Anda di halaman 1dari 2

Jakarta - Anomali upaya pemberantasan korupsi, hingga kini belum juga berlalu.

Hiruk pikuk hukum melanda tak


tentu arah. Terakhir, istilah kriminalisasi menjadi ambigu.
Di satu pihak, istilah itu digunakan untuk serangkaian tindakan penyelidikan/penyidikan yang dilakukan oleh polisi
terhadap sejumlah pimpinan dan penyidik KPK serta sejumlah penggiat pemberantasan korupsi. Masalahmasalah lama dibogkar kembali. Apalagi yang baru.
Berlindung di balik laporan masyarakat, polisi berdalih bahwa tindakan penyelidikan/penyidikan itu bukan bentuk
kriminalisasi tetapi tindakan yang wajib dilaksanakan oleh polisi. Bukankah setiap laporan anggota masyarakat harus
ditindak lanjuti oleh Polri sebagai pelayan masyarakat?
Yang menjadi masalah bagi para penggiat pemberantasan korupsi adalah, mengapa laporan anggota masyarakat itu
'ujuk-ujuk' 'membanjir' pada saat Polri dan KPK sedang hanyut dalam persoalan serius? Jawaban atas pertanyaan ini
memang tergantung dari mana jawaban berasal.
Sehebat-hebat badai, pastilah akan berlalu. Begitu juga dengan anomali. Paradigma baru akan muncul seiring
sirnanya anomali. Pada saat itu, keseimbangan baru pun bakal tercipta. Tentu saja yang diharapkan adalah suatu
keseimbangan di mana lembaga-lembaga penegak hukum melaksanakan tugas dan fungsinya dalam suasana yang
harmonis, bukan saling menjegal.
Khusus dalam upaya pemberantasan korupsi, kerja sama saling menghormati saling menunjang di antara institusi itu
sungguh sangat diperlukan.
Tak kalah pentingnya adalah kerja sama dengan lembaga legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Sudah sejak
lama dari lembaga ini muncul peraturan perundang-undangan yang kontroversial. Ada undang-undang yang multi
tafsir. Ada pula yang bertentangan dengan undang-undang lainnya. Semuanya menjadikan hakim semakin repot.
Begitu juga dengan Mahkamah Agung, lembaga tinggi negara yang diharapkan dapat meminimalisir perbedaanperbedaan mencolok putusan hakim.

Harmonisasi Perundang-undangan
Harmonisasi peraturan perundang-undangan agar saling mengisi dan tidak saling bertentangan, mutlak dibutuhkan
agar setiap undang-undang yang lahir merupakan penjabaran dari UUD 1945 dan tidak bertabrakan dengan undangundang yang ada. Sepuluh tahun yang lalu, sebagai anggota Komisi Konstitusi MPR-RI, Penulis berusaha keras
memperjuangkan agar lembaga pemberantasan korupsi dimasukkan di dalam Konstitusi. Karena tak membuahkan
hasil, kearifan, kejelian, ketekunan dan keberpihakan para wakil rakyat dalam menerbitkan peraturan perundangundangan yang ada kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi, sangat diperlukan.
Diundangkannya UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menambah jumlah peraturan perundangundangan yang saling bertabrakan. Undang-undang ini menentukan bahwa yang berhak mengawasi terjadinya
penyalahgunaan wewenang yang terdiri dari melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak
sewenang-wenang adalah aparat pengawasan internal instansi yang bersangkutan.
Setelah melakukan pemeriksaan, pengawas internal bakal tiba pada simpulan berupa 'tidak terdapat kesalahan' atau
'terdapat kesalahan administratif' bahkan 'terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
Negara'. 'Istimewa'nya, dalam waktu maksimal 10 hari kerugian negara itu diharapkan akan dikembalikan oleh badan
atau pejabat pemerintah yang melakukan.
Ketentuan 'istimewa' lainnya berasal dari Pasal 21 yang menyatakan bahwa suatu putusan Administrasi
Pemerintahan baru dapat dinyatakan melampaui wewenang dan sewenang-wenang serta campur aduk setelah diuji
di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Vonis majelis hakim dapat berupa sah tidaknya wewenang hingga
pembatalan. Putusan PTUN tingkat pertama dapat dibanding. Tetapi setelah itu, upaya hukum akan berakhir dan

putusan banding dinyatakan final and binding.


Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UU No 30 Tahun 2014 ini, nyata-nyata tidak selaras dengan UU No 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun
2001. Pasal 3 UU ini mengatur bagaimana 'setiap orang yang menyalah gunakan kewenangan,kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian Negara'. Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan hanya
Pegawai Negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun.
Mengenai kerugian keuangan negara, terdapat ketentuan mencolok di antara kedua undang-undang. Di dalam Pasal
4 UU No 31 Tahun 1999, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku.
Artinya, pelaku tetap dihukum, baik pidana penjara,pidana denda dan pidana tambahan. Sebaliknya, dalam UU No
30 Tahun 2014, dalam tempo 10 hari, pelaku dapat mengembalikan kerugian keuangan negara itu. Sejak awal,
perbuatannya kendati merugikan keuangan negara, sudah dianggap bukan tindak pidana.Next

Oleh karena itu, pelaku tidak perlu takut dipidana berapa besar pun kerugian keuangan negara yang timbul akibat
perbuatannya karena yang menanti hanyalah hukuman yang bersifat administratif. Ketentuan ini lebih diperjelas
dengan tiadanya ketentuan lebih lanjut dalam UU No 30 Tahun 2014 seandainya kerugian negara itu tidak
dikembalikan kendati waktu 10 hari telah berlalu. Jelaslah bahwa UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan tidak selaras dengan UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.
Tegasnya, UU No 30 Tahun 2014 menghambat upaya pemberantasan korupsi.
*)Prof DR Krisna Harahap SH,MH
Mantan anggota Komisi Konstitusi MPR-RI

Anda mungkin juga menyukai