Anda di halaman 1dari 13

ITS101

Supply Chain Management


Transkrip
Minggu 3: Demand Management and Collaborative Planning
Video 1: Berbagai Pola Permintaan Part 1
Video 2: Berbagai Pola Permintaan Part 2
Video 3: Esensi Demand Management Part 1
Video 4: Esensi Demand Management Part 2
Video 5: Hal-hal Penting dalam Demand Management
Video 6: CPFR Part 1
Video 7: CPFR Part 2
Video 8: VMI
Video 1: Berbagai Pola Permintaan Part 1
Selamat berjumpa lagi, siswa IndonesiaX. Kita masuk ke minggu yang ketiga dalam kursus
saya tentang Supply Chain Management. Bagaimana? Anda semua masih semangat? Pasti
Anda masih semangat, karena itu Anda masih di depan kamera atau di depan layar sekarang
untuk mengikuti kuliah saya atau kursus saya ini. Di minggu ketiga ini, kita akan masuk ke
topik yang baru, tentu saja.
Topik yang sedikit lebih fungsional, yaitu bagaimana kita mengelola permintaan. Jadi, judul
dari minggu ketiga ini adalah Demand Management dan Collaborative Planning. Intinya
adalah bagaimana kita memastikan bahwa kita memiliki kemampuan untuk memprediksi
permintaan dengan cukup baik dan pada saat-saat tertentu mungkin kita tidak cukup hanya
meramalkan saja karena mungkin pola permintaan yang kita miliki mungkin fluktuatif, sulit
dipenuhi dan lain sebagainya. Pada minggu ketiga ini, kita akan mempelajari beberapa hal,
antara lain adalah bagaimana pola-pola permintaan yang ada.
Ada pola permintaan yang mungkin sangat fluktuatif, ada yang walaupun permintaan itu
fluktuatif bisa diprediksi naik turunnya dan lain sebagainya, ada permintaan yang mungkin
cukup stabil dari waktu ke waktu. Itu hal pertama yang akan kita bicarakan nanti. Kedua, kita
akan membahas apa itu demand management.
Apa esensi dari demand management? Jadi, kita akan mencoba membedakan sedikit antara
demand forecasting, yaitu memprediksi permintaan, dan mengelola permintaan, yang tentu
saja berbeda. Kita akan mendiskusikan itu di bagian kedua. Di bagian ketiga, kita akan
membahas hal-hal apa saja yang penting untuk kita ketahui pada saat kita melakukan
aktivitas-aktivitas demand management ini.
Kalau ada inisiatif-inisiatif demand management, apa hal-hal penting yang perlu kita
perhatikan? Itu pembahasan ketiga. Terakhir, saya akan mengajak Anda untuk berdiskusi
tentang dua model integrase dalam supply chain yaitu collaborative planning forecasting,
replenishment, ini erat kaitannya dengan demand management, dan vendor manage
inventory atau VMI yang cukup banyak dikenal di lapangan.

Halaman 1 dari 13

ITS101
Jadi, jika kita bicara tentang pola-pola permintaan, tentu saja, seperti yang saya sampaikan
tadi, ada banyak pola permintaan. Ada yang stabil yang mungkin akhirnya akan mudah untuk
diramalkan, ada yang fluktuatif dan tidak pasti sehingga membuat kita sulit membuat
ramalan yang akurat.
Tetapi, apa punpola permintaan yang kita dihadapi sebagai orang yang bekerja di
perusahaan, terutama bagi mereka yang berada pada fungsi-fungsi supply chain, adalah
sangat penting untuk mengupayakan supaya kita bisa mengenal pola permintaan itu dan
memprediksinya dengan baik. Ada sebuah studi yang dilakukan oleh Aberdeen Research yang
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang bagus antara lain dicirikan oleh
kemampuannya untuk memprediksi permintaan, untuk menciptakan demand forecast
accuracy yang tinggi.
Di sini, misalnya, jika kita lihat dari hasil studinya, mereka membedakan ada tiga kelompok
perusahaan, yaitu kelompok perusahaan yang kategorinya best in class, jadi, ini perusahaanperusahaan yang bagus, yang kira-kira masuk top 21% dari perusahaan yang mereka survey.
Kemudian, di kategori kedua, kira-kira setengah dari perusahaan yang di-survey masuk dalam
kategori medium, yaitu ada di rata-rata. Di kategori ketiga adalah perusahaan-perusahaan
yang berada di bawahnya, kira-kira 30% pada lapisan bawah.
Ketika dibandingkan, tingkat accuracy forecast yang dihasilkan oleh tiga kelompok
perusahaan ini, ternyata hasilnya menarik sekali. Forecast accuracy yang dihasilkan oleh
perusahaan-perusahaan yang kategorinya best in class kira-kira 82%. Jadi, 82% akurat.
Kemudian, yang di tengah-tengah hanya sekitar 68% dan yang di bawah kira-kira hanya 42%.
Walaupun mungkin ini tak berlaku sama untuk semua industri, tetapi setidaknya, hasil studi
ini menunjukkan bahwa jika Anda ingin menjadi perusahaan yang kompetitif, perusahaan
yang bagus, maka kemampuan untuk memperkirakan permintaan adalah sesuatu yang
sangat penting. Karena apa? Karena permintaan adalah ujung depan dari semua aktivitas
supply chain.
Apa yang Anda produksi, berapa yang Anda produksi, apa yang Anda kirim itu sepenuhnya
mengikuti prediksi permintaan. Jika prediksi permintaan ini akurat, maka kita akan bisa
menyesuaikan aktivitas-aktivitas supply chain seperti produksi dan pengiriman sesuai dengan
permintaan. Yang pada akhirnya akan menciptakan cost yang lebih murah dan
responsiveness yang lebih tinggi.
Menarik sekali hasil kajian yang dilakukan oleh Aberdeen Research. Saya juga mau
menunjukkan hasil kajian yang kedua, yang bagi saya juga sangat menarik, terkait dengan
premis yang tadi sudah saya sampaikan bahwa forecast accuracy akan menjadi starting point
dari semua aktivitas supply chain. Oleh karena itu, jika kita ingin benar di awal, maka forecast
harus bagus karena itu berada di awal.
Begitu kita salah di awal, maka yang selanjutnya akan mengikuti. Maka dari itu, forecast
menjadi salah satu hal penting pertama yang harus kita buat dengan benar. Setidak-tidaknya,
keakuratannya harus tinggi.
Ada satu studi yang dipublikasikan dalam supply chain management review tahun 2012 di
mana peneliti ini mencoba untuk melihat apa dampak dari improvement forecast accuracy
yang dilakukan oleh sebuah perusahaan.
Halaman 2 dari 13

