Sulistyowati 1306384510 Vietnam
Sulistyowati 1306384510 Vietnam
Abstrak
Makalah ini secara keseluruhan akan membahas bagaimana civil society berperan dalam
proses demokratisasi yang terjadi di Vietnam melalui studi kasus Central for Rural Progress
(CRP). Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana CRP sebagai
bagian dari organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal mampu berperan dalam di negara
yang sedang bertransisi dari otoritarian menuju demokrasi. Penulis berargumen bahwa CRP
mengambil peran penting sebagai aktor utama dalam demokratisasi disana meskipun tidak
secara signifikan mengingat ruang geraknya yang dibatasi oleh kekuasaan sistem partai
tunggal CVP. CRP telah berhasil mendorong partisipasi rakyat Vietnam dalam bidang politik
di tingkat lokal sebagai akar rumput demokrasi. Pembahasan makalah ini menggunakan
konsep grassroots democracy dan hubungan civil society dengan demokratisasi. Data
diperoleh dari literatur-literatur yang ditulis oleh para pemikir dan ilmuwan politik.
Pendahuluan
Vietnam merupakan negara yang terletak di Asia Tenggara dan merupakan bagian
dari wilayah Indocina. Jika dilihat dari latar belakang historisnya, sebelum Vietnam menjadi
satu wilayah utuh seperti yang dikenal saat ini sebagai Social Republic of Vietnam (SRV),
Vietnam pernah terbagi menjadi dua wilayah yaitu Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Bekas peninggalan penjajahan Uni Soviet di Vietnam Utara, menjadikan Vietnam
mempunyai hubungan yang dekat dengan paham komunis. Hal ini dapat dilihat dari sistem
pemerintahan disana yang menganut sistem sosialis-komunis dengan rezim otoritarian yang
berkuasa1. Kehidupan mereka sangat homogen dan menjunjung tinggi adanya kolektivitas
yang dimuarakan untuk kepentingan negara. Itulah sebabnya sistem kepartaian di Vietnam
menganut sistem partai tunggal dalam hal ini Communist Party of Vietnam (CPV) yang
mempunyai otoritas tunggal untuk mengatur kehidupan negaranya. CPV mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hitam-putihnya kehidupan di Vietnam
mengingat kekuasaannya yang sangat dominan dalam menentukan arah kebijakan negaranya.
Dalam perkembangannya, Vietnam mengalami masa-masa yang sulit di bawah
kekuasaan CPV yang otoriter. Sebagai negara yang menjunjung tinggi kepemilikan kolektif
untuk keperluan negaranya, membuat rakyat Vietnam berada di kondisi yang sangat miskin
dan terbelakang. Negara menerapkan land reforms yang mensyaratkan adanya kolektivitas
lahan2. Hingga pada akhirnya kebijakan ini hanyalah mendatangkan keuntungan bagi
segolongan elit atas nama negara, bukannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Hal tersebut
berdampak bagi para petani yang menjadi bermalas-malasan untuk berproduksi sehingga
produktivitas mereka menurun. Ini tentu saja berakibat negatif bagi perekonomian nasional
mereka yang makin melemah. Kemiskinan pun menjadi tak terhindarkan terutama di wilayah
pedesaan (rural). Berkaca dari kondisi tersebut, pemerintah Vietnam melalui CPV mulai
mereformasi kebijakan negaranya dengan melakukan reformasi ekonomi besar-besaran
melalui pemberlakukan kebijakan Doi-Moi di tahun 1987 yang masih berlaku hingga saat ini.
Konsekuensi dari adanya kebijakan Doi-Moi tersebut ialah dibukanya keran liberalisasi
ekonomi di negaranya, termasuk adanya pasar bebas. Ini dilakukan semata untuk
Jonathan D. London. 2014. Politics in Contemporary Vietnam. In: Politics in Contemporary Vietnam: Party,
State, and Authority Relations, Jonathan D. London Ed. Houndmills UK and New York. Palgrave/MacMillan.
