Anda di halaman 1dari 58

BAB I

LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. EP
Tanggal Masuk
: 30 Juni 2016
Umur
: 28 tahun
Jenis Kelamin
: Wanita
Agama
: Kristen
Alamat
: Perumahan Mutiara Venezia Blok F 11, Cileungsi
Pekerjaan
: Swasta
Status
: Menikah
Bangsal
: Cempaka
Keluhan Utama : Mulas yang dirasakan sejak 6 jam sebelum masuk rumah
sakit
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien wanita G5P1A3 datang ke IGD RS UKI dengan keluhan mulas yang disertai
dengan keluarnya cairan bening disertai darah dari kemaluan sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan ini dirasakan pasien tiba-tiba dan mulas dirasakan hilang
timbul. Selain itu pasien mengeluh pusing dan lemas. Mual muntah disangkal. HPHT
pasien 15 Oktober 2015.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal memiliki riwayat hipertensi dan DM.
Pasien memiliki riwayat anemia sejak sebelum menikah.
Riwayat abortus 3 kali.
Riwayat demam tifoid dan ISK beberapa hari sebelumnya.
Pasien memiliki riwayat alergi obat Ciprofloxacin.
Riwayat asma dan kejang disangkal.
C. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengeluhkan keluhan yang sama dengan
pasien. Riwayat kencing manis, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung pada
keluarga disangkal.
D. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran

: compos mentis

Tekanan Darah

: 100/60 mmHg

Nadi

: 88x/menit

RR

: 21x/menit
1

Suhu

: 36,7OC

Berat Badan

: 73 kg

Tinggi Badan

: 154 cm

Status Generalis
Mata

: CA +/+, iketrik -/-, pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+

THT

: airway clear, bibir tampak pucat, gurgling (-), crowing (-), Snoring (-)
batuk (+), gigi palsu (-), gigi tanggal atau goyang (-), malampati 2

Leher
Thoraks

: pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)


:I

: Pergerakan dada simetris kiri dan kanan

: Vocal fremitus simetris

Per

: Sonor/sonor

: BND vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

: Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen : I

: Perut tampak buncit

: BU+ 4x/menit

Pal

: Supel; teraba massa sebesar kepala bayi dengan konsistensi keras;


nyeri tekan (-)

Per

: Nyeri ketok (-)

TFU

: 35 cm

DJJ

: 135x/menit

TBJ

: 3565 gr

Ekstremitas
Genitalia

: Edema - - , CRT < 2, akral hangat


+ +
: Fluor (-), Fluksus (-)

Pemeriksaan Penunjang
(Pemeriksaan Laboratorium) (27/06/2016)
Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

Hemoglobin

8,3 g/dl

12-14

Leukosit

8,6

5-10

ribu/uL
2

Hematokrit

25,7 %

37-43

Trombosit

228

150-450

ribu/uL
Pemeriksaan Penunjang
(Pemeriksaan Laboratorium) (29/06/2016)
Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

HBsAG

reaktif

Pemeriksaan Penunjang
(Pemeriksaan Laboratorium) (30/06/2016)
Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

Hemoglobin

7,6 g/dl

12-14

Leukosit

9,2

5-10

ribu/uL
Hematokrit

23,6 %

37-43

Trombosit

251

150-450

ribu/uL
Gula Darah Sewaktu

115

< 200

mg/dl
Hemostasis
Masa pendarahan

2 menit

1-3 menit

Masa pembekuan

15 menit

10-16 menit

13 detik

10-16 detik

15 detik

10-16 detik

Masa protrombin
-

Kontrol

(masa

protrombin)
Pasien
(masa
protrombin)

Assesment
-

G5P1A3 hamil 37-38 minggu + plasenta previa + KPD + riwayat SC 1 x


Anemia

Kesimpulan Pemeriksaan Fisik


Status ASA II E
3

AhliAnestesiologi

: dr. Ratna Hutapea, Sp.An

Operator

: dr. Tigor Paniel Simanjuntak, Sp.OG

Laporan Anestesi

Tindakan Operasi

: Sectio caesarea

Jenis Anestesi

: Spinal anestesi.

Teknik Anestesi

: Pasien duduk memeluk bantal, asepsis antisepsis dan injeksi

pada L3-L4 dengan spinocain no. 26, LCS + jernih.

Anestesi dengan

: Regivell (Bupivacain heavy 0,5%) 15 mg

Respirasi

: Spontan, RR : 22x/menit

Keseimbangan cairan :
- Input: Pre-op

: RL 300 cc

Durante op : RL 500 cc
NaCL 50 cc
PRC 187 cc
- Output:

Perdarahan 350 cc
Urine 100 cc (kuning jernih)

Lama Operasi

: 08.45-10.05 ( 80 menit)

Lama Anestesi

: 08.40-10.10 ( 90 menit)

Anestesi yang diberikan :

Pasien diposisikan duduk sambil memeluk bantal, kepala ditundukkan

Memastikan lokasi injeksi anestesi pada L3-L4

Melakukan asepsis antisepsis dengan betadine dan alcohol pada lokasi injeksi

Melakukan injeksi pada L3-L4 dengan spinocain no. 26, tampak LCS mengalir
spontan, jernih

Aspirasi sedikit pada spuit dan dilakukan injeksi Regivell 15 mg ke dalam ruang
subaraknoid

Obat-obatan yang dimasukkan secara intravena :

Ondansetron 4 mg

Ephedrin 5 mg

Oxytocin 10 IU (dalam RL)


4

Methylergometrin 0,2 mg

Asam traneksamat 500 mg

Petidin 20 mg

Maintenance dengan O2 2,5 LPM

Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, munculnya


perdarahan

Post-operatif

Pasien masuk bangsal perawatan

Observasi tanda-tanda vital, tanda-tanda perdarahan

Instruksi Post-op

Tramadol sup bila nyeri.

Ondansetron 4 mg/IV bila mual/ muntah.

Antibiotika dan obat-obatan lain sesuai dokter obsgyn.

Minum bertahap jika pasien sudah sadar penuh.

Infus RL 20 tetes /menit, selanjutnya infus RL 1000 cc/24 jam

Monitor tensi, nadi, RR, kesadaran, dan perdarahan setiap 15 menit s/d stabil,
selanjutnya cek H2TL post operasi.

Keadaan Post-op

Operasi selesai dalam waktu 80 menit

Keadaan akhir pembedahan :

Kesadaran

: Compos Mentis

TD

: 110/70 mmHg

: 64x/menit

RR

: 21x/menit

SPO2

: 100%

Pasien dipindahkan ke ruang bangsal perawatan dan dilakukan observasi TD, N, RR


dan kemungkinan munculnya tanda-tanda perdarahan.

Program post-operasi

Pasang O2 nasal kanul 2-4L/menit.

Kontrol tensi, nadi, RR, kesadaran, dan perdarahan setiap 15 menit s/d stabil,
selanjutnya cek H2TL post operasi.
5

Tramadol sup bila nyeri.

Ondansetron 4 mg/IV bila mual/ muntah.

Antibiotika dan obat-obatan lain sesuai dokter obsgyn.

Minum bertahap jika pasien sudah sadar penuh.

Infus RL 20 tetes /menit, selanjutnya infus RL 1000 cc/24 jam

Monitor tensi, nadi, RR, kesadaran, dan perdarahan setiap 15 menit s/d stabil,
selanjutnya cek H2TL post operasi.

FOLLOW UP POST OPERASI


a. Perawatan hari ke
Tanggal
Keluhan
Keadaan Umum
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu

: 1 post operasi
: 01 Juli 2016
: nyeri pada bekas operasi, lemas
: tampak sakit sedang
: compos mentis
: 110/70 mmHg
: 86x/menit
: 20x/menit
: 36,7OC

Status Generalis
Mata
THT

: CA +/+, iketrik -/-, pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+


: bibir tampak pucat

Leher

: pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)

Thoraks

:I
P
Per
A

Jantung
Abdomen

Ekstremitas
Genitalia

:I
A
Pal

: Pergerakan dada simetris kiri dan kanan


: Vocal fremitus simetris
: Sonor/sonor
: BND vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/: Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
: Perut tampak mendatar
: BU+ 4x/menit
:Supel, nyeri tekan (+) suprapubik, tampak luka operasi

terawat, rembesan (-)


Per : Nyeri ketok (-)
: Edema - - , CRT < 2, akral hangat
+ +
: Lokia +, perdarahan

Pemeriksaan Penunjang
(Pemeriksaan Laboratorium) (01/07/2016)
Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

Hemoglobin

9,1 g/dl

12-14

Leukosit

14,7

5-10

ribu/uL
Hematokrit

27,3 %

37-43

Trombosit

213

150-450

ribu/uL
b. Perawatan hari ke
Tanggal
Keluhan
Keadaan Umum
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu

: 2 post operasi
: 02 Juli 2016
: nyeri pada bekas operasi
: tampak sakit sedang
: compos mentis
: 110/80 mmHg
: 80x/menit
: 20x/menit
: 36,5OC

Status Generalis
Mata
THT

: CA -/-, iketrik -/-, pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+


: DBN

Leher

: pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)

Thoraks

:I
P
Per
A

Jantung
Abdomen

:I
A
Pal

: Pergerakan dada simetris kiri dan kanan


: Vocal fremitus simetris
: Sonor/sonor
: BND vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/: Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
: Perut tampak mendatar
: BU+ 4x/menit
:Supel, nyeri tekan (+) suprapubik, tampak luka operasi

terawat, rembesan (-)


Per : Nyeri ketok (-)
Ekstremitas : Edema - - , CRT < 2, akral hangat
- Genitalia
: Lokia +, perdarahan
Pasien boleh pulang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.