ITS101
Pada awalnya, accuracy forecast hanya sekitar 72%, kemudian karena mereka melakukan
perbaikan, accuracy bisa meningkat menjadi 88. Tentu saja, itu berita yang bagus. Namun,
tidak hanya berhenti di situ. Karena, seperti yang saya katakan tadi, begitu forecast accuracy
kita menjadi lebih baik, maka mestinya ada performance yang lain yang juga akan membaik.
Hal ini juga dibuktikan oleh studi itu. Misalnya, dengan accuracy yang lebih baik, ternyata
manufacturing performance meningkat dari 87% menjadi 92%. Manufacturing performance
ini adalah gabungan dari beberapa indikator yang menunjukkan produktivitas dan
performance lain yang ada di pabrik.
Yaitu dalam fase pembuatan produk, fase manufacturing. Artinya, dengan accuracy forecast
yang lebih baik, kita juga bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dari kinerja pabrik. Itu yang
pertama. Yang kedua ternyata backorder juga menurun dari 11 persen menjadi 1%.
Apakah backorder itu? Backorder adalah presentase dari jumlah order yang tidak bisa kita
penuhi pada saat pelanggan memintanya. Misalnya, saat pelanggan minta untuk minggu ini,
karena kita tidak punya barang, akhirnya kita tunda pemenuhannya menjadi minggu depan.
Itu disebut backorder. Dengan accuracy forecast yang lebih bagus ternyata backorder
menurun secara drastis. Service level kita ke pelanggan juga bagus.
Salah satunya diukur dengan yang kita sebut fill rate atau line fill. Jadi, fill rate adalah
kemampuan kita memenuhi jumlah yang diminta oleh pelanggan. Berapa persen dari jumlah
yang diminta oleh pelanggan bisa kita penuhi? Jadi, fill rate naik dari 80% menjadi 97% dan
juga cost untuk per case barang yang ditangani, logistiknya turun dari $4.25 menjadi $2.5.
Inventory juga turun dari 40 hari kebutuhan menjadi 35 hari kebutuhan.
Ini sangat menarik, saudara-saudara pemirsa IndonesiaX. Ternyata forecast accuracy yang
bagus sangat penting, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, karena ini akan berpengaruh
pada kinerja-kinerja supply chain yang lain. Dia berada di jajaran yang paling depan. Dia yang
menentukan apakah kinerja selanjutnya akan bagus, cost rendah, dan responsiveness tinggi
dan lain sebagainya. Itu yang saya kira sangat penting.
Video 2: Berbagai Pola Permintaan Part 2
Bagian berikutnya, seperti yang saya janjikan tadi, kita akan melihat beberapa pola
permintaan. Karena kita tahu bahwa forecast itu penting. Namun, persoalannya tidak semua
produk itu permintaannya mudah untuk diramalkan. Kita akan coba lihat beberapa pola
permintaan yang ada di pasar. Ada pola permintaan yang sifatnya stabil.
Dari waktu ke waktu, kurang lebih, jumlahnya sekian. Mudah untuk diprediksi. Gampang
untuk dipenuhi. Kita sudah berdiskusi pada minggu sebelumnya tentang produk fungsional
dan produk inovatif.
Ada produk yang permintaannya dari waktu ke waktu relatif tidak berubah. Ambil contoh,
misalnya produk yang paling sederhana, jika kita bicara garam. Konsumsi garam setiap orang
tidak berubah dari waktu ke waktu. Jenis garam yang ada di pasar juga tidak banyak. Mestinya
jika kita bicara soal forecast untuk kebutuhan garam, hal itu tidak terlalu sulit karena polanya
relatif stabil dari waktu ke waktu.
Halaman 3 dari 13