Hlm.4.
2
Helmia Asyathri. Perbandingan Demokratisasi Vietnam dan China (Efek Doi-Moi Vietnam 1987 dan Reformasi
Ekonomi China 1987). Hlm.120.
Kerangka Pemikiran
Sebelum membahas lebih jauh terkait bagaimana civil society memainkan peranan
penting dalam demokratisasi di sebuah negara, terlebih dahulu membahas mengenai
demokrasi akar rumput (grassroots democracy).
merupakan sinonim dari demokrasi itu sendiri. Grassroots democracy merupakan orangorang ataupun komunitas yang mendorong adanya partisipasi dalam pemilihan umum,
pemerintahan, dan juga pembuatan keputusan. Demokrasi ini berakar dari tingkat
bawah/lokal yang turut menopang demokratisasi di tingkat yang lebih tinggi lagi. Dalam
konteks penulisan ini, grassroots democracy yang dimaksud ialah civil society yang ada di
tingkat lokal negara Vietnam. Demokrasi akar rumput ini sangat erat kaitannya dengan
keterlibatan masyarakat untuk mendorong demokrasi. Semua elemen didorong untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik. Partisipasi di tingkat akar rumput tidak akan dapat
bertahan lama apabila tidak ada dasar yang nyata berupa kepentingan bersama yang ada di
dalam organisasi lokal6. Keberadaan organisasi masyarakat sipil tergantung pada ketersediaan
sumber daya yang ada di tingkat nasional. Ketika mereka tidak mempunyai program kerja
dan tujuan yang jelas, organisasi ini biasanya akan membubarkan diri dengan sendirinya.
Kemudian untuk mengetahui bagaimana civil society dapat menjadi aktor sentral
dalam proses demokratisasi, digunakan teori civil society and the development of democracy
milik Larry Diamond (1997). Larry Diamond mendefinisikan civil society sebagai ....the
realm of organized social life that is open, voluntary, self-gnerating, at least partially selfsupporting, autonomous from the state, and bound by a legal order or set of shared rules7.
Civil society ini kemudian menjadi elemen penting dalam agenda pembangunan untuk
mengokohkan demokrasi. mereka berperan dalam hal mempromosikan dan melindungi
demokrasi itu sendiri dengan cara berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan di negara tempat mereka berada.
E. Best, M. Augustyn and F. Lambermont. 2011. Direct and Participatory Democracy at Grassroots Level:
Levels for Forging EU Citizenship and Identity?. Hlm.94.
7
Larry Diamond. 1997. Civil Society and the Development of Democracy.
http://www.plataformademocratica.org/Publicacoes/13664_Cached.pdf (Diakses pada hari Sabtu, 30 April
2016 pukul 22.20 WIB). hlm.20.
Pembahasan
Sejarah Kemunculan Center for Rural Progress (CRP)
Pasca berlakunya kebijakan Doi-Moi pada tahun 1986, Vietnam mengalami banyak
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang ekonomi misalnya, 18 tahun
(1986-2004) setelah menerapkan pasar bebas, rakyat Vietnam yang dulu hidup di bawah garis
kemiskinan kini berubah secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian GDP
Vietnam yang awalnya $206 dolar di tahun 1990, meningkat tajam menjadi $423 dolar di
tahun 2004 dan terus beranjak naik mencapai $722 dolar di tahun 2006 (Pusat Statistik, 2003,
2007)8. Dari peningkatan GDP tersebut, Vietnam terus-menerus mengalami perubahan
positif. Dari tahun 1992 hingga tahun 2004, tercatat lebih dari 20 juta rakyat Vietnam
kelaparan dan kemiskinan. Hal ini berpengaruh pula pada Gender Development Index (GDI)
di Vietnam yang mencapai 0.708, peringkat 80 diantara 136 negara di tahun 2004.
Pendidikan mengalami peningkatan kualitas sehingga Human Development Index (HDI) naik
dari 0.539 di tahun 1995, naik menjadi 0.691, 2006 menjadi 0.733 (UNDP, 1995, 2006,
2007).
