Anda di halaman 1dari 20

BAB XXII

PSIKIATRI FORENSIK
TUJUAN BELAJAR
TUJUAN KOGNITIF
1. Memahami beberapa pengertian dan masalah dalam psikiatri kehakiman
1.1. Menjelaskan peranan seorang saksi ahli dalam kedokteran jiwa
1.2. Membedakan kompetensi mental untuk menyelesaikan urusan pribadi serta
menyatakan kehendak dari inkompetensi hal-hal ini.
1.3. Memberi contoh mengenai masalah komunikasi antara bidang psikiatri
kehakiman dan bidang hukum.
1.4. Mempertahankan syarat-syarat untuk dapat dihukumnya seseorang menurut
hukum kriminal
1.5. Menyimpulkan berbagai penyebab perilaku kriminal.
1.6. Membedakan berbagai tujuan pemberian hukuman.
TUJUAN AFEKTIF
1. Menaati peraturan-peraturan mengenai pemeriksaan terdakwa yang diduga menderita
gangguan jiwa.
1.1. Mendiskusikan tentang konsep tanggung jawab hukum
1.2. Memilih pasal-pasal dalm KUHP yang dapat dipakai dalam psikiatri
kehakiman
1.3. Mendiskusikan tentang tujuan pemberian hukuman

338

A. PENDAHULUAN
Istilah Psikiatri forensik merupakan terjemahan dari forensic psychiatry. Gabungan
dua kata psikiatri dan forensik sering mendorong kita untuk menganggap bahwa psikiatri
forensik merupakan gabungan dua ilmu dasar, yaitu ilmu psikiatri dan ilmu forensik.
Psikiatri bukanlah ilmu dasar tetapi merupakan fungsi dari ilmu dasar (psikiatri, kimia,
kedokteran dan psikologi) yaitu membantu hukum dan peradilan. Dengan demikian,
psikiatri forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu
kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan. Dan yang termasuk
didalamnya yaitu pertanggungjawaban kriminal, perwalian serta penandatanganan
dokumen. Kalau hukum dipakai untuk kontrol sosial, sedangkan psikiatri forensik dipakai
untuk menanggulangi tingkah laku yang merugikan. Jika forensik medicine/legal
medicine dihadapkan pada korban pelanggaran hukum, forensik psikiatri justru berkaitan
dengan seseorang yang melanggar hukum tersebut, misalnya pembunuh atau pemerkosa.
Hukum dan psikiatri merupakan disiplin ilmu yang berbeda, mereka melayani pihak yang
berbeda dan didasarkan pada konsep yang berbeda. Secara alami, hubungan antara
Psikiatri dan Hukum (ketika dikaitkan dengan suatu masalah dan dialami oleh orang yang
mengalami gangguan mental) hal ini merupakan suatu masalah yang kompleks.
B. MENURUT ASPEK HUKUM
Hukum digunakan sebagai alat untuk mengatur hak dan kewajiban manusia dalam
kelompoknya, karena tidak dapat diingkari sering terjadi benturan-benturan antara
kepentingan masing-masing orang. Dasar sebagai sumber hukum untuk suatu tempat dan
suatu periode tertentu adalah :

Undang-undang yang merupakan perwujudan dari negara hukum yang menganut


asas demokrasi.
Traktat, yaitu suatu perjanjian yang dibuat oleh dua Negara atau lebih.
Putusan-putusan hakim (yurispudensi) yang dibuat sebelumnya.

Hukum-hukum formal yang tidak tertulis seperti hukum adat dapat pula dijadikan
sumber hukum. Sengketa hukum dapat terjadi apabila ada benturan kepentingan,
seseorang dengan orang lain (perdata) atau dengan seluruh masyarakat (pidana). Apabila
terjadi sengketa seperti ini maka diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan
masalah tersebut, dan lembaga seperti ini disebut Pengadilan. Pada awal sengketa,
penyelesaian dilaksanakan di Pengadilan Negeri, apabila penyelesaian tersebut tersebut
tidak memuaskan satu atau dua belah pihak dapat diselesaikan di Pengadilan Tinggi. Dan
penyelesaian terakhir dilaksanakan di Mahkamah Agung.
Sedangkan tinjauan menurut hukum penyebab perilaku kriminal dari segi psikiatri
yaitu :

Kepribadian anti sosial


Neurosa
Psikosa
S.O.O (Sindrom Otak Organik)

339

Reterdasi Mental
Ketergantungan obat
Rumah tangga yang berantakan
Orang tua dengan kepribadian sesiopatik
Lingkungan pergaulan yang patogenik
Kelainan kromoson XYY
Hubungannya Dengan Hukum Pidana
Di Indonesia berlaku pasal 44 KUHP, yang berbunyi :
Ayat 1
Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum
Ayat 2
Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka
hakim boleh memerintahkan menempatkan ia ke Rumah sakit jiwa
selama-lamanya 1 tahun untuk diperiksa
Ayat 3
Ketentuan ayat (2) lainnya hanya berlaku bagi mahkamah agung, pengadilan
tinggi dan pengadilan negeri.