ITS101
Itu contoh pertama dari pola permintaan yang stabil dari waktu ke waktu. Tentu saja, tidak
semuanya segampang itu. Tidak semuanya seenak itu. Banyak juga pola permintaan yang
fluktuatif. Naik dan turun dari waktu ke waktu. Namun, pola permintaan yang naik dan turun
ini ada yang bisa diprediksikan kapan naik dan kapan turun, ada yang tidak.
Jika misalnya permintaan itu bisa diprediksi kapan naik dan kapan turun, maka akan relatif
lebih mudah untuk memperkirakannya, tapi belum tentu mudah untuk dipenuhi. Mudah
diprediksi, tapi jika permintaannya tinggi, mungkin kapasitas kita tidak cukup. Artinya, jika
permintaan itu pola naik turunnya bisa diprediksi akan mudah untuk diperkirakan. Ambil
contoh, misalnya produk-produk yang cenderung dibutuhkan pada saat musim hujan seperti
paying misalnya. Dan tidak dibutuhkan pada musim kemarau atau musim panas. Tentu saja,
pada saat musim hujan tiba, kebutuhan ini akan naik dan ketika musim panas, kebutuhan ini
akan turun.
Ada dampak musiman dari penggunaan atau dari permintaan produk tersebut. Ketiga, ada
juga pola permintaan yang memiliki tren dari waktu ke waktu. Tren itu bisa positif dan bisa
negatif. Tren artinya perubahan secara sistematis. Ada produk yang dari tahun ke tahun
permintaannya naik misalnya 10%. Jadi, meningkat dari waktu ke waktu. Artinya, dia punya
tren positif, tapi ada juga produk yang mungkin sebaliknya yang memiliki tren negatif.
Jadi, kebutuhannya turun dari waktu ke waktu. Keempat, ada juga pola permintaan yang
mungkin lebih sulit dari itu. Anggap saja, jika kita banyak meluncurkan produk baru seperti
yang kita bahas pada minggu kedua. Ada produk inovatif, sering meluncurkan produk baru,
maka pada saat kita meluncurkan produk baru, Anda bisa lihat di ilustrasinya, mungkin dia
akan mengikuti grafik yang pertama, yaitu permintaannya kecil dan cepat hilang.
Artinya, life cycle pendek. Kita hanya bisa menjual produk dengan volume yang sedikit. Jadi,
kuantitas yang diserap oleh pasar sedikit. Atau mungkin mengikuti grafik kedua, sedikit lebih
tinggi, sedikit lebih lama. Atau mengikuti grafik yang ketiga, agak tinggi, agak panjang,
bertahan satu tahun, misalnya.
Pada saat kita meluncurkan produk baru, kita mungkin tidak tahu sepenuhnya apakah akan
mengikuti pola grafik yang pertama atau grafik kedua atau grafik ketiga. Jadi, ketidakpastian
sangat tinggi jika kita bicara pola permintaan yang seperti ini. Terakhir, yang ingin saya
tunjukkan adalah pola permintaan yang disebut sporadis. Kadang-kadang dibutuhkan, tapi
lebih seringnya tidak. Pada saat dibutuhkan, kebutuhannya hanya tiga atau empat lalu
setelah itu tidak ada kebutuhan lagi, dibutuhkan lagi lima atau enam lalu tidak ada kebutuhan
lagi.
Ini jika misalnya Anda memasok produk seperti sparepart dari mesin yang kebutuhannya
jarang-jarang karena hanya dibutuhkan ketika mesin ini perlu diganti. Pada saat mereka
melakukan replacement dari part, maka akan muncul kebutuhan. Maka, untuk yang seperti
ini, pola kebutuhannya adalah sporadis. Itulah, saudara-saudara sekalian, pemirsa
IndonesiaX. Kita sudah membahas beberapa pola permintaan. Nanti kita akan lanjutkan di
video berikutnya untuk melihat esensi demand management.
Video 3: Esensi Demand Management Part 1

Halaman 4 dari 13

ITS101
Pemirsa IndonesiaX, selamat bertemu kembali pada modul ketiga tentang demand
management. Sekarang kita akan melanjutkan diskusi kita untuk melihat esensi dari demand
management. Namun, sebelum masuk lebih jauh tentang demand management, saya ama
perkenalkan sedikit tentang konsep demand forecast, yaitu ramalan permintaan. Ramalan
permintaan, yaitu prediksi tentang kebutuhan barang atau jasa yang kita kirimkan ke pasar,
menjadi dasar yang sangat penting untuk membuat berbagai macam keputusan.
Ada forecast yang menjadi dasar untuk keputusan jangka panjang. Ada forecast yang menjadi
dasar untuk keputusan jangka menengah. Ada juga forecast yang menjadi dasar untuk
keputusan-keputusan jangka pendek. Jika misalnya kita ingin mendirikan pabrik, berapa
kapasitas yang ingin kita tentukan? Apa kita ingin tentukan menjadi 2000 ton, 1000 ton atau
berapa? Tentu saja keputusan ini akan sangat bergantung pada prediksi berapa besar
permintaan, tapi berapa besar permintaan itu tidak cukup hanya untuk enam bulan ke depan.
Karena jika kita mau investasi pabrik, Anda harus memprediksi sampai lima tahun bahkan
lebih. Berapa kira-kira kebutuhan barang itu selama lima tahun atau lebih? Jadi, sifatnya long
term. Itu yang pertama. Kedua, ada forecast yang digunakan untuk kebutuhan jangka
menengah. Ambil contoh, misalnya grup produk ini akan diproduksi berapa dalam dua tahun
atau 1,5 tahun yang akan datang atau satu tahun yang akan datang. Ini bersifat medium term.
Ketiga, yang mendasari kegiatan-kegiatan operasional.
Sehari-hari kita memproduksi berapa produk, sehari-hari kita mengirim berapa produk, tentu
saja, itu didasari atas pemahaman kita tentang berapa produk itu dibutuhkan minggu depan,
berapa produk itu dibutuhkan dua minggu yang akan datang atau bulan depan, misalnya.
Jadi, ini akan mendasari keputusan-keputusan operasional.
Ramalan permintaan akan digunakan untuk berbagai macam keputusan, untuk jangka
menengah, jangka panjang, maupun jangka pendek. Tentu saja, jenis ramalan atau jenis
forecast, tipe yang kita gunakan untuk masing-masing keputusan ini bisa berbeda. Untuk
keputusan jangka panjang, misalnya, sekali lagi, kita butuh long-term forecast. Satuannya
mungkin lebih umum. Tidak perlu dilakukan per individual produk, tetapi kita akan
agregasikan untuk seluruh kapasitas yang akan kita sediakan untuk berbagai macam variasi
yang akan kita produksi.
Namun, untuk kebutuhan operasional, kita butuh detail, per produk kita tahu, per minggu kita
tahu. Jadi, ada detail dari sisi jenis dan detail dari sisi waktu. Jadi sifat atau karakteristik
forecast yang kita butuhkan akan berbeda untuk kebutuhan jangka panjang dan kebutuhan
jangka pendek. Ada beberapa tipe forecast yang umum digunakan. Ada yang sifatnya
kualitatif, ada yang sifatnya kuantitatif.
Kualitatif tentu saja berdasarkan pada judgement, pada perkiraan-perkiraan yang mungkin
banyak menggantungkan pada pengalaman, banyak menggantungkan pada visi atau
perkiraan yang mungkin diperoleh dari knowledge atau pengetahuan dari orang yang kita
anggap expert, misalnya. Ada beberapa kategori yang kita sebut sebagai subjective forecast
yang berdasarkan pada keputusan-keputusan kualitatif.
Sedangkan untuk kuantitatif, artinya forecast kita didasarkan pada data, hard data, numbers.
Jadi, ada angka di situ. Misalnya, kita lihat penjualan kita di masa lalu, berapa dari tahun ke
tahun, berapa dari bulan ke bulan. Angka penjualan di masa lalu bisa kita pakai untuk

