu ungkapan itu bukan sekadar iklan produk barang. Ungkapan itu merupakan suatu produk ideologie dan historis dalam pergulatan bangea-bangea di Eropa selama berabad-abad. Membaca sejenak scjarah Eropa, saya dicengangkan oleh begitu banyak warisan ideologis yang menghancurkan sebagian komunitas manusia. Ideologi ras memang pernah berjaya di daratan Eropa dengan dampak menghancurkan yang luar biasa, Perasaan unggul atausuperior sebagai peninggalan Enlightenment telah membawa ras Eropa (Barat) pada puncak arogansi kultural dengan implikasi lahirnya berbagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok-kelompok marjinal yang ”bukan putih” dan ”bukan Eropa (Barat)”. Dan, celakanya, agama pun (baca: gereja) terjerembab dalam lumpur diskriminasi ras yang mengerikan. Gereja menjadi sarana legitimasi teologis yang memberikan pembenaran terhadap superioritas sekelompok manusia berdasarkan rasnya. Sikap gereja tersebut telah menimbulkan kekecewaan mendalam bagi sebagian kalangan masyarakat Eropa, sehingga mereka menjadi apatis terhadap gereja. Bahkan rasionalisme telah membawa kebanyakan orang Eropa menjadi anti-agama atau anti-gereja. Gereja bagi me- reka telah menjadi tempat berkubang orang-orang oportunis yang 50 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available para pejabat negeri ini. Kejenuhan yang tidak terorganisasi itu akan meledak dalam tindakan-tindakan anarkis suporter sepak bola yang tidak melihat sepak bola sebagai spiritualitas baru untuk keluar dari kemacetan berpolitik dan berdialog secara terbuka dan sportif. Saya teringat pada perjalanan bersama keluarga Ulis Tahamata- Sapulete—adik Simon Tahamata pemain Ajax Amsterdam era 1970-an—berkeliling sehari di stadion ArenA Amsterdam, yang juga disebut The World of Ajax. Suatu pengelolaan organisasi yang nyaris sempurna, yang memperhitungkan setiap detail sehingga sepak bola tidak lagi menjadi sekadar olahraga tetapi bisnis raksasa yang semakin gemerlap. Lihat saja, misalnya, untuk menghindari bentrokan antarsuporter, stadion ArenA mempunyai fasilitas yang menghubungkan tempat duduk suporter tamu secara langsung dengan akses keluar ke stasiun kereta api. Masuk ke kabin, para investor seperti berada dalam kamar hotel bintang lima. Di kabin inilah mereka membicarakan masa depan klub, advertising, transfer pemain, pelatih, dan sebagainya. Di bawah lapangan rumput, sistem pengairan sudah diinstalasi sehingga rumput lapangan tidak perlu disiram air dari atas. Wow, masih banyak lagi hal yang terlalu fantastis bagi saya yang kampungan ini. Namun, fo/ saya tetap orang Indonesia yang bermimpi bahwa Indonesia suatu saat akan berjaya di lapangan rumput internasional. Atau, saya cuma bangga dengan rumput sendiri? Walahualam.... 4 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available Jadi, di manakah sebenarnya batasan fungsi dan tugas antara ”polisi” pamong praja dan "polisi” Republik Indonesia? Jika istilah ”polisi” dapat dimaknai sebagai ”mengamankan folicy” dari pihak pe- merintah, tidak cukupkah kesatuan Polisi Republik Indonesia untuk melakukannya? Padahal, pemisahan Polri dan TNI, pada hemat saya, sudah cukup memberikan ruang bagi polisi untuk melakukan capacity building dan ekspansi kewenangannya pada aspek-aspek sipil dan non-militeristik. To, faktanya pemerintah kita masih membutuhkan "polisi” yang lain—polisi pamong praja. Ketidakjelasan fungsi dan tugas di antara dua unsur "polisi” tersebut nyata dalam komentar seorang aparat polisi (Polri) ketika diwawancarai oleh reporter salah satu stasiun televisi. Dengan entengnya, ia menjawab "tidak tahu”. Padahal, setiap aksi penertiban (baca: penggusuran) oleh Satpol PP selalu harus didampingi oleh kesatuan Polri untuk mengantisipasi bentrokan dengan pihak yang menolak digusur. Respons seadanya tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa tidak ada koordinasi di antara dua instansi ”polisi” tersebut. Ataukah ada suatu koordinasi "pembiaran’? Bukan tidak mungkin terjadi proses pembiaran atau cuci tangan supaya mereka tidak kecipratan getahnya. Mahasiswa yang ingin berdemonstrasi saja harus memiliki izin dan dikawal; bagai- mana mungkin suatu peristiwa yang rentan terhadap bentrokan antarkelompok masyarakat tidak diketahui dan diantisipasi dengan pengawalan? Kebijakan pemerintah kota untuk menertibkan sejumlah ka- wasan tentu sudah menjadi kewajibannya, meskipun hal tersebut sering kali dilakukan secara tidak manusiawi. Namun, kalau sudah sampai ke tingkat tawuran yang disasarkan pada satu gedung yang merepresentasikan eksistensi dan privasi suatu organisasi—yang tak ada sangkut-paut langsung dengan aksi penertiban—tentu sudah soal lain. Apa pun alasannya, kantor PGI adalah aset organisasi keagamaan yang sama vitalnya dengan kantor-kantor organisasi 58 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available Namun, mengapa begitu sampai pada isu perempuan yang menjadi “babu” di tanah orang—lalu mengalami penindasan dan pemerkosaan—seolah-olah hanya sebuah berita yang biasa-biasa saja? Sangat berbeda dengan sikap dan militansi perlawanan kita terhadap isu ”Palestina”, ”korupsi”, atau "pornografi”. Bukan berarti itu tidak penting. Akan tetapi, sungguh bebal jika kita melayangkan pandangan kita dan berkoar-koar meneriakkan keadilan dan kemanusiaan terhadap sesuatu yang jauh di sana; sementara pada saat yang sama kita juga menyadari bahwa kehidupan dan kemanusiaan perempuan-perempuan Indonesia—mungkin ibu kita, mungkin saudara perempuan kita, mungkin istri kita—dicabik-cabik oleh