Tommy Sachi - 15013081 - Tubes Ba
Tommy Sachi - 15013081 - Tubes Ba
Dosen:
Dr. Ir. Agung Wiyono Hadi Soeharno, MS, M. Eng.
15012097
Disusun oleh:
Tommy Sachi
15013081
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN TUGAS BESAR SI-4231 BANGUNAN AIR
Disusun oleh:
Tommy Sachi
1501381
Telah diperiksa dan disetujui serta memenuhi ketentuan serta layak untuk dinilai sebagai
syarat kelulusan mata kuliah SI-4231 Bangunan Air semester genap tahun ajaran 2015/2016.
Bandung,
Asisten Tugas Besar
Dosen 1 :
Dosen 2 :
NIP. 111000078
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas selesainya
Laporan Tugas Besar Mata Kuliah SI-4231 Bangunan Air dengan sebaik-baiknya. Laporan
ini penulis susun sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah SI-4231 Bangunan Air, Program Studi
Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. Laporan
yang disusun berdasarkan kajian hidrologi yang penulis lakukan ini berisi proses dan hasil
aplikasi mata kuliah Bangunan Air pada semester genap tahun akademik 2016/2017.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga Laporan Tugas Besar SI-4231 Bangunan Air ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2
Tujuan........................................................................................................ 1
1.3
Lokasi Studi............................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................................... 3
METODOLOGI......................................................................................................... 3
BAB III.................................................................................................................... 4
ANALISIS HIDROLOGI............................................................................................. 4
3.1 Pengolahan Data Curah Hujan......................................................................4
3.2 Analisis Debit Rencana...............................................................................10
3.2 Analisis Debit Banjir.................................................................................... 12
BAB IV.................................................................................................................. 19
PERENCANAAN HIDROLIS.................................................................................... 19
4.1 Pemilihan Lokasi Bendung..........................................................................19
4.2 Perhitungan Hidrolis................................................................................... 20
4.2.1 Tinggi Mercu Bendung..........................................................................20
4.2.2 Lebar Efektif Bendung..........................................................................20
4.2.3 Tinngi Energi di Hulu Bendung.............................................................21
4.2.4 Tinggi Energi di Hilir Bendung..............................................................23
4.3 Perencanaan Kolam Olak............................................................................ 23
4.3.1 Tipe Bucket........................................................................................... 24
4.3.2 Tipe USBR III......................................................................................... 25
4.3.3 Tipe Vlugter.......................................................................................... 26
BAB V................................................................................................................... 28
ANALISIS STABILITAS TUBUH BENDUNG...............................................................28
5.1 Gaya-gaya yang Bekerja.............................................................................28
5.2 Stabilitas Bendung Kondisi Debit Rendah...................................................32
5.3 Stabilitas Bendung Kondisi Debit Banjir......................................................36
5.4 Kontrol Stabilitas Bendung.........................................................................40
Simpulan................................................................................................. 44
6.2
Saran....................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 45
DAFTAR TAB
5.
5.
5.
5.
5.
5.
5.
5.
DAFTAR GAMB
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Y
4.
4.
4.
4.
4.
1
2
3
4
5
5.
5.
5.
5.
5.
5.
1
2
3
4
5
6
DAFTAR GRAFI
Grafik 3. 1 Komponen Hidrograf Snyder..............................................................14
Grafik 3. 2 Grafik Unit Hidrograf Snyder..............................................................16
Grafik 3. 3 Grafik Hasil Konvolusi Hidrograf Tr 100 Tahun....................................18
Y
Grafik 4. 1 Lengkung Debit.................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN
untuk
menunjang
kebersihan
dan
kesehatan
lingkungan.
Dengan
perkembangan teknologi yang semakin pesat, air juga digunakan sebagai elemen untuk
pembangkit tenaga listrik. Selain di atas, air bias juga digunakan sebagai rekreasi atau
hiburan.
Oleh sebab itu, setelah mengetahui ketersediaan air melalui ilmu Rekayasa
Hidrologi dan memanfaatkannya untuk jaringan irigasi pada dua mata kuliah sebelumnya,
perlu dilakukan juga rekayasa terhadap struktur pengoperasian ketersediaan air ini.
Bangunan air merupakan bangunan sipil yang digunakan sebagai pemenuhan
pemanfaatan air untuk berbagai macam tujuan seperti yang telah disebutkan di atas.