Halaman 5 dari 13

ITS101
meramalkan kebutuhan yang akan datang. Jadi, ini model objective forecasting atau kita
menggunakan angka, menggunakan formula di situ.
Untuk lebih spesifik, karena di sini kita membahas supply chain management, kebanyakan
forecast yang akan kita butuhkan adalah untuk jangka pendek dan jangka menengah. Jadi,
bukan untuk membuat keputusan strategis, walaupun tentu saja ada beberapa.
Yang paling sering tentu saja adalah untuk kebutuhan jangka pendek dan jangka menengah.
Untuk kebutuhan jangka pendek dan jangka menengah, kebanyakan metode forecast yang
kita gunakan adalah metode forecast yang sifatnya obyektif, jadi, kita sering kali
membutuhkan data-data masa lalu, historical data dari penjualan produk tersebut.
Ambil contoh, misalnya jika kita menggunakan... Mungkin, saudara-saudara pemirsa kenal
dengan istilah regresi. Mungkin pernah belajar dari bidang statistik. Regresi adalah mencoba
untuk mengkaitkan antara berapa produk yang akan dijual dengan factor-faktor yang
mempengaruhi. Misalnya, volume penjualan kita dipengaruhi oleh harga, dipengaruhi oleh
factor-faktor yang lain. Anda mencoba mencari formula, hubungan antara harga jual dan
faktor-faktor lainnya dengan berapa volume barang yang akan dijual.
Itu disebut sebagai causal model. Salah satu model kuantitatif. Kategori yang kedua adalah
kategori time series. Jika tadi causal mencari hubungan sebab-akibat, jika time series kita
tidak mencari hubungan sebab-akibat, tetapi besaran permintaan yang akan kita ramalkan
sepenuhnya adalah fungsi waktu.
Itu sedikit perkenalan saya tentang metode-metode forecasting, tapi yang ingin saya
tekankan di sini, tidak cukup sebenarnya bagi perusahaan, terutama yang menghadapi pola
permintaan yang fluktuatif jika hanya melakukan forecasting. Karena ukuran forecasting yang
bagus adalah yang accuracy tinggi. Namun, jika misalnya naik turunnya tinggi, forecast kita
juga tinggi naik turunnya mengikuti pola permintaan, artinya forecast kita akurat. Namun,
belum tentu forecast yang akurat dan mengikuti naik turunnya pola permintaan akan mudah
dipenuhi.
Video 4: Esensi Demand Management Part 2
Kenapa di sini saya gunakan istilah demand management, tidak sekedar demand forecast?
Karena pada intinya, kita mencoba untuk mempengaruhi permintaan. Kita mengelola
permintaan. Tidak sekedar meramalkan permintaan. Jadi, tak sekedar meramalkan, kita ingin
mempengaruhi permintaan.
Kenapa kita perlu mempengaruhi permintaan? Banyak sekali perusahaan yang jika
permintaan itu diikuti saja naik turunnya walaupun kita bisa prediksi dengan akurat, cost akan
tinggi, service level kepada pelanggan akan rendah. Ambil contoh, misalnya, sangat banyak
perusahaan di sekitar kita yang menghadapi permintaan yang polanya naik turun seperti ini.
PLN, misalnya, yang memasok listrik.
Kita tahu pada saat siang hari kebutuhan listrik lebih rendah dibandingkan dengan pukul 610 malam. Jadi, ada periode yang disebut sebagai beban puncak di mana demand pada saat
itu sangat tinggi. Kemudian jika Anda bekerja di airline industry (industry jasa penerbangan),
jelas akan ada fluktuasi atau naik turun pada jam-jam tertentu, kebutuhan orang untuk
Halaman 6 dari 13

ITS101
bepergian dari satu kota ke kota lain akan tinggi, tapi pada jam-jam lain tidak atau pada
bulan-bulan tertentu tinggi dan pada bulan-bulan lain tidak.
Jadi, ada fluktuasi demand atau naik turun demand. Banyak industri yang menghadapi hal
seperti itu. Sekarang pertanyaannya. Hanya bisa memprediksi secara akurat, tidak selalu
menjawab persoalan karena boleh dikatakan kebutuhan listrik pada pukul 6-10 sebesar
sekian megawatt, misalnya.
Namun, kapasitas kita tidak cukup untuk memenuhi itu. Maka yang perlu dilakukan adalah
secara proaktif mempengaruhi permintaan ini supaya sebagian dari permintaan yang ada di
beban puncak, di periode-periode peak season, pindah ke periode-periode yang lain. Jadi,
digeser sebagian. Inilah yang disebut sebagai demand management. Jadi, demand forecast
bersifat reaktif, mencoba menirukan pattern, tapi demand management bersifat proaktif, kita
mempengaruhi pattern/mempengaruhi pola. Pertanyaannya sekarang.
Apa yang bisa dilakukan? Karena jika kita langsung mengelola demand yang fluktuatif tadi,
mungkin saja forecast error-nya cukup rendah, accuracy-nya bagus, tapi tetap saja cost di
sepanjang supply chain akan tinggi. Sekarang, bagaimana caranya? Saya kira banyak sekali
metode-metode yang secara tradisional sudah dilakukan oleh perusahaan. Lalu yang paling
menonjol adalah pricing mechanism (mekanisme harga).
Jika kita lihat, misalnya. Jika saja tarif listrik pada jam-jam beban puncak bisa lebih tinggi
dibandingkan pada jam-jam lainnya, pasti sebagian pelanggan akan menggeser
kebutuhannya. Dengan demikian, maka puncaknya akan turun dan lembahnya akan naik.
Jika puncaknya turun, lembahnya naik artinya permintaan kita lebih stabil. Jika permintaan
kita lebih stabil, maka kita bisa cukup beroperasi dengan kapasitas yang lebih rendah.
Seperti grafik yang Anda lihat ini. Di situ ada angka 1 yang menunjukkan demand yang
fluktuasinya masih sangat tinggi. Lalu ada angka 2 yang menunjukkan demand itu sudah
relatif lebih rendah fluktuasinya. Di situ ada dua garis. Garis kapasitas yang berwarna merah
putus-putus itu. Jika ada fluktuasi yang mengikuti angka 1, artinya dengan kapasitas yang
tinggi pun, garis merah yang paling atas, sebenarnya tidak cukup kapasitas kita.
Masih ada periode waktu tertentu saat kita tidak mampu memenuhi. Jadi, jika dalam hal
listrik, artinya sebagian harus dipadamkan, tapi jika kita bisa mengatur permintaan supaya
lebih stabil, kita cukup beroperasi dengan kapasitas di bawahnya dan masih bisa memenuhi
semua permintaan yang ada. Itulah, saudara-saudara pemirsa IndonesiaX. Jadi, sangat
penting bagi kita untuk bisa mengatur permintaan agar bisa lebih stabil walaupun tentu saja
itu tidak bisa selalu dilakukan untuk setiap industri.
Video 5: Hal-hal Penting dalam Demand Management
Selamat datang kembali di sesi tentang demand management, saudara pemirsa IndonesiaX.
Tadi kita sudah mendiskusikan tentang beberapa instrumen atau teknik yang bisa kita
gunakan untuk mengelola permintaan.
Namun, itu tidak sederhana karena banyak sekali hal-hal yang harus kita perhatikan jika kita
menggunakan instrumen demand management. Katakanlah jika kita menggunakan