Perubahan sosial-ekonomi di Vietnam yang mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu rupanya membawa berita baik bagi demokratisasi disana. Pemerintahan otoriter
Vietnam yang awalnya sangat berkuasa pun perlahan mulai terbatas kekuasaannya karena
rakyat yang sudah mulai terbuka dengan nilai-nilai demokrasi yang masuk dari luar. Namun
bukan berarti masyarakat
dikonsepsikan oleh Barat sepenuhnya, mereka jusru memiliki konsepsi sendiri terkait
demokrasi disana yang tentu saja disesuaikan dengan konteks politik negaranya. Konsep
demokrasi dengan sistem politik multipartai rupanya tidak sesuai apabila diterapkan di
Vietnam yang notabene partai tunggalnya sangat berkuasa disana. Masyarakat Vietnam
memaknai pembangunan demokrasi jika negara berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi
serta stabilitas politik negaranya 9. Mereka akan tenang saat pertumbuhan ekonomi negaranya
meningkat secara signifikan serta kondisi politiknya relatif stabil karena mereka kultur
budaya mereka yang tidak menyukai perubahan. Terlepas dari hal itu, pemerintah Vietnam
yang dapat dikatakan sedang mengalami transisi dari otoritarian menuju demokrasi, mulai
membuka diri terhadap kemunculan berbagai organisasi masyarakat sipil. Jika dahulu negara
memandang skeptis terhadap organisasi masyarakat sipil termasuk diantaranya NGO (Non
Government Organization), kini mulai melihat NGO sebagai entitas di luar negara yang
mendatangkan manfaat. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai organisasi yang dibentuk
oleh masyarakat sipil, seperti Farmers Union, Youth Union, Patriotic or Fatherland Front.
Meskipun dalam praktiknya mereka belum benar-benar otonom, sebab hampir semua
organisasi massa yang ada di Vietnam diatur oleh negara 10.
Kemunculan berbagai organisasi masyarakat sipil di tingkat pusat pun rupanya
menjalar hingga ke tingkat lokal. Masyarakat mulai menyadari bahwa tidak ada bentuk
pemerintahan yang lebih baik selain demokrasi11. Kemunculan organisasi lokal pun
meningkat pasca demokratisasi di Vietnam sebagai grassroots democracy. Reformasi
grassroots democracy terjadi di tahun 1998 ketika rakyat menyadari ketidakberesan di tubuh
pemerintahan, seperti kasus korupsi, land reforms, dsb. Hal ini berdampak pada berubahnya
sikap pemerintah yang mulai membuka diri dalam hal desentralisasi dan partisipasi.
Kewenangan pemerintah pusat mulai ditransfer dalam hal tertentu dan rakyat diperbolehkan
mengambil bagian dari jalannya proses demokratisasi yang berlangsung. Organisasi massa
menjadi berperan sebagai aktor utama demokrasi karena mereka menjadi penghubung antara
pemerintah dengan rakyatnya. Organisasi massa disini berfungsi untuk memberikan
informasi terkait kebijakan yang dibuat oleh negara, untuk selanjutnya disosialisasikan
kepada rakyat.
Salah satu NGO lokal yang berhasil menjadi grassroots democracy ialah CRP (Center
for Rural Progress) yang diterapkan di Provinsi Ninh Thuan. Disebut berhasil sebab wilayah
tersebut berhasil melakukan Participatory Poverty Assesment (PPA) bersama-sama dengan
NGO lainnya. Mereka berupaya mencapai kemajuan di daerah pedesaan dengan adanya
kesadaran akan hak-hak rakyat didalamnya, mengetahui aktivitas politik apa yang sedang
berlangsung, serta adanya kesempatan lebih untuk berpartisipasi. Hal ini sejalan dengan
grassroots democracy yang dituntut oleh rakyat Vietnam yang tertera dalam peraturan No. 79
Tahun 2003. Rakyat didorong untuk menentukan isu yang penting dan praktis yang
berhubungan dengan kepentingan mereka. Sementara pada peraturan No.29 terdapat 4
10
Heinrich Boll Stiftung. 2005. Towards Good Society, Civil Society Actors, the State, and the Business Class in
Southeast AsiaFacilitators of or Impediments to a Strong, Democratic, and Fair Society?. Agit Druck: Berlin.