angkara syahwat para majikan sonfoloyo di negara lain. Jangan bicara keadilan, jangan bicara agama, jangan bicara kesejahteraan, jangan bicara martabat bangsa. Semua itu hanya uap mulut yang berbau busuk karena bangsa lain tetap akan melihat kita sebagai "kacung” dan "babu” yang hanya mampu menghibur diri dengan kemolekan kampungan, tetapi tetap mau diinjak-injak sebagai keset bangsa lain. Martabat bangsa kita sesungguhnya tidaklah terletak pada diplomasi licin para elite politik, atau pesona basi para pejabat negara, atau debat palsu undang-undang negara yang sarat manipulasi kepentingan jabatan dan uang. Martabat bangsa kita ini sesungguhnya terletak pada kaum tangguh dan rentan yang kita panggil ”perempuan’. Yesus dan Perempuan Samaria Saya teringat cerita dalam Injil Yohanes 4:1-42 tentang percakapan Yesus dengan perempuan Samaria. Sebuah perikop yang cukup panjang, yang menarasikan dialog Yesus dan perempuan itu. Perempuan itu tak bernama. Identitasnya hanya ditentukan oleh representasi lokalitasnya—Samaria. Sungguh ironis, bahkan dalam Injil-injil pun, banyak perempuan yang tak bernama. Padahal mereka sering disebutkan sebagai orang-orang tangguh yang 62 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available : _BAGIAN I! | Hl | BERAGAMA TAM INDONESIAKU image not available image not available image not available Teologi AIDS, Thealogia Religionum HIV/AIDS tentu bukan masalah satu agama saja, tetapi masalah kemanusiaan universal. Sebagai yang demikian, agama-agama tidak bisa tinggal diam. Ada beberapa alasan mengapa agama-agama sangat berperan penting dalam memerangi HIV/AIDS: (1) agama- agama memiliki mandat spiritual; (2) agama-agama berjangkauan luas lintas kategorisasi sosial; (3) agama-agama memiliki tradisi keterlibatan komunitas; (4) agama-agama memiliki daya tahan yang lama. Mandat spiritual merupakan alasan pertama dan utama karena menyangkut teologi suatu agama. Kontribusi signifikan agama-agama dalam konteks HIV/AIDS hanya dapat terjadi ketika teologinya mampu membuka perspektif religiositas sebagai bagian dari pergumulan sosial. Oleh karena itu, memang dibutuhkan suatu reinterpretasi teologis secara kontckstual dalam menyikapi realitas penderitaan kemanusiaan yang disebabkan HIV/AIDS. Tidaklah berlebihan jika dalam konteks HIV/AIDS agama- agama perlu merumuskan ulang secara bersama-sama Teologi AIDS sebagai bagian dari matra teologi agama-agama (theologia religionum). Axrtinya, setiap komunitas beragama terbuka untuk menggali kembali nilai-nilai teologis dan moralitas dalam perspektif yang bersifat relasional, bukan lagi doktrinal. Dari sanalah pertautan relasi agama-agama tidak lagi terperangkap dalam perdebatan "siapa yang paling benar’, tetapi bersama-sama menemukan kebenaran transendental yang saling menghidupkan. Tidak lagi terjerat pada argumentasi "keselamatan surgawi”, tetapi bersama-sama membuka diri dalam sebuah gerak menyelamatkan "sejarah” masa depan ke- manusiaan. Jadi, berdasar keempat alasan esensial tersebut, agama-agama diharapkan mampu membangun suatu kesadaran dan sikap kritis yang lahir dari pendasaran teologis yang kokoh. Dimulai dari proses penyadaran komunitasnya sendiri dalam menyikapi HIV/AIDS, 2 Iman Tidak Pernah Amin image not available image not available image not available image not available image not available image not available image not available 13 Beragama yang Repot Px; suatu pagi di bulan Juni 2008, perjalanan saya ke kantor terhambat karena iring-iringan sepeda motor dan bus metro- mini yang mengangkut orang-orang yang akan berunjuk rasa di Monas. Saya tidak tahu mereka dari kelompok mana. Hanya jelas terbaca tulisan-tulisan pada spanduk-spanduk yang dibentangkan dan kertas-kertas kecil yang ditempelkan di kaca depan bus metromini. Tulisannya singkat: "Bubarkan Ahmadiyah! Bebaskan Habieb Rizieq!” Semua pengunjuk rasa mengenakan pakaian putih- putih. Dari tulisan itu jelas bahwa kelompok ini terkait atau sengaja mengaitkan diri dengan insiden kekerasan pada 1 Juni 2008 di Monas. Aksi kekerasan dilakukan tepat pada hari lahirnya Pancasila. Pada hari itu, saya masih menyempatkan diri mengintip sejenak weblog untuk membaca peristiwa apa yang pernah terjadi di dunia ini pada suatu waktu dan tempat. Saya terkesan dengan kutipan hari ini dari ucapan Anna Sewell (1820-1878), seorang penulis Inggris, 80 image not available image not available image not available Dekonstruksi kitab suci, menurut saya, harus dilakukan secara konsisten. Dekonstruksi di sini tidak dalam arti desakralisasi sebagaimana yang ingin dilakukan oleh kaum humanis. Tidak. Agama tetap membutuhkan sebuah landasan tradisi yang menjadi dasar eksistensinya dalam berbagai perubahan yang terjadi saat ini. Dekonstruksi yang saya maksud adalah suatu keterbukaan dan keberanian untuk membaca dan menafsir kitab suci bukan sebagai "kata-kata Allah”, melainkan sebagai refleksi iman orang- orang yang menuliskan kitab-kitab dalam kitab suci. Orang-orang tersebut adalah manusia biasa yang berpikir, bertutur, bertindak, sesuai dengan pola pikir budaya mereka. Sementara itu, kita yang hidup dalam konteks yang berbeda dengan mereka mempunyai pola pikir budaya yang jauh berbeda. Dekonstruksi interpretatif terhadap teles-teks kitab euci diperlukan agar kita justru menemukan esensi kemanusiaan dalam kitab suci. Kita tidak terpesona terhadap Allah”, tetapi melupakan pesona ”kemanusiaan” kita. Allah hanya mewujud secara paripurna ketika kita mengakui bahwa kita perlu menjaga keutuhan kemanusiaan