Halaman 7 dari 13

ITS101
instrumen pricing, seberapa banyak instrumen pricing ini akan dilakukan. Katakanlah,
diskonnya akan seberapa banyak, perbedaan harganya seberapa tinggi dan lain sebagainya.
Perlu banyak pertimbangan yang harus Anda pikirkan, yang harus Anda perhitungkan pada
saat melakukan atau menggunakan instrumen-instrumen demand management ini. Ada tiga
hal yang sangat pokok yang saya ingin ajak saudara-saudara untuk mendiskusikan hal-hal
penting yang sangat perlu dalam menjalankan atau melaksanakan program demand
management ini.
Pertama, kita harus memahami seberapa dampak dari instrumen yang kita gunakan itu
terhadap perubahan permintaan. Katakanlah, misalnya jika harga diturunkan 5%,
dampaknya berapa terhadap perpindahan pelanggan yang tadinya akan membeli di periode
dua kemudian pindah ke periode satu dan harganya lebih murah di periode satu daripada di
periode dua misalnya. Tadi kita sudah bicarakan contoh tentang PLN.
Jika misalnya PLN memberikan diskon 10% pada jam-jam yang tidak puncak atau bukan
beban puncak, kira-kira berapa persen demand yang pindah dari beban puncak menuju ke
beban atau periode di mana beban itu tidak puncak. Ini sangat penting dan membutuhkan
data, barangkali bisa kita dapatkan dari pengalaman di masa lalu atau dari survey dan lain
sebagainya.
Itu yang pertama. Kedua, yang juga sangat penting untuk kita pahami adalah bagaimana
caranya menghubungkan antara program demand management dengan eksekusi supply
chain. Misalnya, bagaimana pada saat kita punya rencana untuk promosi di mana harga
dipotong atau kita memberikan diskon selama seminggu, kemudian kita memperkirakan ada
peningkatan permintaan sebesar 20%, bagaimana menghubungkan rencana supply yang 20%
lebih tinggi ini dengan kegiatan transportasi, seberapa banyak tambahan truk yang kita
butuhkan, apakah truk tersebut tersedia, apakah kita masih harus mencari ke pemasok truk
yang lain atau ke penyedia jasa yang lain? Kemudian, dari sisi produksi juga begitu.
Misalnya, apakah jika demand naik 20%, kita punya cukup kapasitas untuk menangani
kenaikan permintaan sebesar 20% itu atau kita mungkin perlu menggunakan external
capacity, kita subkontrakkan ke perusahaan yang lain, misalnya. Jadi, memang perlu
diperhitungkan ketika ada perubahan pola permintaan, sebagai reaksi terhadap demand
management, kita harus benar-benar menghubungkan antara proyeksi perubahan
permintaan tadi dengan rencana pengiriman, dengan rencana produksi, begitu juga dengan
rencana pembelian material.
Tentu saja, akan sangat mengganggu jika kita misalnya tahu bahwa rencana permintaan itu
naik kira-kira 20% dan memang betul naik 20%, armada angkut kita sudah siap dengan
tambahan, produksi juga kita siap dengan kapasitas tambahan, tapi material kita tidak ada
dari supplier, misalnya. Tentu saja, ini menjadi sia-sia. Maka, koordinasi menjadi sangat
penting. Apa pun instrumen demand management yang kita gunakan jika itu mengubah pola
permintaan, membuat permintaan naik pada periode tertentu, maka semua lini harus siap.
Dari belakang sampai ke depan. Mereka yang mengirim harus siap dengan tambahan, mereka
yang menyimpan harus siap dengan tambahan beban juga, mereka yang memproduksi juga
harus siap, mereka yang memasok material sekalipun harus siap. Jadi, di sini dibutuhkan tim
lintas fungsi yang harmonis. Jadi, orang produksi, distribusi, warehouse, pengadaan material

