Anda di halaman 1dari 6

LASKAR MAMRA

DARI KOTA PAHLAWAN


KE JALAN LAIN
KE SETIAP PENJURU KOTA BUAYA
Mungkin bagi para penggemar novel, judul di atas mengingatkan mereka tentang buku karangan
Hamsad Rangkuti, dari ave maria ke jalan lain ke roma. Suatu kisah yang menyajikan berbagai
jenis latar belakang, tokoh-tokoh antagonis dan protagonist, romansa dan intrik. Namun yang
akan saya kisahkan ini bukanlah mengenai romansa ataupun sejenisnya, melainkan runtutan
kisah yang terjadi selama perjalanan saya dan kami menuju tempat pengabdian, tempat dimana
kami berubah dan tak akan menjadi sama lagi seperti sebelumnya.
Untuk mengawali kisah ini, mari saya perkenalkan saya dan kami. Saya, seorang pemuda asli
jawa, Kabupaten Jember tepatnya, yang sebelumnya tak tau apa-apa selain tanah kelahiran, yang
diakhir cerita akan sedikit tahu bagaimana kehidupan seorang manusia yang sebenarnya. Kami,
sekelompok pemuda yang asalnya dari berbagai macam tempat, tak kenal satu sama lain, namun
di akhir pengabdian ini menjadi sebuah keluarga yang tak kan henti menebarkan senyuman saat
masing-masing dari kami bertemu pada bagian lain dari hidup kami. Saya dan kami, Laskar
MamRa, para pengabdi bangsa yang memiliki niat luhur demi kecerdasan bangsa.
Laskar MamRa merupakan para pemuda yang melakukan pengabdian di Kabupaten Mamberamo
Raya, Provinsi Papua dalam rangka mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
Setelah ditempa di AAL Bumimoro selama 14 hari, perjalanan kami dimulai dari Bandara
Juanda. Senyum getir, rasa sedih dan pengharapan dari keluarga mengantarkan kami menuju
tempat pengabdian kami. Tepat pukul 11 malam kami sampai di Bandara Udara Hasanudin
Makassar. Kami harus singgah terlebih dahulu disana untuk menunggu pesawat yang akan
mengantarkan kami ke Biak dan selanjutnya ke Sentani Jayapura. Aku manfaatkan waktu yang
masih ada untuk menghubungi keluargaku dan menceritakan kepada mereka bagaiamana
keadaanku sementara. Padahal hanya beberapa jam setelah aku dan keluargaku berpisah, rasanya
sudah seperti lama sekali. Sekali lagi kami menaik pesawat terbang menuju Biak dan Sentani
Jayapura. Saat berada di atas langit Jayapura, yang aku rasakan adalah rasa gugup dan tak sabar
ingin melihat seperti apa kota Jayapura itu, bagaimana Papua itu. Dan memang seperti yang aku
fikirkan, disegala penjuru yang terlihat adalah orang Papua yang kebanyakan berbadan besar.
Tak kulepas pandanganku dari orang-orang tersebut. Dan aku sadar bahwa aku sekarang berada
di Tanah Papua. Namun, selain terpana oleh bagaimana penduduk asli Papua, hal lain yang
membuatku terpana adalah pemandangan di sekitar bandara Sentani. Apabila dilihat dari di
depan Bandara, terbentang bukit-bukit yang hijau, yang diselimuti oleh awan-awan putih yang
tebal. Terasa sejuk dan indah, kebetulan saat itu memang cuaca sedang sedikit mendung.
Rasanya seperti bandara itu berada di tengah-tengah pegunungan yang di dalamnya terdapat
hutan lebat yang penuh misteri. Membuat diriku semakin gugup dan tak sabar segera menuju ke
tempat tugas.