bersama. NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Katolik, Protestan, Buddha Mahayana, Hindu, Konghucu, Kakehan, Aluk Todolo, Kejawen, dan sebagainya, merupakan penampakan dari kreativitas kemanusiaan dalam mencerap Sang Misteri. Apakah Sang Misteri itu mampu dikenal secara paripurna? Tentu tidak. Yang bisa kita tangkap paling- paling hanyalah bayangan kebesaran-Nya atau sepercik kemuliaan- Nya saja. Bayangan kebesaran dan percik kemuliaan Sang Misteri itu dalam arti sepenuhnya dapat kita temukan dalam suatu re/ational- faith (iman yang membangun relasi) antarmanusia. Relational-faith adalah kesadaran beriman untuk menempatkan sang /iyan dalam relasi "Aku-Engkau” (J-¢hou), bukan "Aku-Benda” (I-it), seperti yang dikatakan oleh filsuf Martin Buber. Bagaimana mungkin saya memahami Sang Misteri atau Allah jika pada saat yang sama saya mengabaikan manusia yang lain? Bagaimana mungkin saya 84 Iman Tidak Pernah Amin mengasihi manusia jika saya tidak menyadari bahwa Sang Misteri itu hidup dalam hubungan-hubungan kemanusiaan yang utuh di bumi ini? Bagaimanakah iman saya menjadi bermakna jika tindakan saya justru merendahkan dan melecehkan Allah, dengan cara-cara yang kita imani tidak sesuai dengan sifat-sifat Allah itu, yang penuh rahmat bagi seluruh ciptaan? Relational-faith adalah suatu pengakuan bahwa tidak ada satu agama pun yang berasal dari surga atau nirwana. Agama hanyalah konstruksi kontekstual teologis manusia. Dengan kesadaran itu, "beragama” adalah sebuah cita-cita untuk memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai imago Dei. Jika beragama hanyalah suatu kosmetik kesalehan dengan polesan hipokrisi, beragama seperti itu justru menghina kemuliaan Sang Misteri. Jika beragama hanya berujung pada penghancuran imago Dei, justru di situlah letak kesesatan beragama, yakni agama direduksi menjadi "senjata” untuk menghancurkan kemanusiaan orang lain. Jika beragama hanya menumbuhkan arogansi dan prasangka yang mengarah pada penghakiman orang lain, beragama semacam itu tidak lebih dari kemaksiatan dan mencabuli kemuliaan Sang Misteri dengan nafsu- nafsu egoisme sendiri. Jadi beragama seperti apa yang sekarang hendak kita pamer- kan? Beragama yang Repot = 85 14 Oprah Menyangkal Yesus— So What? eorang teman saya pernah meneruskan e-mail yang berisi tulisan bertajuk "Oprah Menyangkal Yesus”. Tulisan itu lebih kurang berisi tentang pandangan sejumlah orang terhadap pendapat- pendapat Oprah di berbagai media, termasuk Oprah Winfrey Show. Sebenarnya saya agak malas membaca dan menanggapinya, tetapi setelah melihat beberapa komentar yang masuk, saya jadi terusik juga untuk ikut nimbrung. Ini bukan analisis panjang lebar, melainkan semacam pandangan pribadi yang ringkas atas tulisan itu. Kadang-kadang saya jadi berpikir betapa egoisnya keberaga- maan kita sampai-sampai Yesus pun kita klaim sebagai milik kita saja dan seluruh pemahaman tentang Yesus hanya boleh dilakukan oleh "kita”. Interpretasi terhadap siapa Yesus itu sudah berkembang selama ribuan tahun dengan beraneka corak media—mulai dari yang tradisional sampai yang "net-nct”-an. 86 Soal Oprah menyangkali Yesus—menurut saya—itu hanyalah bentuk ketidakpahaman kita terhadap perspektif kristologis Oprah. Perspektif kita sendiri tentang Yesus juga tak luput dari keterbatasan kita dalam menafsir siapa Yesus. Kalau kita mengklaim "Oprah menyangkal Yesus”, "Yesus”-nya kita sendiri apakah memang sudah (paling] benar? Lalu, kalau kita bilang "paling benar”, dari mana sumberkebenaran” itu sendiri? Dari Alkitab? Lha, kita sendiri sudah mafhum bahwa Alkitab adalah sebuah produk tafsir manusia yang berlangsung dalam sejarah peradaban manusia yang cukup panjang. Dari ajaran Kristen? Kristen yang mana dulu? Lha, sekarang ini tidak kurang banyak pihak yang menyebut dirinya Kristen dengan versi yang berbeda-beda. Jika Oprah menyatakan pendapatnya seperti itu—entah mau dikategorikan sebagai new age atau apa saja—mari kita melihatnya sebagai berubahnya mindset seseorang yang dipengaruhi oleh *pengalaman-pengalaman” hidupnya. Bukankah di dalam ”penga- laman-pengalaman” hidup itu seseorang—baik Oprah maupun kita—sebenarnya sedang berada dalam pencarian "kehendak” Tuhan? Kita tidak sedang mencari Tuhan, karena untuk apa Tuhan dicari? Saya tidak melihat Tuhan sebagai "sosok” yang "duduk manis di singgasana surga yang nyaman, adem, hening”. Saya—mengikuti John Robinson dalam Honest to God dan Paul Tillich dalam Courage To Be—lebih melihat Tuhan sebagai The Ground of our being.” Dia” tidak ada di luar pengalaman manusia. Dia hidup dan menjelajah di dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Dalam hal ini, saya lebih cenderung pada John Cobb, Jr. yang merumuskan teologi proses. Cobb sendiri sangat dipengaruhi oleh filsuf Alfred North Whitehead yang memperkenalkan filsafat proses—yang berakar dalam pandangan filsafat Yunani klasik eyang Herakleitos dengan gagasan panta-rei: semua mengalir. Kalau kita membekukan Oprah dalam freezer teologis kita sendiri, saya melihat ini justru memperlihatkan keengganan kita Oprah Menyangkal Yesus—So What? 87 image not available image not available image not available image not available Kendati ada keinginan berdiskusi dengan MK, hingga ke- pergiannya menjumpai Sang Tuhan yang diempukannya, saya belum pernah sekali pun mendapatkan kesempatan itu. Yah, sudahlah. Namun, saya makin menyadari makna pepatah "gajah mati me- ninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”—betapa pentingnya meninggalkan "warisan” pemikiran yang terartikulasi