Halaman 8 dari 13

ITS101
termasuk supplier harus bisa mengantisipasi kenaikan, katakanlah, jika ada 20% permintaan
yang naik dari permintaan yang diperkirakan sebelumnya.
Itu yang kedua, cross functional team itu sangat penting. Ketiga, kita juga perlu melihat
dampaknya terhadap cost dan cost yang kita lihat betul-betul harus holistik. Saya ambil
contoh bagian pemasaran melakukan promosi. Seperti yang saya katakana tadi, demand
meningkat karena promosinya sukses. Lalu kapasitas kita ternyata tidak cukup, akhirnya kita
meminta sebagian karyawan untuk lembur.
Jadi, karena kita memproduksi dengan jam lembur, maka biaya akan naik. Biaya yang seperti
ini harus diperhitungkan dalam mengevaluasi atau memperkirakan berapa biaya yang akan
terjadi sebagai akibat dari instrumen demand management ini.
Jadi, ada tiga hal yang sangat penting yang perlu kita pahami ketika kita menggunakan
instrumen demand management, maka hal-hal yang saya sampaikan sebelumnya sangat
penting untuk dimasukkan sebagai pertimbangan. Terakhir, yang saya sampaikan adalah
bagaimana kita memperkirakan keseluruhan biaya yang terjadi dari hulu sampai ke hilir.
Yang menarik juga yang ingin saya jelaskan lebih jauh di sini adalah, katakanlah, jika
permintaan itu meningkat, tapi jika inisiatifnya hanya dari orang sales atau marketing, dan
tidak terkomunikasikan dengan baik ke pihak-pihak yang lain, kemudian tiba-tiba saja pabrik
itu akan menerima order yang lebih besar atau yang lebih tinggi dari biasanya, maka akhirnya
apa yang terjadi? Kita terpaksa melakukan produksi dengan tergesa-gesa, mungkin akhirnya
akan menggunakan jam lembur, seperti yang saya katakan tadi, sehingga cost lebih tinggi.
Atau jika kita tidak punya material, kita akan minta supplier untuk kirim lebih cepat dengan,
tentu saja, konsekuensi biaya kirim akan lebih tinggi. Jika ini terjadi, maka bisa jadi ini sia-sia.
Program yang bagus yang sudah berhasil meningkatkan demand, kemudian kita tanggapi
dengan cara yang tidak disiapkan dengan baik sehingga cost kita akan menjadi tinggi. Itu
sebabnya, setiap kali kita punya program demand management, tiga hal tadi sangat penting
untuk diperhitungkan.
Video 6: CPFR Part 1
Selamat datang kembali, siswa IndonesiaX. Kita masih mendiskusikan tentang demand
management. Topik yang, tentu saja, sangat menarik dan penting di dalam konteks supply
chain. Saya sudah menyinggung di video sebelumnya pentingnya adanya cross functional
team dalam menyikapi instrumen demand management yang sedang dilakukan oleh
perusahaan.
Jadi, katakanlah, jika perusahaan itu sedang punya kegiatan untuk promosi, demand
diperkirakan meningkat, maka semua pihak yang kira-kira terkait di dalam perusahaan itu
harus mengetahui dan terlibat dalam perencanaan untuk mengantisipasi kenaikan
permintaan yang terjadi.
Jadi, dibutuhkan dukungan dari mereka yang memproduksi yaitu orang produksi,
membutuhkan dukungan dari mereka yang menjual, membutuhkan dukungan dari mereka
yang menyiapkan bahan baku, yang mengerjakan kegiatan transportasi dan lain sebagainya.

Halaman 9 dari 13

ITS101
Jangan sampai, misalnya, ada empat pihak yang sudah siap, tetapi satu pihak tidak siap, ini
akan menggagalkan atau membuat rencana kita tidak tereksekusi dengan baik. Itu penting
sekali. Sekarang, sebenarnya tidak hanya dalam internal perusahaan saja, kolaborasi itu
penting untuk mengantisipasi terjadinya perubahan atau peningkatan permintaan.
Dibutuhkan juga kolaborasi dengan pihak lain.
Saya akan membahas dua konsep yang sangat penting dalam supply chain. Pertama, apa
yang disebut sebagai collaborative planning forecasting and replenishment yang disingkat
menjadi CPFR. Ini adalah konsep yang dulu dikembangkan oleh sekumpulan industri yang
sifatnya sukarela di Amerika yang menyikapi pentingnya perusahaan-perusahaan yang
memproduksi dan perusahaan-perusahaan yang menjual produk untuk berkolaborasi pada
level perencanaan, lalu pada saat mereka meramalkan permintaan, dan mengkoordinasikan
perpindahan barang atau pengisian stok yang kita sebut sebagai replenishment.
Jadi, ada tiga kata yang menunjukkan aktivitas yang sangat penting di situ. Planning yaitu
bagaimana kedua pihak ini melakukan perencanaan bersama. Forecasting yaitu bagaimana
kedua belah pihak ini bersama-sama menentukan angka ramalan permintaan. Lalu
replenishment yaitu mengkoordinasikan kapan barang dikirim, pada saat stok tersisa berapa
barang itu sudah harus dikirim dan lain sebagainya. Itu yang ketiga, yang kita sebut sebagai
replenishment.
Kenapa inisiatif seperti CPFR ini penting? Karena, sebagaimana yang kita ketahui, kita dalam
supply chain adalah satu tim sebenarnya. Mereka yang menjual tentu saja mengetahui
permintaan pasar dengan lebih baik dibandingkan dengan mereka yang memproduksi dan
merekalah yang sehari-hari berhadapan dengan end-customer. Yang membeli barang dengan
datang ke toko adalah end-customer.
Toko ini seharusnya mengetahui lebih baik mengenai perilaku pelanggan lalu level kebutuhan
dan lain sebagainya dibandingkan dengan pabrik yang mungkin berada jauh lokasinya,
mungkin juga di negara yang berbeda, yang tidak memahami bagaimana dinamika demand
di end-customer terjadi.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara retail, misalnya, yang menjual produk yang
mungkin memahami karakteristik pelanggan dengan lebih baik yang juga tahu data dan
memiliki data permintaan secara detail dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam, dengan
pabrik yang memproduksi produk tersebut yang mungkin selama ini tidak memiliki akses
tentang data permintaan yang ada di end-customer. Sinkronisasi ini sangat penting.
Kolaborasi inilah yang diatur dalam model yang disebut sebagai CPFR ini. Sebelum model ini
terjadi, biasanya masing-masing punya forecast. Retail punya perkiraan angka, pabrik punya
perkiraan angka. Bisa jadi untuk produk yang sama, untuk area market yang sama, dan untuk
periode waktu yang sama, angkanya bisa sangat berbeda. Retail meramalkan 1000
permintaan, pabrik meramalkan 500 permintaan sehingga tidak sinkron.
Inilah yang hendak dijembatani oleh inisiatif yang disebut sebagai CPFR tadi. Sebetulnya ada
beberapa prinsip yang menjadi landasan berpikir dari CPFR. Pertama, jika kita melakukan
kerja sama pada saat meramalkan kebutuhan, maka informasi ini akan mengalir dari satu
pihak ke pihak yang lain. Artinya, katakanlah, saya sebagai retail tidak menyimpan informasi
permintaan untuk diri saya sendiri, saya juga bagikan informasi itu pada pabrik yang juga
perlu memiliki informasi itu untuk menentukan kapasitas dan keputusan produksi, misalnya.
Halaman 10 dari 13