Kedatangan kami Laskar Mamra bersamaan dengan kedatangan rombongan dari Universitas
Negeri Malang yang langsung berangkat menuju Pegunungan Bintan. Ditengah-tengah
rombongan itu aku melihat empat orang yang tidak asing bagiku. Dan setelah ku lihat dengan
cermat lagi, ternyata empat orang itu adalah teman-teman sekaligus kakak angkatanku dari FKIP
Universitas Jember. Sesaat setelah aku menyadari siapa mereka, aku langsung menyapa dan
menghampiri mereka, betapa terkejutnya aku bisa melihat mereka ditempat yang sama dan tidak
direncanakan sama sekali. Kami mengobrol tentang bagaimana kami akan berangkat menuju
tempat pengabdian kami. Mereka mengatakan bahwa nantinya ada kakak angkatan ku yang juga
mengikuti program SM-3T dari Universitas Negeri Malang akan menjemput mereka. Aku
penasaran siapakah orang itu. Akhirnya rasa penasaranku terobati, ternyata orang itu adalah salah

satu kakak angkatanku yang dekat sekali denganku saat aku masih berkuliah di Jember.
Namanya Mas Bubil. Yang aku perhatikan bukan wajahnya yang mungkin sudah setahun ini
tidak kutemui, melainkan penampilannya yang seperti orang gunung. Rambutnya panjang
sebahu. Hal itu membuatku tiba-tiba terbayang bagaimana jadinya apabila setelah setahun
penampilanku akan seperti itu. Betapa herannya pasti keluargaku. Aku tertawa sambil
menanyakan bagaimana kabarnya. Kami mengobrol sebentar saja. Dia hanya memberi satu saran
saja, yaitu nikmati pengabdianmu, semuanya akan terasa cepat dan menyenangkan. Satu saran
itu yang menjadi bekal ku dalam mencoba menghadapi apa yang akan aku hadapi selama aku
dalam pengabdian.
Sesaat setelah kulalui perjalanan panjang menuju Papua, akhirnya aku menuju hotel tempat kami
Laskar Mamra akan beristirahat. Setelah berkoordinasi dengan pihak Dinas Pendidikan
Mamberamo Raya, dosen kami pak Warno, mengatakan bahwa kami akan berangkat menuju
Kabupaten Mamberamo Raya esok hari jam tiga sore. Dan akhirnya kamipun beristirahat di
hotel. Namun hal yang menjengkelkan terjadi, belum genap tiga puluh menit kami beristirahat,
tiba-tiba dosen kami mengomando bahwa kami harus segera bersiap-siap menuju pelabuhan
untuk berangkat ke Kabupaten Mamberamo Raya. Dengan jengkelnya kami bersiap-siap dan
menuju pelabuhan. Kami dibagi menjadi 4 rombongan. Setelah satu persatu dari kami datang dan
berkumpul semuanya, yang jadi pertanyaan saat itu adalah kapal mana yang akan kami naiki.
Selain itu pak Warno belum juga datang. Disaat kebingungan itu, kami bertemu dengan ibu
Olivia yang merupakan salah satu pegawai di dinas Pendidikan kabupaten Mamberamo Raya.
Beliau mengatakan bahwa kami akan menaiki sebuah kapal perintis. Seketika itu kami melihat
ke sekeliling pelabuhan untuk mencari mana kapal perintis itu. Mataku tertuju pada salah satu
kapal putih yang cukup besar dan bertulisan Kapal Perintis. Mungkin itulah kapal yang akan
aku naiki. Aku pun sedikit lega dengan hal itu. Namun yang terjadi malah hal tidak terduga. Ibu
Olive memberi tahu bahwa kami akan menaiki kapal yang bernama Martinindei. Sama seperti
sebelumnya, kami bertanya-tanya manakah kapal itu. Dan ibu Olive menunjuk satu kapal
berwarna biru, berkarat, lebih kecil dari kapal bertuliskan Kapal Perintis, dan palkanya ditutupi
oleh terpal. Terbayang bagaimana rasanya jika kami menaiki kapal itu. Singkat cerita kami pun
menaiki kapal itu dengan pasrah dan mencoba bersemangat.
Satu hal yang tak akan terlupakan akan tempat yang disediakan untuk kami di kapal itu. Kami
berada diatap kapal, berdekatan dengan knalpot dan bel kapal. Begitu istimewa dan
menyenangkan. Awalnya kami tahu bahwa kami berada di dekat bel kapal. Akhirnya kami tahu
saat kami sedang mencoba meneruskan istirahat kami yang belum selesai, tiba-tiba bend
berbentuk tabung yang melengkung mengeluarkan bunyi yang keras berkali-kali. Hampir jatuh
rasanya jantung ini karena kagetnya. Saat itulah kami mengetahui bahwa benda itu adalah bel.