dalam wujud buku.Tanpa fisik MK, saya ternyata menjumpai dirinya dalam kritik-kritiknya, diksi-diksinya, yang cerdas dalam bukunya— dan ternyata MK tetap “hidup”. Perempuan 3D MK menyadari bahwa ketika ia berteologi, ia selalu akan berada dalam daya gravitasi tiga dimensi (3D): Asia-Kristen-Perempuan. Pada titik itulah MK melakukan petualangan-petualangan teologis yang liar dan keluar dari pakem-pakem (mainstream) tradisional, baik dalam dunia teologi maupun sastra. Perspektif 3D itu pula yang membuat feminisme MK menjadi kontekstual dan menggairahkan. Feminisme MK "garang” bukan karena dielaborasi dalam theoretical framework yang Barat; melainkan karena dengan berani membedah "kanker” kebisuan dalam ranah kultural perempuan pada tiga dimensi itu. Tidak sulit mencari perempuan Asia-Kristen yang pintar dan bergelar, tetapi menurut saya sulit mencari Perempuan-Asia- Kristen setangguh MK. Ja tangguh bukan karena mampu menguasai 10 bahasa asing, tetapi karena ia menyelami hidupnya dengan petualangan-petualangan intelektual lintas budaya. Ia tangguh bukan karena pernah belajar dan berkarya di luar negeri, tetapi ia menghayati identitasnya sebagai perempuan serta memberi makna ”yang lain” (others) di tengah-tengah wacana identitas multikultural. Dia tangguh karena memilih menjadi dirinya sendiri, perempuan 92 Iman Tidak Pernah Amin merdeka yang menolak dideterminasi oleh ”gelar” dan "status sosial”. Mengenang MK dengan seluruh sepak-terjangnya di dunia feminisme global pada saat yang sama adalah juga mengajukan pertanyaan: ke mana arah feminisme (teologi Kristen) Indonesia? Saya tahu bahwa banyak teologiwati Indonesia—beraliran feminisme radikal—yang cukup garang menyuarakan kritik sosial terhadap penindasan perempuan dalam arti luas. Sayangnya,menurut saya, mereka lebih banyak tenggelam dalam retorika teologis yang tidak berakar pada gulatan-gulatan lumpur Indonesia. Bacaan-bacaan mereka "berat”, tetapi "kurus” dalam eks- plorasi keperempuanan yang ”menyentuh dan membebaskan”. Pen- dapat-pendapat mereka kritis, tetapi dengan mudah ditepis karena tidak dibangun di atas kerangka epistemologis yang andal. Banyak yang merujuk feminis-feminis Barat, tetapi terpuruk ketika mesti menyebut perempuan-perempuan biasa di tanah sendiri, padahal mereka juga melakukan banyak hal yang luar biasa. Saya mendengar bahwa PERSETIA bekerja sama dengan Pusat Studi Feminis (PSF) Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta dalam merealisasikan penulisan buku teologi feminis Indonesia yang disaring dari sekolah-sekolah teologi di Indonesia. Mungkin inilah waktunya untuk mengerahkan dan mengarahkan energi perempuan 3D dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi di Indonesia. Marianne Katoppo, perempuan 3D itu, telah pergi. Akan tetapi, saya, laki-laki biasa, percaya bahwa kerangka feminisme MK dapat menjadi spektrum yang menerobos kebekuan dan kekeluan teologis dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi ketika mesti berbicara tentang perempuan. Saya, laki-laki biasa, berharap momentum wacana teologi feminis oleh PERSETIA dan UKDW Yogyakarta dapat menjadi proses lingkaran hermeneutis yang mengajak setiap orang—perempuan dan laki-laki— "tersentuh dan bebas”. Mencari yang Tersentuh dan Bebas 93 image not available harus bermuara pada agree for disagree. Toh, itu juga merupakan sebuah kekayaan dalam spiritualitas ber-Tuhan (teisme). Entah mengapa, saat menyaksikan tayangan berita mengenai gelombang protes terhadap film Fitna karya Geert Wilders, saya jadi teringat sahabat saya itu. Dulu, kami sering berdebat sengit, bahkan saling melancarkan kritik. Namun, dalam kritik, ternyata saya tidak hanya semakin mencintai iman kristiani saya, tetapi juga semakin menghayati iman islami sahabat saya itu. Demikian juga sebaliknya. Ia menyimpan sajadahnya di kamar saya supaya ia bisa tetap melaksanakan sholat jika sedang berada di situ. Ketika kami berpisah, barang yang saya minta darinya sebagai kenang-kenangan adalah sajadahnya itu. Saya tidak ingin mengomentari soal film Fitna, karena sudah banyak kajian kritis yang diarahkan terhadap film itu, termasuk mengenai Geert Wilders sendiri. Saya justru tertarik untuk melihat bahwa kedangkalan Wilders dalam memahami Alquran justru bermula dari kedangkalannya memahami Alkitab (tentu, jika sampai saat ini ia masih mengaku ”Kristen”). Iman yang Mencari Pengertian Memahami dan menghayati Alquran dan Alkitab (juga kitab-kitab suci lainnya) tidak bisa dilakukan dalam suatu kerangka pengertian yang sains-ilmiah. Dalam ranah religiositas, iman tidaklah bermula dari pengetahuan melainkan dari pengalaman-pengalamanadikodrati yang mengangkat eksistensi manusia ke suatu suasana batiniah yang transendental. Pada titik itulah manusia mengkreasi simbol-simbol alamiah dalam pertautan eksistensial dengan kehadiran Sang Tuhan (omnipresence). Tuhan hadir dalam segalanya, tetapi segalanya tidak bisa dituhankan. Tuhan menampak dalam guntur, kilat, petir, badai, tetapi juga dalam keheningan, semilir angin sepoi-sepoi. Keagungan Tuhan disimbolisasikan seperti burung rajawali yang mampu terbang Lectio Divina 95 di antara gunung-gunung batu, tetapi juga dipahami sebagai yang tak bernama—Aku adalah Aku! Alkitab (dan juga kitab-kitab suci lainnya) merupakan buku yang sarat dengan simbol—bentuk huruf, kata, kalimat, ungkapan, intonasi, alegori, dan sebagainya. Membaca Alkitab (dan kitab-kitab suci lainnya) serta-merta adalah membaca simbol dan menafsir makna. Simbol itu sendiri bukanlah suatu entitas