11
Nhu-Ngoc T. Ong. 2005. Support for Democracy Among Vietnamese Generations. Hlm.13.
12
menjadi penguhubung tumbuhnya kepercayaan antara negara dengan masyarakat lokal. Jika
pemerintah dahulu memandang NGO dengan penuh kecurigaan, saat ini paradigma tersebut
perlahan mulai berubah. Pemerintah mulai memandang kehadiran NGO sebagai elemen
penting di dalam sebuah negara karena peran yang dilakukannya mempermudah pemerintah
dalam hal pengenalan kebijakan publik kepada rakyatnya 13. Masalah mulai muncul manakala
KAS yang biasanya menjadi sumber pendanaan bagi CRP, kini bukan lagi menjadi sumber
pendanan mereka. CRP harus mulai mencari sumber pendanaan yang baru. Ada ide bahwa
mereka harusnya didanai oleh pemerintah. Hal ini menandakan pemerintah sudah semakin
mendukung keberadaan NGO di negaranya, meskipun tatarannya memang di tingkat lokal.
Dapat ditarik garis dari sini, bahwa CRP merupakan organisasi masyarakat sipil yang
berpengaruh besar terhadap negaranya. Disamping mengimplementasikan proyeknya, juga
sektor publik dan swasta dalam formulasi kebijakan dan desain dari rencana pembangunan
yang komprehensif dan strategis14.
Jika berbicara mengenai hubungan antara negara dengan CRP, salah satunya juga
dapat dilihat dari masalah pendanaan yang dimiliki oleh NGO tersebut. organisasi masyarakat
sipil di Vietnam terbilang sangat rumit karena mereka berbeda dari kebanyakan organisasi
masyarakat sipil yang ada di negara lain. Organisasi masyarakat sipil di Vietnam dapatlah
dikatakan tidak ada yang benar-benar steril dari intervensi pemerintah. Hal ini dapat dilihat
dari penggolongannya yang terbagi menjadi dua, yaitu governmental dan pseudo nongovernmental organisastions (NGOs) 15. Yang tergolong governmental yaitu apabila
organisasi tersebut didanai oleh pemerintah atau kalau pun tidak didanai, berarti diarahkan
langsung di bawah CPV. Terdapat 6 organisasi di bawah pemerintahan, yaitu the Fatherland
Front, the Farmers Union, the Womens Union, the General Confederation of Labour, the Ho
Chi Minh Communist Youth Union dan the Veterans Associatios. Sementara itu, yang
tergolong sebagai pseudo NGOs adalah organisasi yang harus melakukan registrasi dengan
pemerintah di bawah VUSTA. Organisasi ini menganggap diri mereka sebagai NGO yang
berinisiatif pada dana sendiri tanpa campur tangan dan pengaruh dari negara. Disebut pseudo
karena pada dasarnya organisasi ini masih berhubungan dengan negara mengingat
persyaratannya yang harus mendaftar terlebih dahulu kepada negara. Pada kenyataannya
13
Anonim. What Role can Local NGOS Play to Support Grassroots Democracy in Vietnam? The Example of the
Vietnamese NGO CRP. Hlm.12.
14
Ibid. Hlm.12.
15
Hai Hong Nguyen. 2 Februari 2013. Civil Society and Democratisation in Vietnam.
http://www.eastasiaforum.org/2013/02/02/civil-society-and-democratisation-in-vietnam/ (Diakses pada
Jumat, 29 April 2016 pukul 23.50 WIB).
aktivitas organisasi ini masih di bawah pengawasan pemerintah. Mereka sangat waspada
terhadap berbagai bentuk kritik, apalagi sampai melawan kebijakan pemerintah.
