NL Iii 10
NL Iii 10
.: Indeks :.
Kabar Utama
Advokasi
Pengantar
ewan Perwakilan Rakyat yang terpilih tahun lalu idealnya telah menunjukkan
hasil kinerja mereka setelah masa transisi penyesuaian diri dan pembelajaran
bagi 70% anggota dewan yang baru pertama mengemban amanat rakyat.
Sayang, meskipun sudah melewati setengah masa sidang tahun kedua, hanya 7 dari
70 RUU (alias sebesar 10%) dalam pembahasan Program Legislasi Nasional 2010 yang
telah berhasil disahkan.
Studi
Dari keterangan Ketua DPR RI Marzuki Alie per 27 Agustus, ketujuh puluh RUU telah
selesai naskah akademiknya sehingga setidaknya 50% dapat dituntaskan. Melihat
lambannya gerak langkah DPR, target yang sudah diturunkan nampak tetap sulit dicapai.
Begitupun apologi yang akan disampaikan sudah terbaca: tidak bisalah kualitas UU yang
lahir dihitung dari kuantitasnya.
Kalau sudah begini, perlu kita pertanyakan lebih lanjut, seberapa berkualitas perundangundangan yang dihasilkan anggota dewan yang terhormat setelah berkolaborasi dengan
pemerintah?
Anggota Parlemen
Mendorong RSK: Parlemen
Kanada
Di tengah kesibukan anggota dewan yang akan menempati gedung baru dengan budget
Rp 1,6 triliun, DPR seakan tidak memiliki greget dan target untuk menggerakkan kembali
reformasi sektor keamanan Indonesia yang melempem setelah pemerintah bersama TNI
menganggapnya selesai. Padahal masih terdapat banyak masalah yang belum tuntas,
antara lain restrukturisasi komando teretorial belum berlangsung, struktur Panglima
TNI di bawah Presiden yang tak kunjung diatur, reformasi intelijen yang mandeg, serta
kurangnya pengawasan terhadap Polri sehingga badan ini sarat KKN dan bertindak
militeristik namun di sisi lain membiarkan ormas berani melakukan tindak kekerasan
merajalela.
Menyikapi hal-hal ini DPR tampak apatis (tidak pro aktif) dan cenderung terbawa arus
media. RUU yang dibahas untuk digolkan justru RUU Komponen Cadangan yang dianggap
kalangan masyarakat sipil masih bermasalah, dan bukan RUU yang pada periode
sebelumnya hampir rampung dikaji yakni RUU Peradilan Militer yang pembahasannya
hanya kurang empat pasal lagi.
DPR juga kurang aktif menggunakan hak tanya dan cenderung menunggu suatu isu
memanas, seperti yang terakhir kasus penangkapan kapal Kementrian Kelautan dan
Perikanan oleh Malaysia yang membangkitkan konflik tertutup kedua negara atas
tapal batas wilayah perairan dan TKI. Itu pun, permintaan interpelasi dibaca sebagai
kepentingan politik permainan fraksi partai di DPR yang ingin meningkatkan daya tawar
terselubung kepentingan partai dan individu.
Suara-suara dari kelompok masyarakat sipil ikut teredam di tengah permainan kepentingan
antar elit partai dalam fraksi di DPR. Keadaan ini tentu menjadi kendala bagi terwujudnya
harapan masyarakat akan wakilnya, yang sering kali dinomorduakan setelah operasi
public relation pemerintah.[]
Kabar Utama
Insiden Bintan,
Sebuah Test Case
Seberapa besar peran DPR melalui
pelaksanaan fungsi lesgilasi,
pengawasan dan anggarannya telah
memperkuat sektor pertahanan dan
keamanan?
Kabar Utama
Apa yang dikemukakan Presiden berbeda dengan
keyakinan sebagian masyarakat yang menyatakan
bahwa Peristiwa Tanjung Berakit mengusik kedaulatan
NKRI. Dari seluruh pesan yang ditujukan langsung
kepada Malaysia ketika Presiden menyatakan
memelihara hubungan baik dengan negara sahabat,
terutama Malaysia sangat penting. Tapi Indonesia tidak
akan mengkompromikan kepentingan nasionalnya,
apalagi menyangkut kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Pesan yang disampaikan Presiden ditangkap negatif
oleh sebagian masyarakat. Seolah menguatkan
persepsi bahwa pemerintah terlalu lemah merespon
tindakan polisi perairan diraja Malaysia. Emosi
sebagian masyarakat pun tak makin turun dengan
terjadinya barter yang tidak seimbang antara 3 petugas
KKP dengan 7 nelayan Malaysia.
Masyarakat yang kecewa menggelar aksi dan
menghadiahi kantor kedutaan besar kerajaan Malaysia
dengan kotoran, sementara kediaman warga Malaysia
yang berada di Indonesia juga tak luput dari lemparan
batu para demonstran.