linguistik yang baku dan kaku, melainkan terbuka dan dinamis sehingga ketika dibaca akan membuka ranah tafsir yang luas dan multibentuk. Terlepas dari kepentingan apa yang melatari Geert Wilders membuat dan menyebarluaskan film Fitna, tetapi Wilders sudah memberi contoh bagaimana Alquran sebagai simbol keberimanan yang menjadi hakikat religiositas keislaman telah ditekuk hanya menjadi bacaan picisan. "Kekerasan” adalah suatu bahasa simbolik dari ambisi manusia untuk berkuasa dengan mengabaikan hidup orang lain. Wilders rupanya sengaja lupa [atau memang tidak tahu karena tak tuntas membaca Alkitab] bahwa di dalam Alkitab juga sarat dengan kisah dan anjuran berjiwa kekerasan. Bahkan, Allah pun digambarkan sebagai Allah yang murka, marah, dan mendendam. Namun, teks-teks kekerasan dalam Alkitab juga mesti dipahami sebagai model realitas kemanusiaan yang tak urung lepas dari akar-akar kekerasan. Dalam kerangka itu, membaca Alkitab harus dipahami sebagai upaya mengarungi lautan makna simbol- simbol yang [pernah] menjadi bagian dari sejarah sosiologis suatu komunitas. Lectio Divina Lantas, apakah teks-teks kekerasan dalam Alkitab harus dibuang? Untuk apa? Tidak perlu. Kesucian Alkitab tidaklah terletak pada arti harfiah teks-teks di dalamnya melainkan pada kehendak setiap orang yang membacanya, tenggelam dalam permenungan yang terarah 96 Iman Tidak Pernah Amin bukan hanya untuk mengenal Tuhan tetapi juga mendengar suara- Nya. Kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, dan sebagainya yang tertulis dalam Alkitab adalah pantulan realitas kemanusiaan vis-a- vis transendensi Allah. Penghadapan yang imanen dan transenden justru hendak mengingatkan bahwa di dalam diri setiap manusia tepercik citra ilahi untuk mendatangkan kebaikan dan rahmat bagi semua ciptaan. Pada titik itulah, Alkitab (dan kitab suci lainnya) menjadi /ectio divina (bacaan suci, sacred reading). Dalam tradisi spiritualitas kristiani, lectio divina adalah cara membaca secara batiniah yang terdiri dari empat langkah: Lectio = pemilihan atau bacaan Meditatio = merenungkan makna atau meditasi Oratio = berbicara atau berdoa Contemplatio = permenungan atau kontemplasi Lectio. Lectio tidak sama artinya dengan membaca koran, tabloid, atau kertas ujian. Lectio adalah membaca dengan pelan-tenang- mendalam-tenggelam dalam Allah. Kalau dalam Penelaahan Alkitab kita mencoba mengetabui lebih banyak tentang Allah, lectio mengajak kita mendengar lebih banyak dari Allah. Ini tidak mudah, karena kita terbiasa dengan yang serba cepat, instan, asal jadi. Lectio juga adalah soal cita rasa dalam menikmati bacaan Alkitab: berulang-ulang, perlahan-lahan, tenang, fokus pada kata, kalimat, dan paragraf. ‘Tidak usah dipikirkan apa maknanya; tidak usah dibayangkan apa konteksnya. Dengan Jectio kita diajak untuk akrab dengan teks Alkitab, meresapkannya dalam jiwa. Tidak usah pusing dengan maknanya, dengarkan saja teks itu. Alami teks itu. Meditatio. Kata "meditasi” muncul sekitar 15 kali dalam PL (tidak muncul dalam PB). Kata itu muncul 14 kali dalam Mazmur, 6 kali dalam Mazmur 119; juga Yosua 1:2-8—’renungkanlah itu siang dan malam...”. Kata Ibrani untuk ”meditasi” adalah hagah, yang lectio Diving = 97 1? Banjir ulit melupakan peristiwa serbuan "air bah” yang sering meng- gempur Jakarta (misalnya pada 2 Februari 2007). Hanya dalam hitungan jam, seantero wilayah Jakarta lumpuh total dan serbuan tersebut membentuk peta Jakarta layaknya danau raksasa. Kata orang—dan juga para pejabat yang sok tahu—ini merupakan bencana lima tahunan. Perhitungan itu hanya didasarkan pada petistiwa banjir bandang’ tohun 2002, lalu disimpullan secara simplistis sebagai ”peristiwa lima tahunan”. Asumsi yang dangkal dan sok tahu itu pun runtuh ketika ternyata baru genap setahun, yaitu 1 Februari 2008, Jakarta kembali rontok-merontok” karena lagi-lagi diterjang air bah yang bingung mencari jalan keluar. Malah, kali ini boleh dibilang lebih parah. Bayangkan saja, bandara bertaraf internasional "Soekarno-Hatta” tergolek lesu tak berdaya terkepung air, schingga pemerintah harus {00 dan sesat—sampai bisa mengeluarkan fatwa "aliran sesat”’—bisa nggak ya dikeluarkan fatwa tentang aliran-aliran air yang "tersesat” masuk ke jalan-jalan dan permukiman penduduk (kampung- kampung) di seantero Jakarta? Fatwa itu saya kira lebih universal karena keselamatan manusia dan lingkungan hidup yang menjadi dasar teologisnya. Dasar teologis? Ya, bukankah hubungan kita dengan Realitas Ultim yang kita sebut "Tuhan” itu tidak hanya tampak dalam ritual-ritual keagamaan kita, tetapi juga harus mewujud dalam etika hidup bersama dengan seluruh matra semesta—masyarakat dan lingkungan hidup? Dengan demikian, bangsa yang religius tidak sekadar pamer kemegahan tempat-tempat ibadah yang menjulang tinggi dan jor- joran membangun rumah ibadah pada setiap jengkal tanah kosong tanpa peduli pada ketentuan izin mendirikan bangunan. Bangsa yang religius adalah bangsa yang sadar bahwa ibadah yang sejati adalah penghormatan yang tulus atas relasi-relasi kemanusiaan dengan siapa saja dan juga dengan lingkungan hidup. Hormat pada yang kelihatan tentu saja akan menentukan ketulusan rasa hormat pada yang tidak kelihatan—Tuhan, Dalam kekristenan, Yesus mengajarkan prinsip-prinsip seperti itu—"barang siapa menghormati saudaraku yang paling hina, dia menghormati Aku’. Saya makin berandai-andai dengan tautan kontroversi seputar ”pemaafan’atas kesalahan Soeharto,presiden ke-2 RepublikIndonesia yang pernah berjaya dengan segala prestasi dan kepongahan