Untuk melakukan perencanaan dan perancangan bangunan air yang baik, perlu dilakukan
Tommy Sachi 15013081
studi ketersediaan air yang baik sehingga dapat diciptakan bangunan air yang kuat, aman,
dan ekonomis.
Dalam tugas besar SI4131-Bangunan Air ini akan dilakukan perencanaan
bangunan air yang ditujukan untuk dapat merekayasa pemanfaatan air di suatu lokasi
studi, sehingga pemanfaatan air di area tersebut dapat dicapai dengan optimal.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan tugas besar mata kuliah SI4131-Bangunan Air ini
adalah:
1. Mendesain konstruksi bangunan air
2. Melakukan analisis stabilitas bendung
1.3 Lokasi Studi
Lokasi studi yang diambil datanya untuk keperluan kajian hidrologi dalam makalah
ini adalah daerah Ujung Jaya dengan kawasan DAS Sungai Cipelang yang berlokasi di Jawa
Barat. Sungai ini merupakan anak sungai dari Sungai Cimanuk. Sungai Cipelang merupakan
sumber irigasi bagi masyarakat Ujung Jaya untuk dapat melakukan pertanian dan
perkebunan. Selain itu, Daerah Ujung Jaya ini memiliki kontur maksimum 50 m yang dapat
dikatakan cukup tinggi sehingga dapat digunakan teknik gravitasi dalam pengaliran
irigasinya.
BAB II
METODOLOGI
Pendahuluan
Latar
Belakang
Tujuan
Menganalisis Debit
Rencana serta
Menentukan Debit Bajir
Memilih Lokasi
Bendung yang Tepat
Perencanaan Hidrolis
Tommy Sachi 15013081
Kesimpulan
Perencanaan
Analisis Stabilitas
dan
Kolam
Saran
Bendung
Olak
Lokasi
Studi
BAB III
ANALISIS HIDROLOGI
Stasiun 67 (Cidakom)
Tabel 3. 3 Data Curah Hujan 10 Tahunan Stasiun Cidakom
Pada data curah hujan sepuluh tahunan di atas, dapat dilihat masih banyak data-data
curah hujan yang kosong. Hal ini akan berdampak pada perhitungan debit dan hujan limpasan
yang dihasilkan. Oleh karena itu, data tersebut harus diisi terlebih dahulu. Salah satu cara
untuk mengisi data kosong tersebut adalah dengan menggunakan Metode Kuadrat Balik
Jarak.
Pertama-tama, data curah hujan dari ketiga stasiun dalam satu tahun dikumpulkan
bersamaan dalam satu tabel, sehingga terlihat seperti berikut:
Melengkapi data curah hujan bulanan yang kosong dengan metode Kuadrat Balik
Jarak. Rumus dari metode Kuadrat Balik Jarak adalah:
Pa
Pb
+
Xa x Xa Xb x Xb
Px=
1
1
+
Xa x Xa Xb x Xb
Dengan :
Px
Pa
Xa
Pb
Xb
Contoh perhitungan :
Pengisian data curah hujan bulanan yang hilang pada Januari tahun 1974:
P ciawi
Pcidakom
+
X
X ciawi X cidakom X cidakom
P pasir maung = ciawi
1
1
+
X ciawi X ciawi X cidakom X cidakom
369
485
+
2
3240.515 8759.574 2
P pasir maung =
1
1
+
2
3240.515 8759.574 2
P pasir maung =382.9642mm
Sehingga dengan dilakukan perhitungan, didapat data curah hujan lengkap dari ketiga stasiun
sebagai berikut :
Penentuan curah hujan rata-rata wilayah dengan Metode Aritmatik dan Poligon Thiessen :
Contoh perhitungan :
Perhitungan rerata Aritmatik : (Januari tahun 1974)
RregionalAritnatik =
R1 + R2 + R3 ++ R n
n
382.9642+369+ 485
=412.3214 mm
3
A1
A
A
A
R1+ 2 R2 + 3 R3 +..+ n R n
Atotal
A total
A total
A total
RregionalThiessenJan 74=
12.882
12.396
125.697
382.9642+
369+
485
150.975
150.975
150.975
RregionalThiessenJan 74=466.7694 mm
|RR
i|
i =1
Ri
Error=
Error Aritmatik :
369
485
382.9642
369
485
Karena error Aritmatik lebih kecil daripada error Thiessen, makan yang lebih akurat
adalah data Aritmatik. Selanjutnya, akan dilakukan perhitungan error untuk setiap bulan dan
ditotal untuk menentukan data mana yang lebih akurat. Dari data di stasiun-stasiun di atas,
didapat error Aritmatik sebesar 37.6128 dan error Thiessen sebesar 32.3400, sehingga
digunakan data Thiessen karena error yang lebih kecil.