Semakin bersyukurlah kami, karena kami mempunyai alarm yang akan memberi tahu kapan
kami berangkat dan kapan kami sampai tempat tujuan.
Perjalanan penuh cobaan pun dimulai. Kami berlayar melewati lautan yang begitu luasnya
sehingga rasanya tak tentu mana utara dan mana selatan. Sejauh mata memandang hanyalah
pemandangan lautan yang dapat kami lihat. Kami pun melewati malam pertama di Papua
ditemani oleh lautan. Sinyal. Satu hal hilang dari ponsel kami. Awalnya terasa sesak karena tidak
dapat menghubungi orang-orang yang kami cintai. Malam itu, air mata tak terasa jatuh karena
rindu yang begitu besar dan ditambah sepinya lautan.
Setelah melalui perjalanan selama dua hari dan dua malam di tengah lautan , akhirnya kami
sampai di muara sungai Mamberamo Raya. Disana terdapat satu kampung yang bernama
Kampung Teba. Disanalah kapal MartinIndei singgah sebelum memasuki sungai Mamberamo.
Dimulailah hal-hal pertama yang akan menjadi memori indah sekaligus menyedihkan di
hidupku. Di Kampung Teba itulah aku menikmati papeda pertamaku di temani oleh gurihnya
nasi kuning dan sedapnya ikan asap. Saat itu waktu menunjukan pukul 9 malam saat kami
sampai di Kampung Teba. Pasar malam yang menjadi ciri khas ramai oleh penduduk local

maupun pendatang. Banyak sekali makanan-makanan yang dijual, dari buah-buahan hingga ikan
asap dari berbagai jenis ikan. Sebagian dari kami membeli makanan untuk teman-teman yang
menjaga barang di atas kapal. Selain dari pasar malam itu, ada hal lain yang menjadi keunikan
dari Kampung Teba yaitu adanya buaya muara disana. Mamberamo Raya memang terkenal
dengan buaya, oleh karena itu disebut kota buaya. Setelah perut terisi, kami semua kembali ke
hotel untuk beristirahat sambil menunggu kapal melanjutkan perjalanan. Tak terasa kami
semua terlelap, mungkin karena letihnya setelah melewati perjalanan panjang di lautan.
Malam pun berganti pagi hari. Saat ku buka mata, tampak langit berwarna biru gelap. Subuh
sudah tiba. Aku mencari posisi yang nyaman, mencari tas yang sekiranya bisa diambil debunya
untuk melakukan tayamum, dan aku pun memulai shalatku. Setelah itu aku menyadari sesuatu,
pemandangan di luar kapal tidak berubah sama sekali. Aku heran apakah kapal ini berhenti atau
memang sepanjang sungai pemandangannya sama saja. Matahari pun semakin naik, dan aku
benar-benar yakin bahwa kapal ini berhenti. Awalnya aku tidak khawatir sama sekali, mungkin
memang saatnya kapal ini untuk beristirahat. Tuhan memang tak henti-hentinya memberikan
pengalaman yang luar biasa untuk ku dan lascar Mamra. Kapal yang kami naiki itu kandas.
Dasar kapal telah menyentuh tanah dibawah sungai. Terlihat ada beberapa orang yang bingung,
dan ada juga yang tenang-tenang saja. Kalo difikir kembali, kami yang baru datang, dan akan
memulai petualangan di Kabupaten Mamberamo Raya, yang belum tahu apa-apa tentang
kabupaten ini, pastilah akan merasa takut dan khawatir akibat kejadian ini. Namun anehnya kami
semua mengganggap hal ini biasa saja. Kami tidak merasa bahwa kami dalam bahaya atau
keselamatan kami terancam. Seperti biasa kami masih bercanda gurau, bermain kartu, atau
sedang berbincang satu sama lain. Entah Tuhan telah berbuat apa kepada hati kami sehingga hati
kami menjadi kuat dan tenang. Selama satu hari itu, kami menikmati setiap detik waktu nya
bersama-sama tanpa ada rasa khawatir.
Hari kedua di saat kapal kandas kami mulai merasakan akibat dari kejadian itu. Kapal yang
seharusnya direncanakan sudah dekat dengan tujuan yaitu kota kabupaten Kasonaweja, pastilah
memiliki persediaan makanan sesuai dengan rencana itu. Kami mulai kehabisan bahan makanan.