kuasa despotiknya selama 32 tahun. Pernyataan tersebut bisa bermakna ganda: Soeharto bagi lawan-lawan politiknya dianggap “hina” TETAPI ia mesti dihormati; Para korban politik semasa Orde Baru diperlakukan "hina” TETAPI mereka juga harus dihormati. {02 Iman Tidak Pernah Amin Jika banjir terjadi karena aliran air yang tersesat, tentu masalahnya bukan pada airnya, tetapi pada saluran-saluran air yang tersumbat oleh beraneka sampah yang tak terurai (non-organik). Bisa jadi, "aliran{-aliran]” keagamaan yang tidak sepaham dengan kelompok keagamaan dominan [lalu dicap "tersesat”], masalahnya bukan pada aliran[-aliran] itu tetapi pada saluran komunikasi antarkomunitas beriman yang mungkin saja tersumbat”sampah-sampah’ sejarah, tafsir doktrinal yang dangkal, arogansi spiritual, persekongkolan agama- politik/politik-agama, sehingga aliran-aliran tertentu mencari jalan sendiri dan menyimpang dari ”arus utama”. Penyimpangan itu pun dianggap ”bencana” namun tak mampu diatasi secara komprehensif. Sumbatan komunikasi hanya bisa dibuka jika seluruh agama (khususnya, teistik) memahami bahwa sentrum agama adalah *manusia”, yang dalam sejarah peradabannya mencoba menggapai kebenaran dalam kemahaluasan Realitas Ultim, yang kemudian dibahasakan dalam nama "Tuhan’. Penggagasan teologis semacam ini mau tidak mau harus me- langkah pada titian humanisme yang terus-menerus menjaga agar tidak terjerumus pada jurang ekstremitas humanistik di kiri dan teistik di kanan. Beragama tanpa Tuhan (humanisme) hanya menarik manusia ke dalam medan magnet keperkasaan manusia yang semu (ddber-mensch) yang abai pada dorongan-dorongan kebaikan eksistensial yang inheren pada kemanusiaannya. Sebaliknya, beragama tanpa manusia akan menyedot manusia ke dalam medan magnet utopia tentang akhirat” atau "surga”, yang pada gilirannya menciptakan manusia-manusia asketik ahistoris. Ttulah manusia-manusia yang syahwat sosiologisnya impoten dan hanya asyik-masyuk dalam mimpi dengan "tuhan-tuhan”-nya yang manis tetapi tidak pernah mampu merangkul Sang Tuhan itu karena kesulitan menggauli Sang Tuhan dalam wujud kebertubuhan sosial. Iman membutuhkan tubuh sosial agama. Tubuh sosial itu pada gilirannya tak lebih dari mayat” jika tidak dihidupi oleh iman Banjir (03 image not available 18 Mengasihi Musuh? Capek Deh.... ahabat saya, Pdt. Elifas Maspaitella, menulis satu artikel menarik di blognya bertajuk "Susahnya Mengampuni”. Saya tidak tahu konteks apa yang menginspirasinya untuk membuat tulisan tersebut. Namun, okelah, soal ackground tulisan itu, biarlah cuma ia yang tahu. Akan tetapi, setidaknya tulisan tersebut telah membawa saya pada percik permenungan yang lain, tentu dari sudut pandang yang berbeda, mengenai tautan wacana ”pengampunan”. [mpuls imajinatif saya mendadak sontak nyanto/ pada satu pernyataan Yesus dalam Injil Lukas 6:27-36 (nanti baca saja sendiri; soalnya kutipannya terlalu panjang kalau dimuat seluruhnya di sini). Saya hanya ingin mengutip pernyataan yang paling dikenal saja: "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu...”. 105 Topik”mengasihi musuh”, saya kira, merupakan topik yang paling tidak populer bagi setiap orang. Topik ini sering dihindari dalam banyak percakapan, diskusi gerejawi dan bahkan khotbah-khotbah di gereja. Kutipan pernyataan Yesus di atas kemudian bermuara pada apa yang disebut "kaidah emas’ (go/den rule):”Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (ayat 31). Pernyataan serupa terungkap pula dalam Matius 7:12: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh Hukum Taurat dan kitab para nabi.” Artinya, menurut Matius, Yesus sungguh-sungguh membangun etika pelayanan-Nya di atas dasar pemahaman keagamaan-Nya (Yahudi). Yesus tidak anti-Taurat tetapi terus-menerus hendak menanamkan pengertian baru yang lebih segar dan relevan daripada yang diajarkan sebagai rutinisme oleh para ahli Taurat sezaman. Mengapa topik ini tidak populer bagi banyak orang? Setidaknya ada dua alasan: [1] sejak masa Pencerahan, manusia tersiram cahaya rasionalitas bahwa kebebasan untuk berpikir tentang dirinya dan dunianya tidak lagi dibatasi oleh pagar norma-norma keagamaan (teologis) yang dibangun olch institusi keagamaan (gereja). Sejak saat itulah ajaran-ajaran [berbau] agama dianggap sebagai spam karena dianggap hanya menawarkan ekstase akhirat tanpa bergulat dalam realitas konkret kemanusiaan yang berlepotan dengan sejuta problem tak berjawab. "Mengasihi musuh”, antara lain, dianggap sebagai utopia karena dunia justru sedang mengarah pada ”perang”, baik secara fisik maupun ideologis yang tentu beralchir pada polarisasi ”pemenang-pecundang” (winner and /ooser); [2] Pada dasarnya dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan untuk mencari kepuasan intrinsik yang kemudian dipahami sebagai "kehendak bebas” (free will), yang kerap mewujud dalam tindakan-tindakan melawan aturan atau hukum sosial. 