ITS101
Jadi, ada joint forecast di antara keduanya dan angka itu ketika sudah disetujui akan menjadi
dasar bagi masing-masing pihak untuk menentukan aktivitas mereka masing-masing. Tentu
saja hal yang seperti ini menjadi lebih penting lagi jika ada acara-acara yang direncanakan
seperti instrumen demand management yang tadi sudah didiskusikan.
Katakanlah, yang punya rencana adalah retail, sebab tidak jarang yang melakukan promosi
adalah retail, tidak selalu pabrik yang menentukan kapan barang itu didiskon, diatur dengan
harga berapa dan sebagainya, tidak selalu pabrik yang menentukan itu. Ada kalanya,
misalnya, retail sedang ulang tahun, mereka ingin menawarkan program-program seperti
promosi beberapa produk akan didiskon harganya dan lain sebagainya yang tentu saja
dengan demikian mungkin akan meningkatkan penjualan atau permintaan dari produkproduk tersebut yang harganya dipotong atau diberikan diskon atau sedang dipromosikan
dan lain sebagainya.
Jika ini adalah program retail, jangan-jangan pabrik tidak tahu. Jangan-jangan pabrik tidak
pernah dapat informasi. Ternyata produk kita sedang masuk dalam daftar yang sedang
dipromosikan, sedang masuk dalam daftar yang dapat potongan harga, misalnya. Hal seperti
inilah yang perlu dikolaborasikan. Artinya, informasi yang seperti ini sedapat mungkin juga
diketahui oleh pabrik sehingga pabrik bisa menyiapkan kapasitas yang lebih banyak,
misalnya.
Pabrik bisa tahu bahwa di sana sedang ada promosi, baiklah, kira-kira permintaan naik 20%.
Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan oleh pabrik? Inilah kolaborasi yang perlu dilakukan.
Model ini atau cara kolaborasi yang seperti ini diatur oleh yang disebut sebagai CPFR.
Satu lagi landasan yang juga cukup penting yang juga ingin saya sampaikan karena ini juga
merupakan landasan yang sangat mendasar dalam CPFR adalah apa yang disebut sebagai
exception management. Exception management kurang lebih cara kerjanya seperti ini.
Masing-masing pihak boleh meramalkan sendiri di awal. Retail boleh mengeluarkan angka,
pabrik juga boleh mengeluarkan angka ramalan. Namun, kemudian angka tersebut
dibandingkan. Jika misalnya ada yang angkanya 1000 dan 500, maka perbedaannya terlalu
besar. Maka, keduanya harus merundingkan berapa angka yang sebenarnya masuk akal. Di
situlah, pada saat merundingkan harga, maka pasti akan terjadi sharing informasi.
Apa yang membuat retail berani membuat target penjualan sebesar 1000? Kenapa pabrik
hanya menggunakan angka 500? Ini yang harus dirundingkan. Perundingan angkat dari yang
selisihnya besar menjadi lebih kecil sehingga bisa diterima oleh kedua belah pihak, itu yang
disebut sebagai exception management.
Angkanya tentu saja tidak harus sama. Katakanlah, misalnya, pabrik meramalkan 850, tapi
retail berakhir dengan angka 830, jadi, itu di bawah batasan perbedaan yang bisa diterima,
maka masing-masing divisi bisa berjalan. Itu konsep dari yang kita sebut sebagai exception
management.
Video 7: CPFR Part 2