Oleh karena error Thiessen lebih kecil dari error dari merode Aritmatik, maka untuk
selanjutnya data rata-rata curah hujan Thiessen akan digunakan untuk analisis selanjutnya.
Tabel 3. 11 Curah Hujan Rata-rata dengan Metode Thiessen
Analisis curah hujan maksimum diperlukan untuk dapat menentukan curah hujan
maksimum rencana untuk periode tertentu. Untuk dapat melakukan analisis ini maka
diperlukan data debit curah hujan maksimum dari masing-masing stasiun. Curah hujan
maksimum suatu DAS dapat dihitung menggunkan metode Aritmatik dan metode Thiessen
seperti yang telah dilakukan pada contoh di atas untuk menghitung curah hujan per bulan
selama satu tahun.
Dengan menggunakan dua metode tersebut, maka didapatkan hasil perhitungan curah
hujan maksimum pada DAS Ujung Jaya sebagai berikut.
Tabel 3. 12 Data Curah Hujan Maksimum 10 Tahun
Dapat dilihat bahwa metode Aritmatik memberikan error yang lebih kecil, maka data
Aritmatik akan digunakan untuk melakukan analisis curah hujan maksimum.
3.2 Analisis Debit Rencana
Analisis curah hujan maksimum dapat dilakukan dengan beberapa metode. Namun
kali ini kita hanya memanfaatkan dua metode, yakni Gumbel Modifikasi dan Log Pearson III.
Pada pembahasan perhitungan ini akan diambil contoh curah hujan maksimum tahun 1974.
a. Distribusi Gumbel Modifikasi
Curah hujan maksimum dengan periode ulang Tr didapatkan dengan persamaan
berikut.
RT =r + K T S
dimana S adalah standar deviasi, Nilai Tr didapat dari
1 n+0.12
m0.44
Tr= =
P=
P m0.44 dimana
n+ 0.12
Untuk perhitungan tahun 1978 data pertama (R = 147,9977) didapat
Tr=
10+0.12
=18.07143
10.44
dimana
P=
10.44
=0,05536
10+0.12
[ ( ) ]}
[ ( )] }
KT=
6
Tr
0.5772+ln ln
Tr1
KT=
6
11
0.5772+ln ln
111
=1.7845
P=
m
n+1
= 0.09
[ ( )]
[ ( )]
1
w= ln
(1p)2
1/ 2
Untuk data curah hujan pertama pada tahun 1974, nilai p berada pada 0 hingga 0,5
sehingga digunakan persyaratan pertama
1
1
2
w= ln
=2,1899
2
0,09
[ ( )]
1
1
K T =z+ ( z2 1 ) k + ( z 26 z ) k 2( z 21 ) k 3+ z k 4 + k 5
3
3
Untuk data curah hujan pertama pada tahun 1974, didapat nilai KT = 2,17785.
Besarnya curah hujan maksimumnya adalah :
log RT = log R+ K T S log r=2,104659+ ( 2,1785 0,059965 )=2,23525
RT =102,23525 =171.8913
Untuk mendapatkan metode yang lebih baik, perhatikan kedua table berikut:
Tabel 3. 13 Metode Gumbel Modifikasi
Dengan menentukan error pada masing-masing data curah hujan maksimum kemudian
menjumlahkannya, didapatkan hasil perhitungan metode Log Pearson III memberikan error
yang lebih kecil menandakan metode lebih teliti dalam menghitung curah hujan maksimum
Ciliwung-Katulampa. Sehingga, hasil perhitungan curah hujan maksimum rencana untuk
periode ulang 100 tahun adalah 547.3844 mm.
150,98 km2
25.526 km
19.02 km
Nilai koefisien Ct dapat diambil pada rentang 1,8 sampai 2,2. Nilai ini
menggambarkan besarnya kemiringan pada sungai. Semakin curam, nilai koefisien akan
semakin tinggi, sementara semakin landai, nilai koefisien akan semakin rendah. Pada DAS
Ciliwung Katulampa nilai yang dipakai adalah 1.8 karena kondisi fisik sungai yang tidak
terlalu curam dari pengamatan visual garis kontur di WMS. Sehingga dipilihlah nilai 1.8 yang
diasumsikan dapat merepresentasikan atau merupakan rerata dari kecuraman yang variatif.