Kesimpulan yang dapat diambil yaitu jika seseorang :


1. Mampu memahami nilai perbuatan (discriminative insight)
2. Mampu memahami nilai risiko perbuatannya (discriminative judgement)
3. Mampu menyadari kemauannya dan mampu mengarahkan kemauannya
(discriminative insight, dan discriminative judgement) maka individu itu
dianggap bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
Yang dikatakan discriminative insight yaitu bagaimana seseorang memahami
perilaku, emosi dan pikiran tersebut, serta memahami perkembangan dari perilaku, emosi
dan pikiran tersebut. Sedangkan discriminative judgement yaitu kemampuan
membedakan data/peristiwa kondisi yang satu dengan yang lain misal benar/salah,
baik/buruk, dan juga menentukan bagaimana seseorang mengambil keputusan.
Dikenal pula istilah The Insanity Defense Standard atau standar pertahanan
gangguan jiwa, yaitu adanya gangguan jiwa (mental disorder), adanya kelainan dalam
akal sehat (defect of reason), kurangnya pengetahuan mengenai sifat dan salahnya suatu
tindakan.
Hubungannya Dengan Hukum Perdata

340

Hubungan dengan hukum perdata apabila ada perikatan dan untuk melakukan
perikatan, seseorang harus kompeten (cakap). Sukar untuk membuktikan seseorang
kompeten dengan memperlihatkan bahwa individu itu mempunyai penilaian yang baik
(good judgement).
Beban dalam membuktikan bahwa seseorang itu dianggap tidak kompeten terletak
pada orang yang harus membuktikan tidak kompeten itu. Orang itu harus dapat
memperlihatkan bahwa individu itu mempunyai penilaian yang buruk (bad judgement)
dan hal itu disebabkan karena gangguan mental. Jika orang itu gagal membuktikan bahwa
individu itu tidak kompeten maka individu itu dianggap kompeten.
Secara umum terdapat tiga cara dalam menetapkan tidak kompeten, yaitu :
1. Harus dapat diperlihatkan bahwa individu itu mengalami gangguan mental.
2. Gangguan mental menyebabkan defek dalam penilaian (judgement).
3. Defek dalam penilaian merupakan hal yang menyebabkan ketidaksanggupan
yang berhubungan dengan hal yang dipermasalahkan.
Jadi penetapan gangguan mental belumlah cukup untuk menetapkan seseorang
tidak kompeten, tetapi juga harus dapat diperlihatkan bahwa gangguan mental
menyebabkan gangguan penilaian (impairment of judgement).
Kasus-kasus yang berhubungan dengan Hukum Perdata :
1. Berkenaan Dengan Orang
a. Tentang perkawinan
Didalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa jika suami atau istri
melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
b. Tentang batalnya perkawinan (Pasal 88 KUH Perdata)
c. Tentang perceraian
Gangguan jiwa yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/istri merupakan salah satu alasan perceraian. Dalam
beberapa kasus perceraian, pengadilan membutuhkan adanya Visum Et Repertum
Psychiatricum. Menurut Darmabrata W, seseorang dapat dibuatkan Visum Et Repertum
Psychiatricum untuk kasus perceraian bila :
- Adanya permintaan dari pengadilan/jaksa
- Si terperiksa dalam status gugat cerai (orang yang akan kita kenai
perlakuan medis sudah mempunyai status tertentu dalam proses
hukum)
d. Pengampuan/kuratele (Curatelle)/Guardianship

341

Adalah keadaan seorang dewasa yang dianggap tidak cakap untuk bertindak
dalam lalu lintas hukum, ditempatkan di bawah tanggung jawab orang lain. Orang yang
mengampu disebut Pengampu atau Curator yang kemudian bertanggung jawab atas
tindakan orang yang diampu (Curandus).
Pengampuan sebagian besar berdasarkan keadaan psikotik, gangguan mental dan
pada beberapa keadaan juga membutuhkan pengampuan, seperti alkoholik kronis,
apopleksi serebri, epilepsi, atau bisu tuli.

Pasal-pasal yang berkenaan dengan kuratele :


Pasal 433 KUH Perdata : Orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu,
gila/mengamuk, harus ditaruh di bawah kuratele,
sungguhpun kadang-kadang pada waktu tertentu dia dapat
mempergunakan kesanggupan berpikirnya (seorang dewasa
karena pemboros juga dapat ditaruh di bawah kuratele).
Pasal 434 KUH Perdata : Tiap-tiap anggota sedarah dapat dimintakan kuratele anggota
keluarganya karena kedunguan/gila.
Pasal 446 KUH Perdata : Sejak pengampunantersebut diumumkan maka segala hubungan
perdata dengan pasien batal yang dibuat setelah pengampunan
tersebut.
Pasal 452 KUH Perdata : Kedudukan orang yang di bawah pengampunan sama dengan
anak di bawah umur.
Pasal-pasal yang berkenaan dengan kuratele dicantumkan pula pada pasal 425 dan
pasal 460 KUH Perdata.
2. Berkenaan Dengan Benda
- Tentang surat wasiat (Pasal 675 KUH Perdata)
- Tentang kesanggupan dalam surat wasiat (Pasal 873 KUH Perdata)
- Tentang yang dapat membuat surat wasiat (Pasal 896 KUH
Perdata)
3. Berkenaan Dengan Verbintenis
- Pengertian perikatan (Pasal 1233-1864 KUH Perdata)
- Perjanjian perikatan (Pasal 1320 KUH Perdata)
- Ketidaksanggupan perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata)
B. MENURUT ASPEK MEDIS
Kesaksian ahli psikiatri akan dimintakan apabila pada salah satu pihak yang
berperkara diduga mendapat gangguan jiwa. Untuk hal tersebut, diperlukan batasan
antara keadaan normal dan tidak normal ditinjau dari aspek psikiatri.