Kabar Utama
Sementara DPR sendiri mengaku bukannya tak
mau banyak berbuat dalam mengawasi penggunaan
anggaran pertahanan yang banyak dipertanyakan
kalangan masyarakat sipil. Mereka mengaku selalu
menemui banyak kendala saat menjalankan fungsi
controlling dan budgeting itu.
Mantan Ketua Panitia Anggaran Komisi Pertahanan
DPR RI, Happy Bone Zulkarnain memaparkan,
kendala itu antara lain karena belum tersedianya
kebijakan umum di bidang pertahanan negara, juga
karena masalah anggaran pertahanan selama ini
masih menjadi variabel dalam menentukan arah
pengembangan postur pertahanan dan pemenuhan
kebutuhan
pertahanan
berdasarkan
persepsi
pemerintah dan atau TNI sendiri.
DPR juga kesulitan berhadapan dengan birokrasi
institusi negara yang secara umum masih bersifat
patrimonial, sehingga memberi andil terbukanya
ruang penyimpangan dalam pengelolaan anggaran,
dengan memanfaatkan karakteristik birokrasi militer
yang kerapkali melakukan penugasan yang bersifat
dadakan.
Berdasarkan pengalaman kemitraan kerja Komisi
I dengan Pemerintah maupun TNI selama ini, bisa
dirasakan bahwa seolah terdapat dualisme kewenangan
antara Menhan dan Panglima TNI dalam penetapan
skala prioritas dalam pengelolaan anggaran.
Karenanya, mari bersama-sama kita tunggu apa yang
terjadi setelah Insiden Bintan itu? Akankah DPR, baik
Komisi I yang membidangi Pertahanan maupun DPR
secara paripurna, memanfaatkan momen ini untuk
menunjukkan perannya dalam pengawasan sektor
pertahanan termasuk mengontrol penggunaan
anggaran untuk kepentingan menjaga kedaultan dan
keutuhan negara. Tidak seperti yang sudah-sudah,
justru memainkan peristiwa ini sebagai akrobat politik
dan kemudian membawa mereka dalam sorotan utama
media karena perannya yang hanya sibuk mengecam
pemerintah tanpa ada hasil nyata dari setiap rapat
kerja.
Advokasi
Advokasi
Apakah DPR akan berhasil, sementara kesan berbagai
tekanan politik yang dilakukan oleh DPR, seringkali
berakhir dengan kompromi politik. Menurut Sri Yunanto,
di bidang pengawasan suara keras DPR terhadap
berbagai kasus di media, tak ubahnya gertakan
sambal, karena ujung-ujungnya aktor keamanan dan
pemerintah melenggang dengan agenda sendiri.
Sementara suara keras DPR, hanya untuk mencari
dukungan untuk meningkatkan posisi tawar untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pengawasan DPR terhadap sector pertahanan dan
keamanan menurut Al Araf, seringkali tidak dilakukan
secara sistemik dan berkelanjutan sehingga tidak
membuahkan hasil. Contohnya pengawasan parlemen
dalam mengawasi kondisi darurat militer di Aceh. Dalam
kasus ini kendati parlemen telah mempermasalahkan
penyimpangan yang dilakukan pemerintah di bidang
keamanan, namun hal itu hanya sebatas pertanyaan
atau teguran saja kepada pemerintah, tanpa dibarengi
adanya sikap lebih lanjut yang bersifat korektif dan
memperbaiki dari pengawasan yang telah dilakukan.
Sementara dalam bidang anggaran, masyarakat sipil
menilai hal urgen bagi parlemen untuk memikirkan
pentingnya meningkatkan kesejahteraan aktor-aktor
keamanan dan mengawasi proses pengadaan untuk
aktor keamanan.
Kegagalanyang
DPR
yang
menonjol
dalam
menjalankan fungsi anggaran dapat dilihat dari dua
hal; Ketidakmampuan DPR mengurai dan menjelaskan
kepada masyarakat selisih antara pendapatan dan
belanja. Dimana praktek penerimaan di luar APBN
masih berlangsung di semua institusi keamanan.
Kedua, kegagalan mencocokkan antara kerangka kerja
sistem keamanan nasional yang dapat memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat.
Dari titik ini yang muncul malah DPR seakan hanya
menyetujui keluhan minimnya anggaran yang
disampaikan pemerintah. Namun, dengan demikian
pula kenaikan anggaran dari tahun ke tahun, hasilnya
makin tidak selaras dengan tingkat kepuasan publik,
yang dari waktu ke waktu terus merosot terhadap
kinerja semua institusi keamanan.
Kebijakan anggaran masih terlihat tambal sulam,
padahal masalah ini bisa diatasi bila pemerintah
bersama dengan DPR mau membuat perencanaan
anggaran yang lebih baik, untuk memenuhi hasil
yang lebih baik dari anggaran yang kecil. Sayangnya,
selain menyerah kepada kemauan pemerintah, panitia
Studi
Referensi