Makanan yang disediakan di kantin sudah mulai habis dibeli oleh para penumpang. Ketua kami
mempunyai inisiatif untuk membeli semua makanan yang tersisa di kantin kapal. Akhirnya,
makanan yang dapat kami beli adalah biscuit malkist dan air mineral. Kami harus bertahan
dengan persediaan makanan yang ada. Pagi harinya setiap orang dari hanya mendapatkan 2 buah
biscuit dan 1 botol air mineral yang harus dibagi dengan sekitar 5 orang. Siang hari dan
malamnya pun sama. Selama dua hari kami harus bertahan dengan makanan yang ada itu. Yang
bisa ku syukuri adalah Tuhan telah memberikan kesempatan kepada kami untuk merasakan
bagaimana rasanya berada dalam kondisi yang serba kekurangan. Kita masih beruntung. Kita
masih bisa mendapatkan tenaga dari makanan, meskipun makanan itu adalah biscuit. Masih
banyak orang lain di luar sana berada dalam kondisi lebih parah dan tidak beruntung dari kami.
Rasanya seolah-olah Tuhan mengajari kami begitulah rasanya menjadi orang yang serba
kekurangan, setelah semua perjuangan ini janganlah menjadi seseorang yang terus melihat ke
langit, karena masih banyak orang lain yang berada dalam kondisi lebih buruk dari pada kita.
Selama 2 hari itu, kami berjuang dengan kondisi yang begitu menyulitkan. Berhari-hari kami
tidak mandi. Punggung terasa perih saat bersandar ke segala tempat yang dapat dibuat sandaran.
Mungkin jamur-jamur sudah mulai tumbuh di badan kami. Kami berusaha terus bertahan dan
melakukan segala cara untuk meminta bantuan kepada pihak kabupaten. Ketua kami meminta
bantuan kepada salah satu penumpang kapal untuk mengirimkan pesan lewat radio kepada pihak
Dinas Pendidikan Mamberamo Raya untuk melakukan evakuasi. Selain lewat radio, pernah ada
perahu yang melewati kami, dan kami meminta tolong untuk mengirimkan surat yang isinya
sama dengan pesan radio yang kami kirim.
Sambil berusaha dan bertahan dengan keadaaan itu, ada secercah harapan ketika awak kapal
martinindei mencoba memperbaiki baling-baling kapal yang rusak akibat kandas. Berkali-berkali

kapten kapal mencoba untuk menggerakkan kapal ke bagian sungai yang memiliki dasar lebih
dalam sehingga kapal bisa digerakkan. Akhirnya kerja keras dari awak kapal yang memperbaiki
baling-baling dan kapten yang berusaha menggerakkan kapal ke posisi yang memungkinkan
terbayar juga. Kapal sedikit demi sedikit dapat bergerak dan mendapatkan posisi yang baik untuk
melanjutkan perjalanan. Seperti Tuhan berkata bahwa ujian kami sudah selesai, bersamaan
dengan mulai bergeraknya kapal, speedboat yang dibawa oleh dinas pendidikan untuk
mengevakuasi kami juga datang. Akhirnya secara bergilir kami menaiki speedboat. Namun ada 5
orang dari pendidikan Olahraga ditugaskan untuk menjaga barang-barang kami semua di kapal.
Sehingga mereka berlima tetap melanjutkan perjalanan dengan menaiki kapal martinindei. Dan
kami semua pun selamat dari keadaan itu.
Menaiki speedboat pertama kali adalah pengalaman yang luar biasa. Sepanjang perjalanan yang
ada di wajahku adalah senyuman. Pemandangan dari hutan rawa yang luas sepanjang sungai
Mamberamo yang sangat lebar menambah rasa kagum dan bersyukurku. Sekali lagi, mataku
takkan mungkin dapat merekam pemandangan seperti ini jika bukan di Papua.
Setelah menempuh waktu kurang lebih enam jam, kami akhirnya sampai di ibu kota kabupaten
Mamberamo Raya, Kasonaweja. Yang ada difikiranku adalah mencari ponsel. Dari semua tempat
di Mamberamo Raya, hanya Kasonaweja yang memiliki signal. Ku hubungi kedua orang tuaku
untuk menceritakan keadaanku saat itu. Betapa senangnya akhirnya satu ujianku sudah
terlampaui. Malam itu, kami dibagi menjadi 2 rombongan. Yang pertama tinggal di rumah
Sekertaris Dinas, dan yang kedua di rumah Kepala Dinas. Dengan begitu, terlepaslah semua
penat yang kami rasakan selama perjalanan menuju kasonaweja.