342

Saksi yaitu orang yang melihat atau mendengar sengketa hukumnya yang
kemudian memberikan keterangan berdasarkan apa yang pernah ia lihat atau ia dengar,
terutama mengemukakan tentang fakta-fakta; sedangkan saksi ahli yaitu seseorang yang
sebenarnya tidak terlibat dalam satu perkara, tetapi mempunyai ilmu yang dapat dipakai
untuk menganalisis perkara dan mengemukakannya kepada hakim sebagai bahan untuk
pengambilan keputusan. Ia lebih mengemukakan pendapat (opini) tentang perkaranya
yang telah dianalisis sesuai dengan konsep-konsep ilmunya.
Dalam ilmu psikiatri, seseorang dianggap normal apabila ia masih menunjukkan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mampu memenuhi
tuntunan lingkungannya sesuai dengan norma dan nilai lingkungan tersebut, serta
menunjukan produktivitas yang wajar. Kriteria normal ini masih harus dipertimbangkan
dari aspek umur tempat dan jangka waktu.
Didalam kehidupan sehari-hari diluar bidang kedokteran banyak terjadi kesulitan
di dalam menilai normal tidaknya seseorang. Secara sederhana, untuk memudahkan
penilaian tersebut dapat dipakai beberapa patokan, diantaranya patokan masyarakat,
patokan individu, patokan klinis, dan patokan-patokan melalui pemeriksaan tambahan.
Konsep Mc Naughten Rule, Durham Rule adalah konsep-konsep yang dipakai
untuk menilai kemampuan tanggung jawab pada kasus-kasus pidana dimana terperiksa
merupakan pelaku pelanggaran hukum.
Pada konsep Mc Naughten Rule, tanggung jawab kriminal seseorang dianggap
menderita gangguan jiwa harus ditetapkan dengan menjawab secara spesifik pertanyaanpertanyaan berikut ini :
1. Apakah orang yang diperiksa itu menderita gangguan jiwa? bila ya, apa nama
penyakitnya?
2. Tahukah ia sifat-sifat dari perbuatannya?
3. Tahukah ia tentang akibat-akibat berbahaya dan akibat kerusakan dari
perbuatannya terhadap korban?
4. Tahukah ia bahwa perbuatannya salah? dan mengertikah ia bahwa perbuatannya
itu dianggap salah oleh orang banyak?
Hal ini didasarkan pada tiga patokan, yaitu :
1. Gangguan mental
2. Perasaan yang didasarkan pada suatu alasan, seperti suatu tindakan alami yang
tidak diketahui
3. Perbedaan ilmu pengetahuan yang menimbulkan suatu tindakan yang salah
(MNaghten berpendapat bahwa hal ini memperlihatkan adanya kesalahan dalam
peraturan. Kita dapat mengetahui dengan jelas apa yang ia lakukan dan tindakan
yang ia lakukan merupakan tindakan yang melanggar hukum).
Konsep ini adalah tes tanggung jawab yang terutama didasarkan pada intelektual,
suatu right or wrong test, yang mencerminkan suatu pandangan mekanis tentang
kepribadian, yaitu bahwa intelektual adalah fungsi yang menentukan dengan realitas.

343

Tertuduh hanya dapat dinyatakan sebagai tidak waras dari segi menghindari
tanggung jawab atas perbuatan kriminalnya, apabila pada sat ia melakukan perbuatan itu
menderita gangguan mental, sehingga tidak dapat mengetahui sifat dan kualitas
perbuatannya / ketika ia tahu apa yang diperbuatnya salah.
Pada konsep MC Durham Rule, landasannya adalah bahwa tidak ada dosa (guilt) jika
ada kesalahan (fault) dan tidak ada kesalahan jika ada kemauan bebas (free will). Konsep
ini mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah terdakwa mempunyai penyakit jiwa?
2. Apakah tindakan (pelanggaran) terdakwa merupakan produk dari penyakit
jiwanya itu atau apakah penyakit jiwanya itu critical dalam sebab musabab
peristiwa pelanggaran.
3. Penjelasan dalam istilah-istilah di bidang keahliannya sendiri (tidak usah lagi
terikat dalam terminologi legal), dengan jalan bagaimana penyakit jiwa telah
menyebabkan terdakwa melakukan tindakan pidana.
Ketika keputusan bersalah diucapkan, psikiatris akan melakukan eksekusi dan melihat
sikap pertahanan pasien dan memberikannya sebagai bukti dimuka pengadilan.
Hal ini merupakan sesuatu yang sulit, terutama berkaitan dengan sikap mental
dari orang-orang yang berbeda dan berada dalam keadaan waktu yang berbeda.
Pilihannya selalu berbeda. Permasalahan lain digunakan didepan pengadilan
untuk memutuskan apakah bukti yang ada dapat digunakan atau tidak.
Tingginya kesulitan didasarkan pada pertahanan NGI, pada beberapa situasi
peradilan dapat memutuskan Bersalah Tetapi Mengalami Gangguan Mental (Guilty But
Mentally Ill GBMI) terdapat dalam diri pasien. GBMI tidak memberikan suatu
perbaikan masalah yang signifikan. Hal ini membutuhkan individu yang merasa bersalah
dan hal ini tidak diperlukan didepan pengadilan, terutama bagi para psikiatri yang
mencoba melihat keadaan ini. Sementara itu, keputusan hakim memberikan suatu
dorongan, hal ini bukan merupakan bagian dari kasus, dan tidak memiliki bukti
berdasarkan GBMI.
Diminished responsibility merupakan cara untuk melakukan pertahanan dari
tuduhan pembunuhan. Jika ini berhasil, perasaan bersalah akan menimbulkan
pengurangan perasaan untuk tertawa (manslaughter) (The Homicide Act, 1957, Inggris) :
Bagian yang memberikan peranan penting, terdiri dari :
1. Waktu pelaksanaan pembunuhan yang menimbulkan pemikiran yang abnormal
2. Pemikiran yang abnormal yang menimbulkan ganggungan mental
Banyak tanggung jawab untuk melakukan pengurangan membutuhkan tindakan
hukum yang lebih baik, dibandingkan dengan tindakan NGI atau GBMI.
D. PATOGENESIS GANGGUAN JIWA

344

Upaya untuk menelaah psikiatri sudah berlangsung lama sekali. Konsep


demonologik menyebutkan bahwa penyebab gangguan jiwa adalah adanya gangguan roh,
baik jahat maupun baik, yang masuk ke dalam raga seseorang yang kemudian menjadi
pasien gangguan jiwa. Konsep ini sampai saat ini masih banyak penganutnya.
Konsep organobiologik menyatakan bahwa pasien gangguan jiwa adalah
seseorang yang mungkin menderita kelainan pada otaknya yang ditinjau dari aspek
biokimiawi, faali maupun anatomis.
Konsep psikoedukatif mengajarkan bahwa kelainan jiwa terjadi akibat gangguan
atau hambatan pada perkembangan kepribadian. Gangguan atau hambatan tersebut dapat
terjadi pada pematangan (maturasi) atau pada interaksi personal dengan tokoh-tokoh yang
berperan dalam perkembangan kepribadian dalam proses belajar (menuju kedewasaan).
Konsep sosiokultural mengajarkan bahwa perkembangan kepribadian sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang merupakan patokan yang kemudian akan menjadi
bagian pada kepribadian seseorang. Di lain pihak, konflik-konflik di dalam masyarakat
baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar menyebabkan seseorang dituntut
untuk beradaptasi dengan konflik tersebut Apabila gagal, ia akan menunjukkan kelainankelainan yang dianggap sebagai gangguan jiwa.
Satu konsep yang pada saat ini dijadikan suatu pegangan psikiater di Indonesia
adalah konsep eklektik holistik. Konsep ini memandang manusia sebagai satu kesatuan
integral dari unsur-unsur organobiologik, psikoedukatif, sosiokultural. Dari ketiga unsur
inilah dapat tercetus gangguan jiwa, dengan perkataan lain gangguan jiwa merupakan
multifaktorial (Holistik). Apabila telah ditemukan suatu gangguan jiwa, selanjutnya
disarankan untuk menentukan salah satu faktor yang dapat dianggap merupakan faktor
utama sedangkan faktor lain merupakan faktor tambahan (Eklektik).
Dari konsep eklektik holistik ini dapat digambarkan bahwa gangguan jiwa
dilandasi oleh faktor-faktor dasar (dalam predisposisi) yang biasanya merupakan faktor
organobiologik atau psikoedukatif; yang kemudian menjadi manifest (menampakkan
gejalanya) karena dipicu oleh faktor stresor sosial yang merupakan faktor pencetus
(faktor presipitasi).
Dari pemahaman eklektik holistik dapat diambil kesimpulan bahwa akan sulit
sekali untuk menentukan hubungan langsung (kausalitas) antara satu kejadian atau satu
kondisi, misalnya penyiksaan mental dan situasi kerja dengan suatu gangguan jiwa,
kecuali barangkali pada suatu kondisi fisik dengan gangguan jiwa organik. Usaha
maksimal yang dapat dilakukan adalah menentukan bahwa faktor pencetus
(penganiayaan mental, stress karena kondisi kerja, dan lain-lain) merupakan faktor yang
berperan lebih dominan dalam timbulnya gangguan jiwa.
E. PENAHANAN DAN PELEPASAN PENDERITA GANGGUAN JIWA DI RUMAH
SAKIT JIWA

345

Penahanan
Dilakukan bila seseorang didiagnosa mempunyai kelainan jiwa.

Penahanan bisa dengan izin atau tanpa izin dari walinya, apabila penderita
membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain.
Dimasukkan ke RSJ melalui berbagai cara :
Penerimaan langsung di Rumah Sakit
Penerimaan atas dasar permohonan atau petisi (diberikan kepada
hakim)
Penggunaan atas surat lainnya selain dari petisi
Penerimaan melalui putusan pengadilan
Penerimaan penderita gangguan jiwa yang melakukan tindakan
kriminal
Penerimaan penerita gangguan jiwa yang melarikan diri

Pelepasan dari RSJ

Jika penderita masuk Rumah Sakit secara langsung, maka dia bisa dilepaskan
dalam kurun waktu 24 jam setelah surat permohonan diterima
Jika ada 3 orang yang menjemput ke Rumah Sakit, dan salah satu diantaranya
adalah dokter, maka dokter ini bisa memberikan surat keterangan untuk
meminta agar penderita dikeluarkan dari Rumah Sakit

1. MALPRAKTEK
Istilah malpraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktek dokter yang
buruk. Ada penulis yang menggunakan istilah malpraktek dan kelalaian dalam pengertian
yang sama atau saling dipertukarkan.
Malpraktek atau dikenal dengan istilah Derelection of a Duty that Directely led
toDamages, disingkat menjadi 4 D, yaitu Derelection (kelalaian), Duty (kewajiban),
Directly (langsung), Damaged (kerugian).
Perbuatan melanggar hukum dalam KUH Perdata, terdapat dalam pasal-pasal :
1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salah nya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
1366 KUH Perdata : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
1367 KUH Perdata : Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang
yang berada di bawah pengawasannya.

346

Dalam kelalaian, standar perawatan yang diperlukan dalam keadaan tertentu harus
ada, kewajiban harus dimiliki oleh tertuduh atau seseorang dimana tindakan tertuduh
dapat dipersalahkan, kewajiban harus telah diterima oleh penggugat, dan pelanggaran
kewajiban harus merupakan penyebab hukum dari tuntutan penggugat akan kerugian atau
cedera.
Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya tuntutan, diantaranya :

Hanya memberikan pengobatan yang sanggup ditawarkan


Tidak boleh membebankan prakteknya atau memperluas kemampuan mereka
Harus mengobati pasien dengan rasa hormat
Pencatatan perawatan yang baik (Alasan klinis, mendapatkan informasi tentang
standar kelompok praktek)
Proses Informed Consept, melibatkan diskusi ketidakpastian
Dialog tersebut membantu mencegah tuntutan.

G. VISUM et REPERTUM PSYCHIATRICUM


Visum Et Repertum Psychiatricum diterbitkan hanya atas suatu permintaan dan
yang berhak meminta adalah hakim, jaksa, polisi, dan yang bersangkutan. Visum Et
Repertum dibuat oleh dokter yang mempunyai hak untuk menerbitkan yaitu dokter yang
mempunyai wewenang atau izin yang berpraktik di wilayah Indonesia.
Persyaratan untuk kelengkapan pembuatan Visum Et Repertum Psychiatricum,
selain surat permintaan pembuatan surat Visum Et Repertum Psychiatricum, adalah berita
acara. Apabila kelengkapan ini telah dipenuhi maka terdakwa atau tergugat dsb., setelah
memenuhi persyaratan perawatan di rumah sakit dapat dimasukkan ke dalam ruang
perawatan untuk diobservasi. Dalam hal ini status terdakwa, tergugat dst. berubah
menjadi terperiksa. Dalam ruang observasi inilah terperiksa akan diperiksa dan
diobservasi untuk jangka waktu tertentu.
Pedoman pembuatan Visum Et Repertum Psychiatricum dari Direktorat
Kesehatan Jiwa menyebutkan jangka waktu observasi adalah 14 hari. Jangka waktu ini
dengan seizin peminta pembuatan Visum Et Repertum, dapat diperpanjang 14 hari lagi.
Setelah jangka waktu ini Visum Et Repertum harus sudah diterbitkan, walaupun
barangkali belum dapat diambil suatu kesimpulan.
UU Kesehatan Jiwa tahun 1965 menyebutkan jangka waktu observasi antara 3
minggu sampai 6 bulan, yang didasarkan pada kemungkinan penyesuaian diri (adaptasi)
terperiksa pada lingkungan baru yaitu ruang perawatan. KUHP berdasarkan atas hak asasi
manusia yang masa penahanan tidak dapat melebihi 90 hari maka jangka waktu observasi
harus sependek mungkin. Pedoman pembuatan Visum Et Repertum Psychiatricum dari
Direktorat Kesehatan Jiwa menyesuaikan jangka waktu observasi dengan yang
ditentukan oleh KUHP.

347

Selama observasi, terperiksa tidak diberi terapi kecuali dalam keadaan tertentu
yang bersifat darurat, seperti keadaan agresif, destruktif, kecenderungan bunuh diri, sakit
fisik yang gawat, dll. Pemberian terapi ini harus dilaporkan kepada pihak yang meminta
visum, dan dilaporkan pula da dalam Visum Et Repertum Psychiatricum.
H. ALAT BUKTI SAH
Terhadap suatu perkara, di dalam sidang pengadilan penghimpunan alat bukti
merupakan bagian penting untuk memberikan keyakinan pada hakim dalam pengambilan
keputusan hukum. Alat bukti yang sah menurut pasal 184 (1) KUHP, antara lain:
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. alat bukti surat
d. alat bukti petunjuk
e. alat bukti terdakwa
Keterangan ahli ada dua jenis yaitu, lisan yang disampaikan saksi ahli dalam
kesaksiannya didalam sidang pengadilan dan keterangan tertulis yang di dalam bidang
kedokteran yang disebut Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah hasil
pemeriksaan medis yang dilakukan oleh seorang dokter atau sebuah tim dokter dan
ditujukan untuk kepentingan peradilan sebagai sarana pembuktian. Visum et Repertum
dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan medis, yang merupakan pancaderaan dari obyek
(orang) yang diperiksa yang kemudian dituliskan sebagai laporan (Visum et Repertum
berarti melihat dan melaporkan).
Jadi, sebenarnya Visum et Repertum merupakan hasil pencanderaan atau deskripsi
dari barang bukti yaitu manusia. Visum et Repertum berisi paduan antara fakta dan
pendapat dokter terhadap fakta tersebut. Visum et Repertum untuk bidang psikiatri
disebut Visum Et Repertum Psychiatricum.
I. TATALAKSANA
Visum et Repertum Psychiatricum dibuat atas dasar permintaan. Yang berhak menjadi
pemohon Visum et Repertum Psychiatricum adalah :
Penyidik
Penuntut Umum
Hakim Pengadilan
Tersangka atau terdakwa, melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses
pemeriksaan
Korban, melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses pemeriksaan
Penasihat hukum, melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses pemeriksaan
Pada Undang-Undang Kesehatan Jiwa No.3 tahun 1996, implementasinya
diarahkan pada peraturan menteri kesehatan perawatan penderita sakit jiwa /
1993/dk/1970, jaksa sebagai pelaksana keputusan pengadilan akan mengajukan
permohonan kepada kepala dinas kesehatan dan dalam hal ini psikiater yang ditunjuk
untuk pemeriksaannya.

348

Surat permintaan Visum et Repertum Psychiatricum ditunjukan pada Direktur


Kepala Fasilitas Perawatan pasien gangguan jiwa, atau lembaga khusus untuk
pemeriksaan, disertai tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Dalam surat permintaan tersebut dicantumkan identitas tersangka,
alasan permintaan pemeriksaan dan dilampiri Berita Acara.
Direktur Fasilitas Perawatan gangguan jiwa akan memberi tugas kepada
dokter/psikiater untuk membuat Visum et Repertum Psychiatricum, yaitu dokter yang
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bekerja pada fasilitas perawatan pasien ganguan jiwa atau bekerja pada lembaga
khusus untuk pemeriksaan.
2. Tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan
3. Tidak ada hubungan keluarga atau terikat hubungan kerja dengan tersangak atau
korban
4. Tidak ada hubungan sengketa dalam perkara lain.
Dokter/psikiater tersebut berusaha untuk dapat menerbitkan Visum et Repertum
Psychiatricum dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tersangka ada ditempat
perawatan, kecuali diperlukan waktu yang lebih panjang dan dengan seizin instansi yang
meminta Visum et Repertum Psychiatricum.
J. PEMERIKSAAN
2.3.1. Pemeriksaan Medis Umum
Pemeriksaan untuk pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum merupakan
pemeriksaan medis umum (internis) yang akan memeriksa seluruh keadaan fisik
terperiksa, dari penampilan umum terperiksa sampai pada pemeriksaan sistem organ
seluruhnya, yang meliputi : sistem anggota gerak, organ pernafasan, organ pencernaan,
organ kemih kelamin, dan organ susunan saraf.
2.3.2. Pemeriksaan Neurologis
Yaitu pemeriksaan sistem saraf merupakan unsur penting dalam pemeriksaan
untuk pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum keadaan mental emosional seseorang
berhubungan sangat erat dengan kondisi otak dan susunan saraf pusat.
Pemeriksaan psikiatrik merupakan rangkaian pemeriksaan yang terdiri dari
pemeriksaan pada fungsi psikomotor, afektif, dan kognitif.
A. Pemeriksaan fungsi psikomotor merupakan usaha penelaahan antara lain tentang :
- kesadaran
- sikap
- tingkah laku
- kontak psikis, dll
B. Sedangkan pemeriksaan afektif merupakan pemeriksaan tentang alam perasaan yang
antara lain tentang :
- alam perasaan dasar
- stabilitas emosi

349

ekspresi dan emosional


empati, dsb

C. Pemeriksaan kognitif antara lain tentang :


- Persepsi dan gangguan persepsi
- daya ingat
- dugaan taraf kecerdasan
- kemampuan membatasi dan membedakan data, fakta, dan idea (disebut juga
discriminative judgement)
- kemampuan menilik diri sendiri (discriminative insight)
- ada tidaknya kelainan pada isi pikiran
- keadaan mutu pikiran
D. Pemeriksaan lain yang juga dikerjakan adalah tentang kemungkinan adanya kelainan
dorongan instingual, seperti kelainan pada insting agresi atau seksual.
Walaupun pemeriksaan tersebut diatas relatif banyak dan lengkap, masih sering
kali diperlukan pemeriksaan tambahan, seperti evaluasi psikologis, pemeriksaan
laboratoris, pemeriksaan radiologi, EEG, dan CT Scan.
K. BENTUK BAKU
Visum Et Repertum Psychiatricum mempunyai bentuk baku sesuai dengan yang
ditetapkan oleh pedoman pembuatan Visum Et Repertum Psychiatricum Direktorat
kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan. Bentuk baku Visum Et Repertum Psychiatricum
kurang lebih sebagai berikut :
Visum Et Repertum Psychiatricum Pro Justitia
I.
Identitas pemeriksa
II.
Identitas peminta
III.
Identitas terperiksa
IV.
Laporan hasil pemeriksaan
1. Anamnesis
2. Status internistik
3. Status neurologik
4. Status psikiatrik
5. Pemeriksaan tambahan
6. Diagnosis
V.
Kesimpulan
Visum Et Repertum Psychiatricum merupakan suatu dokumen hukum, disusun
dan ditulis seperti dokumen-dokumen hukum lainnya, oleh karena ini bukan dokumen
medis, penggunaan bahasa kedokterannya disarankan dapat dimodifikasi menjadi bahasa
hukum, atau setidak-tidaknya bahasa umum yang lebih dapat dipahami oleh ahli hukum.
Biasanya yang merupakan bagian penting bagi ahli hukum adalah kesimpulan.
Bagian kesimpulan ini merupakan jawaban dari pertanyaan yang tercantum di dalam
surat permintaan pembuatan surat Visum Et Repertum Psychiatricum. Seharusnya

350

kesimpulan selalu ada, tetapi dapat dimaklumi bahwa tidak jarang suatu rangkaian
pemeriksaan dapat tidak menghasilkan apa-apa. Dengan demikian, masih dapat
dimungkinkan pada kesimpulan disebutkan : tidak dapat ditarik kesimpulan.
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM 1)
Yang bertanda tangan di bawah ini .......................................................................
Dokter
...................................................
di
..............................................................................
atas
permintaan
dari
......................................
dengan
surat ................................................ ...................................tanggal..................................
No. ......................................................... telah memeriksa keadaan jiwa dari seorang yang
menurut
surat
tersebut
bernama
:
.
seorang terdakwa yang telah tersangkut dalam perkara ...
pemeriksaan mana yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan2) :
Hasil pemeriksaan ini adalah sebagai berikut :
LAPORAN
Anamnesa
: 1. Ringkasan pemeriksaan polisi dan jalannya
sidang di muka
pengadilan dengan menunjuk
sumber-sumber tersebut dan tidak perlu seluruhnya
dikutip (Berita Acara)
2. Hetero-anamnesa jika ada (keluarganya atau
orang lain yang mengenal terdakwa).
3. Auto-anamnesa
4. Anamnesa sosial jika dapat diperoleh dan
keadaan jiwa sebelum peristiwa terjadi.
Pemeriksaan Fisik
: Pemeriksaan intern selengkap mungkin, dan jika
ada kemungkinan pemeriksaan spesialistik (hasilnya
dimuat).
Pemeriksaan
neurologik
dengan
mencantumkan hasil, dari pemeriksaan liquor
cerebro-spinalis, W.R., Goudsol, E.E.G., dan lainlain.
Pemeriksaan Psikiatrik
: Pemeriksaan psikiatrik deskriptif mengenai
tingkah lakunya dan gejala-gejala psikiatrik lainnya.
jika ada kemungkinan dan dipandang perlu, maka
dikirimkan kepada psikolog guna pemeriksaan lebih
lanjut. Dan disini dilaporkan hasil penemuan dari
pemeriksaan tersebut.
Pemeriksaan Psikologik
:Dengan
dilengkapi
psikodinamika
dan
psikodiagnosa.
Ringkasan Pemeriksaan
: Diisi dengan hasil pemeriksaan somatik dan psikik
dengan singkat dan yang diperlukan untuk
menetapkan
diagnosa
dan
kesimpulankesimpulannya.

351

Formulasi Diagnostik

Kesimpulan

: Jika mungkin dalam formulasi dinamik dan jangan


ditulis misalnya Schizophrenic atau Reactive
Psychosis saja, akan tetapi dilengkapi dengan
menyebutkan kepribadian premorbid, dengan
ditegaskan pula dengan faktor yang menggerakkan
terjadinya penyakit.
: Dengan perumusan yang singkat dari apa yang
telah diformulasikan dalam diagnosa dan hasil-hasil
dalam pemeriksaan somatis dan psikologikpsikiatrik diberi gambaran-gambaran yang jelas
mengenai terjadinya perbuatan dari terdakwa
(penderita yang melanggar hukum) dan alasanalasan yang menetapkan (penderita) dapat
dipersalahkan atau tidak, atau dianggap dapat
dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya atau
tidak.

Berhubung dengan hal-hal tersebut diatas, maka jawaban-jawaban terhadap 2 pertanyaan


di atas (lihat noot) adalah :
1. Tidak, ya, sedikit banyak3)
2. Tidak, ya, sedikit banyak3)
Demikianlah dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter.
..................... , 20
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 6 Nopember 1970
No.1993/KDJ/U/ 70, tentang Perawatan Penderita Penyakit Jiwa 1970, pasal 16,
ayat (1).
2. Noot : (sebagai contoh dan dibuat oleh hakim dalam surat permintaannya).
1. Adakah pada terdakwa terdapat kelainan jiwa yang tidak biasa pada
waktu ia menjalankan perbuatan yang menyebabkan ia didakwa itu.
2. Jika ada, apakah kelainan jiwanya itu sedemikian keadaannya; sehingga
dapat dimengerti bahwa ia tidak cukup dapt atau tidak dapat seluruhnya
mempertimbangkan dan mempertanggung-jawabkan perbuatan yang
didakwakan kepadanya itu.
3. Coret yang tidak perlu
L. KESIMPULAN
1.
Psikiatri kehakiman atau psikiatri forensik mempelajari segala
aspek hukum mengenai gangguan jiwa.

352

2.

Psikiater berusaha memahami perilaku yang melanggar hukum


dan membantu yang berwenang menegakkan hukum. Memahami itu merupakan
hal yang lain daripada menyetujui.

3.

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana RI) pasal 44 dan


90 serta RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui) pasal 369 mengandung
istilah-istilah yang berhubungan dengan psikiatri. Kesaksian ahli psikiatrik diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1993 tanggal 6 Nop. 1970 tentang
pemeriksaan terdakwa yang diduga menderita sakit jiwa.

4.

Setiap orang dianggap mempunyai kompetensi mental untuk


melaksanakan urusan pribadinya atau untuk menyatakan kehendaknya, kecuali
bila dapat dibuktikan sebaliknya. Untuk membuktikan adanya inkompetensi
mental, harus dapat dibuktikan adanya suatu gangguan jiwa yang menyebabkan
orang itu tidak sanggup melaksanakan urusan pribadinya atau tidak sanggup
menyatakan kehendaknya.

5.

Menurut hukum kriminal, seseorang dapat dihukum atas


perbuatan sosial yang berbahaya, hanya bila terdapat kedua-duanya, yaitu maksud
jahat (secara sukarela dan tahu tentang akibat perbuatannya) dan perbuatan yang
melanggar hukum itu dilaksanakan.

6.

Di Inggris, pada tahun 1843 diterapkan peraturan MNaughten


atau test betul-salah (MNaughten Rule atau Right-Wrong test) yang kemudian
dalam tahun 1922 diperluas dengan peraturan impuls yang tidak dapat ditahan.
Pada tahun 1954 di Amerika Serikat muncul peraturan Durham (Durham Rule)
yang dianut oleh banyak psikiater dan yang secara sederhana mengatakan bahwa
seorang terdakwa tidak bertanggungjawab secara kriminal jika tindak pidananya
itu merupakan hasil penyakit jiwa atau defek mental.

7.

Perilaku kriminal ialah perilaku yang melanggar hukum pidana.


Kejahatan ialah setiap perbuatan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum publik
dan yang dikenakan pidaana oleh negara.

8.

Yang kemudian dapat disimpulkan pada Visum et Repertum


Psychiatricum adalah :
diagnosis, yaitu ada tidaknya gangguan jiwa pada terperiksa
kemampuan bertanggung jawab atau kecakapan bertindak dalam lalu lintas
hukum, yang sebenarnya merupakan istilah hukum, yang oleh pembuat Visum et
Repertum Psychiatricum dicoba untuk diterjemahkan dan diterapkan dalam
pemeriksaan klinis.

353

9.
-

Interpretasi dari kemampuan bertanggung jawab dan kecakapan


bertindak dalam lalu lintas hukum dapat diuraikan lebih lanjut dalam batasanbatasan sebagai berikut :
Apakah perilaku terperiksa yang melanggar hukum merupakan gejala atau bagian
dari gangguan jiwanya.
Apakah terperiksa mampu memahami nilai tindakannya serta memahami nilai
resiko perbuatannya.
Apakah terperiksa mempunyai kebebasan untuk memaksudkan suatu tujuan serta
mampu mengarahkan kemauan.

10. Pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum didasari dengan sikap netral dan
profesional. Visum et Repertum Psychiatricum merupakan penghubung
(mediator) antara profesi kedokteran dan hukum sehingga perlu dibuat
sedemikian rupa agar mudah dipahami serta dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Hambatan utama adalah adanya perbedaan bahasa.
M. Cuplikan dari Peraturan Menteri Kesehatan RI
Tgl. 6 Nop. 1970 No. 1993/Kdj/U/70
tentang
PEMERIKSAAN TERDAKWA YANG DIDUGA MENDERITA SAKIT JIWA
Pasal 15
(1) Khususnya untuk kepentingan perkara-perkara pengadilan pada umumnya
untuk memberikan kesaksian ahli, maka pada prinsipnya setiap dokter yang
terdaftar pada Departemen Kesehatan dan telah mendapat ijin bekerja dari
Menteri Kesehatan wenang untuk memberikan kesaksian ahli dan kesaksian
ahli jiwa.
(2) Kesaksian ahli jiwa ini yang dimaksud dalam ayat (1), pasal ini, dapat berupa
visum et repertum psikiatrik atau keterangan dokter
.
(3) Visum et repertum psikiatrik yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, adalah
suatu persaksian tertulis dalam perkara pidana atau perkara perdata, yang
dibuat atas permintaan Hakim Ketua Pengadilan, dan dengan mengingat
sumpah dokter.
(4) Keterangan dokter yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, adalah keterangan
yang diberikan oleh dokter atas permintaan Jaksa, Polisi atau pamong praja
dalam pemeriksaan pendahuluan suatu perkara pengadilan.
(5) Permintaan persaksian ahli kedokteran jiwa yang dimaksud dalam pasal ini
perlu disertai permuntaan tertulis yang memuat identifikasi lengkap dari
orang yang akan diperiksa itu, serta alasan permintaan pemeriksaan, dan yang
dibubuhi nama, jabatan, tanda-tangan serta cap jabatan dari pejabat.
Pasal 16

354

(1) Visum et repertum psikiatrik yang dimaksud dalam pasal 15 hendaknya dibuat
selengkap-lengkapnya dengan berpedoman pada model yang terlampir pada
peraturan ini.
(2) Dokter yang ditunjuk untuk membuat Visum et Repertum Psychiatricum
sudah harus mengeluarkan dalam waktu 14 hari dengan catatn, bahwa bila ini
tidak mungkin, maka dokter tersebut wajib memberikan keterangan tertulis
kepada Hakim disertai alasan untuk mengadakan pemeriksaan lebih lanjut.
(3) Apabila dalam waktu 5 bulan Visum et Repertum Psychiatricum belum juga
dapat dibuat, maka dokter tersebut wajib memberikan laporan tertulis lebih
lanjut disertai alasan untuk memperpanjang observasi, atau memindahkan
orang yang harus diperiksa itu ke tempat perawatan lain.

(1)

Pasal 17
Penunjukan dokter yang diminta memberikan kesaksian ahli jiwa yang
dimaksud dalam pasal 15, dilakukan oleh Pengawas/Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi

(2)

Mengingat kekhususan kesaksian ahli jiwa ini, maka Pengawas/Kepala


Dinas Kesehatan Propinsi dianjurkan menunjuk dokter yang bekerja pada
rumah sakit jiwa atau dokter lain yang dianggap cukup berpengalaman

(3)

Apabila dalam wilayah jabatan Pengawas/Kepala Dinas Kesehatan tidak


terdapat rumah sakit jiwa, instansi akademis, dokter ahli jiwa, atau dokter
lain yang dianggap berpengalaman dalam hal ini, maka tugas untuk
menunjuk dokter ini dapat diserahkan kepada Menteri Kesehatan.

(4)

Dokter yang ditunjuk oleh Pengawas/Kepala Dinas Kesehatan Propinsi


yang dimaksud dalam ayat (1), pasal ini, dapat mempergunakan hak
undur-diri jika ia mempunyai hubungan keluarga dengan penderita
terdakwa atau dengan orang yang mejadi korban, dalam hal ini maka
Pengawas/Kepala Dinas Kesehatan Propinsi harus menunjuk dokter lain.

(1)

(2)

Pasal 18
Apabila suatu tempat perawatan diminta bantuan untuk mengadakan
observasi terhadap seseorang penderita-terdakwa, maka tempat perawatan
itu tidak bertanggung-jawab atas larinya orang itu.
Seluruh biaya pemeriksaan dan penampungan penderita-terdakwa yang
disebut dalam ayat (1), pasal ini, menjadi beban institusional dari pejabat
pemohon.
Pasal 19

355

(1) a. Guna kepentingan pemeriksaan yang dilakukan oleh paling rendah


Komandan Sektor Polisi, Jaksa atau Camat, maka seseorang penderita atau
yang disangka penderita dan yang telah melanggar hukum, dapat
dikirimkan ke tempat perawatan untuk diperiksa keadaan jiwanya disertai
surat permintaan pemeriksaan yang menjelaskan maksud pemeriksaan
tersebut.
b. Pemeriksaan itu tidak boleh melebihi 3 x 24 jam di tempat perawatan
sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Pasal 6, ayat (2).
c. Hasil pemeriksaan itu merupakan keterangan dokter.
(2)

Jika ada keragu-raguan mengenai kemungkinan lari, maka pemeriksaan


seorang penderita-terdakwa dapat dijalankan secara jalan dalam waktu
yang sama seperti disebut dalam ayat (1), huruf b pasal ini.

Pasal 20
Kalau selama di tempat perawatan terbukti, bahwa penderita-terdakwa yang diperiksa itu
benar menderita penyakit jiwa, maka segera oleh Kepala tempat perawatan dibuatkan
laporan tertulis seperti yang dimaksud dalam pasal 15, ayat (2), kepada Hakim
Pengadilan Negeri dengan disertai keterangan, bahwa perawatan dan pengobatan bagi
penderita-terdakwa segera diperlukan.
(1)

(2)

Pasal 21
Setelah penderita-terdakwa mendapat perawatan dan pengobatan dan
penyakitnya ada perbaikan atau kesembuhan, maka Kepala tempat
perawatan melaporkan hal ini kepada Hakim Pengadilan Negeri dan minta
supaya penderita-terdakwa dapat diadili.
Laporan itu dapat diperlengkapi dengan pendapat-pendapat yang diperoleh
dokter selama penderita-terdakwa dirawat.

Pasal 22
Selambat-lambatnya 2 bulan setelah Hakim Pengadilan Negeri menerima laporan ini,
Kepala tempat perawatan yang disebut dalam pasal 21 minta kepada Hakim Pengadilan
Negeri untuk mengeluarkan keputusan mengenai perkara penderita-terdakwa.
Pasal 23
Jika dalam keputusan Hakim Pengadilan Negeri penderita-terdakwa dibebaskan dari
segala tuntutan hukum, maka Kepala tempat perawatan menempatkan penderita dalam
golongan penderita yang dirawat atas permintaan Hakim itu, kalau tidak, maka Kepala
tempat perawatan yang disebut dalam pasal 21 menyerahkan kembali penderita-terdakwa
kepada Hakim tersebut.

356

357

Anda mungkin juga menyukai