Sedangkan nilai C1 telah disepakati dan diasumsikan sebesar 0,75. Melihat data curah hujan
yang cukup besar pada DAS ini, maka diasumsikan tR = 1 jam. Langkah-langkah
perhitungan Hidrograf Snyder adalah sebagai berikut:
1. Time lag pada hidrograf (tL = tp)
tL=C1 Ct ( L Lc )0,3 =0,75 1.8 ( 25.526 19.02 )0,3 =8.6336 jam
2. Durasi curah hujan efektif dapat dihitung sebagai berikut :
tL
te=
=1.5697 jam
5,5
3. Menentukan time to peak (Tp) ditentukan oleh kondisi :
a. Jika te > tR, maka
Tp=t p ' +0.5
t p' =tp+0.25(tRte)
b. Jika te < tR, maka
Tp=tp+0.5
2,75 C p
0.6
=2,75
=0,191114
tp
8.6336
Dimana nilai Cp berada pada rentang 0,4 hingga 0,8 bergantung pada durasi hujan.
Nilai ini disesuaikan dengan nilai Ct, semakin besar nilai Ct maka nilai Cp akan
semakin kecil.
5. Menentukan debit puncak untuk hujan efektif 1 inci (25,4 mm) pada daerah seluas
3011,542 km2.
25,4
3
Qp=qp
x 150.98=0.732901 m /s
1000
6. Menentukan Time base (Tb)
Tb=
5,56
5,56
=
=29.0926 jam
qp 0.191114
2,14
2,14
=
=12.78257
1,08
qp
0,1911141,08
W 75=
1,12
2,14
=
=6.689944
1,08
1,08
qp
0,191114
W50
W75
12.782
57
6.6899
44
t50
4.7303
dan
t75
6.7611
0.3664
51
0.5496
76
dan
0.5qp
0.75q
p
17.512
8
13.451
1
Disini P (curah hujan) merupakan curah hujan efektif (Peff). Karena pada pembuatan
hidrograf Snyder diasumsikan tR = 1 jam, maka dampak hujan yang akan diterima oleh outlet
akan diterima 1 jam setelah hujan terjadi. Peff diasumsikan merupakan curah hujan yang
terjadi selama 4 jam (di Indonesia pada umumnya hujan terjadi 4 jam) dengan intensitas yang
sama setiap jamnya. Konvolusi hidrograf ini akan dilakukan pada curah hujan maksimum
dengan Tr = 5, 10, 25, 50, 100 untuk mencari debit banjir (debit puncaknya).
Contoh perhitungan untuk Tr = 100 tahun diperoleh RTr sebesar 547,384 mm. Maka
nilai RTr ini dibagi empat untuk menentukan P setiap jamnya, yaitu 136.846 mm. Selanjutnya
nilai UH didapatkan berdasarkan interpolasi untuk menentukan debit per jam. QUH1 adalah
perkalian antara UH dengan Peff. QUH dihitung 4 kali dengan lagging selama 1 jam. Q total
dapat dihitung menggunakan rumus di atas.
Hidrograf Tr=100
BAB IV
PERENCANAAN HIDROLIS
faktor, yaitu:
Tipe, bentuk dan morfologi sungai,
Kondisi hidrolis anatara lain elevasi yang diperlukan untuk irigasi,
Topografi pada lokasi yang direncanakan,
Kondisi geologi teknik pada lokasi,
Metode pelaksanaan,
Aksesibilitas dan tingkat pelayanan.
Aspek yang mempengaruhi dalam pemilihan lokasi bendung adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Pertimbangan topografi
Kemantapan geoteknik fondasi bendung
Pengaruh hidraulik
Pengaruh regime sungai
Tingkat kesulitan saluran induk
Ruang untuk bangunan pelengkap bendung
Luas layanan irigasi
Luas daerah tangkapan air
Tingkat kemudahan pencapaian
Biaya pembangunan
Kesepakatan stakeholder
Dalam pemilihan lokasi bendung di daerah Ujung Jaya ini dipilih karena terletak pada
elevasi tertinggi, sehingga dapat mengalirkan aliran irigasi secara gravitasi agar lebih efektif
dan efisien. Selain itu, lebar sungai juga memadai pada lokasi ini, dan aksesibilitas ke lokasi
bendung ini juga mudah karena terdapat akses jalan.
mercu bendung dapat dilakukan dengan penjumlahan beberapa elevasi yang telah diketahui
dan perkiraan kehilangan tinggi muka air selama perjalanan ke areal persawahan di saluran.