106 Iman Tidak Pernah Amin Dua alasan di atas mempunyai efek yang luas (sosial, ekonomi, budaya, teknologi, teologi). Namun, bukankah semua itu adalah konsekuensi historis dari sebuah perkembangan zaman? Mengapa harus dicurigai? Sebenarnya, jika hendak menempatkan pernyataan Yesus dalam konteks hidup kita sekarang, [si]apakah musuh kita? Bisa jadi, ketika mendengar pertanyaan tentang "musuh”, imajinasi kita langsung menerawang pada gambaran “orang” yang bermuka masam, cemberut, marah-marah pada kita atau yang sering membuat kita tersinggung dan sakit hati. Namun, pernahkah kita membayangkan wajah "musuh” justru sebaliknya: murah senyum, [seolah-olah] bersahabat, memberi kita kenikmatan [yang menjerumuskan], membuat kita mabuk, dan sebagainya? Kebudayaan global dengan segala tampilannya saat ini telah menawarkan kepada kita suatu ekstase gaya hidup yang ”nyaman’, tetapi bukan berarti tanpa risiko. Itulah sebentuk ”ideologi” yang sekarang sedang merasuki kehidupan masyarakat kita dan menggiring kita ke arah tujuan yang tak menentu. Memang, perubahan paling radikal dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat agaknya justru sedang berlangsung dengan cara paling damai, nyaman, diam-diam, tanpa gejolak: tiba-tiba saja, masyarakat tercerabut dari aras tertentu dan lalu perubahan dalam arti riil yang dicita-Citakan bersama tak diperlukan lagi. "Ideologi” yang baru merasuk tidak lewat indoktrinasi kaku, pamflet, propaganda, pidato, penataran dan sejenisnya, tetapi lewat gemerlap iklan, sihir program-program televisi, tawaran gaya hidup yang “wah”, yang kemudian mendekonstruksi atau mengubah kebudayaan bersama maknanya yang selama ini dikenal orang pada kajian baru. Saat ini sedang terjadi "perang” massif, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi atau uang; orang berlomba-lomba dalam keserakahan mengejar kekayaan lalu menumpuknya; orang menyangkal realitas kemiskinan dengan Nengasthi Musuh? Capek Deh... 107 polesan tampilan flamboyan ala selebriti bertabur berlian—hanya supaya dicap orang kaya”. Kalau dulu, sebagian orang merasa’tidak perlu” pamer kekayaan dan cenderung tampil modes¢ meskipun kaya, kini apa gunanya kaya kalau tidak dinikmati habis-habisan? Kaya itu enak dan perlu. Lalu apa yang membatasinya? Hanya langit. Welcome to McD’s World! Mari kita intip contoh McDonald’s. Di Oak Brook, Illinois, daerah pinggiran kota Chicago, berdiri dan tersebar bangunan besar kantor, plaza, universitas, hotel, selain hutan dan danau yang tampak dilestarikan. Di situlah "markas besar” McDonald’s, usaha waralaba (franchising) yang bergerak di penjualan hamburger dengan restoran yang tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Melihat "mabes” McDonald’s, kita akan menyadari bahwa di balik struktur organisasi dan pengendalian usahanya terbingkai suatu "ideologi”: McDonald’s tidak hanya membuat makanan tetapi "mencetak manusia [hamburger]”, tidak menciptakan hamburger tetapi kebudayaan, bukan hanya mengurusi masalah perut tetapi juga gaya hidup. Seperti halnya Levi-Strauss meroket dalam popularitas global dengan 4/ue- Jeans, yang terjadi sebenarnya adalah proses produksi yang mengikuti desain kebudayaan berupa standarisasi dalam skala global. Untuk menyebarkan ideologi”manusia hamburger”,McDonald’s mendirikan Hamburger University di Oak Brook.Merekasadarbahwa bukan makanan yang mereka proses, tetapi konsumen. Apa yang distandarisasi bukan hanya makanannya, tetapi juga konsumennya. Dengan demikian, mengonsumsi produk McDonald’s bukan hanya untuk kenyang, tetapi juga untuk peningkatan kebahagiaan manusia yang sadar akan makanan dan kebiasaan makan yang schat. Clive Bloom melukiskan kekuatan McDonald’s sebagai penetrasi "ideologi Amerika”. Sebuah dunia yang nyaman, enak, bersahabat 108 Iman Tidak Pernah Amin dan pas untuk konsumsi domestik. Memasuki dunia McDonald's, Coca-Cola, Levi 501s, Anda tak perlu memikirkan dunia yang kian ruwet. Masa Perang Dingin telah usai. Penetrasi”ideologi” tidak lagi lewat paksaan moncong senjata dan infiltrasi spionase, melainkan tawaran yang adem, damai, nyaman, atau kata orang Amerika: have fun. Lagipula, tidak ada kata” gagal” dalam kamus McDonald’s. Batas karier seseorang di McDonald’s cuma langit. Kalau begitu, apa yang salah dengannya? Mengapa kita harus melihatnya sebagai ancaman atau musuh? Kita sudah tentu tidak bisa menghindarinya karena tsunami kebudayaan massal ini sedang menerjang sendi-sendi kehidupan kita: mulai dari urusan rambut sampai kuku kaki. Apa yang bisa kita lakukan paling-paling hanya mengenalinya agar, semoga, tidak tergulung oleh gelombang dan jungkir-balik tanpa arah, yang akhirnya menghempaskan kita pada batu karang realitas yang membinasakan kemanusiaan dan ekosistem bumi. Apa yang hendak kita refleksikan di sini ialah "kehati-hatian” atau "kritik ideologi” terhadap gaya hidup yang scbenarnya sedang menjerumuskan kemanusiaan kita pada keterasingan (alienation). Ketika manusia turun nilainya menjadi "komoditas”, maka lambat- Jaun atau segera pandangan kita terhadap diri sendiri dan sesama akan ditentukan oleh komoditas tempelan yang disandangnya (parfum, busana, sepatu, tongkrongannya, konsumsi, tujuan wisata, merek HP, dan sebagainya). Hubungan kita tidak lagi terbangun secara genuine sebagai hubungan kemanusiaan. Mengasihi musuh adalah suatu tindakan radikal yang berarti "menerima segala perkembangan yang penuh risiko tanpa kehilangan sikap kritis [keberanian berjarak] dengannya”. Pada titik irulah letak kesulitannya yang lagi-lagi oleh Yesus disebut sebagai keberanian untuk menyangkal diri. Anda mungkin menganggapnya sebagai "cerita besat” (grand- narrative). Tak apalah. Namun, ini bukan bualan besar karena cerita besar ini sedang menjadi cerita kita bersama, yang menggulung kita Mengasihi Musuh? Capek Deh.. (09 dalam alur narasi hidup bersama sejagat, baik yang hidup di kota- kota megapolitan hingga ke desa-desa paling ndeso di titik-titik peta dunia yang selalu tak menarik untuk diperhatikan. Kita semua sedang ditelan ke dalam situasi yang sempoyongan dengan ekstase gaya hidup. Seandainya Yesus hidup pada abad ini, saya percaya Yesus pun akan bergaya hip-hop, menenteng HP Nokia Nseries 3G, atau Dia duduk di Mal Senayan City mengajar orang banyak sambil membawa mereka berkeliling untuk shopping, kalau lapar, Dia mungkin tidak sempat singgah di rumah Zakeus [yang nangkring di plafon koridor bus Transjakarta], melainkan nongkrong di McDonald’s, KFC, atau Pizza Hut. Kan lebih asyik. Adem lagi. Akan tetapi, saya percaya bahwa Yesus postmodern pun masih punya waktu dan energi untuk bekerja bagi pelayanan kaum miskin tergusur—entah oleh banjir atau satpol PP—bukan karena mereka miskin-papa, melainkan karena mereka adalah sesama manusia yang harkat-martabatnya tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan kaum berduit dengan tunggangan Mercedes Benz atau BMW. Saya percaya Yesus postmodern juga tetap punya konsistensi dan resistensi dalam perubahan sosial yang makin merakyatkan kemelaratan, termasuk perlawanan terhadap pelecehan kaum pe- rempuan dalam sweeping PSK yang tidak manusiawi dan penuh kemunafikan. Dalam karya klasiknya Love, Power and Justice, Paul Tillich menyatakan bahwa urusan "mengasihi” bukanlah urusan personal-emosional semata, melainkan masalah ontologis yang terikat dan terkait dengan soal keadilan dan kekuasaan. Wuaaahh..., capek deb! iio Iman Tidak Pernah Amin 19 Anakku Sekolah! enin, 14 Juli 2008, adalah hari pertama Kainalu di Sekolah Dasar Katolik Don Bosco 1 Kelapa Gading. Bagi saya, ini adalah hari yang bersejarah. Sama pentingnya dengan saat seorang anak dilahirkan dari rahim ibunya. Sebuah proses peralihan yang juga menyertakan pergeseran cara berpikir (mindset), yang pada gilirannya membentuk suatu gaya hidup yang berbeda dengan sebelumnya. Begitu pentingnya schingga saya lebih memilih absen dari kantor untuk mengantarkannya ke sekolah, dan memperhatikan seluruh proses pembelajaran dari luar ruang kelas. Ah, saya jadi teringat pada masa saya masih kecil ketika baru masuk SD dulu di Malang. Nancy, istri saya, sedang bertugas ke luar Jakarta. Jadi, hanya saya yang mengantarkan Kainalu. Memperhatikan Kainalu di dalam kelas membuat imajinasi saya melayang-layang—mengenang kembali saat-saat harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Terpisah dengan teman- teman waktu di taman kanak-kanak memang sangat menyedihkan. Memang,di SD, kita berkenalan dengan teman-teman baru, tetapi fob seperti ada sesuatu yang hilang—keakraban, keceriaan, pengenalan. Namun, apa mau dikata? Proses semacam ini harus dialami oleh setiap orang. Suatu diskontinuitas, untuk menjalani kontinuitas yang baru, tidak hanya dalam bentuk tetapi juga kualitas. Jujur saja, rasa "terputus” (diskontinuitas) itu tidak hanya dirasakan oleh anak, tetapi sekarang juga oleh saya yang sudah menjadi orangtua. Senang melihat anak bertumbuh sehat dan cerdas, tetapi juga terselip rasa kesendirian. Semakin besar anak, semakin longgar ikatan ketergantungan dengan orangtuanya. Kita ingin terus memperlakukannya dengan manja tetapi serta-merta tersadar bahwa anak sudah semakin besar dan mandiri. Melihat Kainalu belajar di kelas, saya menjadi semakin sadar bahwa hidup kita terus bergerak dalam fragmen-fragmen diskontinuitas/kontinuitas. Sebuah keterputusan transformatif yang membawa kita pada realitas ruang dan waktu yang berbeda, dan pada akhirnya membuat kita memang harus terus berada dalam aliran sejarah yang senantiasa memunculkan varian-varian kehidupan yang tak terduga tetapi harus dijalani. Momen semacam itu mengingatkan saya pada cerita tentang Yesus dalam Bait Allah ketika Dia berumur 12 tahun (Luk. 2:41- 52). Ketika berada di Yerusalem untuk mengikuti perayaan Paskah, orangtua Yesus tidak menyadari bahwa Yesus sudah tidak bersama mereka dalam rombongan. Mereka menyangka Yesus berjalan dengan teman-teman sebayanya. Ketika sadar Yesus tidak ada dalam rombongan, Yusuf dan Maria pun mulai mencari Yesus. Tiga hari mereka mencari Yesus. Wow, bayangkan betapa paniknya Yusuf dan Maria—harus mencari Yesus di antara begitu banyak orang. Apalagi, pada waktu itu belum ada Aandphone atau kendaraan bermotor yang bisa dipakai mondar-mandir. 2 Iman Tidak Pernah Amin aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. aa You have either reached a page that is unavailable for viewing or reached your viewing limit for this book. Diangkat dari catatan-catatan pribadin kapi berbagai persoalan yang dijumpai hari—dari Daniel Sal Dengan gaya bahasa lincah menggelitik, ia men pengalaman tersebut dan bersama-sama menemukan pesan bagi kita dan uleka. ak kita merefleksikan kembali upaya untuk e oleh g, terutama dalam meraj Indonesia. Inilah iman yang menolak di suatu Iman yang pernal sikap dogmatis terten Melalui buku ini, Steve Gaspersz membuktikan dirinya sebagai seorang teolog muda Indonesia yang dapat diandalkan. Tulisan-tulisannya menampakkan kepekaan sosial dan kepiawaian literer merangkai gagasan-gagasan iman Kristen dalam konteks aktual Indonesia berlatar Maluku. Dr. Zakaria Ngelow, Teolog, Sejarawan Gereja, Aktivis Kemanusiaan dan Pluralisme Bagaimana mungkin sembilan kualitas unggul sebagai kritikus, pluralis, nasionalis, penulis, pembelajar, budayawan, teolog, pendeta, bahkan filsuf dimiliki sekaligus oleh satu orang bernama Steve Gaspersz. Tetapi, tulisan-tulisan bernas dalam buku ini membuktikannya! Edy Zaqeus, Penulis Bestseller, Trainer, Writer Coach, Writing & Publishing Consultant Pendiri/Editor AndaLuarBiasa.com dan BukuKenangan.com Iman Tidak Pernah Amin ISBN 978-979-687-666-2 PT BPK GUNUNGMULIA™ | | | | www.bpkgm.com 1007141300 9117897961876662 Rohani ——"

Anda mungkin juga menyukai