Halaman 11 dari 13

ITS101
Pemirsa IndonesiaX, sekarang saya akan menjelaskan model dari CPFR. Tadi kita sudah bicara
mengenai latar belakang kenapa CPFR itu penting. Seperti apa modelnya? Jika Anda lihat
yang ada di slide atau background, Anda bisa lihat bahwa CPFR model ada empat bagian.
Yang pertama adalah bagian yang disebut sebagai strategy and planning. Pada tahapan itu,
kedua belah perusahaan atau kedua belah pihak menyetujui adanya kerja sama bahwa
mereka akan memasuki arrangement collaborative planning forecasting and replenishment.
Ada kesepakatan di level pimpinan bahwa keduanya akan sepakat.
Karena, tentu saja, jika tidak ada kesepakatan, nanti di level operasional mungkin akan sulit.
Pegawai yang akan share informasi atau data akan takut karena tidak ada kesepakatan di
level stategi atau di level pimpinan. Jadi, hal itu penting sekali. Di tahap awal harus ada
kesepakatan antara kedua belah pihak bahwa kita bersama-sama berkomitmen akan masuk
ke framework atau arrangement yang disebut sebagai CPFR ini.
Itu yang pertama. Jadi, mungkin kita buat joint planning selama 3 atau 2 tahun ke depan, kirakira rencananya seperti apa. Itu fase pertama yang sangat penting. Jika fase pertama ini sudah
selesai atau sudah kita lakukan, kita akan masuk ke fase kedua yaitu demand and supply
management, yang intinya, apa yang dilakukan di sana adalah joint forecast. Seperti tadi
sudah saya sampaikan, masing-masing pihak mungkin akan membuat ramalan sendiri. Untuk
sales, katakanlah, beberapa minggu ke depan atau bergantung pada periode waktunya.
Jika taktis mungkin sampai 6 bulan atau 1 tahun ke depan. Kemudian, ini akan disepakati oleh
satu pihak dengan lainnya. Lalu akan melewati perundingan bagi yang angka awalnya
berbeda jauh antara satu dan lainnya. Itu yang terjadi pada fase kedua.
Tentu akan banyak sekali pertemuan-pertemuan yang harus dilakukan di sana, perlu
penyamaan persepsi, perlu penyamaan format data dan sebagainya. Sifatnya akan sangat
teknis, rapat bisa dilakukan berkali-kali dalam satu bulan antara kedua belah pihak. Jadi,
memang dibutuhkan komitment dari kedua sisi untuk memasuki arrangement ini secara
efektif. Itu fase kedua. Fase ketiga adalah fase eksekusi.
Sebelumnya adalah fase perencanaan. Forecast adalah satu elemen dari proses perencanaan.
Sekarang, fase eksekusi. Fase eksekusi yang terkait dengan kapan barang ini dikirim, saya
punya order sekian, kapan barangnya dikirim, order yang kemarin ada yang belum datang,
barangnya ada di mana sekarang dan lain sebagainya. Ini fase eksekusi yang intinya adalah
replenishment process.
Replenishment process artinya yang terkait dengan pabrik mengirim barang kepada
pelanggan, pabrik mengirim barang ke toko atau ke retail, misalnya. Itu fase ketiga. Fase
keempat adalah fase analisis yang intinya adalah melihat, katakanlah, jika kita sudah tiga
bulan bersama-sama melakukan forecast secara kolaboratif dengan metode CPFR ini,
katakanlah, misalnya, kenapa erornya masih tinggi? Kenapa keakuratan forecast masih
rendah? Di sinilah hal itu dibicarakan, dalam fase keempat.
Kira-kira faktor apa yang belum kita masukkan? Adakah hal penting yang kita lewatkan? Di
situ ada proses, assessment yang sudah kita lakukan, evaluasi untuk perbaikan yang kita
lakukan pada fase berikutnya. Jadi, model CPFR ini jika Anda lihat berbentuk lingkaran. Jika
kita bicara soal lingkaran, itu seperti roda, mengalir terus-menerus, tidak ada awal dan akhir.
Apa artinya? CPFR adalah model yang kental dengan nuansa continuous improvement.
Halaman 12 dari 13

ITS101
Jadi, ada perbaikan dari satu siklus ke siklus yang lain. Kita selalu belajar. Misalnya, bulan lalu
banyak sekali kiriman yang datang terlambat, artinya replenishment bermasalah. Bulan lalu,
misalnya, kesalahan forecast masih 40%. Apa yang perlu diperbaiki? Hal itu ada di fase
keempat, yaitu fase analisis. Itulah model yang kita sebut sebagai CPFR, Collaborative
Planning Forecasting and Replenishment.
Video 8: VMI
Pemirsa IndonesiaX, tadi kita membahas tentang Collaborative Planning Forecasting and
Replenishment. Ada satu model lagi yang menarik untuk kita pelajari yaitu yang disebut
sebagai Vendor Managed Inventory. Ini juga model kolaborasi yang melibatkan dua organisasi
dalam supply chain.
Apa intinya? Vendor Managed Inventory atau VMI mengalihkan tanggung jawab pengelolaan
persediaan kepada vendor. Jadi, jika secara tradisional, kita sebagai pembeli yang memesan
barang, menentukan berapa permintaan kita, kapan barang dikirim dan lain sebagainya,
maka sekarang di sini, vendor managed inventory, tanggung jawab atau keputusan itu
dilakukan atau diambil oleh pemasok/vendor.
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh buyer? Buyer hanya akan menyediakan data stok atau
berapa inventory yang tersedia atau yang tersisa, kemudian kira-kira berapa kebutuhan
dalam sehari. Berbekal dua informasi itu, vendor akan menentukan kapan dia akan mengirim,
jumlahnya berapa dan lain sebagainya.
Jadi, sebetulnya apa yang terjadi di sini? Di samping pemindahan tanggung jawab, di sana
sebenarnya ada sharing informasi. Sharing informasi data yang selama ini tidak pernah dilihat
oleh vendor. Anggap saja misalnya vendor ini adalah pabrik. Selama ini vendor tidak pernah
punya akses ke data penjualan yang diperoleh oleh toko.
Jadi, informasi berapa barang yang dijual tiap hari, berapa sisa stok dan lain sebagainya,
selama ini tertutup. Sekarang karena adanya vendor managed inventory, artinya dengan
terjadinya keterbukaan informasi, vendor bisa mengatur dengan lebih baik, dengan demikian,
bisa jadi atau dalam kebanyakan kasus, akan terjadi peningkatan responsiveness kepada
pelanggan, tapi dengan syarat bahwa vendor ini punya kemampuan untuk mengambil
keputusan tersebut.
Jadi, esensi dari vendor managed inventory adalah sebetulnya bagaimana kita lebih reaktif
atau lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, yaitu dengan cara sharing informasi,
kemudian keputusan itu pindah dari buyer kepada vendor. Itulah esensi yang yang kita sebut
sebagai vendor managed inventory.
Saudara pemirsa IndonesiaX, jadi, kita sudah menyelesaikan modul di minggu ketiga ini. Kita
sudah bicara tentang demand management, berbagai macam instrumen yang bisa digunakan
untuk mengelola permintaan, kemudian kita juga bicara tentang model-model kolaborasi,
yaitu CPFR dan vendor managed inventory. Saya ucapkan terima kasih atas kesediaan Anda
untuk tetap menyimak kursus ini. Sampai jumpa di modul saya di minggu keempat. Sampai
jumpa.

Halaman 13 dari 13

Anda mungkin juga menyukai