Nilai-nilai yang didapat pada kehilangan ketinggian telah ditentukan standarnya oleh Dirjen
PU Pengairan pada buku Standar Perencanaan Irigasi.
Data-data yang telah diperoleh dan pengolahannya adalah sebagai berikut:
= 50,92
mdpl
= 0,5
Headloss di intake
= 0,2
= 0,917
Koef. Keamanan
= 0,1
Kemiringan saluran
= 0,001875
= 52,64
mdpl
Dari data perhitungan diatas, didapatkan tinggi mercu bendung adalah 2,64 m.
Berdasarkan data tersebut, bendung dapat diilustrasikan dengan dimensi berikut:
+53,5
p=
2,64 m
+50
Gambar 4. 1 Tinggi Mercu Bendung
Dimana :
Bef = Lebar Efektif Bendung
B = Lebar seluruh Bendung
b = Jumlah lebar pintu penguras
2
2
Q=C d
g B e H 11,5
3
3
Berikut dilampirkan tabel dan grafik yang menggambarkan lengkung debit di hulu
bendung :
Lengkung Debit
70
60
f(x) = 0.03x + 47.13
50
40
Elevasi (m) 30
20
10
0
50
Jika dilihat dair grafik lengkung debit, untuk debit banjir 229,265 m3/s didapat tinggi hulu
sebesar 2.58m.
Tinggi energi di hulu bendung : (dengan Q50=229,265m3/s)
2
2
Q=C d
g B e H 11,5
3
3
2
2
229,265=1,3
9,81 27 H 11,5
3
3
H 1=2,4484 m dengan asumsi awal C d =1,3
Karena nilai H1/r = 1,4; maka dari buku penunjang KP Gambar 3.18 didapatkan nilai C0 =
1,25
Karena nilai p/H1 = 2,64/2,4484 = 1,078< 1,5 maka dibuat koreksi sehingga didapatkan nilai
C1 = 0,96
2
2
Q=C d
g B e H 11,5
3
3
2
2
229,265=1,2
9,81 27 H 11,5
3
3
H 1=2,58 m tinggi energi diatas mercu(hulu bendung)
4.2.4 Tinggi Energi di Hilir Bendung
Diketahui bahwa aliran yang mengalir pada hilir dianggap aliran seragam sehingga berlaku:
Qd =v A
1
A
v=
n
P
2/ 3
( )
dimana;
S 1/ 2 A
n = 0,03
A = H2 x Be
P = 2H2 +Be
S = 0,05 (kemiringan sungai)
H
( 2 x 27)
H 2 x 27
1
229,265=
0,03 2 H 2+27
2 /3
0,051 /2
hilir bangunan bergantung pada energi air yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan
Froude, dan pada bahan konstruksi kolam olak.
q=Q/Be
q=
229,265
m3
=8,49
/m
27
detik
8,492
9,81
hc =2,71 m
H= ( tinggi mercu bendung+ H 1) ( TMA hilir saluran primer + H 2 )
H= (52,64 +2,58 ) ( 49 , 07+1,116 )
H=5,03 4 m
H/hc = 1,85; dari Gambar 3.22 buku penunjang KP didapat Rmin/hc = 1,55
Rmin
=1,55
hc
Rmin=1,55 2,71=4,2 m
Tmin=2 2,71=5,4 m
4.3.2 Tipe USBR III
q
Yu
V u=
8,49
0,636
V u=13,35 m/s
Dengan nilai tersebut dapat dihitung bilangan Froude:
Fr=
Vu
g Y u
Fr=
13,35
=5,345
9,81 0,636
Karena nilai bilangan Froude melebihi 4,5 maka Tipe USBR III dapat digunakan
dalam perancangan kolam olak.
Untuk mencari Y2, diperlukan nilai n:
n=
Y u (18+ Fr)
18
n=
n 0,825
=
=1,3
Y u 0,636
Dengan nilai tersebut, ditinjau grafik berikut:
Didapatkan nilai
Y2
=5,3
Yu
Y 2=5,3 0,636=3,37 m
Maka didapat nilai n3:
n3 =
Y u (4+ Fr )
8
n3 =
0,636 ( 4+5,345 )
=0,743 m
8
Untuk mendesain kolam olak tipe Vlugter, dicari terlebih dahulu data berikut:
z= H =5,034 m
H 1=2,58 m
2
2
hc = H 1 = 2,58=1,72
3
3
H
=1,53
H1
Dengan data tersebut, dapat dihitung nilai-nilai berikut:
Tailwater
t=3 hc +0,1 H
t=3 1,72+0,1 3,954=5,55 m
a
a=0,28 hc
hc
H
a=0,28 1,72
1,72
=0,3176 m
3,954
n
n=
Y u (18+ Fr)
18
n=
Y2
n 0,825
=
=1,3
Y u 0,636
Y2
=5,3
Yu
Y 2=5,3 0,636=3,37 m
L
L=5 ( n+Y 2)
L=5 ( 0,825+3,37 )=20,975 m
BAB V
ANALISIS STABILITAS TUBUH BENDUNG
Gambar 5. 2 Gaya tekan hidrostatis saat debit rendah (kiri) dan banjir(kanan)
Gaya tekan lumpur adalah gaya yang disebabkan oleh adanya sedimentasi pada
bagian dasar bendung. Gaya tekan lumpur bekerja mendorong bendung pada muka
hulu bendung setinggi mercu. Gaya ini tidak dipengaruhi kondisi air, baik kondisi
debit rendah atau debit banjir. Gaya tekan lumpur resultan (terletak pada 2/3
kedalaman lumpur) dapat dihitung dengan:
Ps=1,67 Hs
Keterangan:
Ps
= Gaya tekan lumpur, kN
Hs
= kedalaman lumpur, m
d) Gaya angkat
Gaya angkat adalah gaya yang dialami tubuh bendung dengan arah yang vertikal ke
atas atau berlawanan arah dengan gravitasi. Gaya angkat di setiap titik dihitung
berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Lane, dengan rumus:
Px =H x
Lx
H
L
Keterangan:
Px
= Tekanan uplift pada titik x, kg/m2
Hx
= Tinggi energi di hulu bendung, m
L
= Panjang total bidang kontak antara bendung dan tanah bawah, m
Lx
= Panjang bidang kontak dari hulu sampai titik x, m
H
= Beda tinggi energi, m
Untuk sisi miring:
L= Lv + 1/3Lh
Lv
= Panjang bidang kontak antara bendung dan tanah pada arah vertikal
Lh
= Panjang bidang kontak antara bendung dan tanah pada arah
horisontal
Lx
= Lv,x + 1/3 Lh,x
Bidang kontak yang membentuk sudut lebih besar atau sama dengan setengah siku
(45o) terhadap bidang horisontal dianggap sebagai bagian dari Lv.
Perhitungan tekanan angkat ini dihitung untuk setiap titik sudut dari pondasi bendung.
Setelah tekanan setiap titik sudut didapatkan, tekanan tersebut digambarkan pada
bendung. Gaya tekan ke atas yang diterima bendung adalah luas bidang yang
terbentuk antara tekanan-tekanan di titik sudut pondasi bendung. Perhitungan gaya
tekan ini dilakukan untuk saat kondisi debit rendah dan saat kondisi debit banjir.
e) Gaya gempa
Bendung juga akan terpengaruh kestabilannya apabila terjadi gempa. Gaya gempa
bekerja pada arah horizontal ke arah hilir bendung. Gaya ini tidak dipengaruhi oleh
muka air sehingga tidak perlu diperhitungkan baik pada saat debit rendah maupun
debit banjir. Gaya gempa dihitung dengan:
K=E G
Keterangan:
K
= gaya gempa (kN)
E
= koefisien gempa yang bergantung dengan lokasi bendung
G
= berat total tubuh bendung (kg)
f) Gaya lateral tanah
Gaya lateral tanah adalah gaya yang dialami bendung akibat adanya tanah di bawah
tubuh bendung. Dalam perhitungan gaya lateral ini, tegangan air pori tidak perlu
diperhitungkan karena sudah dihitung pada tahap perhitungan gaya tekan hidrostatis.
Gaya lateral dapat ditentukan setelah ditentukan lokasi terjadinya tekanan tanah aktif
dan tekanan tanah pasif, kemudian diketahui nilai Ka dan Kp. Berat jenis efektif tanah
dihitung kemudian digambarkan dalam diagram distribusi tegangan lateraltanah dan
tanah tambahan akibat kohesi. Setelah didapatkan diagram, hitung luasnya dan luas
total tersebut merupakan gaya tekan lateral yang bekerja pada bendung.
Perhitungan gaya tekan lateral tanah dilakukan untuk setiap segmen bendung yang
memiliki kontak dengan tanah pondasi secara lateral. Karena pada setiap kondisi
tanah berada di bawah muka air, maka perhitungan gaya tekan lateral tanah tidak
dipengaruhi kondisi debit rendah maupun debit banjir.
b. Menentukan tinggi energi (Hx) dan jarak sepanjang bidang kontak (Lx)
Bendung yang telah ditentukan penampangnya ditandai dengan titik-titik belok yang
nantinya akan digunakan dalam perhitungan bidang gaya. Titik-titik tersebut menjadi
sebagai berikut:
Tinggi energi (Hx) dihitung dari permukaan air pada saat kondisi debit rendah, yaitu
2,64 meter. Jarak sepanjang bidang kontak (Lx) dihitung dari titik (0,0) yaitu titik
paling kiri bawah penampang. Titik terakhir yang ditinjau adalah titik P karena pada
debit rendah, tidak ada gaya air pada bidang OP. Hasil analisis Hx dan Lx ditunjukkan
dalam tabel hasil akhir.
c. Menentukan gaya angkat
Gaya angkat (Px) dapat dihitung dengan:
Lx
Px=( Hx H) air g
L
Gaya angkat Px dihitung pada masing-masing titik seperti pada langkah sebelumnya,
sehingga didapatkan hasil seperti pada tabel hasil akhir.
Contoh perhitungan untuk titik B:
L
PB =( H B B H ) air g
L
Pb= 4,8
2,16
3,57 1000 9,81=43,55 kN /m2
17,32
Luas segitiga
Asegitiga=0,5 (34,3926,45) 1=3,97 kN
Luas trapesium
Selain gaya uplift, gaya hidrostatis horizontal juga akan berpengaruh pada stabilitas bendung.
Untuk menghitung gaya hidrostatis horizontal, dilakukan cara yang sama dengan sebelumnya
yaitu menghitung luas pengaruh gaya pada bidang mercu.
0
2,4
Perhitungan gaya:
26,4
Lengan momen gaya tersebut adalah 4,93 + 1/3 dari 2.64 yaitu 5,81 meter.
Selain gaya uplift dan hidrostatis, terdapat gaya tekan lumpur:
Ps=1,67 Hs2
Ps=1,67 0,52=0,4175 kN
5.3 Stabilitas Bendung Kondisi Debit Banjir
Tommy Sachi 15013081
Gaya yang bekerja saat kondisi debit rendah antara lain gaya yang disebabkan oleh air
(gaya hidrostatis) dan gaya uplift bendung. Gaya tersebut dicari dengan langkah berikut:
a. Menentukan penampang bendung
Pada Tugas Besar Bangunan Air ini, penampang bendung yang digunakan adalah tipe
Bucket. Karena bendung tersebut dianggap cukup stabil secara tampak geometri.
b. Menentukan tinggi energi (Hx) dan jarak sepanjang bidang kontak (Lx)
Bendung yang telah ditentukan penampangnya ditandai dengan titik-titik belok yang
nantinya akan digunakan dalam perhitungan bidang gaya. Titik-titik tersebut menjadi
sebagai berikut:
Tinggi energi (Hx) dihitung dari permukaan air pada saat kondisi debit banjir, yaitu
5,22 meter. Jarak sepanjang bidang kontak (Lx) dihitung dari titik (0,0) yaitu titik
paling kiri bawah penampang. Titik terakhir yang ditinjau adalah titik K karena pada
debit rendah, ada gaya air pada bidang OP. Hasil analisis Hx dan Lx ditunjukkan
dalam tabel hasil akhir.
c. Menentukan gaya angkat
Gaya angkat (Px) dapat dihitung dengan:
Lx
Px=( Hx H) air g
L
Gaya angkat Px dihitung pada masing-masing titik seperti pada langkah sebelumnya,
sehingga didapatkan hasil seperti pada tabel hasil akhir.
Contoh perhitungan untuk titik B:
PB =( H B
LB
H ) air g
L
Pb= 7,38
2,16
5,03 1000 9,81=67,84 kN /m2
18,23
Luas segitiga
Asegitiga=0,5 (56,3449,1)1=3,62 kN
Luas trapesium
Atrapesium= Apersegipanjang+ Asegitiga
Atrapesium=49,1+3,62=52,72 kN
Tabel 5. 5 Tabel 5. 6 Total Gaya dan Momen Uplift Vertikal (Debit Rendah)
Selain gaya yang telah didapat sebelumnya, gaya hidrostatis horizontal juga akan
berpengaruh pada stabilitas bendung. Untuk menghitung gaya hidrostatis horizontal,
dilakukan cara yang sama dengan sebelumnya yaitu menghitung luas pengaruh gaya pada
bidang mercu.
19,54
2,64
52,20
Perhitungan gaya:
F=0,5 ( 52,2019,54 ) 2,64+19,54 2,64=94,7 kN
Selain gaya uplift dan hidrostatis, terdapat gaya tekan lumpur:
Ps=1,67 Hs2
Ps=1,67 0,52=0,4175 kN
Pada debit banjir ini, juga diperhitungkan berat air aliran yang mengalir diatas
bendungan :
Wair=Luas Aliran Berat Jenis Air=25,4052 10=254,052
5.4 Kontrol Stabilitas Bendung
5.4.1 Terhadap Geser
Agar memiliki durabilitas yang lama, bendung harus berdiri dengan baik dan
stabil. Bendung dikatakan stabil terhadap geser apabila:
S F =f
Rv
2
Rh
Keterangan:
Rv
Rh
Rv
1,5
Rh
S F =0,75
1021,27
=5,89 1,5
130,04
S F =f
Rv
1,5
Rh
S F =0,75
1017,45
=2,73 1,5
279,31
Maka dapat disimpulkan bahwa bendung stabil terhadap geser baik dalam
MT
2
MG
Keterangan:
MT
MG
MT dan MG dihitung terhadap titik O yaitu titik yang berada di pojok kanan
bawah dari penampang melintang bendung.
Untuk menghitung momen tahan dan momen guling dari perhitungan gaya
yang telah dilakukan sebelumnya, dilanjutkan dengan langkah berikut:
a. Menentukan lengan momen
Lengan momen dihitung dari titik O (titik kanan bawah penampang) ke titik
tinjau di masing-masing bagian. Maka untuk masing-masing titik tinjau
didapatkan lengan momen yang sudah dilampirkan pada tabel diatas.
b. Menentukan momen guling
Momen adalah hasil perkalian gaya dengan lengan momen dengan arah searah
dengan arah jarum jam. Hasil perhitungan momen untuk kedua kondisi debit
dicantumkan padatabel di atas.
c. Menghitung gaya tubuh bendung
Gaya tubuh bendung dihitung per meter lebar bendung sehingga hanya perlu
dihitung luas penampang sampingnya saja. Untuk menghitung luas penampang
ini, digunakan AutoCAD dengan Command MassPROP untuk memunculkan
Area dan Lengan Momen.
Tommy Sachi 15013081
MT
2
MG
SF =
MT
2
( Muplift + Mhidrostatis+ Mlumpur )
SF=
10745,02
=2,93 2
3663,52
Dan kestabilan untuk debit banjir:
SF=
MT
2
MG
SF=
MT
2
( Muplift + Mhidrostatis+ Mberat air + Mlumpur )
SF=
12774,67
=2,05 2
6229,43
Dari perhitungan tersebut disimpulkan bahwa bendung kuat menahan guling
atau stabil terhadap guling baik dalam keadaan debit rendah maupun debit banjir.
Tabel 5. 10 Rangkuman Gaya dan Momen yang Bekerja pada Debit Banjir
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
Hasil desain bendung,
: 52,64 m
: 2,64 m
: 1,75 m
: 4,2 m
: 5,89
: 2,93
: 2,73
: 2,05
Desain bendung ini aman terhadap debit rendah maupun debit banjir.
6.2 Saran
Sebaiknya data-data bendung yang dipakai diambil nilai riilnya, sehingga tidak banyak data
yang diasumsikan yang membuat hasil perhitungan tidak riil terhadap kondisi sebenarnya.
Dan juga pada tugas besar kali ini banyak menggunakan data dari tugas besar sebelumnya
yang tidak berkesinambungan sehingga menyebabkan perhitungan menjadi kurang akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi, Parameter Bangunan,
KP-06. Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi, Kriteria Perencanaan
Bagian Bangunan Utama, KP-02. Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi, Kriteria Perencanaan
Bagian Perencanaan Jaringan Irigasi, KP-01. Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi, Bagian Penunjang