Dari semua ujian yang kami rasakan selama perjalanan ke Kasonaweja, hanya ada satu hal
difikiranku. Ujian apalagi yang akan kami tempuh selama di tempat pengabdian ini. Dapatkah
kami melewati semua ini. Hanya berharap kepada Tuhan yang bisa kami lakukan agar semua
yang kami lakukan di sana berjalan dengan lancar dan selamat.
Setelah hampir dua hari kami berada di kasonaweja, ada salah satu hal menarik yang setiap aku
memikirkannya, aku tertawa. Ketika rombongan dari kami yang menjaga barang-barang di kapal
martinindei datang, kami semua secara bersama-sama menurunkan semua barang untuk dibawa
ke tempat tinggal sementara. Dan sampai pada barang-barangku yaitu carrierku, hal yang tak
terduga terjadi. Yudha saat itu memegang tasku, bertumpu pada kole-kole dan menghadapkan
badannya ke badan kapal martinindei untuk menahan tasku. Tak lama kemudian, kole-kole yang
menjadi tumpuan bergerak menjauh dari badan kapal dan membuat yudha dan tasku terjatuh di
sungai. Aku hanya bisa melihatnya sambil terdiam. Seketika badanku bergerak dan mencoba
menyelamatkan tasku dan tidak memperdulikan Yudha. Kubawa tasku ke rumah Sekertaris
Dinas. Dan yang kutakutkan benar-benar terjadi. Sebagian besar pakaian yang kubawa di dalam
tas basah. Hal itu membuat kepala pusing. Ku bongkar semuanya dan kugantung di rumah bapak
Sekertaris Dinas. Benar-benar kejadian yang membuatku berhati-hati apabila melakukan
perjalanan lewat perairan.
Selama di Kasonaweja kami tinggal di asrama SMA Negeri Mamberamo Tengah. Kami tinggal
berdua puluh lima orang. Disanalah kami menghabiskan waktu selama menunggu pihak dinas
untuk menjemput kami dan mengantar ke tempat tugas kami masing-masing. Minggu pertama
sejak berada di Kasonaweja, secara bergantian teman-temanku dijemput oleh masing-masing
pegawai dinas dan diantar ke tempat tugas masing-masing. Dari Kampung Dabra, Kapeso,Teba,
Bonoi, Marikai, Kustra, Douw, sampai ke Kampung Nadoufai. Dan akhirnya kami tinggal
berlima saja. Aku, Alfin, Sasongko, Habibi, dan Antok. Kami berlima harus menunggu selama 2
bulan untuk akhirnya dijemput dan diantar ketempat tugas. Namun kami menjalani dua bulan
kami di Kasonaweja dengan tidak mudah. Semua kebutuhan kami untuk hidup ada disana, dari
beras, buah, sayur, sampai ke sinyal. Namun ada satu hal yang tidak ada disana. Air bersih.
Mengherankan bukan, Kota yang berada di tengah-tengah sungai tidak memiliki air bersih.
Semua penduduk disana memenuhi kebutuhannya akan air dengan berharap pada air hujan. Air

hujan menjadi salah satu alternative untuk mengganti air bersih. Namun, hal yang ironis terjadi
di sini. Air hujan yang menjadi salah satu kebutuhan penting, tidak didapatkan dengan mudah.
Kasonaweja adalah tempat yang jarang sekali mendapatkan hujan. Mungkin selama satu minggu
hujan turun hanya sekali saja. Kami pun harus merasakan hal itu. Pernah suatu saat selama dua
minggu tidak turun hujan sama sekali. Dan pada suatu malam, saat kami terlelap begitu
nyenyaknya di dalam tidur, hujan turun dengan derasnya. Sampai-sampai kami terbangun
karena suaranya. Seketika kami bangun pada tengah malam itu untuk mengisi botol-botol air
mineral dengan air hujan. Air hujan itu digunakan untuk memasak saja. Untuk mandi dan cuci,
kami harus mengantri di masjid untuk mendapatkan air. Tak jarang kami harus menggunakan air
keruh berwarna cokelat yang berada di tempat resapan di belakang asrama SMA. Dan lacunya,
pakaianku yang awalnya berwarna putih berubah warna menjadi cokelat. Merasakan semua itu
anehnya kami tidak terlalu mengeluh dan menikmatinya saja. Sampai disuatu saat kami mungkin
sudah merasa terbiasa hidup seperti itu.