Pendanaan NGO di Vietnam bersumber dari berbagai pihak. Beberapa berasal dari
pemberian bantuan internasional, sementara yang lainnya berasal dari pihak swasta, uang
yang dialokasikan untuk kegiatan sosial, charity, dan aktivitas lainnya yang serupa.
Mekanisme serta struktur persyaratan keuangannya dapat dikatakan belum benar-benar
akuntabel. Sehingga disini, dapat dikatakan bahwa organisasi masyarakat sipil di Vietnam
terbilang masih sangat cair dan fleksibel sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Dr. Will.
Mereka masih belum terlalu matang dalam mengonsepsikan seperti apa idealnya organisasi
masyarakat sipil berperan dalam rangka mendorong demokratisasi. Organisasi ini bahkan
disebut sangat rentan, mudah termanipulasi, serta mudah hancur. Mereka tidak bisa
menggantikan organisasi politik seperti partai maupun serikat yang menentukan aturan
perbuatan serta hak-hak mereka untuk merepresentasikan kepenitngan ekonomi dan politik
serta membela kepentingan tersebut dari tekanan-tekanan kekuatan lain16. Dalam konteks
CRP sendiri, sumber pendanaan organisasi ini berasal dari pembiayaan sendiri (independen).
Meskipun dalam praktiknya tidaklah benar-benar demikian. Sebab organisasi ini tetap berada
di bawah kontrol pemerintah pusat. Namun jika dibandingkan dengan keberlangsungan
organisasi ini dari dulu sejak tahun 1994 dibentuk hingga sekarang, terlihat perbaikan yang
tentu saja berdampak positif terhadap CRP itu sendiri. Jika dahulu pemerintah masih curiga
dengan keberadaan organisasi ini, kini organisasi ini dianggap membawa manfaat sebagai
medium bagi pemerintah dan rakyat. Selain itu, jika dahulu organisasi ini terpusat pada
negara, saat ini mulai otonom meskipun tak pernah benar-benar otonom. Ruang gerak mereka
yang dahulu sangat dibatas pun saat ini menjadi lebih sedikit longgar meskipun tetap saja
tidak mampu meniadakan kekuasaan CVP sebagai partai tunggal yang berkuasa di tingkat
pusat.
Heinrich Boll Stiftung. 2005. Towards Good Society, Civil Society Actors, the State, and the Business Class in
Southeast AsiaFacilitators of or Impediments to a Strong, Democratic, and Fair Society?. Agit Druck: Berlin.
Hlm.123.
Ketika berbicara perihal demokratisasi, maka jelas ada perjalanan panjang yang harus
ditempuh oleh sebuah negara untuk dapat mewujudkan cita-citanya. Sementara dalam
perjalanan itu, dibutuhkan aktor-aktor di luar negara yang mampu mendorong terwujudnya
demokrasi tersebut. Jika pada negara yang menganut sistem demokrasi dengan multi partai
sebagai sistem politiknya saja keberadaan civil society diperlukan dalam hal check and
balances untuk mengawasi jalannya pemerintahan, apalagi dengan negara yang menganut
sistem partai tunggal di dalamnya. Tentulah kehadiran civil society sangat amat dibutuhkan.
Meskipun tatarannya belum mencapai tahap menekan perilaku represif negaranya, setidaknya
kehadiran civil society tersebut dapat meminimalisasi kesewenang-wenangan yang terjadi di
tubuh pemerintahan.
CRP sendiri telah menjalankan perannya sebagai grassroots democracy melalui
usahanya untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat lokal di Provinsi Ninh Thuan.
Saat negara berupaya membatasi hak-hak rakyatnya termasuk juga pembatasan hak pada
organisasi masyarakat sipil, CRP tidak menyerah untuk menjadi akar rumput demokrasi.
mereka menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyarakat lokal untuk mengenalkan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mereka aktif melakukan penelitian untuk mengkaji
isu pembangunan di pedesaan untuk mewujudkan kesejahteraan desa. Mereka menjadi
konsultan bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya, mereka memberikan
program pelatihan manajemen yang nantinya dapat digunakan untuk para pengusaha
pedesaan, dan sebagainya. Terlepas dari sumber pendanaannya yang sempat mengalami talik
ulur, pada akhirnya organisasi ini mampu bertahan dengan pendanaannya sendiri meskipun
masih berada dalam pengawasan negara. Meskipun secara ideal dalam sebuah masyarakat
demokratis seharusnya keberadaan NGO netral dan bebas dari intervensi negara, namun
organisasi ini berupaya berkontribusi terhadap pembangunan demokrasi mengikis sedikit
demi sedikit kekuasaan dominan yang dimiliki oleh CVP.
Kesimpulan
Penerapan kebijakan Doi-Moi yang berimplikasi pada reformasi ekonomi di Vietnam
berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup negara tersebut. vietnam mampu
membuktikkan langkahnya mengambil keputusan besar yang sebetulnya bertantangan dengan
ideologinya ialah bukanlah langkah yang salah. Terbukti, pertumbuhan ekonomi merangkak
naik akibat liberalisasi ekonomi yang diterapkan. Hal tersebut juga rupanya mempengaruhi
UTS Politik di IndoCina-Vietnam | 10
kondisi politik Vietnam yang mulai bertransisi menuju ke arah demokratis meskipun
keberadaan partai tunggal di negaranya masih eksis. Liberalisasi tersebut rupanya
memunculkan berbagai organisasi masyarakat sipil sebagai konsekuensi atas transisi
perpindahan rezim otoritarian menuju demokratis. Tuntutan demokratisasi terus-menerus
menjadi agenda utama para civil society ini dalam bergerak. Salah satu civil society yang
mempunyai peran dalam demokratisasi di Vietnam ialah CRP (Center for Rural Progress).
CRP merupakan organisasi yang bergerak di tingkat lokal yang menjadi grassroots
democracy. Mereka bergerak untuk melakukan pembangunan politik dari bawah di wilayah
pedesaan. CRP ini selanjutnya berperan dalam proses demokratisasi di tingkat lokal dengan
menggerakkan penduduk lokal untuk berpartisipasi dalam proses politik. hal ini tentu saja
menjadi angin segar bagi masyarakat Vietnam yang telah lama mengidam-idamkan
demokrasi sebagai tatanan politiknya. Meskipun tedapat perbedaan konsepsi dalam
memaknai arti demokrasi menurut rakyat Vietnam karena demokrasi versi mereka yang
berbeda dengan konsepsi demokrasi ala Barat, namun hal tersebut tetaplah tidak mengurangi
esensinya bahwa rakyat Vietnam menginginkan kebebasan untuk hidup di lingkungan
negaranya di berbagai aspek kehidupan. Sehingga dari sini, dapat ditarik garis bahwa CRP
memang mempunyai peranan yang besar dalam mendorong demokratisasi di Vietnam,
terutama di tingkat lokal sebagai grassroots democracy. Perannya meskipun belum dapat
melengserkan sepenuhnya kekuasaan dominan pemerintah, setidaknya dapat menjadi
penyeimbang atas kebijakan yang dibuat oleh negaranya.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Anonim. What Role can Local NGOS Play to Support Grassroots Democracy in Vietnam?
The Example of the Vietnamese NGO CRP.
Asyathri, Helmia. Perbandingan Demokratisasi Vietnam dan China (Efek Doi-Moi Vietnam
1987 dan Reformasi Ekonomi China 1987).
Augustyn M., E. Best and F. Lambermont. 2011. Direct and Participatory Democracy at
Grassroots Level: Levels for Forging EU Citizenship and Identity?.
Diamond,
Larry.
1997.
Civil
Society
and
the
Development
of
Democracy.