A. Fisiologi Kehamilan
Sistem pernapasan
Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Functional
residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan oksigen juga berkurang. Pada
saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat sampai 100%.
Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan
napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2yang cepat pada waktu
dilakukan induksi anestesi, meskupun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per
menit meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang
cepat pada wanita hamil.
Sistem kardiovaskular
Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan frekuensi
denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai 40%. Volume plasma
meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%,
menyebabkan terjadinya dilutional anemia of pregnancy.
Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan / kompresi
vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat menyebabkan terjadinya
supine hypertension syndrome. Jika tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi
penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin.
Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya autotransfusi
dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban jantung meningkat, curah
8

jantung meningkat, sampai 80%. Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam
normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi
perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu
karena selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII,
VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam hypercoagulable state.
Ginjal
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150% pada
trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas nonpregnant state pada saat
kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron.
Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun namun hal ini
dianggap normal.
Pasien dengan preeklampsia mungkin berada dalam proses menuju kegagalan
fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan nilai
normal.
Sistem gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan perubahan
sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara itu terjadi juga peningkatan
sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan
pengosongan lambung. Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat.
Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat
hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat terjadi
blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama.
Lambung harus selalu dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam
lambung, makanan) tanpa memandang kapan waktu makan terakhir.
Sistem saraf pusat
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi
obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan
menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau
intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai
anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada
kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih
sempit.

Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat


meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor
(enhanced diffusion).
Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta
Juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya
merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap
bahwa semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin.

B. Teknik Anestesi
Prinsip teknik anestesi harus memenuhi kriteria:
1. Sifat anelgesi yang cukup kuat
2. Tidak menyebabkan trauma psikis terhadap ibu
3. Toksisitas rendah aman terhadap ibu dan bayi
4. Tidak mendepresi janin
5. Relaksasi otot tercapai tanpa relaksasi rahim
Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah sebagai
berikut.
1. Adanya gangguan pengosongan lambung
2. Terkadang sulit dilakukan intubasi
3. Kebutuhan oksigen meningkat
4. Pada sebagian ibu hamil, posisi terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi
(supine

aortocaval

syndrome)

sehingga

janin

akan

mengalami

hipoksia/asfiksia.
Anestesi Regional
Pelaksanaan blok epidural (blok spinal) bersifat spesialistik, sehingga
sebaiknya diserahkan kepada dokter ahli anastesia. Sebagai gambaran, berikut ini
dikemukakan beberapa hal tentang anastesia epidural atau spinal.
Obat anastesia yang banyak dipakai adalah :

Lidonest

Bupivacain (Marcain)
10

Lidokain

Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan
kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk
melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman). Dinegara yang sudah
maju, kebanyakan kasus persalinannya memerlukan tindakan anastesia lumbal, sakral,
atau kaudal.
Analgesi/blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per vaginam.
Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan per
abdominam/sectio cesarea.
Keuntungan :
Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat
dicegah/dikurangi.
Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.
Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)
Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional sudah
siap.
Kerugian :
1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.
4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun, sehingga
kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.
Kontraindikasi :
a) Pasien menolak
b) Insufisiensi utero-plasenta
c) Syok hipovolemik
d) Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
e) Sepsis
f) Gangguan pembekuan
11

g) Kelainan SSP tertentu


Teknik :

Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan kristaloid (Ringer
Laktat).

15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida

Observasi tanda vital

Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk, dilakukan punksi
antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum/trokard. Ruang epidural dicapai
dengan perasaan hilangnya tahanan pada saat jarum menembus ligamentum flavum.

Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah
menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus
selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya
cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.

Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural / subaraknoid.

Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum
halus atau kapas.

Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi ditutup dengan kasa
dan plester.

Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

Obat anestetik yang digunakan


Lidocain 1-5%, chlorprocain 2-3% atau bupivacain 0.25-0.75%. Dosis yang dipakai untuk
anestesi epidural lebih tinggi daripada untuk anestesi spinal.
Komplikasi yang mungkin terjadi
Jika terjadi injeksi subarachnoid yang tidak diketahui pada rencana anestesi epidural dapat
terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang dipakai lebih tinggi. Gejala berupa nausea,
hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai henti napas dan henti jantung.
Pasien harus diatur dalam posisi telentang / supine, dengan uterus digeser ke kiri, dilakukan
ventilasi O2 100% dengan mask disertai penekanan tulang cricoid, kemudian dilakukan
intubasi. Hipotensi ditangani dengan memberikan cairan intravena dan ephedrine.
12

Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan kehilangan


kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus dilakukan intubasi pada pasien,
menggunakan 1.0 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk
mengatasi asidosis metabolik.
Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi dura. Terapi
dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik, dan pengikat / korset perut
(abdominal binder).

C. KETUBAN PECAH DINI (KPD)


a. Definisi KPD
Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of
membrans (PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada
saat belum menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu
didefinisikan sebagai kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang
menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam
kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila
ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5
cm pada multigravida. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik
pada kehamilan aterm maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan
aterm prematur rupture of membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila
terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini
preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan bila terjadi
lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM.2
b. Etiologi KPD
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya
elastisitas yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan
perubahan yang besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh
infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada
amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah
lapisan retikuler atau trofoblas, dimana sebagaian bear jaringan kolagen
terdapat pada lapisan penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel
13

basal korion). Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh


sistem aktifitas dan inhibisi intrleukin-1 dan prostaglandin. Adanya infeksi dan
inflamasi menyebabkan bakteri penyebab infeksi mengeluarkan enzim
protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan prostaglandin. Mediator ini
menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi depolimerisasi kolagen
pada selaput korion/amnion menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan
mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut membuat uterus
berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat uterus
berkontraksi.4
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi
ditemukan beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban
pecah dini, antara lain:
1. Infeksi
Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup
untuk melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat
bakteri patogen di dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis,
infeksi neonatal akan meningkat 10 kali. Ketuban pecah dini sebelum
kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada membran
melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan melemahnya
membran.

Penelitian

terakhir

menyebutkan

bahwa

matriks

metalloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya


ketuban oleh karena infeksi.2
2. Defisiensi vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan
kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan
mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam
darah ibu.2
3. Faktor selaput ketuban
Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan
atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion,
di samping juga ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi
seperti pada sindroma Ehlers-Danlos, dimana terjadi gangguan pada
jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa dan struktur kolagen dengan
gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi, termasuk pada selaput
ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen. Dimana 72 %
14

penderita dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan


preterm setelah sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm.2
4. Faktor umur dan paritas
Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion
akibat rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.2
5. Faktor tingkat sosio-ekonomi
Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan
insiden KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak,
serta jarak kelahiran yang dekat.2
6. Faktor-faktor lain
Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan
pecahnya selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang
langsung dari kavum uteri. Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti
amniosintesis dapat meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini.
Pada perokok, secara tidak langsung dapat menyebabkan ketuban pecah
dini terutama pada kehamilan prematur. Kelainan letak dan kesempitan
panggul lebih sering disertai dengan KPD, namun mekanismenya belum
diketahui dengan pasti. Faktor-faktor lain, seperti : hidramnion, gamelli,
koitus, perdarahan antepartum, bakteriuria, pH vagina di atas 4,5, stres
psikologis, serta flora vagina abnormal akan mempermudah terjadinya
ketuban pecah dini.2
Berdasarkan sumber yang berbeda, penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi
multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

Serviks inkompeten.
Ketegangan rahim yang berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion.
Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang.
Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum masuk

pintu atas panggul, disproporsi sefalopelvik.


Kelainan bawaan dari selaput ketuban.
Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam
bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.5
c. Patofisiologi KPD
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya
selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya
regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi
komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban.2

15

Gambar 3.1. Gambar skematik struktur selaput ketuban saat aterm.2


Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan
jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan
aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks
metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah
komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput
ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen
fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga
memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat
metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1 menghambat
aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2.
TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1.2
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh
karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi.
Saat mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan
kadar MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan
menyebabkan

terjadinya

degradasi

matriks

ektraseluler

selaput

ketuban.

Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis


pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan
aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan kadar protease
yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang rendah.2
16

Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya gangguan


pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini. Mikronutrien
lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini adalah asam
askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat
tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini.
Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah.2
Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme.
Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus dan
Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya
degradasi membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap
infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan
prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan tumor nekrosis
faktor yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas MMP-1 dan
MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang
produksi prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan
ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi
kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2
yang melepaskan prekursor prostalglandin dari membran fosfolipid. Respon
imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel
korion akibat perangsangan sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga
terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam
arakidonat menjadi prostalglandin. Sampai saat ini hubungan langsung antara
produksi prostalglandin dan ketuban pecah dini belum diketahui, namun prostaglandin
terutama E2 dan F2 telah dikenal sebagai mediator dalam persalinan mamalia dan
prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-33. Indikasi terjadi infeksi pada ibu
dapat ditelusuri metode skrining klasik, yaitu temperatur rektal ibu dimana dikatakan
positif jika temperatur rektal lebih 38C, peningkatan denyut jantung ibu lebih dari
100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan vaginal berbau.2

17

Tabel 3.1. Frekuensi gejala yang berhubungan dengan infeksi intra-amniotik.2


Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler
pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi
MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari
kelinci percobaan. Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan
produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi
produksi kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang berfungsi mengatur
pembentukan jaringan ikat diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan plasenta.
Hormon ini mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh
progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam
membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput
ketuban manusia saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis
pecahnya selaput ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan.2
Kematian Sel Terprogram
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian
sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput
ketuban. Pada korioamnionitis terlihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan
granulosit, yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian
sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks
ekstraseluler dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan
penyebab degradasi tersebut. Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum
diketahui dengan jelas.2
Peregangan Selaput Ketuban
Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput
ketuban seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga
merangsang aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel
18

amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas
kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses
sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya
selaput ketuban.2

Gambar. 3.2. Mekanisme multifaktorial menyebabkan ketuban pecah dini.2


d. Diagnosis KPD
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu
awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya
diagnosis yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai
resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh
karena itu, diperlukan diagnosis yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan
dengan cara :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau mengeluarkan
cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau kecoklatan sedikitsedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir. Keluhan tersebut
dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi. Pasien tidak sedang dalam
masa persalinan, tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus. Riwayat umur
kehamilan pasien lebih dari 20 minggu.4

19

Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak adanya nyeri
tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang
diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen memberikan
perkiraan ukuran janin dan presentasi.4
2. Pemeriksaan dengan spekulum
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel cairan
ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan
pemeriksaan bakteriologis.5
Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah :
1. Pooling

: Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.

2. Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru.


3. Ferning

: Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan

didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti daun
pakis.8
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya cairan
amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari ostium
uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah. Gunakan
kertas lakmus. Bila menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah adalah urin.
Karena cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina. Kertas nitrazine
menjadi biru bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa tidak pasti, adanya
lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering (ferning) dapat
membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio lesitinsfingomielin dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan paru
janin. Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk
pemeriksaan kultur serviks terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia
trachomatis dan Neisseria gonorea.4
3. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi serviks.
Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin dan
menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus dihindari
kecuali jika pasien jelas berada dalam masa persalinan atau telah ada keputusan
untuk melahirkan.4
4.

Pemeriksaan penunjang
20

Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah menjadi

biru.
Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm 3 kemungkinan ada

infeksi.
USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin, letak

plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.


Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara dini atau
memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau peningkatan suhu,

e.

denyut jantung janin akan meningkat.


Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan
fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin.4
Penatalaksanaan KPD
Konservatif

Rawat di rumah sakit.


Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan

dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).


Jika umur kehamilan < 32 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih

keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.


Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa
negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan

janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.


Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi, berikan

tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.


Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan

induksi.
Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.7

Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50g intravaginal tiap 6 jam
maksimal 4 kali.
21

Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika :
a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.9

Tabel. 3.2 Penatalaksanaan ketuban pecah dini.7

22

Gambar. 3.3 Alur penatalaksanaan ketuban pecah dini.8


f. Komplikasi KPD
Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi di dalam 24
jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam

1 minggu.1
Infeksi

23

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia,
omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada
ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara
umum, insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding

dengan lamanya periode laten.1


Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat
hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin

semakin gawat.1
Sindroma deformitas janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta
hipoplasia pulmonal.1

g. Prognosis KPD
Ditentukan

berdasarkan

umur

dari

kehamilan,

penatalaksanaan

dan

komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul.2


D. PLASENTA PREVIA
a. Definisi
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
sehingga menutupi seluruh atau sebahagian dari ostium uteri internum.3
Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah
bawah rahim kearah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim
seolah plasenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar
dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas permukaan serviks
yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau
klasifikasi plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa
antenatal maupun masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun
pemeriksaan digital. Oleh karena itu pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang
secara berkala dalam asuhan antenatal maupun intranatal.3

24

b.

Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah
diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa
desidua di daerah segmen bawah rahim.3
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan endometrium
yang kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya
vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada :2,4,5
1. Multipara, terutama jika jarak kehamilannya pendek
2. Mioma uteri
3. Kuretasi yang berulang
4. Umur lanjut (diatas 35 tahun)
5. Bekas seksio sesaria
6. Riwayat abortus
7. Defek vaskularisasi pada desidua
8. Plasenta yang besar dan luas : pada kehamilan kembar, eriblastosis fetalis.
9. Wanita yang mempunyai riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya
10. Perubahan inflamasi atau atrofi misalnya pada wanita perokok atau pemakai
kokain. Hipoksemia yang terjadi akibat CO akan dikompensasi dengan
hipertrofi plasenta. Hal ini terutama terjadi pada perokok berat (> 20
batang/hari).
Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh
menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas
akan mendekati atau menutupi ostoum uteri internum. 2 Endometrium yang kurang
baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi yang lebih baik,
yaitu di tempat yang lebih rendah dekat ostium uteri internum. Plasenta previa
juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas seperti pada
eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multiple.2

c. Insiden
25

Kejadian plasenta previa bervariasi antara 0,3-0,5% dari seluruh kelahiran.


Dari seluruh kasus perdarahan antepartum, Plasenta previa merupakan penyebab
terbanyak. Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dari
pada usia diatas 30 tahun. Juga lebih sering pada kehamilan ganda daripada
kehamilan tunggal.2,3
d. Klasifikasi
Klasifikasi dari plasenta previa (empat tingkatan):

1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium
uteri internum. Pada jenis ini, jelas tidak mungkin bayi dilahirkan secara normal,
karena risiko perdarahan sangat hebat.
2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum. Pada jenis inipun risiko perdarahan sangat besar, dan biasanya janin tetap
tidak dilahirkan secara normal.
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium
uteri internum. Hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir. Janin bisa
dilahirkan secara normal, tetapi risiko perdarahan tetap besar.
4. Plasenta letak rendah, plasenta lateralis, atau kadang disebut juga dangerous placenta
adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga tepi
bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang
lebih dari 2 cm dianggap plasenta letak normal. Risiko perdarahan tetap ada namun
tidak besar, dan janin bisa dilahirkan secara normal asal tetap berhati-hati.3,6

Gambar Klasifikasi plasenta Previa:

26

e. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian plasenta previa adalah:1
1. Umur penderita
Umur muda karena endometrium masih belum sempurna.
Umur diatas 35 tahun karena tumbuh endometrium yang kurang subur.
2. Paritas
Pada paritas yang tinggi kejadian plasenta previa makin besar karena endometrium
belum sempat tumbuh.
3. Endometrium yang cacat
Bekas persalinan berulang dengan jarak pendek
Bekas operasi, bekas kuretage atau plasenta manual
Perubahan endometrium pada mioma uteri atau polip
Pada keadaan malnutrisi
f. Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trisemester ketiga dan
mungkin juga lebih awal oleh karena mulai terbentuknya segmen bawah rahim,
tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak
plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang
bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi
segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak
akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua pada tapak plasenta.
Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka
(dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi akan
terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruang intervillus
dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu
perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti kan terjadi (unavoidable
bleeding). Perdarahan di tempat itu relative dipermudah dan diperbanyak oleh
karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat
27

karena elemen otot yang dimilikinya minimal, dengan akibat pembuluh darah
pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti
karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari
plasenta dimana perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh
karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung progresif dan
bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikian
perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar
berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (pain-less).3
Pada plasenta yang menutupi seluruh uteri internum perdarahan terjadi lebih
awal dalam kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada
bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa
parsialis atau letak rendah perdarahan baru akan terjadi pada waktu mendekati
atau mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih
banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan yang pertama sudah bisa terjadi
pada kehamilan dibawah 30 minggu, tetapi lebih separuh kejadiannya pada
kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak pada dekat
dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar
rahim dan tidak membentuk hematom retroplasenta yang mampu merusak
jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal.
Dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.3
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang
tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta
melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan
inkreta bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai
menembus buli-buli dan ke rectum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan
inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar.
Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab kurangnya
elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan
kejadian perdarahan pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala
tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retensio plasenta) atau
setelah uri lepas karena segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan
baik.3
g. Gejala Klinis
1. Gejala yang terpenting adalah perdarahan tanpa nyeri.2

28

Biasanya perdarahan karena plasenta previa baru timbul setelah bulan ketujuh. Hal ini
disebabkan oleh:
Perdarahan sebelum bulan ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari

abortus.
Perdarahan pada plasenta previa disebabkan pergerakan antara plasenta dan

dinding rahim.
2. Bagian terendah anak sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah rahim
sehingga bagian terendah tidak dapat mendekati pintu atas panggul.2
3. Pada plasenta previa, ukuran panjang rahim berkurang maka pada plasenta previa
lebih sering disertai kelainan letak jika perdarahan disebabkan oleh plasenta previa
lateral dan marginal serta robekannya marginal, sedangkan plasenta letak rendah,
robekannya beberapa sentimeter dari tepi plasenta.2
h. Diagnosis
Diagnosis plasenta previa ditegakkan berdasarkan pada gejala klinik,
1.

2.
3.

4.

pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan penunjang.1


Anamnesa plasenta previa1
a. Terjadi perdarahan pada kehamilan sekitar 28 minggu.
b. Sifat perdarahan
- Tanpa rasa sakit terjadi secara tiba-tiba
- Tanpa sebab yang jelas
- Dapat berulang
c. Perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu maupun janin.
Pada inspeksi dijumpai:1
a. Perdarahan pervaginam encer sampai bergumpal.
b. Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis.
Pemeriksaan fisik ibu1
a. Dijumpai keadaan bervariasi dari keadaan normal sampai syok
b. Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik sampai koma
c. Pada pemeriksaan dapat dijumpai :
- Tekanan darah, nadi dan pernapasan dalam batas normal
- Tekanan darah turun, nadi dan pernapasan meningkat
- Daerah ujung menjadi dingin
- Tampak anemis
Pemeriksaan khusus kebidanan.1
1. Pemeriksaan palpasi abdomen
- Janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan umur
-

kehamilan
Karena plasenta di segmen bawah rahim, maka dapat dijumpai

kelainan letak janin dalam rahim dan bagian terendah masih tinggi.
2. Pemeriksaan denyut jantung janin
- Bervariasi dari normal sampai asfiksia dan kematian dalam rahim.
3. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan diatas meja operasi dan siap untuk segera
mengambil tindakan. Tujuan pemeriksan dalam untuk:
29

Menegakkan diagnosis pasti


Mempersiapkan tindakan untuk melakukan operasi persalinan atau

hanya memecahkan ketuban


4. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan ultrasonografi
- Mengurangi pemeriksaan dalam
- Menegakkan diagnosis
Diagnosis plasenta previa (dengan perdarahan sedikit) yang diterapi
ekspektatif ditegakkan dengan pemeriksaan USG. Dengan pemeriksaan USG
transabdominal ketepatan diagnosisnya mencapai 95-98%. Dengan USG transvaginal
atau transperineal (translabial), ketepatannya akan lebih tinggi lagi. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada
plasenta termasuk plasenta previa.2,3
Dengan bantuan USG, diagnosis plasenta previa/plasenta letak rendah sering
kali sudah dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trisemester ketiga. Namun
dalam perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya bukan plasenta
yang berpindah tetapi dengan semakin berkembangnya segmen bawah rahim, plasenta
(yang berimplantasi di situ) akan ikut naik menjauhi ostium uteri internum.2
i. Komplikasi
Kemungkinan infeksi nifas besar karena luka plasenta lebih dekat pada ostium
dan merupakan porte dentre yang mudah tercapai. Lagi pula, pasien biasanya
anemis karena perdarahan sehingga daya tahannya lemah. 2
Bahaya plasenta previa adalah : 2,3
1. Anemia dan syok hipovolemik karena pembentukan segmen rahim terjadi
secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari tempat melekatnya diuterus dapat
berulang dan semakin banyak dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat
dicegah.
2. Karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat
segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan
invasinya menorobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium
dan menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta bahkan plasenta perkreta.
Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi
vilinya masih belum masuk ke dalam miometrium. Walaupun tidak seluruh
permukaan maternal plasenta mengalami akreta atau inkreta akan tetapi
dengan demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang
30

sudah terlepas timbullah perdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih
sering terjadi pada uterus yang yang pernah seksio sesaria. Dilaporkan
plasenta akreta terjadi sampai 10%-35% pada pasien yang pernah seksio
sesaria satu kali dan naik menjadi 60%-65% bila telah seksio sesaria tiga kali.

3. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat
potensial untuk robek disertai dengan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu
harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual ditempat ini misalnya pada
waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun
waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh
salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan caracara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi
a.uterina, ligasi a.ovarika, pemasangan tampon atau ligasi a.hipogastrika maka
pada keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan
histerektomi total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan
komplikasi tidak langsung dari plasenta previa.
4. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa
lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya.
5. Kehamila premature dan gawat janin sering tidak terhindarkan karena tindakan
terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm.
Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan amniosintesis untuk mengetahui
kematangan paru-paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat
pematangan paru janin sebagai upaya antisipasi.
6. Solusio plasenta
7. Kematian maternal akibat perdarahan
8. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
31

9. Infeksi sepsis
j. Penatalaksanaan
Setiap perempuan hamil yang mengalami perdarahan pada trisemester kedua
atau trisemester ketiga harus dirawat di dalam rumah sakit. Pasien diminta istirahat
baring dan dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk golongan darah dan factor
Rh. Jika rhesus negative RhoGam perlu diberikan pada pasien yang belum pernah
mengalami sensitisasi. Jika kemudian ternyata perdarahan tidak banyak dan berhenti
serta janin dalam keadaan sehat dan janin masih premature, dibolehkan pulang dan
dilanjutkan dengan rawat rumah atau rawat jalan dengan syarat telah mendapat
konsultasi yang cukup dengan pihak keluarga agar dengan segera kembali kerumah
sakit bila terjadi perdarahan ulang, walaupun kelihatannya tidak mencemaskan.
Dalam keadaan yang stabil tidak keberatan pasien untuk di rawat di rumah atau rawat
jalan. Pada kehamilan antara 24-34 minggu diberikan steroid dalam perawatan
antenatal untuk pematangan paru janin. Dengan rawat jalan pasien lebih bebas dan
kurang stress serta biaya dapat ditekan. Rawat inap kembali diberlakukan bila
keadaan menjadi lebih serius.3
.Semua pasien dengan perdarahan per vagina pada kehamilan trimester ketiga,
dirawat di rumah sakit tanpa periksa dalam. Jika ada gejala hipovolemia seperti
hipotensi dan takikardi pasien tersebut mungkin telah mengalami perdarahan yang
cukup berat, lebih berat dari pada penampakannya secara klinis. Bila pasien dalam
keadaan syok karena pendarahan yang banyak, harus segera diperbaiki keadaan
umumnya dengan pemberian infus atau tranfusi darah. 3,7
Pengobatan plasenta previa dapat dibagi dalam 2 golongan:2
1. Terminasi
Kehamilan segera diakhiri sebelum terjadi perdarahan yang membawa
maut, misalnya: kehamilan cukup bulan, perdarahan banyak, parturien, dan
janin mati (tidak selalu).
a. Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada
plasenta, yang dengan demikian menutup pembuluh-pembuluh darah
yang terbuka (tamponade pada plasenta).
b. Dengan seksio sesarea, dimaksudkan untuk mengosongkan rahim
hingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Seksio
sesarea juga mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering
terjadi pada persalinan pervaginam.
2. Ekspektatif
32

Dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan hidup di


dunia luar baginya kecil sekali.Sikap ekspektatif hanya dapat dibenarkan jika
keadaan ibu baik dan perdarahan sudah berhenti atau sedikit sekali.
Penderita plasenta previa juga harus diberikan terapi antibiotic mengingat
kemungkinan terjadinya infeksi yang besar disebabkan oleh perdarahan dan tindakantindakan intrauterine. Jenis persalinan yang kita pilih pada pengobatan plasenta previa
dan kapan melaksanakan tergantung pada:2
a.
b.
c.
d.
e.

Perdarahan banyak atau sedikit


Keadaan ibu dan anak
Besarnya pembukaan
Tingkat plasenta previa
Paritas
Perdarahan yang banyak, pembukaan yang kecil, nullipara dan tingkat plasenta previa

yang berat mendorong kita melakukan seksio sesaria. Sebaliknya perdarahan yang
sedang/sedikit, pembukaan yang sudah besar, multiparitas dan tingkat plasenta previa
yang ringan dan anak yang mati cenderung untuk dilahirkan pervaginam.2
Pada perdarahan yang sedikit dan anak masih belum matur dipertimbangkan terapi
ekspektatif, dengan syarat keadaan ibu dan anak baik, Hb normal dan perdarahan tidak
banyak. Pada terapi ekspektatif pasien di rawat di rumah sakit sampai berat anak 2500
gram atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Selama terapi ekspektatif diusahakan
untuk menentukan lokalisasi plasenta dengan pemeriksaan USG dan memperbaiki
keadaan umum ibu. Jika kehamilan telah 37 minggu, kehamilan dapat diakhiri dengan
cara vaginal atau seksio sesaria. Dengan cara vaginal dimaksudkan untuk mengadakan
tekanan pada plasenta, yang dengan demikian menutup pembuluh-pembuluh darah yang
terbuka (tamponade pada plasenta). Dengan seksio sesaria dimaksudkan untuk
mengosongkan rahim hingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan.
Seksio sesaria juga mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering pada
persalinan pervaginam.2
Prinsip utama dalam melakukan seksio sesaria adalah untuk menyelamatkan ibu,
sehingga walaupun janin meninggal atau tak punya harapan untuk hidup, tindakan ini
tetap dilaksanakan. Adapun tujuan dari seksio sesaria adalah:8

33

Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat berkontraksi dan menghentikan

perdarahan.
Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada serviks uteri, jika janin

dilahirkan pervaginam.
Tempat implantasi plasenta previa terdapat banyak vaskularisasi sehingga serviks
uteri dan segmen bawah rahim menjadi tipis dan mudah robek, selain itu, bekas
tempat implantasi plasenta sering menjadi sumber perdarahan karena adanya

perbedaan vaskularisasi dan susunan serabut otot dengan korpus uteri.


Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.
Lakukan perawatan lanjut pascabedah termasuk pemantauan perdarahan, infeksi dan
keseimbangan cairan masuk-keluar.
k. Prognosis
Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika
dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak
invasive dengan USG di samping ketersedian transfusi darah dan infus cairan
telah ada di hamper semua rumah sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal
ikut berperan terutama bagi kasus yang pernah melahirkan dengan seksio sesaria
atau bertempat tinggal jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu
hamil dengan dengan paritas tinggi dan usia tinggi berkat sosialissasi program
keluarga berencana menambah penurunan insiden plasenta previa. Dengan
demikian banyak komplikasi maternal dapat dihindarkan. Namun nasib janin
masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran premature baik yang lahir spontan
maupun karena intervensi seksio sesaria. Karena kelahiran premature belum
sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif dilakukan. Karena
dahulu penanganan relatif bersifat konservatif maka mortalitas dan morbiditas ibu
dan bayi tinggi. Sekarang penanganan bersifat operasi dini, maka angka kematian
dan kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun.3,4,9

E. ANEMIA PADA KEHAMILAN


Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin
di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari
10,5 gr% pada trimester dua (Centers for Disease Control, 1998). Perbedaan nilai batas
diatas dihubungkan dengan kejadian hemodilusi. 1
34

Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan


produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah
(eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang
lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan
konsentrasi hemoglobin (Hb) akibat hemodilusi.2
Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit (Ht), konsentrasi
hemoglobin darah (Hb), dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb
atau eritrosit dalam sirkulasi. Ekspansi volume plasma di mulai pada minggu ke-6
kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus
meningkat sampai minggu ke-37. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan
hitung eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan, dan terus
menurun sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai. Sebab
itu, apabila ekspansi volume plasma yang terus-menerus tidak diimbangi dengan
peningkatan produksi eritropoetin sehingga menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau
hitung eritrosit di bawah batas normal, timbullah anemia. Umumnya ibu hamil dianggap
anemia jika kadar hemoglobin di bawah 11 g/dl atau hematokrit kurang dari 33 %. 2
Penyebab anemia tersering adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Sekitar 75 % anemia
pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi yang memperlihatkan gambaran eritrosit
mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. 2
Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak
terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Sedangkan pada awal trimester
kedua pertumbuhan janin sangat cepat dan janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan
menelan air ketuban sehingga lebih banyak kebutuhan oksigen yang diperlukan.2
Akibatnya kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi
peningkatan produksi eritrosit dan rentan untuk terjadinya anemia, terutama anemia
defisiensi besi. Anemia pada kehamilan dapat berakibat buruk baik terhadap ibu maupun
janin yang dikandungnya.

A. ANEMIA DEFISIENSI BESI


DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam
tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan
35

jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC)
meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang
atau tidak ada sama sekali.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain,
kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus,
perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita
hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit. Mengingat besarnya
dampak buruk dari anemia defisiensi besi pada wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu
kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini. Dengan diagnosa yang cepat serta
penatalaksanaan yang tepat komplikasi dapat diatasi serta akan mendapatkan prognosa yang
lebih baik.
PATOFISIOLOGI
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena perubahan
sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan payudara. Volume
plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi
pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta
kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti
laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron.
Anemia defisiensi besi ditandai ciriciri yang khas, yaitu mikrositosis dan
hipokromasia. Anemia yang ringan tidak selalu menunjukan hal itu, bahkan banyak yang
bersifat normositer dan normokrom. Hal itu disebabkan karena defisiensi besi dapat
berdampingan dengan defisiensi asam folat. Sifat lain yang khas bagi defisiensi besi adalah :

kadar besi serum rendah


daya ikat besi serum tinggi
protoporfirin eritrosit tinggi
tidak ditemukan hemosiderin dalam sumsum tulang

ETIOLOGI
Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu:
a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume plasma
meningkat sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan
36

ini lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume darah berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta. Ketidakseimbangan antara kecepatan
penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak
pada trimester kedua ( Smith et al., 2010 ).
Namun bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika dibandingkan dengan
bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Di mana pertambahan tersebut
adalah sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%. Pengenceran
darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat
bagi wanita hamil tersebut. Pengenceran ini meringankan beban jantung yang harus bekerja
lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia tersebut, keluaran jantung
(cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini lebih ringan apabila viskositas darah
rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan darah tidak naik.2
b. Kurangnya zat besi dalam makanan.
c. Kebutuhan zat besi meningkat.
d. Gangguan pencernaan dan absorbsi.

GEJALA KLINIS
Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat
bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol,
ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya.
Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan
epitel kuku, gangguan sistem neuromuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran
kelenjar limpa. 2
Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan darah dalam
batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Dan secara klinis dapat dilihat tubuh
yang pucat dan tampak lemah (malnutrisi). Guna memastikan seorang ibu menderita anemia
atau tidak, maka dikerjakan pemeriksaan kadar Hemoglobin dan pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan standar. 2
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap: awalnya
terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam bentuk fertin di hati, saat konsumsi zat
37

besi dari makanan tidak cukup, fertin inilah yang diambil. Daya serap zat besi dari makanan
sangat rendah, Zat besi pada pangan hewan lebih tinggi penyerapannya yaitu 20 30 %
sedangkan dari sumber nabati 1-6 %. Bila terjadi anemia, kerja jantung akan dipacu lebih
cepat untuk memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ tubuh, akibatnya penderita sering
berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah lemas, cepat lelah, letih, mata berkunang
kunang, mengantuk, selaput lendir , kelopak mata, dan kuku pucat. 8
DERAJAT ANEMIA
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil,
didasarkan pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal
(11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan
hasil pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28
mg/dl,

kadar

hemoglobin

terendah

7.63

mg/dl

dan

tertinggi

14.00

mg/dl.

Klasifikasi anemia yang lain adalah : 2,3,4


a. Hb 11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7 8 gr%: Anemia sedang
d. Hb < 7 gr% : Anemia berat.
TATALAKSANA
Pengobatan dapat dimulai dengan preparat besi per os. Biasanya diberikan garam besi
sebanyak 600 1000 mg sehari, seperti sulfas-ferrosus atau glukonas ferrosus. Hb dapat
dinaikan sampai 10 g/dl atau lebih asal masih ada cukup waktu sampai janin lahir. Peranan
vitamin C dalam pengobatan mempunyai khasiat untuk mengubah ion ferri menjadi ion ferro
yang lebih mudah diserap oleh selaput usus.
Terapi parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan obat besi per os,
ada gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan, atau apabila kehamilannya sudah
tua. Besi parenteral diberikan dalam bentuk ferri. Secara intamuskulus dapat disuntikan
dekstran besi atau sorbitol besi. Hasilnya lebih cepat dicapai, hanya penderita merasa nyeri di
tempat suntikan.

38

Juga secara intravena perlahan lahan besi dapat diberikan, seperti ferrum oksidum
sakkaratum, sodium diferat, dan dekstrat besi. Akhir-akhir ini Imferon banyak pula diberikan
dengan infuse dalam dosis total antara 1000 2000 mg unsur besi sekaligus, dengan hasil
yang sangat memuaskan. Walaupun besi intravena dengan infus kadang kadang
menimbulkan efek sampingan, namun apabila ada indikasi yang tepat, cara ini dapat
dipertanggungjawabkan. 8
B. ANEMIA MEGALOBLASTIK
DEFINISI
Anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat merupakan penyebab kedua terbanyak
setelah anemia defisiensi besi. Anemia megaloblastik adalah kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis DNA dan ditandai dengan adanya sel-sel megaloblastik dalam sumsum
tulang.Sel megaloblas adalah sel precursor eritrosit dengan bentuk sel yang besar disertai
adanya kejadian dimana maturasi sitoplasma normal tetapi inti besar dengan susunan
kromosom yang longgar. 2
Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B 12 selama kehamilan
sangat jarang terjadi, ditandai oleh kegagalan tubuh menyerap vitamin B 12 karena tidak
adanya faktor intrinsik. Ini adalah suatu penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita
dengan kelainan ini. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih mungkin dijumpai pada
mereka yang menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa lain adalah penyakit Crohn,
reseksi ileum, dan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus. 3,5
ETIOLOGI
Penyebab anemia megaloblastik adalah sebagai berikut : 3,5,11
1. Defisiensi vitamin B12.
2. Defisiensi asam folat
3. Gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam folat
4. Gangguan sintesis DNA akibat dari :
a. Defisiensi enzim congenital
b. Didapat setelah pemberian obat atau sitostatik tertentu.
PATOFISIOLOGI

39

Timbulnya megaloblas adalah akibat gangguan maturasi sel karena terjadi gangguan
sintesis DNA sel-sel eritroblast akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12, dimana vitamin
B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan secara khusus untuk
vitamin B12 penting dalam pembentukan mielin. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti
eritoblas ini, maka meturasi ini lebih lambat sehingga kromatin lebih longgar dan sel menjadi
lebih besar Karena pembelahan sel yang lambat. Sel eritoblast dengan ukuran yang lebih
besar serta susunan kromatin yang lebih longgar di sebut sebagai sel megaloblast. sel
megaloblast ini fungsinya tidak normal,dihancurkan saat masih dalam sumsum tulang
sehhingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek yang berujung
pada terjadinya anemia. 5,11
KLASIFIKASI
Menurut penyebabnya anemia megaloblastik di bagi beberapa jenis yaitu : 5,6
1. Anemia megaloblastik karena defisiensi Vitamin B12
a.

Penderita yang tidak makan daging hewan atau ikan,telur serta susu yang
mengandung vitamin B12.

b.

Adanya malabsorpsi akibat kelainan berikut ini,

Kelainan lambung (anemia pernisiosa, kelainan congenital,factor intrinsic,

serta gastrektomi total atau parsial)


Kelainan usus (intestinal loop syndrome, tropical sprue dan post reseksi
ileum)

2. Anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat


a.

disebabkan oleh makanan yang kurang gizi asam folat

b.

Malabsorpsi asam folat karena penyakit usus

c.

Kebutuhan yang meningkat akibat keadaan fisiologis (hamil,laktasi prematuritas)


dan keadaan patologis (anemia hemolitik, keganasan serta penyakit kolagen).

d. Ekskresi asam folat yang berlebihan lewat usus biasanya terjadi pada penyakit
hati yang aktif atau kegagalan faal jantung.

40

e. Obat-obatan antikonvulsan dan sitostatik tertentu.


3. Anemia megaloblastik karena kombinasi defisiensi vitamin B12 dan asam folat
Merupakan

anemia

megaloblastik

akibat

defisiensi

enzim

congenital

atau

pada

eritroleukemia.
GEJALA KLINIS
1. Anemia karena eritropoesis yang inefektif
2. Ikterus ringan akibat pemecahan hemoglobin meninggi karena usia eritrosit memendek
3. Glositis (lidah bengkak, merah), stomatitis, angularis, gejala-gejala syndrom malabsorbsi
ringan.
4. Purpura trombositopenik karena maturasi megakariosit terganggu
5. Neuropati pada defisiensi vitamin B12. pada penderita dengan defisiensi vitamin B12 yang
berat dapat terjadi kelainan saraf sensorik pada kolumna posterior dan neuropati bersifat
simetris, terutama mengenai kedua kaki. Penderita mengalami kesulitan berjalan dan mudah
jatuh. 5,6
TATALAKSANA
Untuk mencegah kekambuhan anemia,terapi vitamin B12 harus diteruskan selama hidup
pasien yang menderita anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat dikoreksi.Terapi
pengobatan yang biasa digunakan adalah sebagai berikut : 3,5,6

1. Terapi suportif
Transfusi bila ada hipoksia dan suspensi trombosit bila trombosotopenia mengancam
jiwa.
2. Terapi untuk defisiensi vitamin B12
Terapi yang biasa digunakan untuk mengatasi terapi defisiensi vitamin B12 adalah
sebagai berikut:
41

a.

diberikan vitamin B12 100-1000 Ug intramuskular sehari selama dua

minggu,selanjutnya

100-1000

Ug

IM

setia

bulan.

Bila

ada

kelainan

neurologist,terlebih dahulu diberikan setiap dua minggu selama enam bulan,baru


kemudian diberikan sebulan sekali. Bila penderita sensitive terhadap pemberian
suntikan dapat diberikan seara oral 1000 Ug sekali sehari,asal tidak terdapat
gangguan absopsi.
b.

Transfusi darah sebaiknya di hindari,kecuali bila ada dugaan kegagaln faal

jantung, hipotensi postural,renjatan atau infeksi berat. Bila diperlukan transfuse darah
sebaiknya diberi eritrosit yang di endapkan.
3. Terapi untuk defisiensi asam folat
Diberikan asam folat 1-5 mg/hari per oral selama empat bulan, tanpa gangguan
absorpsi.
4. Terapi penyakit dasar
Menghentikan obat-obatan penyebab anemia megaloblastik.
C. ANEMIA APLASTIK
DEFINISI
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan
komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum
tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita
mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah,
sel darah putih, dan trombosit. 1,2
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai
dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia aplastik terjadi
penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia,
anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering
juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab
apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia
aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik
toksik.
42

ETIOLOGI
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan
tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak
diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit
lain.
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan
antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia
aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada
kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada
kehamilan-kehamilan berikutnya.9
DIAGNOSIS
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala
objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif
merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan
tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia
aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan
diagnosa secara dini sangatlah penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis
kemungkinan sembuh secara spontan atau parsial semakin besar
GEJALA KLINIS
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul
adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia
dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis,
takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia
yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia
tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan
adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga
dikeluhkan.1

43

Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin


Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi dengan pendarahan, lemah badan dan
pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.
TATALAKSANA
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien. Terapi pada pasien hamil
dengan anemia tipe ini adalah dengan terminasi kehamilan elektif, terapi suportif,
imunosupresi atau transplantasi sum-sum tulang setelah persalinan. 6,7,9
a.

Terapi Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red

cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit
kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm 3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit
konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila
terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara
kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit
yang ditransfusikan sangat pendek.
b.

Terapi Imunosupresif
Obat-obatan

yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin

(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA).

ATG atau ALG

diindikasikan pada :
-

Anemia aplastik bukan berat

Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
44

Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui
koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau
tidak langsung terhadap hemopoiesis. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG
dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama
dengan kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat
aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.
D. ANEMIA HEMOLITIK ( PENYAKIT SEL SABIT)
DEFINISI
Anemia

hemolitik

disebabkan karena

penghancuran

sel

darah

merah

berlangsung lebih cepat dari pembuatannya. Wanita dengan anemia hemolitik sukar menjadi
hamil, apabila ia hamil, maka anemianya biasanya menjadi lebih berat. Sebaliknya mungkin
pula bahwa kehamilan menyebabkan krisis hemolitik pada wanita yang sebelumnya tidak
menderita anemia. 2,3
Frekuensi anemia hemolitik dalam kehamilan tidak tinggi. Terbanyak anemia ini
ditemukan pada wanita negro yang menderita anemia sel sabit, anemia sel sabit-hemoglobin
C, sel sabit-thalassemia, atau penyakit hemoglobin C. Di Indonesia terdapat juga penyakit
thalassemia. 4
KLASIFIKASI
Secara umum anemia hemolitik dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yakni : 2,4

Golongan yang disebabkan oleh faktor intrakorpuskuler, seperti pada sferositosis,


eliptositosis,

anemia

hemolitik

herediter,

thalassemia,

anemia

sel

sabit,

hemoglobinopatia C, D, G, H, I, dan paroxysmal nocturnal haemoglobinuria.


Golongan yang disebabkan oleh faktor ekstrakorpuskuler, seperti pada infeksi,
keracunan arsenikum, neoarsphenamin, timah, sulfonamide, kinin, paraquin,
pimaquin, nitrofurantoin, racun ular, pada defisiensi G-6-PD, antagonismus, rhesus
atau ABO, leukemia, penyakit Hodgkin, limfosarkoma, penyakit hati, dan lain lain.

GEJALA KLINIS
Gejala gejala yang lazim dijumpai ialah gejala gejala proses hemolitik, seperti
anemia, hemoglobinemia, hemoglobinuria, hiperbilirubinemia, hiperurobilinuria, dan
sterkobilin lebih banyak dalam faeses. Disamping itu terdapat pula sebagai tanda regenerasi
45

darah seperti retikulositosis dan normoblastemia, serta hyperplasia erithropoesis dalam


sumsum tulang. Pada hemolisis yang berlangsung alam dijumpai pembesaran limpa
(splenomegali) karena limpa membersihkan sel-sel yang mati hingga menimbulkan krisis
akut dan anemia hemolitik yang herediter kadang kadang disertai kelainan pada tengkorak
dan tulang tulang lain. 2,3,6
Sumsum tulang menunjukan gambaran normoblastik dengan hyperplasia yang nyata,
terutama sistem eritropoetik. Perbandingan mieloit : eritoit yang biasanya 3:1 atau 2:1 dalam
kehamilan berubah menjadi 1:1 atau 1:2.
TATALAKSANA
Pengobatan anemia hemolitik dalam kehamilan tergantung pada jenis dan beratnya. Obat
obat penambah darah tidak memberi hasil. Tranfusi darah, yang kadang kadang diulang
beberapa kali, diperlukan pada anemia berat untuk meringankan penderitaan ibu dan untuk
mengurangi bahaya hipoksia janin. Splenektomi dianjurkan pada anemia hemolitik-bawaan
dalam trimester II atau III. Pada anemia hemolitik yang diperoleh harus dicari penyebabnya.
Sebab sebab itu harus disingkirkan, misalnya pemberian obat obat yang dapat
menyebabkan kelumpuhan sumsum tulang harus segera dihentikan. 10
E. PENGARUH ANEMIA PADA KEHAMILAN DAN JANIN
1. Pengaruh anemia terhadap kehamilan 12
a. bahaya selama kehamilan

Risiko abortus

Persalinan premature

Hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim

Mudah terjadi infeksi

Ancaman dekompesasi kordia (Hb < 6 gr% )

Mola hidatidosa

Hiperemesis gravidarum

Perdarahan antepartum

Ketuban pecah dini (KPD)

b. Bahaya saat persalinan 12

Gangguan his ( kekuatan mengejan)

Kala I dan kala II berlangsung lama


46

Kala III berisiko untuk terjadi retensio plasenta dan perdarahan postpartum
karena atonia uteri

Kala IV dapat terjadi perdarahan postpartum sekunder dan atonia uteri

c. Pada waktu nifas 12

Terjadi subinvolusi uteri menimbulkan perdarahan postpartum

Risiko infeksi puerperium

Produksi ASI berkurang

Dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan

Anemia saat nifas

Mastitis

2. Bahaya terhadap janin 12

Abortus

Intrauterine fetal death (IUFD)

Persalinan premature

Berat badan lahir rendah

Kelahiran dengan anemia

Dapat terjadi cacat bawaan

Sistem imun tubuh bayi yang rendah mudah terinfeksi

Tahap intelligensi rendah

F. DIAGNOSA ANEMIA
Diagnosa anemia dalam kehamilan dapat di tegakkan dengan :
a. Anamnesis 12
Pada anemnesis akan didapatkan keluhan lelah, sering pusing, mata berkunang -kunang dan
keluhan mual, muntah lebih berat pada hamil muda. Bila terdapat keluhan lemah, Nampak
pucat, mudah pingsan,sementara masih dalam batas normal, maka perlu dicurigai anemia
defesiensi zat besi.
b. Pemeriksaan darah

47

Pemeriksaan darah Hb dan darah tepi akan memberikan kesan pertama. Pemeriksaan Hb
dengan Spektofotometri merupakan standar, kesulitan adalah alat ini hanya tersedia di kota.
Di Indonesia penyakit kronik seperti : malaria dan tuberculosis (TBC) masih relatif sering
dijumpai sehingga pemeriksaan khusus darah tepi dan sputum perlu dilakukan.
Dengan pemeriksaan khusus untuk membedakan dengan defisiensi asam folat dan
thalassemia. Pemeriksaan Mean Corpuscular Volume (MCV) penting untuk menyingkirkan
thalassemia. Bila terdapat batas MCV < 80 uL dan kadar RDW (red cell distribution width) >
14% mencurigai akan penyakit ini kadar Hemoglobin Fetal (HbF) >2% dan HbA2 yang
abnormal akan menentukan jenis thalassemia. 10,11,12
G. PENCEGAHAN DAN PENANGANAN ANEMIA
a. Pencegahan Anemia 12
Untuk menghindari terjadinya anemia sebaiknya ibu hamil melakukan pemeriksaan sebelum
hamil sehingga dapat di ketahui data dasar kesehatan ibu tersebut, dalam pemeriksaan
kesehatan di sertai pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan tinja sehingga di ketahui
adanya infeksi parasit.
b. Penanganan pada Anemia sebagai berikut : 4
1. Anemia Ringan
Pada kehamilan dengan kadar Hb 9-10 gr% masih di anggap ringan sehingga hanya
perlu di perlukan kombinasi 60 mg/hari zat besi dan 500 mg asam folat peroral sekali
sehari.
2. Anemia Sedang
Pengobatan dapat di mulai dengan preparat besi feros 600-1000 mg/hari seperti sulfat
ferosus atau glukonas ferosus.
3. Anemia Berat
Pemberian preparat besi 60 mg dan asam folat 400 mg, 6 bulan selama hamil,
dilanjutkan sampai 3 bulan setelah melahirkan.
H. TRANSFUSI DARAH
Transfusi darah adalah memasukkan sel darah merah (darah segar, pack red cell) ke
dalam tubuh melaui vena. Komponen darah yang biasa ditransfusikan ke dalam tubuh
48

seseorang adalah sel darah merah,trombosit, plasma, sel darah putih. Transfusi darah adalah
suatu pengobatan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang
atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi. Tentu saja transfusi darah hanya
merupakan pengobatan simptomatik karena darah atau komponen darah yang ditransfusikan
hanya dapat mengisi kebutuhan tubuh tersebut untuk jangka waktu tertentu tergantung pada
umur fisiologi komponen yang ditransfusikan; walaupun umur eritrosit adalah 120 hari
namun bila ditransfusikan pada orang lain maka kemampuan transfusi tadi mempertahankan
kadar hemoglobin dalam tubuh resipien hanya rata-rata satu bulan.Hal-hal mengenai transfusi
darah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7Tahun 2011 Tentang
Pelayanan Darah. 13
Pasien-pasien di bidang obstetri dan ginekologi banyak yang berpotensi memerlukan
transfuse darah. Seksio cesaria (SC) dan histerektomi adalah dua tindakan bedah yang sering
dan berpotensi terjadi perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Kondisi lainnya
adalah perdarahan post partum, placenta previa dan ruptur kehamilan ektopik. Perdarahan di
bidang obstetri masih merupakan penyebab kematian ibu yang tinggi di Indonesia.
Salah satu pemeriksaan laboratorium rutin untuk setiap wanita hamil saat kunjungan
pertama prenatal care adalah pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta skrining
antibodi untuk mendeteksi antibodi yang berpotensi menyebabkan hemolytic disease of the
newborn (HDN). 14
Indikasi transfusi darah

14

Anemia pada kehamilan didefinisikan dengan kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11
g/dL pada trimester I dan III serta 10,5 g/dL pada trimester II. Diagnosis dan terapi yang
efektif terhadap anemia kronik pada kehamilan merupakan tindakan yang penting untuk
mengurangi kebutuhan transfusi darah. Keputusan untuk transfusi darah tidak boleh hanya
berdasar kadar Hb saja, tetapi juga berdasar indikasi klinis pasien. Perdarahan yang terjadi
pada persalinan normal atau SC sebenarnya tidak memerlukan transfusi darah jika kadar Hb
ibu sebelum persalinan > 10g/dl. Sebaliknya transfusi darah hampir selalu diindikasikan jika
Hb < 7g/dl.
Uji yang Dilakukan Sebelum Transfusi Darah

49

Sebelum melakukan transfusi darah perlu dilakukan beberapa uji untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan. Uji tersebut meliputi : 14
1. Pemeriksaan golong darah
2. Reaksi silang
Tujuan pelaksanaan uji reaksi silang adalah sebagai berikut
Memastikan di dalam serum resipien atau plasma donor tidak terdapat
antibody yang reaktif terhadap eritrosit donor atau resipien.
Menghindari reaksi transfusi hemolitik.
Memastikan efektivitas transfusi.
Medium reaksi pada reaksi silang meliputi : salin (NaCL 0,85%), albumin (bovine
albumin), dan Coombs (anti-human globulin). Ada dua jenis reaksi silang, yaitu:
Reaksi silang mayor
Mendeteksi adanya antibody di dalam serum donor yang dapat merusak
eritrosit resipien yang akan ditransfusikan
Reaksi silang minor
Mendeteksi adanya antibodi di dalam plasma donor yang dapat merusak
eritrosit resipien yang akan ditransfusikan.
Transfusi boleh dilakukan bila hasil reaksi mayor dan minor negatif.
Jenis Transfusi Darah
Ada beberapa jenis transfusi yang diberikan, yaitu: 14
1. Darah utuh (whole blood/WB)
Ada beberapa jenis WB, yaitu:

Sangat segar (< 6 jam) mengandung eritrosit, trombosit, dan semua

faktor pembekuan darah, termasuk faktor labil (FV).


Segar (6-24 jam) mengandung eritrosit, trombosit dan semua faktor

pembekuan, kecuali faktor labil (FV).


Simpan (24 jam-batal simpan) mengandung eritrosit, albumin, dan

faktor pembekuan darah, kecuali faktor V dan VIII.


Indikasi WB untuk hipovolemia
2. Darah endap (Packed Red Cell-PRC)
Darah endap /PRC diperoleh dari WB yang disentrifuse, kemudian
diendapkan, setelah itu plasma dipisahkan. Indikasi untuk anemia kronis.
3. Trombosit konsentrat
Indikasi untuk perdarahan trombositopenia dan trombositopatia, dosis 1
unit/kg berat badan.
50

4. Plasma segar beku


Indikasi untuk perdarahan defisiensi faktor pembekuan, PT dan APTT
yang kurang dari 1,5 kali normal, serta koreksi perdarahan akibat
overdosis warfarin.
5. Cyro precipitate
Indikasi untuk perdarahan akibat hemofilian, penyakit Von Wilebrand dan
A-fibrinogemia (defisiensi fibrinogen).
EFEK SAMPING/REAKSI TRANSFUSI
Transfusi darah mungkin merupakan sutu tindakan yang menyelamatkan hidup tetapi
bukan tanpa risiko. Sebelum dokter memutuskan transfusi darah bagi pasien, ia harus harus
selalu mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Risiko terbesar transfusi darah adalah jika
pasien ditransfusi dengan darah yang salah (terbanyak disebabkan clerical error). Oleh
karena itu prosedur baku untuk mendapatkan sampel yang tepat, crossmatch, skrining infeksi
menular lewat transfusi darah dan pemberian transfusi harus dilakukan secara ketat bahkan
untuk kasus emergency.14
Berikut ini adalah efek samping/reaksi dari transfusi darah, yaitu: 14
I. Komplikasi akut, yaitu reaksi transfusi yang terjadi selama dan segera setelah transfusi
(dalam 24 jam):

Hipersensitif
Febrile non hemolytic reaction
Overload cairan
Anafilaksis
Hemolisis intravaskuler akut
Kontaminasi bakteri dan syok septik
TRALI (transfusion-associated acute lung injury)
Komplikasi metabolik (hiperkalemia, toksisitas sitrat dan hipokalsemia)

II. Komplikasi lambat, yaitu reaksi transfusi dengan tanda dan gejala yang muncul 5-10
hari setelah transfusi :

Reaksi hemolitik lambat


Post-transfusion purpura
Graft versus host disease (GvHD)
Overload besi khususnya pada transfusion-dependent patient
Penularan infeksi menular lewat transfusi darah seperti HIV, HBV, HCV,
sifilis, malaria, CMV, atau lainnya (toxoplasmosis, Epstein-Barr virus, chagas
51

disease, brucellosis, human parvovirus B19, infectious mononucleosis, dan


Lymes disease)

BAB III
ANALISA KASUS
Pre-operatif
Pada pasien Ny. EP dengan G5P1A3 hamil 37-38 minggu + plasenta previa + KPD +
riwayat SC 1 x

dan anemia dilakukan tindakan operasi sectio caesarea, dari hasil

pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb pasien 7,6 mg/dl, Ht 23,6 %, sehingga


kemungkinan syok hemoragik dikhawatirkan melihat klinis pasien yang tampak pucatdan
lemas.
Persiapan transfusi diperlukan melihat Hb pasien yang terus menurun dari tanggal 27 Juni
2016 8,4 mg/dl menjadi 7,6 mg/dl atau dari pemeriksaan laboratorium. Rencana transfusi
awalnya di ruangan setelah dilakukannya operasi. Namun dari pertimbangan pencegahan
52

perdarahan maka transfusi akan dilakukan saat di ruangan operasi. Dalam manajemen preoperatif pada pasien dengan anemia dengan operasi elektif diperlukan deteksi evaluasi dan
manajemen anemia sesuai protokol yang ada guna untuk menurunkan indikasi untuk
dilakukannya transfusi.
Dalam kasus ini Operasi Cito manajemen anemia pada pre-op belum dilakukan
dilakukan koreksi pada durante operasi.
Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun demikian
jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan
faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam
hypercoagulable state.
Transfusi tidak dianjurkan sampai hematokrit menurun hingga 25% atau lebih rendah
(hemoglobin <8,0 g / dL), tetapi perlu memperhitungkan laju kehilangan darah dan kondisi
komorbiditas (misalnya, penyakit jantung, dalam hal transfusi mungkin diindikasikan jika
hanya 800 mL darah hilang). pedoman klinis yang umum digunakan antara lain: (1) satu unit
sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 1 g / dL dan hematokrit 2-3% pada orang
dewasa; dan (2) 10-mL / kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan konsentrasi
hemoglobin 3 g / dL dan hematokrit sebesar 10%. Pre-op anestesi sendiri menemukan
adanya penyulit-penyulit pada pasien, seperti adanya riwayat anemia (Hb 7,6 mg/dl) dan
alergi obat.

Menentukan ASA
Pada kasus pasien ini termasuk ASA II E.
Intra Operatif
Pada tindakan anestesi spinal harus diperhatikan TD awal sebelum dilakukannya
anestesi spinal. Pada ibu hamil cenderung terjadi hipotensi sehingga diketahui batas hipotensi
oleh karena obat-obatan anestesi seberapa besar. Hipotensi dapat ditangani dengan
memberikan cairan intravena dan ephedrine.

53

Pada durante op Pasien mengalami hipotensi 80/60 mmHg pada pukul 09.00. Lalu
pasien diberi Ephedrin 5 mg. 5 menit kemudian TD pasien naik kembali menjadi
100/70 mmHg.

Total perdarahan 350 cc EBL : 7 %

Maintenance cairan selama durante op ((40 + 20 + 53) mL / h 1,5 jam = 110 ml),
ditambahkan dengan cairan stress operasi besar 8 cc x 73 kg = 584 ml x 1,5 jam =
876 ml. Jika dijumlahkan cairan yang dibutuhkan selama durante op adalah 876 ml +
110 ml= 986 ml. Pada pasien saat durante op diberikan cairan 850 ml, yang berarti
kurang sesuai dengan kebutuhan cairan pasien.

Pada durante operasi pasien dilakukan transfusi darah. Kriteria transfusi darah:
- Hb <8 mg/dL
- Perdarahan >30% atau Ht <25%
WB = Hb x BB x 6
PRC = Hb x BB x 3
Pada pasien seharusnya diberikan transfusi:
PRC = (10-7,6) x 73 x 3
= 525 cc
54

Sedangkan pada pasien hanya diberikan 187 cc, yang berarti kurang sesuai dengan
kebutuhan cairan pasien.
Monitoring
Pasien dengan dengan anemia perlu dilakukan monitoring terhadap tanda-tanda vital dan
jumlah perdarahan operasi. Pemantauan tekanan darah arterial dilakukan untuk memantau
tekanan darah pasien yang berubah-ubah selama prosedur pembedahan mayor yang
diasosiasikan dengan perubahan cardiac preload dan cardiac afterload. Pemantauan EKG
harus difokuskan pada tanda keadaan iskemia. Pada frekuensi napas tampak terjadi
peningkatan di atas normal, hal ini dapat mengarah kepada keadaan anemia pasien sehingga
pernapasan meningkat untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
Post operatif Manajemen
Setelah tindakan pembedahan dan anestesi telah selesai dilakukan pemantauan pada pasien.
Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan (recovery room) dan dilakukan observasi TD, N, RR
dan kemungkinan munculnya tanda-tanda perdarahan. Pemantauan tekanan darah, nadi,
frekuensi pernapasan, kesadaran dan perdarahan secara ketat harus dilanjutkan mulai dari
ruang pemulihan sampai masa awal pasien dipindahkan ke bangsal perawatan.
Keadaan akhir pembedahan :
-

Kesadaran

: Compos Mentis

TD

: 110/70 mmHg

: 64x/menit

RR

: 21x/menit

SPO2

: 100%

Pasien dipindahkan ke ruang bangsal perawatan dan dilakukan observasi TD, N, RR


dan kemungkinan munculnya tanda-tanda perdarahan.

Program post-operasi

Pasang O2 nasal kanul 2-4L/menit.

Kontrol tensi, nadi, RR, kesadaran, dan perdarahan setiap 15 menit s/d stabil,
selanjutnya cek H2TL post operasi.

Tramadol sup bila nyeri.

Ondansetron 4 mg/IV bila mual/ muntah.

Antibiotika dan obat-obatan lain sesuai dokter obsgyn.


55

Minum bertahap jika pasien sudah sadar penuh.

Infus RL 20 tetes /menit, selanjutnya infus RL 1000 cc/24 jam

Monitor tensi, nadi, RR, kesadaran, dan perdarahan setiap 15 menit s/d stabil,
selanjutnya cek H2TL post operasi.

Tramadol

Ondansetron
Ondansetron efektif bila diberikan secara oral atau intravena dan mempunyai

bioavaibility sekitar 60% dengan konsentrasi terapi dalam darah muncul tiga puluh sampai
enam puluh menit setelah pemakaian.
Metabolismenya didalam hati secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida
atau sulfat dan di eliminasi cepat didalam tubuh, waktu paruhnya adalah 3-4 jam pada orang
dewasa sedangkan pada anak-anak dibawah 15 tahun antara 2-3 jam, oleh karena itu
ondansetron baik diberikan pada akhir pembedahan.Efek antiemetik ondansetron ini didapat
melalui:
1. Blokade sentral di CTZ pada area postremadan nukleus traktus solitaries sebagai
kompetitif selektif reseptor 5-HT3
2. Memblok reseptor 5-HT3 di perifer pada ujung saraf vagus di sel enterokromafin di
traktus gastrointestinal Efek samping yang sering timbul pada dosis terapi adalah sakit
kepala dan konstipasi, lemas, peningkatan enzim hati. Aritmia jantung dan AV blok
telah dilaporkan setelah pemakaian Ondansetron dan Metoklopramid. Iskemia jantung
akut yang berat telah dilaporkan pada pasien tanpa kelainan jantung. Ondansetron dan
56

obat golongan antagonis reseptor 5-HT3 lainnya dapat menyebabkan peninggian QT


intervaldi elektrokardiografi tetapi hal ini tidak dijumpai pada pemakaian droperidol.
Belum diketahui adanya interaksi dengan obat SSP lainnya seperti diazepam,
alkohol,morfin dan lain-lain.
Dosis Ondansetron 4-8 mg IV sangat efektif untuk menurunkan kejadian PONV
(Post-Operative Nausea and Vomiting). Sebagai profilaksis dosis 1-8 mg IV sangat
efektif dalam penanganan PONV.
SARAN :

Melakukan pemeriksaan Hitung Darah Lengkap dan Serum Feritin pada 1 Hari Post
Persalinan pada :
- HPP >500 mL
- Anemia Antenatal yang tidak dikoreksi
- Anemia defisiensi besi
- semua wanita dengan tanda dan gejala anemia

DAFTAR PUSTAKA
1. WHurford WE. Clinical anesthesia procedures of the massachussetts general hospital.
2002. USA:Lippincott Williams-Wilkins.
2. Barrash PG. Handbook of clinical anesthesiology. 2001. USA: Lippincott WilliamsWilkins
3. Wargahadibrata AH. Anestesiologi. 2008. Bandung: SAGA
4. Miller RD 2000. Anesthesia 5th Edition. Philadhelphia: Churcill Livingstone
5. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H., Saifuddin A.B., dan
Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal. 677-680.

57

6. Gde Manuaba, I.B. Ketuban Pecah Dini (KPD). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan
& Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2001. Hal: 229-232.
7. Ketuban

Pecah

Dini.

2011.

Diambil

dari

situs

http://www.scribd.com/doc/

50265897/BAB-I.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012.


8. Yoon Y, Placenta previa, Available at http://www.emedicine.com/emerg/topic427.html.
Accessed on Februari 15, 2012
9. Dinata F. Plasenta previa. Available from URL:http//www.google.com/. Accessed on
Februari 15, 2012.
10. Hanafiah M.T. Plasenta Previa. Available from URL:http//www.emedicine.com/.
Accessed on Februari 15, 2012
11. Anonymous.

Placenta

Previa.

Available

from

URL:http://www.pennhealth.com/health_info/pregnancy/labordelivery/articles/placentap
revia.html. Accessed on Februari 15, 2012
12. Bernard J. Brabin, Mohammad Hakimi and David Pelletier, An Analysis of Anemia and
Pregnancy-Related Maternal Mortality, Journal of Nutrition.2001;131:604S-615S
13. Corwin E.J. Anemia in Handbook of Pathophysiology, 3rd ed, Lippincott William and
Wilkins, USA ; 2008: pg 410-9.
14. Manuaba I.B.G. Ilmu Kebidanan,Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan
Bidan, EGC : 1998; hal. 29-32.
15. Peraturan

Pemerintah

RI

No.7

Tahun

2011

tentang

Pelayanan

Darah

http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/588.pdf

58

Anda mungkin juga menyukai