Selama dua bulan itu kami terus berharap agar pihak dinas menjemput dan mengantar kami ke
tempat tugas. Aku, Alfin dan Sasongko akan bertugas di Kampung Kai, sedangkan Habibi dan
Antok bertugas di Kampung Gesah, distrik Benuki. Kami berlima terus berusaha dengan
mengunjungi kantor dinas pendidikan untuk mendapatkan kepastian tentang keberangkatan
kami. Namun tak jarang kami pulang dengan tangan kosong. Entah kapan aku sudah lupa,
mungkin hari itu, setelah berhari-hari kami tidak mengunjungi kantor dinas lagi, aku sudah tidak
memiliki harapan lagi untuk diberangkatkan. Selama di sana, untuk mengisi kekosongan, kami
berlima mengajar di SMP dan SMA negeri Mamberamo Tengah. Mungkin saat itu kami pasrah
dan malah berharap untuk melanjutkan tugas kami di Kasonaweja.
Pada suatu siang, salah satu dari kami, Alfin, mendapat kabar dari pihak dinas, bahwa teman
kami yang bertugas di Kampung Douw kembali ke Kasonaweja karena terkena malaria. Kami
langsung berangkat ke rumah sakit untuk menengok mereka. Seperti melihat orang asing, kami
tidak melihat teman kami yang dulu lagi, mereka bertiga, Oni, Mahfud, dan Taufik telah berubah
secara drastis. Mereka terlihat lebih kurus dan kumuh. Mungkin saat itu baru satu bulan mereka
bertugas di Douw. Namun kondisi mereka sudah sedemikian parahnya. Dari mereka bertiga,
yang memiliki kondisi paling buruk adalah Taufik. Dia terkena malaria tropika plus 3. Dan
selama hampir seminggu dia dirawat di Rumah Sakit. Mungkin karena adanya teman-teman
kami dari Douw yang kembali dengan kondisi yang tidak begitu baik, pihak dinas mulai bergerak
dan memperhatikan kami. Kami berdelapan akhirnya dipanggil ke kantor dinas. Bapak kepala
Dinas menemui kami dan menanyakan bagaimana kabar kami. Beliau ingin sekali mendapatkan
cerita tentang pengalaman dari teman-teman yang bertugas di Douw. Selain itu, beliau juga
memberikan kabar mengenai keberangkatan kami berlima. Melihat kondisi dari ketiga teman
kami itu, akhirnya bapak Kepala dinas memutuskan untuk merubah formasi tempat tugas kami.
Oni akan ditempatkan di Bonoi bersama ke dua teman kami yang sudah disana terlebih dahulu
yaitu Fikri dan Johan. Taufik dan Mahfud akan bergabung dengan Habibi dan Antok di Benuki.
Sedangkan untuk Kampung Kai, Aku, Alfin, dan Sasongko akan dipindah ke Trimuris atau
Marikai.
Setelah mendengar berita itu, muncul secercah harapan bahwa kami benar-benar akan
diberangkatkan. Dan memang benar, Rombongan Benuki pada Hari Jumat tanggal berangkat
bersama Kepala Dinas. Tinggal kami bertiga yang masih menunggu. Kami juga ingin merasakan
bagaimana keberangkatan itu. Beberapa hari sejak keberangkatan rombongan Benuki, tidak ada
kabar dari pihak dinas. Kami pun kembali seperti sebelumnya, menikmati keadaan yang sudah
mulai biasa kami rasakan. Suatu malam, kami terkejut dengan datangnya teman-teman kami
yang berasal dari Kampung Kustra. Mereka juga terkena penyakit malaria. Namun keadaan
mereka masih lebih baik dibandingkan dengan keadaan teman-teman dari Douw saat itu. Sama
seperti sebelumnya, kami merawat mereka di asrama SMA.

Mungkin harapan tentang keberangkatan kami sudah sirna dari diriku. Aku tidak lagi
memikirkan kapan akan diberangkatkan. Kami berenam saat itu menjalani kehidupan kami di
Kasonaweja dengan gembira. Sampai suatu hari, seorang laki-laki dewasa datang ke asrama.
Beliau menanyakan tentang Aku, alfin, dan sasongko. Ah, mungkinkah ini orang yang akan
menjemput kami. Harapan yang sudah hilang, tiba-tiba muncul kembali. Aku, Alfin, Sasongko
akhirnya menemui beliau. Nama lelaki dewasa itu adalah Bapak Ketut Sudita. Beliau adalah
kepala sekolah di SMP Negeri Marikai. Beliau mengatakan bahwa salah dua dari kami harus ikut
ke Kampung Marikai, dan sisanya akan bertugas di Trimuris. Untuk beliau sendiri, beliau
menginginkan paling tidak guru matematika yang ikut, dan selamatlah aku dari Kampung Kay.
Tinggal Alfin dan Sasongko. Mereka berdua berdiskusi tentang siapa yang akan berangkat ke
Marikai dan bertugas sendiri di Trimuris. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk meminta
ditugaskan di Trimuris. Kami bertiga akhirnya menemui bapak Sekertaris Dinas dan Bapak Ketut
yang kebetulan berada di SMA Negeri Mamberamo Tengah. Namun yang terjadi tak disangkasangka. Bapak Sekdis tidak mengijinkan mereka berdua bertugas di Trimuris. Salah satu dari
mereka harus ikut bapak Ketut dan sisanya bertugas di Trimuris. Agar tidak terjadi kebingungan
lagi, Alfin dan Sasongko memutuskan untuk menyerahkan keputusan tentang siapa yang pergi ke
Marikai kepada Bapak Ketut. Bapak Ketut akhirnya memilih Sasongko untuk pergi ke Marikai,
karena di Marikai tidak ada guru IPS. Dan berat hati aku dan Sasongko harus meninggalkan
Alfin sendiri di Trimuris. Esoknya hari Sabtu, aku dan Sasongko berangkat ke Marikai dengan
diantar oleh Alfin dan teman-teman dari Kustra. Rasa tidak enak terus saja menjalar disekujur
tubuhku kepada Alfin. Harus meninggalkan teman seperjuangan yang sudah menjalani
kehidupan yang susah di kasonaweja sendiri adalah hal yang sulit. Namun semua itu harus kami
jalani dengan lapang dada. Karena keputusan itu bukan kami sendiri yang memutuskan,
melainkan kembali lagi adalah kehendak dari Allah SWT. Aku berdoa agar Alfin selalu dijaga
dan diberi yang terbaik oleh Allah SWT.
Perjalanan pun dimulai ke Kampung Marikai. Kami kembali melewati sungai Mamberamo yang
memberikan kenangan yang tak terlupakan. Melewati sungai kecil di Pendi. Sampai di danau
sangat luas yang ditumbuhi oleh banyak sekali bunga teratai. Singgah di Kampung Poiwai untuk
beristirahat dan mengambil ijasah SMP. Dan akhirnya menyebrang lautan luas untuk sampai
Kampung Marikai.
Mungkin terdengar biasa dan mudah, namun sebelum semua perjalanan itu kami lalui, kami
harus melewati banyak sekali ujian. Kita semua mungkin berfikir bahwa saat kita mendapatkan
musibah dari Allah SWT. Allah SWT. tidak menyayangi kita. Kita lupa befikir bahwa mungkin
itu bukan musibah, melainkan ujian untuk kita agar kita menjadi lebih dewasa dan lebih baik.
Dan pastinya, apa yang Allah SWT putuskan untuk hidup kita adalah hal yang paling baik untuk
kita. Meskipun awalnya kita berfikir sebaliknya. Tetaplah ingat, bahwa hidup kita ini adalah
milik Allah SWT. dan tidak akan ada jika Allah SWT. tidak berkehendak. Semoga melalui
pengabdian ini, kami, Laskar Mamra, akan mendapatkan pandangan hidup baru dan menjadi
lebih dewasa dari sebelumnya, dan selalu ingat bahwa hidup kita tidak akan lepas dari campur
tangan Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai