Anda di halaman 1dari 38

SEMINAR KASUS

PRAKTIK PROFESI NERS DIVISI KEPERAWATAN ANAK


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS (TEN)
DI RUANG BONA 2 RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

Oleh:
Nabela Nurma Maharani

131523143079

Fatma Risda Hidayanti

131523143080

Kurnia Dwi Sucianti

131523143081

I Komang Leo Triandana Arizona

131523143073

Yanuar Aga Nugraha

131523143074

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkah dan rahmat yang diberikan,
sehingga penulisan makalah seminar profesi keperawatan anak dengan kasus Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN) di Ruang Bona 2 Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya dapat terselesaikan.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang bagaimana konsep keperawatan
pada anak dengan gangguan sistem persarafan dan penatalaksanaan serta asuhan keperawatan yang
tepat.
Penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari berbagai hambatan. Oleh karena itu,
masukan dan saran kami harapkan untuk perbaikan seminar selanjutnya. Sehubungan dengan hal
tesebut, kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Suparmiasih, S.Kep., Ns dan Ibu Kristiawati,
S.Kep., Ns., M. Kep., selaku fasilitator. Terima kasih juga kami sampaikan kepada mahasiswa
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dan semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian
makalah ini.

Surabaya, Mei 2016


Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reaksi imunologik yang merugikan terhadap obat melibatkan semua jenis mekanisme
hipersensitivitas yang dikenal. Reaksi-reaksi ini terjadi pada sekitar 2 sampati 3% populasi dan
merupakan 6 sampai 15% dari semua reaksi obat yang merugikan. Mekanisme non-imunologik
(yaitu reaksi idiosinkratik, efek samping, teratogenisitas, kelebihan dosis dan interaksi antarobat)
merupakan penyebab dari sisanya. Obat-obat tertentu dapat menimbulkan serum sickness, urtikaria,
dermatitis kontak, erupsi makulopapular, dermatitis eksfoliativa, eritema difus, anemia hemolitik,
nefritik, interstisialis dan penumonitis eosinifilik, yang semuanya menlibatkan respon imun yang
lebih kompleks daripada sekedar IgE. Demikian juga, sejumlah obat lain, misalnya sulfonamide,
fentoin, fenobarbital dan karbamazepin, dapat memicu reaksi peradangan multisistem melalui
mekanisme rumit yang belum dipahami yang tidak semata-mata disebabkan oleh IgE. Alergi obat
lebih jarang terjadi pada anak daripada dewasa dan sering pada pasien yang pernah mengalami
reaksi alergi terhadap obat lain. Inseiden reaksi meningkat pada pemakaian obat multipel,
perempuan, penyakit tertentu (misal Lupus eritematosus sistemik), dan mungkin melalui faktor
genetik yang belum diketahui.
Nekrolisis epidermal toksik (TEN) ditemukan pertama kali pada tahun 1956, sebanyak 4 kasus
oleh Alana Lyell, penyakit ini biasanya juga disebut sindrom Lyell. TEN ditemukan oleh Alana
Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit akibat terkena cairan
panas (scalding).Kondisi toksik mengacu pada beredarnya zat toksin dalam peredaran darah, dahulu
kondisi ini dipikirkan sebagai penyebab dari gejala-gejala nekrolisis epidermal toksik.Lyell
menggunakan istilah nekrolisis dengan menggabungkan gejala klinis epidermolisis dengan
gambaran histopatologi nekrosis. Beliau juga menggambarkan keterlibatan pada membran mukosa
sebagai bagian dari sindrom, dan ditemukan hanya terjadi sedikit inflamasi di daerah dermis,
sebuah tanda yang kemudian disebut dermal silence.
Penyebab TEN belum jelas, tetapi obat-obatan (sulfonamid dan butazones) dan spesies
Staphylococcus merupakan penyebab utama. Akibatnya, istilah-istilah sepertistaphylococcalinduced toxic epidermal necrolysis dan drug-induced scalded skin syndrome menang selama
beberapa dekade, tetapi sekarang dipisahkan karena terapi dan prognosisnya berbeda. Oleh karena
itu nekrolisis epidermal toksik atau TEN merupakan penyakit erupsi kulit yang umumnya timbul
akibat obat-obatan dengan lesi berupa bulla, dengan penampakan kulit seperti terbakar yang
menyeluruh.

1.2 Tujuan
1.3 Rumusan Masalah
1.4 Manfaat

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Imun
2.1.1 Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Menurut Gell dan Coombs
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi.
Pembagian Gell dan Coombs dibuat sebelum analisis yang mendetail mengenai subset dan fungsi
sel T diketahui. Bedasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi, telah dikembangkan
beberapa modifikasi klasifkasi Gell dan Coombs yang membagi lagi tipe IV dalam beberapa subtipe
reaksi. Meskipun reaksi Tipe I, II, dan III dianggap sebagai reaksi humoral, sebetulnya reaksi-reaksi
tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran selular. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas Gell
dan Coombs dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tipe I
Reaksi IgE

Tipe II
Reaksi

Tipe III
sitotoksik Reaksi kompleks imun

(IgG/IgM)
Ikatan silang antara Ab terhadap antigen Kompleks
antigen dan IgE

permukaan

sel

yang diikat sel

menimbulkan

mast dan basofil

destruksi

melepas

dengan

mediator

komplemen atau

vasoaktif

ADCC

Tipe IV
Reaksi selular

Ag-Ab Sel Th1 yang disensitasi

mengaktifkan

melepas sitokin yang

komplemen

dan

mengaktifkan

sel

respons

inflamasi

makrofag atau sel Tc

bantuan

melalui

infiltrasi

yang berperan dalam

masif neutrofil

kerusakan

jaringan.

Sel

dan

Th2

Tc

menimbulkan respons
Manifestasi
anafilaksis
sistemik
lokal
rhinitis,

sama
khas: Manifetasi khas: reaksi Manifestasi

khas: Manifestasi
reaksi
dan
seperti

transfusi,

lokal seperti Arthus

dermatitis kontak, lesi

eritoblastosis

dan sistemik seperti

tuberkulosis

fetalis,

serum

penolakan tandur

anemia

asma,

hemolitik

vaskulitis

urtikaria, alergi

autoimun

nekrosis,

makanan

dan

ekzem.
2.1.2

khas:

sickness,

dan

dengan

glomerulonefritis,
AR dan LES

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III


Dalam keadaan normal kompeks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eitrosit ke hati,

limpa dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa
bantuan komplemen. Paada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat
dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, kkarena
itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan

salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sult dimusnahkan. Meskipun kompleks imnun
berada di dalam sirkulasi dalam waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasaahan akan
timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.
1) Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup
(spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit
autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons
antibodi yang efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks
imun sehingga makrofag drangsang terus menerus untuk melepaskan berbagai bahan yang dapat
merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat juga IgA)
diendapkan di membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks
yang terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta
influks neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan
setempat.
2) Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat, antara lain karena histamin
yang dilepas sel mast.
3) Bentuk Reaksi
Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik.
a. Reaksi lokal atau Fenomena Arthus
Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali di tempat
yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi
eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan
harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6
menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena Arthus
yang merupakan bentuk dari reaksi kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah jenis
presipitin.
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlhat neutrofil menempel pada endotel vaskular dan
bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan
jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi cairan (edema) dan SDM (eritema) sampai nekrosis.

Reaksi Tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein
fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonia atau alveolitis atau Farmers Lung.
C3a dan C5a (anafilaktosin) yang terbetuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edema. C3a dan C5a berfungsi juga
sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan
menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilaktosin adalah pembuluh darah
kecil, sel mast, otot polos dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi
sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit. Neutrofil yaang
diaktifkan memakan kompleks imun daan bersama dengan trombosit yang digumpalkan
melepaskan berbaga bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi
perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
Pemeriksaan munoflouresen, antigen, antibodi, dan berbagai komponen komplemen dapat
ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah
granulosit menurun, maka kerusakan khas dari Arthus tidak terjadi. Reaksi Arthus di dalam klinik
dapat berupa vaskulitis.
b. Reaksi tipe III sistemik Serum sickness
Antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat membentuk kompleks
imun. Bila antigen jauh berlebihan dibanding antibodi, kompleks yang dibentuk lebih kecil yang
tidak mudah dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan Tipe III di
berbagai tempat. Dahulu reaksi Tipe III sistemik demikian sering terlihat pada pemberian antitoksin
yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau antidifteri asal kuda.
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan melepas
anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan
MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan
polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan
darah yang meninggi dan disertai putaran arus. Misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi
pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata. Pada LES, ginjal merupakan tempat
endapan kompleks imun. Pada arthritis rematoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG
(FR berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di sendi.
Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas
amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskular dan inflamasi. Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan
kompleks imun. Neutrofil yang terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan memakan

kompleks, tetapi akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak
kerusaka jaringan, makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara
lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Dalam beberapa hari sampai minggu setelah
pemberian serum asing, mulai terlihat manifestasi panas dan gatal, bengkak-bengkak, kemerahan
dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh, sendi dan KGB yang dapat berupa vaskulitis sistemik
(artertis), glomerulonefritis, dan artritis. Reaksi itu disebut Piquet dan Schick.
Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (Tipe III) yang terjadi sesudah pemberian
pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (sifilis, tripanosomiasis dan bruselosis). Bila
mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah besar, sejumah antigen juga cenderung dilepas dalam
jumlah besar yang cenderung bereaksi dengan antibodi yang sudah ada dalam sirkulasi.
2.1.3

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV


Baik CD4 maupun CD8+ berperan dalam reaksi Tipe IV. Sel T melepas sitokin, bersama

dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada
penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal. Dewasa ini reaksi
hipersensitivitas Tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4 + dan T Cell
Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.
1) Delayed Type Hypersensitivity (DTH) Tipe IV
Reaksi Tipe IV merupakan hipersensitvitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadap bahan
yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh. Ada beberapa fase pada respons Tipe IV yang
dimulai dengan fase sensitisasi yang membuthkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan
antigen. Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Reaksi khas DTH seperti respons
imun lainnya mempunyai 2 fase yang dapat dibedakan yaitu fase sensitisasi dan fase efektor.
Berbagai APC seperti sel Langerhans (SD di kulit) dan makrofag yang menangkap antigen dan
membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T. Sel T yang diaktifkan
pada umumnya adalah sel CD4+ terutama Th1, tetapi pada beberapa hal sel CD8+ dapat juga
diaktifkan. Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel efektor. Pada fase efekto, sel Th1
melepaskan berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi
nonspesifik lain. Gejala biasanya baru nampak 24 jam sesudah kontak kedua dengan antigen.
Makrofag merupakan efektor utama respons DTH. Sitokin yang dileppas sel TH1 menginduksi
monosit menempel ke endotel vaskular, bermigrasi dari sirkulasi darah ke jaringan sekitar.
Influks makrofag yang diaktifkan berperan pada DTH terhadap parasit dan bakteri intraselular
yang tidak dapaat ditemukan oleh antibodi. Enzim litik yang dilepaskan makrofag menimbulkan

destruksi nonspesifik patogen intraselular yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan.
Pada beberapa hal, antigen tidak mudah dibersihkan sehingga respons DTH memanjang dan dapat
merusak jaringan pejamu dan menimbulkan reaksi granuloma. Granuloma terbentuk bila makrofag
terus-menerus diaktifkan dan menempel satu dengan lainnya yang kadang berfusi membentuk sel
datia multinuklear yang disebut sel datia. Sel datia tersebut mendorong jaringan normal dari
tempatnya, membentuk nodul yang dapat diraba dan melepas sejumlah besar enzim litik yang
meusak jaringan sekitar. Pembuluh darah dapat dirusak dan menimbulkan nekrosis jaringan.
2) Sitokin yang Berperan pada DTH
Di antara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan mengaktifkan makrofag
ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi hematopoiesis lokal dan dari sel garis granulositmonosit. IFN- dan TNF- beserta sitokin asal makrofag (TNF- dan IL-1) memacu sel endotel
untuk menginduksi sejumlah perubahan yang memudahkan ekstravasasi sel seperti monosit dan sel
nonspesifik lainnya. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi menempel pada molekul adhesi sel
endotel dan bergerak keluar dari vaskular menuju rongga jaringan. Neutrofil tampak dini pada
reaksi, memuncak pada 6 jam. Infiltrasi monosit terjadi antara 24-48 jam setelah pajanan dengan
antigen. Monosit yang masuk jaringan menjadi makrofag yang ditarik ke tempat DTH oleh kemokin
seperti MCP-1/CCL2. MIF mencegah makrofag untuk bermigrasi keluar dari lokasi reaksi DTH.
IFN- dan TNF- yang diproduksi sel CD4 + Th1 mengaktifkan makrofag lebih aktif berperan
sebagai sel efektor dan sebagai APC yang melepas IL-12 yang akhirnya menginduksi Th1 dan lebih
efektif memproduksi IFN- yang menekan aktivitas sel Th2 dan mengaktifkan makrofag yang
menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan yang disebabkan oleh produk makrofag
yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin
proinflamasi. IL-18 adala sitokin lain yang diproduksi makrofag yang bersama IL-12 memacu Th1
untuk lebih banyak memproduks IFN-. Respons yang sifatnya menetap itu merupakan pisau
bermata dua antara respons proteksi yang menguntungkan dan respons yang merusak yang ditandai
oleh kerusakan jaringan.
2.2 Alergi Obat
Reaksi obat yang merugikan dapat didefinisikan sebagai konsekuensi pemberian agen yang
tidak diinginkan, selama atau sesudah perjalanan terapi. Reaksi yang merugikan dibagi menjadi dua
kelompok : reaksi yang tergantung pada mekanisme farmakologis dan yang tergantung pada
mekanisme imunologis (alergi obat).
Reaksi obat terjadi atas dasar model jejas imun yang telah diketahui. Model ini adalah: 1.
Reaksi yang diperantari Imunoglobulin E, 2. Reaksi sitotoksik akibat pengikatan hapten pada

membran sel dan selanjutnya reaksi dengan antibodi angtihapten, 3. Reaksi kompleks imun dimana
kompleks imun antibodi-obat dengan afinitas pada membran sel mengaktifkan sistem komplemen,
menyebabkan kerusakan membran sel, 4. Reaksi yang disebabkan oleh pembentukan auto antibodi,
dan 5. Reaksi yang disebabkan oleh mekanisme yang diperantarai-sel. Kebanyakan obat adalah
bahan kimia sederhana dengan berat molekul kurang dari 1000 dan jarang imunogenik. Barang
dengan berat molekul rendah dapat berperan sebagai hapten dan berperan menjadi imunogenik
sesudah pengikatan kovalen kimia dengan protein jaringan membentuk gabungan obat-protein.
Pembentukan kompleks hapten-protein diperlukan untuk interaksi sel T- sel B makrofag yang
menghasilkan antibodi humoral spesifik-hapten dan imunitas seluler. Pada umumnya, hanya obatobat (atau pecahannya atau produk-produk metabolitnya) dengan reaktivitas kimia.
2.2.1

Manifestasi Klinis
Erupsi kulit merupakan manifestasi reaksi obat yang merugikan, yang paling sering terjadi

pada anak. Yang menonjol adalah erupsi urtikaria, eksantematosa, dan eksematoid, tetap hampir
setiap morfologi dapat terjadi; dermatitis eksfoliatif (penisilin, sulfonamida, fenotiazin, antikonvulsan), dermatosis bullosa( termasuk nekrolisis epidermal) eritema multiformis, sindrom
stevens johnson (sulfonamida, penisilin, barbiturat, antikonvulsan, terutama fenitoin), erupsi
petekhia, sindrom Lyell (penisilin, barbiturat, antikonvulsan, isoniazid),erupsi likhenoid, fotodermatitis (demetilklortetrasiklin dan fenotiazin) dan erupsi obat tetap (fixed).
Penyakit gagal ginjal atau paru pascaterapi obat jarang terjadi selama masa kanak-kanak.
Kadang-kadang ada laporan nefritis interstisial akibat fenitoin dengan bukti in vitro reaksi imun
seluler. Pada anak yang sedang diobati dengan nitrofurantoin, demam, batuk dan infiltrasi paru
memberi kesan yang kuat terhadap reaksi obat yang merugikan.
Bila anak yang telah mendapat terapi antimikroba lama menderita demam menetap tanpa
penyebab lainnya, harus dipikirkan demam obat. Demam obat sering dicurigai tetapi jarang terbukti
dan biasanya tidak terjadi sebagai satu-satunya manifestasi reaksi obat yang merugikan. Sering ada
ruam yang terjadi pada waktu yang bersaman. Diagnosis mudah dibuat bila obat dihentikan dan
demam turun dalam 24-48 jam.
Reaksi akibat obat, diperantarai secara imunologis, yang melibatkan hati sangat jarang pada
anak; tidak seperti pada orang dewasa. Hal yang sama juga terjadi pada gangguan granulosit dan
trombosit akibat-obat; mayoritas dari keseluruhan reaksi inin adalah toksik.
2.2.2

Patogenesis
Respon imun pada reaksi hipersensitivitas mungkin ditujukan pada obat itu sendiri, pada

salah satu metabolitnya, adata pada komponen pejamu yang berubah akibat obat. Alergen obat
biasanya adalah hapten yang belum memicu respons imun, sampai berikatan secara kovalen dengan

protein pembawa dari pejamu. Konjugat hapten-pebawa kemudian mampu memicu respons imun
hormonal dan selular pada orang yang sama. Tipe respons imun predominan akan menentukan pola
hipersensitivitas secara klinis. Reaksi anafilatik diperantarai oleh antibody IgE. Anemia hemolitik
diperantarai olah antibody IgG atau IgM yang ditujukan pada obat yang terikat ke membran sel
darah merah, atau ke protein pejamu abnormal yang terdapat di sel darah merah (misal antigen Rh
yang berubah akibat metildopa) atau oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang berikatan dengan sel
darah merah melalui reseptor komplemen (seperti pada hipersensitivitas fenasetin). Serum sickness
yang dipicu oleh obat disebabkan oleh IgE dan IgG, hiperensitivitas kontak diperantarai oleh
limfosit T yang bereaksi dengan konjungat hapten-pembawa. Walaupun mekanisme imunologik
pada reaksi terhadap penisilin atau turunannya sudah banyak dipahami, tetapi informasi mengenai
hipersensitivitas terhadap obat lain terbatas. Antikejang aromatik (fenitoin, fenobarbital, dan
karbamazepin) memicu timbulnya dermatitis dan hepatitis pada sejumlah kecil pasien, mungkin
sebagai respons pejamu terhdap protein yang termodifikasi oleh metabolit reaktif dari obat-obat
tersebut. Ketiga obat antikejang ini memiliki metabolit reaktif intermediate yang serupa, pasien
yang peka terhadap salah satu jenis obat akan beresiko untuk bereaksi terhadap jenis obat kelompok
ini.
2.2.3

Diagnosis
Ruam adalah alergi obat yang paling sering muncul. Riwayat pruritus merupakan faktor

kunci untuk mengetahui apabila ruam memiliki dasar alergi. Ruam eksantematosa melebihi ruam
urtikaria, yang mengalahkan ruam lain. Manifestasi hipersensitivitas obat di kulit dengan
imunologik yang belum jelas antara eritema multiforme (syndrome Stevens Johnson), reaksi tipe
hepatitis dermatitis eksfoliativa, erupsi obat fikstum purpura, vaskulitis, nekrolisis epidermal toksis,
eritema nodosum, dan erupsi fotosensitivitas. Obat-obat yang sering menyebabkan reaksi-reaksi di
atas antara lain sulfonamide, penisilin, sefalosporin, nitrofurantion, barbiturat, insulin dan fenitoin.
Alergi terhadap penislin semisintetik merupakan masalah utama pada pasien dengan fibrosis kistik.
Uji kulit adalah cara untuk mendeteksi antibody IgE yang paling sensitive terhadap obat. Uji
ini telah digunakan untuk mendeteksi alergi terhadap penisilin dan turunannya, validasi uji kulit
untuk sebagian besar obat lain belum dipastikan. Alergi terhadap tutunan haptenik utama penisilin
(determinan benzilpenisiloil) lebih sering berkaitan degnan reaksi urtikaria dan reaksi mirip serum
sickness, sementara alergi terhadap determinan minor (missal penisiloat) lebih sering berhubungan
dengan reaksi anafilatik. Saat ini, satu-satunya reagen uji kulit penisilin yang tersedia adalah
benzilpennisiloilpolilisin (Pre-Pen) dan obat asli (yang cukup determinan minor). Untuk uji
intradermis dan uji tusuk kulit menggunakan pengenceran serial reagen. Tempat percoban diperiksa
untuk melihat ada tidaknya reaksi wheal-and flare selama 15 menit. Pemeriksaan dengan reagen
dihentikan pada pengenceran pertama yang member hasil reaksi 1+ atau lebih. Uji kulit tipe cepat
yang postitif terhadap satu atauu lebih reagen dikatakan berkaitan dengan reaksi hipersnsitivitas tiep
cepat pada dua pertiga pasien yang kemudian diberi obat yang bersagkutan. Dipihak lain, hany 6%

pasien dengan hasil uji kuli tipe cepat yang negative tetapi memiliki riwayat reaksi alergi tipe cepat
sebelumnya dan 2% pasien dengan hasil uji kulit dan riwayat negatif, mengalami raksi alergi, dan
tidak ada yang bersifat tipe cepat.
2.2.4 Penatalaksanaan
Pengobatan alergi obat terdiri dari penghentian obat segera dan pemberian epinefrin,
antihistamin, dan steroid untuk menghilangkan gejala. Apabila pasien pernah mengalami reaksi
urtikasi atau reaksi tipe anafilaktik dan harus melanjutkan obatnya, dapat diusahakan desensitisasi.
Protokol desensitisasi oral terhadap penisilin telah dipublikasikan. Desensitisasi terhadap penisilin
semisintetik sering diperlukan pada pasien pediatric dan mungkin diberikan secara inravena,
dimulai dengan dosisi 10-6 dosis trapeutik dalam 50mL lartan dekstrosa 5%, natrium klorida 0,2%.
Secara berturut-turut diinfuskan konsesntrasi lebih tinggi sepuluh kali lipat, masing-masing selama
30-45 menit sampati tercapai dosis terapeutik, dan kemudian dilanjutkan. Reaksi obat yang tidak
diperantarai terutama oleh IgE tidak berespons dengan protocol desensitisasi. Apabila timbul reaksi
kulit orbiliforis terhadap obat, misalnya fenitoin dan fenobarbital, obat harus dihentikan sesegera
mungkin bila terdapat kecurigaan diagnosis ini. Desensitisasi tidak dilakukan pada para pasien
dengan reaksi imunologis yang rumit ini karena pemberia obat selanjutnya dapat menyebabkan
dermatitis eksfoliativa berat dengan hepatitis yang berpotensi mematikan.
Reagen

Aplikasi

Pengencera

Konsentrasi

Waktu (menit)

10
10-2
Stok
10-4

10 U/mL
103 U/mL
105
10 U/mL

0
15
30
45

10-2
Stok

103
105
6 x 10-5 molar
6 x 10-5 molar
20 g/mL
2 mg/mL
200 g/mL
20 g/mL
2 mg/mL
200 mg/mL

n
a

Benzilpenisilin

Tusuk
Tusuk
Tusuk
Intradermis

-4

Intradermis
Intradermis
Tusuk
Intradermis
Tusuk
Tusuk
Tusuk
Intradermis

60
75
Penisiloil polilisin
0
(Pre-Pen, Kremers)
45
c
-4
Turunan penisilin
10
0
-2
10
15
Stok
30
-4
10
45
10-2
60
Stok
75
Salin berdapar pospat (PBS)
Tusuk
0
Intradermis
45
Histamin fosfat
Tusuk
Stok
1 mg/mL
0
Interpretasi uji tusuk kulit: negative=ukuran wheal<2mm>PBS; 1+=2mm>PBS; 2+=3 sampai

5mm; 3+=6mm>PBS
b

Interpretasi

hasil

uji

kuli

interdermis

(disuntikan

wheal<3mm>PBS:1+mm>PB: 2+=8 sampai 12mm>PS;3+=>12

0,002mL):

negatif=ukuran

Turunan penisilin yang dapat menerapkan metode ini, karbenisilin, tikarsilin, piperasilin,

mezosilin dan azosilin.


2.3 Steven Johnson Syndrome (SJS)
2.3.1 Definisi
Sindroma Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh
trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya
antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindroma muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis (Harsono, 2006).
2.3.2

Etiologi
Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun

pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50% penyebab SJS
adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat Sulfonamid, beta-lactam, imidazol dan NSAID,
sedangkan peringkat menengah adalah quinolon, antikonvulsan aromatik dan alopurinol. Beberapa
faktor penyebab timbulnya SJS diantaranya: infeksi (virus herpes simplex, dan Mycoplasma
pneumoniae), makanan (coklat), dan vaksinasi. Faktor fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X)
rupanya berperan sebagai pencetus (trigger).
2.3.3

Patofisiologi
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi

hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh karena proses hipersensitivtas, maka terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi: 1) kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, 2) stres hormonal
diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, 3) kegagalan
termoregulasi, 4) kegagalan fungsi imun, dan 5) infeksi. Timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe III
(reaksi kompleks imun) disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan
antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik (Harsono, 2006).
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks Antigen Antibodi yang membentuk
Mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistim komplemen. Akibatnya terjasi Akumulasi Neutrofil yang
kemudian melepaskan Lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (Target Organ).
Reaksi tipe IV terjadi akibat Limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian Limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Monica, 2006).

Salah satu teori menyatakan akumulasi metabolit obat pada epidermis secara
genetik dipengaruhi oleh proses imunologi setiap individu . Limfosit T CD8+ dan makrofag
mengaktifkan proses inflamasi yang menyebabkan apoptosis sel epidermis .
2.3.4

Pemeriksaan Penunjang

1)
a.
b.
c.
d.
2)
a.

Pemeriksaan laboratorium:
Tidak terdapat tes laboratorium yang spesifik yang mengindikasi Steven-Johnson Syndrome.
Pemeriksaan darah ditemukan neutropenia (tidak digunakan sebagai landasan prognostik).
Pemeriksaan elekrolit ditemukan proteinuria.
Pada pemeriksaan dapat membantu perencanaan dalam terapi simtomatik dan terapi suportif.
Pemeriksaan Dermatopatologi terhadap hasil biopsi kulit:
Fase awal: Terdapat vakuolisasi dan nekrosis dari keratinosit pada stratum basal dan apoptosis

pada epidermis.
b. Fase laten: Nekrosis total pada pada lapisan epidermis dan terjadi robekan sehingga epidermis
lepas dengan lapisan subepidermal pada membran basalis. Terdapat infiltrat limfosit yang tipis
di dermis.
3) Tes enzim liver : untuk mengetahui apakah ada kerja enzim enzim liver efektif dalam
metabolisme obat-obatan.
4) Pemeriksaan CD4 T limfosit pada fase akut, akan terjadi penurunan karena adanya apoptosis.
5) Analisa histopatologik terhadap biopsi pada kulit, dihasilkan pada fase awal terjadinya
epidermolisis, dan sangat penting untuk menunjang tegaknya diagnosis yang akurat dan
terarah.
2.3.5 Manifestasi Klinis
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan, nyeri
dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi
gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di:
Kulit; berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa
(mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta
berwarna merah. Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea.
2.3.6

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pruritus/gatal bisa dipakai feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan
dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari, diphenhidramin hidrokloride (Benadril) 1mg/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;
>6 tahun: 5-10 mg/dosis,1 kali/hari, terutama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai
penyebab SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simpleks dan Mycoplasma pneumoniae
harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.
1)
2)
3)
4)

Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala.


Blister kulit bisa dikompres basah dengan larutan larutan burowi.
Papula dan makula pada kulit baik intak diberikan steroid topikal, kecuali kulit yang terbuka.
Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi adalah _lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spektrum
luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan

darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 816 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari.
5) Kotikosteroid: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,20,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa
peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan bahwa kortikosteroid akan
menurunkan beratnya penyakit, mempercepat konvalesensi, mencegah komplikasi berat,
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literatur
menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara
memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi.
Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen
sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid berargumentasi bahwa
kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi
tanda awal sepsis, perdarahan gastro-intestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang
harus dipertimbangkan yaitu harus tappering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 35 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in
orabase.
6) Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6
masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian
keratinosit yang dimediasi FAS.
Perawatan konservatif ditujukan untuk perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka
bakar. Koordinasi dengan unit luka bakar sangat diperlukan.
1) Terapi cairan dan elektrolit, lesi kulit yang terbuka seringkali disertai pengeluaran cairan
disertai elektrolit.
2) Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan
asupan makanan dan minuman.
3) Pengendalian nyeri. Penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak digunakan
untuk mengatasi nyeri.
4) Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata memberikan
airmata artifisial, atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder.
5) Secara rutin pasien juga kita konsulkan ke bagian kulit dan kelamin untuk perawatan yang
komprehensif. Konsultasi ke bagian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit
terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.
2.4 Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
2.4.1 Definisi
Nekrolisis epidermal toksik (TEN) untungnya sangat jarang terjadi karena sering berakibat fatal.
Penyakit ini ditandai dengan pelepuhan dan pengelupasan lapisan teratas kulit. Lesi-lesi yang terbentuk

menyerupai luka bakar yang parah dan perlu dibedakan dari sindrom kulit melecur staphylococcal, yang
memiliki kenampakan mirip tetapi lepuh muncul lebih dekat ke permukaan kulit. Biopsi kulit sering
diperlukan untuk membedakan kedua penyakit ini. TEN adalah bentuk yang parah dari Sindrom
Stevens-Johnson (SJS). Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10% disebut

Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis


Necroticans (SJS-TEN), lebih dari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN).
2.4.2

Etiologi

Sekitar 80% penyebab TEN adalah obat. TEN paling sering disebabkan oleh reaksi berbahaya
terhadap sebuah obat, meski terkadang muncul pada pasien yang tidak memakai obat apapun. Penyebab
non-obat mencakup infeksi bakteri dan virus, tumor ganas, vaksinasi atau tidak ada penyebab yang jelas
(idiopatik). Obat yang diketahui menyebabkan TEN mencakup: Antibiotik - Sulfonamida - Penisilin Makrolida - Quinolon Allopurinol NSAID (obat anti-inflammatory nonsteroid) Atikonvulsan (obat
antiepilepsi).

2.4.3

Patofisiologi
Sama halnya dengan SJS, Patogenesis NET belum diketahui secara pasti, diduga merupakan

reaksi alergi tipe III dan IV (Saraswati, 2016). Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks
Antigen Antibodi yang membentuk Mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistim komplemen. Akibatnya
terjasi Akumulasi Neutrofil yang kemudian melepaskan Lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (Target Organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat Limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali
dengan antigen yang sama, kemudian Limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Monica, 2006).

2.4.4

Pemeriksaan Penunjang

SCORTEN adalah skor keparahan sakit yang dibuat untuk memprediksikan tingkat mortalitas pada
kasus SJS dan TEN. Poin 1 diberikan untuk masing-masing dari tujuh kriteria yang ada pada saat
perujukan ke rumah sakit. Kriteria ini adalah:
1) Usia di atas 40 tahun
2) Ada tumor ganas (kanker)
3) Denyut jantung >120
4) Persentase awal pengelupasan epidermal >10%
5) Kadar urea serum >10 mmol/L
6) Kadar glukosa serum >14 mmol/L
7) Kadar bikarbonat serum <20 mmol/L

Tingkat mortalitas diprediksikan sebagai berikut:


SCORTEN 0-1: berarti >3,2% tingkat mortalitas
SCORTEN 2: berarti > 12,1%
SCORTEN 3: >35,3%
SCORTEN 4: >58,3%
SCORTEN 5: atau lebih >90%.
2.4.5

Manifestasi Klinis

TEN biasanya bermula dengan 2-3 hari gejala seperti flu yang mencakup demam, batuk, luka
tenggorokan, hidung beringus, dan sakit serta nyeri yang umum. Ini diikuti dengan fase kritis yang
pada umumnya berlangsung 8 sampai 12 hari. Tanda-tanda dan gejala-gejala fase ini mencakup:
1) Demam terus menerus.
2) Konjungtivitis (sore eyes) yang biasa terjadi 1-3 hari sebelum lesi kulit muncul.
3) Ruam dini yang mirip campak (bintik merah kecil) berkembang menjadi kulit kemerahmerahan yang meluas dan terasa sakit.
4) Pengelupasan menyeluruh pada kulit dan membran mukus tanpa pembentukan lepuh berisi
cairan. Kulit yang terkelupas menyisakan lapisan dalam yang terbuka, kemerahan, dan terasa
nyeri
5) Bibir berdarah atau pecah-pecah yang membentuk kerak.
6) Nyeri parah.
2.4.6

Penatalaksanaan

TEN merupakan status gawat darurat medis yang berpotensi mengancam keselamatan pasien
sehingga memerlukan diagnosis dan pengobatan dengan segera. Jika ditimbulkan oleh obat, obat
yang diduga sebagai penyebab harus segera dihentikan pemakaiannya. Pengobatan lain yang tidak
perlu harus segera dihentikan.
Pasien harus dirawat inap di rumah sakit dan dirawat oleh perawat khusus, seringkali di unit
perawatan intensif. Pada beberapa situasi pasien bisa dirawat di unit luka bakar. Aspek-aspek
penting dari perawatan mencakup:
1) Resusitasi cairan dan elektrolit.
2) Antibiotik intravena untuk infeksi.
3) Penatalaksanaan nyeri.

4) Dukungan gizi.
5) Perawatan luka Debridema (pengangkatan) jaringan mati secara bedah
6) Kemungkinan penggunaan immunoglobulin intravena, siklosporin, plasmaferesis atau oksigen
hiperbarik. Steroid sistemik tidak lagi direkomendasikan.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Kardiovaskuler
B2 (Blood)

Pernafasan B1 (Braeth)

ROS

danRiwayat
Identitas
Sakit

Tanggal Pengkajian :16 Mei 2016


Tanggal MRS
:2 Mei 2016
Ruang/Kelas
:Isolasi
Identitas Anak
Nama
: AnD
Tanggal Lahir
:10-06-2010
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
6 tahun
Keluhan Utama :: lepuh
pada hampir

Jam
: 11.00 WIB
No. RM
: 12.50.15.49
Dx Medis
: TEN
Identitas Orang Tua
Nama Ayah
: Tn A
Nama Ibu
: Ny. M
Pekerjaan Ayah/Ibu : Swasta/IRT
Ayah/Ibu
:
seluruhPendidikan
tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang : 12 hari sebelum MRS klien mengeluh batuk


dan lecet di kemaluan karena bersepeda, kemudian periksa ke dr umum,
mendapat terapi asam mefenamat, CTM, dexametason. Terapi dikonsumsi
selama 2 Pertumbuhan
hari, kemudian muncul luka kehitaman pada mulut. Pasien dibawa
Riwayat
BB saat ini
:16 kg
BB lahir
: 3200 gram
BB sebelum sakit : 21kg
BBI :
66% (gizi buruk might)
Panjang lahir : 50 cm
PB/TB saat ini
:114cm
Observasi dan Pemeriksaan Fisik (ROS : Review of System):
Keadaan Umum
:
Baik
Sedang
Lemah
Kesadaran
: composmentis
Tanda vital
: Nadi : 120 x/mt Suhu :36,7oC RR :24 x/mt TD :110/70
mmHg
Bentuk Dada
:
Normal Tidak, Jenis: Pola Napas :
Irama
:
Teratur
Jenis
:
Lain:
Suara Napas
:
Lain-Lain
Sesak Napas
:
Retraksi Otot Bantu Napas :
Suprasternal
Alat Bantu Pernapasan :

Tidak Teratur
Dispnoe
Kusmaul

Ceyne Stokes Lain-

Vesikuler

Stridor

Wheezing

Ya

Tidak
ICS

Ada
Ya

Batuk :
Ya
Supraklavikular

Tidak Ada
Nasal Masker

Ronchi
Tidak

Respirator (

Tidak
Lain-Lain
:
Irama Jantung Masalah
:
S1/S2 Tunggal
: tidakReguler
ditemukan Ireguler
masalah keperawatan
Ya
Tidak
Nyeri Dada :
Ya
Tidak
Bunyi Jantung:
Normal
Murmur
Gallop
Lain-Lain
CRT
:
<3 dt
>3 dt
Akral
:
Hangat
Panas
Dingin Kering
Dingin Basah
Lain-lain
:Masalah : tidak ditemukan masalah keperawatan

lpm)

Persyarafan & Penglihatan B3 (Brain)

GCS
Reflek Fisiologis :

Eye : 4
Verbal : 5
Motorik : 6
Total : 15
Menghisap
Menoleh
Mengenggam
Moro
Patella
Triceps
Biceps
Lain-Lain
Refleks Patologis
:
Babinsky
Budzinsky
Kernig
Lain-Lain
Lain-Lain
:Istirahat / Tidur : 9 Jam/Hari
Gangguan Tidur: tidak ada ganguan tidur
Kebiasaan Sebelum Tidur :
Minum Susu
Mainan
Cerita/Dongeng
Penglihatan (Mata)
Pupil
:
Isokor
Anisokor
Lain-Lain : Sclera/Konjungtiva :
Anemis Ikterus
Lain-Lain : Gangguan Penglihatan: Ya
Tidak
Jelaskan: Pendengaran/Telinga
Gangguan Pandangan: Ya
Tidak
Jelaskan: Penciuman (Hidung)
Bentuk
:
Normal
Gangguan Penciuman:

Tidak
Ya

Jelaskan: Tidak

Jelaskan: -

Pencernaan B5 (Bowel)

Perkemihan B4
(Bladder)

Masalah : tidak ditemukan masalah keperawatan


Kebersihan
:
Bersih
Kotor
Urin
:
Jumlah : 1300 cc/hari
Warna : kuning
Bau: khas
urin
Balance cairan
: intake (output + IWL) = 2050 cc - 1630 cc = 420 cc
Alat bantu (kateter dan lain-lain):
Kandung Kencing
:
Membesar Ya
Tidak
Nyeri Tekan
Ya
Tidak
Alat Kelamin
:
Normal
Tidak Normal, Sebutkan....................
Uretra
:
Normal
Hipospadia/Epispadia
Gangguan
:
Anuria
Oliguri
Retensi
Inkontinensia
Nafsu makan Masalah
:
Baik
Menurun
Frekuensi
: tidak ditemukan
masalah
keperawatan
x/hari
Porsi makan :
Habis
Tidak
Ket: pasien tidak bisa makan
karena ada luka di mulut
sehingga sulit untuk
mengunyah dan menelan
Minum
: 800 cc/hari
Jenis : susu
Mulut dan tenggorokan
Mulut
:
Bersih
Kotor
Berbau
Mukosa
:
Lembab
Kering
Stomatitis
Tenggorokan
:
Sakit /nyeri telan
Kesulitan menelan
Pembesaran tonsil
Lain-lain
Abdomen
Perut
:
Tegang
Kembung
Ascites Nyeri tekan, lokasi :
Peristaltik : 23 x/menit
Pembesaran hepar :
Ya
Tidak
Pembesaran lien :
Ya
Tidak
Buang air besar : x/hari
Teratur
Ya
Tidak
Konsistensi lunak : lunak
Bau: khas feses
Warna:
Masalah : nutrisi kurang dari kebutuhan, kerusakan integritas
kuning
mukosa mulut
Lain-lain : hipersalivasi

Muskuloskeletal B6
(Bone & Integumen)
Endokrin
HygienePersonal
Psiko SosioSpiritual

Kemampuan pergerakan sendi :


Bebas
Terbatas
Kekuatan otot:
5 5
5 5
Kulit
Warna kulit
:
Ikterus
Sianotik
Kemerahan Pucat
Hiperpigmentasi
Turgor
:
Baik
Sedang Jelek
Odema
:
Ada
Tidak ada
Lokasi :
Lain-lain
: terdapat bula dan erosi hampir di seluruh tubuh, luas lesi
90%
: kerusakan
Tyroid
:Masalah
Membesar
Ya integritas
Tidakkulit, resiko infeksi
Hiperglikemia:
Ya
Tidak
Hipoglikemia :
Ya
Tidak
Luka gangren
:
Ya
Tidak
Lain-lain
:Masalah : tidak ditemukan masalah keperawatan
Mandi
: 1 x/hari
Sikat gigi
: - x/hari
Keramas
: 3 hari sekali
Memotong kuku
:Ganti pakaian
: - x/hari
Lain- lain : kondisi klien bersih, dilakukan perawatan luka aseptic setiap
hari menggunakan cairan NaCl 0.9%
Masalah : tidak ditemukan masalah keperawatan
a. Ekspresi afek dan emosi

Senang
Cemas

Sedih
Menangis
Marah

Diam
Takut
Lain
b. Hubungan dengan keluarga
:
Akrab
Kurang akrab
c. Dampak hospitalisasi bagi anak :anak murung dan pendiam, cepat
marah
d. Dampak hospitalisasi bagi orang tua : orang tua khawatir terhadap
kondisi anaknya
e. Lain-lain : anak mengatakan pada ayahnya jika ia malu kalau dilihat
untuk dilakukan perawatan oleh banyak perawat
Masalah : gangguan body image, ansietas orangtua

Data Penunjang (Lab, Foto, USG, dll)


WBC
NEU
LYM
MONO
EOS
BASO
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW
PLT
MPV

10,8
6,46
2,67
1,46
.039
.150
4,10
11,2
33
80,5
27,3
33,9
11,8
641
4,66

10e3/uL
59.9%
24,8%
13,5%
.362%
1.40%
10e6/uL
g/dL
%
fL
Pg
g/dL
%
10e3/uL
fL

SGOT
SGPT
BUN
Kreatinin Serum
Kalium
Natrium
Klorida

23
15
7
0,47
3,7
133
97

u/L
u/L
mg/dL
mg/dL
mmol/l
mmol/l
mmol/l

Terapi/Tindakan lain :
Infus: D1 2,5% 1250 cc/24jam
Gentamisin Inj 1X 90mg
Ranitidin 2 X 16mg
Levoflaxacin eyedrop
Susu 800ml/hari
Kompres luka seluruh tubuh dengan normal salin.
Diit susu 800 cc

RINGKASAN KASUS

Surabaya,
Ners,

2016

1. Identitas Anak
: AnD umur 6 tahun, jenis kelamin perempuan,
alamat: Pasirian, Lumajang, ayahnya Tn.A, ibunya Ny.M pekerjaannya
ayah/ibu :Swasta/IRT, pendidikan ayah/ibu: S1/SMA, agama: Islam,
Suku/Bangsa: Jawa/Indonesia, Alamat: Lumajang.
2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :
Ayah klien mengatakan anaknya masih luka, namun sudah mulai mengering
tidak seperti pertama kali saat masuk rumah sakit
B1: bentuk dada normal, irama nafas teratur, suara nafas vasikuler, anak
tidak sesak, tidak ada otot bantu nafas, tidak menggunakan alat bantu
nafas.
B2: irama jantung teratur, tidak ada nyeri dada, bunyi jantung normal, CRT
< 3 detik, akral teraba hangat.
B3: kesadaran Composmentis, GCS E4V5M6, pupil isokor, tidak ada
gangguan penglihatan, pendengaran maupun penciuman.
B4: genitalia bersih, urin 450cc/hari dengan warna kuning, bau khas urin,
tidak ada nyeri tekan dan pembesarankandung kemih, anak tidak
menggunakan kateter, uretra normal.

B5:anak saat ini mengalami gangguan kesulitan saat menelan, mulut


tampak kotor, anak hanya minum susu 800cc/hari, peristaltic usus
23x/menit, tidak ada pembesaran lien dan hepar, buang besar tidak teratur,
konsistensinya lunak, bau khas feses, dan berwarna kuning.
B6 : kemampuan sendi bebas, warna kulit kemerahan, turgor kulit baik,
tidak ada odema, terapat bula, krusta dan erosi hampir diseluruh tubuh
dengan luas lesi 90%.
Tidak ada pembesaran tiroid, hiperkalemia, hipoglikemia, dan luka gangren.
3. Pemeriksaan Penunjang :
Data Penunjang (Lab, Foto, USG, dll)
WBC
NEU
LYM
MONO
EOS
BASO
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW
PLT
MPV

10,8
6,46
2,67
1,46
.039
.150
4,10
11,2
33
80,5
27,3
33,9
11,8
641
4,66

10e3/uL
59.9%
24,8%
13,5%
.362%
1.40%
10e6/uL
g/dL
%
fL
Pg
g/dL
%
10e3/uL
fL

SGOT
23
u/L
SGPT
15
u/L
BUN
7
mg/dL
Kreatinin Serum
0,47
mg/dL
Kalium
3,7
mmol/l
Natrium
133
mmol/l
Klorida
97
mmol/l
4. Terapi :
Infus: D1 2,5% 1250 cc/24jam
Gentamisin Inj 1X 90mg
Ranitidin 2 X 16mg
Levoflaxacin exedrop
Susu 800ml/hari
Kompres luka seluruh tubuh secara aseptic dengan normal salin.
ANALISA DATA
DATA
Ds : Ayah klien
mengatakan hampir
seluruh kulit tubuh
anaknya mengalami
lesi
Do :
-

ETIOLOGI

MASALAH

TEN

Kerusakan integritas kulit

Lesi pada kulit


Kerusakan integritas kulit

KU sedang
Terdapat
krusta
diarea
mulut
telingadan mata
Erosi di punggung,
dada,
perut,
tangan, dan kaki

Luas luka 69%


Warna hitam di
mulut dan area
mata ke telinga
Warna kemerahan
di punggung

Ds : Do :
- KU sedang
- Terdapat krusta diarea
mulut telingadan mata
- Erosi di punggung,
dada, perut, tangan,
dan kaki
- Luas luka 69%
- WBC = 10,8 x 103
- TTV : suhu 36,7 oC, Nadi
120 x/m, RR 24 x/m
Ds : Ayah klien
mengatakan anaknya
susah menelan dan
hanya minum susu
Do :
- KU sedang
- BB sebelum sakit 21 kg,
BB sekarang 16 kg, TB
114 cm IMT: 12,40
- Hb 11,2 g/dl
- Klien nampak kurus
- Terdapat luka pada
mulut
- Hiersalivasi
- Intake susu 800 cc

Ds : Do :
- Keluarga selalu
bertanya mengenai
kondisi anaknya dan
bagaimana
prognosisnya
- Keluarga nampak
gelisah
- Keluarga selalu
menjaga klien
Ds : Ayah klien
mengatakan anaknya
suka mengikuti fashion
show

TEN

Resiko infeksi

Lesi pada kulit


Terpapar kuman
Resiko infeksi

TEN

Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh

Lesi pada mukosa


Lesi mukosa mulut
Gangguan menelan
Intake menurun

TEN

Kecemasan orang tua

Lesi pada kulit, mukosa,


dan mata
Kecemasan orangtua

TEN
Lesi pada kulit, mukosa,
dan mata

Gangguan body image

Do :
- Anak hanya diam
kadang menangis
- Anak merasa malu saat
akan dirawat luka
- Saat anak tidak
kooperatif, hanya
dengan nasihat tentang
fashion show yang bisa
membuat kooperatif

Muncul rasa tidak


percaya diri
Penilaian negative pada
diri sendiri

PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN


1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan reaksi inflamasi obat
2. Resiko infeksi
3. Kerusakan integritas jaringan mukosa mulut berhubungan dengan reaksi
inflamasi obat
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan menelan
5. Ansietas orang tua berhubungan dengan status kesehatan anak
6. Gangguan body image berhubungan dengan kerusakan integritas kulit

FORMAT MODEL PIE (PROBLEM INTERVENSI EVALUASI)


TGL
17/ 5/ 2016

MASALAH
MK : Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

WAKTU
08.00

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan masalah teratasi
dengan criteria hasil :
- Intake adekuat
- Tidak ada gangguan menelan
- Hasil laborat dbn (Hb, Alb)

1.
2.
3.
4.

INTERVENSI
Mengkaji intake pasien
Menganjurkan keluarga untuk
memberikan
diit
yang
disediakan
Memantau
kemampuan
pasien
untuk
memenuhi
kebutuhan nutrisi
Kolaborasi pemberian PPN
1825 kkal

WAKTU
13.00

Intervensi:
1. Kaji intake pasien
2. Anjurkan
keluarga
untuk
memberikan
diit
yang
disediakan
3. Pantau kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi
4. Kolaborasi dengan ahli gizi
17/ 5/ 2016

MK: Kerusakan integritas kulit


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan integritas kulit klien
membaik dengan criteria hasil:
- Menunjukkan perawatan kulit
dan perawatan luka yang
optimal

08.15

1. Mengkaji luka klien


2. Melakukan perawatan luka
secara aseptic
3. Meminimalkan
penekanan
pada luka
4. Kolaborasi pemberian diit
(tinggi protein, tinggi kalori)

EVALUASI
S :Ayah klien mengatakan
anaknya masih susah
menelan dan hanya
minum susu
O:
- KU sedang
- BB sebelum sakit 21 kg,
BB sekarang 16 kg, TB 114
cm BBI: 66%
- Hb 11,2 g/dl
- Klien nampak kurus
- Terdapat luka pada mulut
- Hiersalivasi
- Intake susu 800 cc
- Infus D12,5% 1250 cc/ 24
jam

13.00

:Masalah belum teratasi

:Lanjutkan intervensi

S : Ayah klien mengatakan


hampir seluruh kulit tubuh
anaknya masih ada lesi
-

O:
KU sedang
Terdapat bula dan erosi
pada hampir seluruh
tubuh, sebagian bula
pecah dan berbau

- Tidak ada lepuh/ purulen


- Eritema kulit minimal
Intervensi :
1. Kaji luka klien
2. Lakukan
perawatan
luka
secara aseptic
3. Minimalkan penekanan pada
luka
4. Kolaborasi
pemberian
diit
(tinggi protein, tinggi kalori)
17/ 5/ 2016

MK: Resiko infeksi


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan klien tidak terjadi
infeksi dengan criteria hasil :
- Terbebas dari tanda-tanda
infeksi
- Personal hygien adekuat
- Luka dikulit membaik
- TTV dbn
Intervensi :
1. Pantau tanda dan gejala
infeksi
2. Lakukan
perawatan
luka
secara aseptic
3. Ganti laken dan selimut steril
4. Kaji
faktor
yang
dapat
meningkatkan
kerentanan
infeksi
5. Pantau hasil laboratorium
6. Amati penampilan personal

Luas luka kurang lebih


90%
Warna hitam di mulut
Warna kemerahan di
punggung
A : Masalah belum tertasi
P : Lanjutkan intervensi

08.15

1. Memantau tanda dan gejala


infeksi
2. Melakukan perawatan luka
secara aseptic
3. Mengganti laken dan selimut
steril
4. Mengkaji faktor yang dapat
meningkatkan
kerentanan
infeksi
5. Memantau hasil laboratorium
6. Mengamati
penampilan
personal hygiene
7. Menjelaskan kepada keluarga
mengenai resiko infeksi
8. Menganjurkan pada keluarga
untuk
menjaga
personal
hygiene
9. Mengajarkan
keluarga
tentang cuci tangan yang
benar
10.Kolaborasi
pemberian
antibiotik : Gentamicyn 90
mg,IV

13.00

S:O:
KU sedang
Terdapat bula dan erosi
pada hampir seluruh
tubuh, sebagian bula
sudah pecah dan berbau
- Luas luka kurang lebih
90%
- Warna hitam di mulut
- Warna kemerahan di
punggung
- WBC = 10,8 x 103
- TTV : suhu 36,4 oC, Nadi
116 x/m, RR 24 x/m
-

A : Masalah belum teratasi


P : Lanjutkan intervensi

hygiene
7. Jelaskan
kepada
keluarga
mengenai resiko infeksi
8. Anjurkan pada keluarga untuk
menjaga personal hygiene
9. Ajarkan keluarga tentang cuci
tangan yang benar
10.Kolaborasi
pemberian
antibiotik
17/ 5/ 2016 MK: Ansietas
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan kecemasan orangtua
berkurang/ hilang dengan
criteria hasil :
- Klien koperatif, tidak gelisah
- Menunjukkan pengendalian
terhadap cemas
Intervensi :
1. Kaji
dan
dokumentasikan
tingkat kecemasan keluarga
klien
2. Kaji faktor penyebab ansietas
3. Berikan informasi yang jelas
dan faktual
4. Motivasi
keluarga
dalam
pengendalian ansietas

11.00

1. mengkaji
dan
dokumentasikan
tingkat
kecemasan keluarga klien
2. mengkaji faktor penyebab
ansietas
3. Memberikan informasi yang
jelas dan faktual
4. Memotivasi keluarga dalam
pengendalian ansietas

13.00

S:O:
Keluarga nampak lebih
tenang dan kooperatif
- Keluarga mampu
mengendalikan cemas
- Keluarga selalu menjaga
klien dan bermain
bersama
-

A : Masalah tertasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi 1, 3

17/ 5/ 2016

MK: Gangguan body image


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan klien tidak ada
gangguan citra diri dengan
kriteria hasil:
-

Pasien dapat menerima


keadaan tubuhnya secara
proporsional
Pasien dapat beradaptasi
dengan keadaan tubuhnya

Intervensi :
1. Binalah
hubungan
saling
percaya.
2. Kajilah penyebab gangguan
citra tubuh.
3. Eksplorasi aktivitas baru yang
dapat dilakukan.
4. Perhatikan perilaku menarik
diri,
membicarakan
diri
tentang
hal
negatif,
penggunaan peny angkalan
atau terus menerus melihat
perubahan nyata atau yang
diterima.
5. Dorong ekspresi ketakutan;
perasaan
negatif,
dan
kehilangan bagian tubuh.

12.00

1. membina hubungan saling


percaya.
2. Mengkaji
penyebab
gangguan citra tubuh.
3. Mengkaji aktivitas baru yang
dapat dilakukan.
4. Mengamati perilaku menarik
diri,
membicarakan
diri
tentang
hal
negatif,
penggunaan
penyangkalan
atau terus menerus melihat
perubahan nyata atau yang
diterima.
5. Mendorong
ekspresi
ketakutan; perasaan negatif,
dan kehilangan bagian tubuh.

13.00

S:O:
Anak kooperatif diajak
bercerita
- Saat anak tidak kooperatif,
hanya dengan nasihat
tentang fashion show yang
bisa membuat kooperatif
-

A : Masalah tertasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi 2-4

TGL
18/5 2016

MASALAH
MK: Kerusakan integritas kulit
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan integritas kulit klien
membaik dengan criteria hasil:
- Menunjukkan perawatan kulit
dan perawatan luka yang
optimal
- Tidak ada lepuh/ purulen
- Eritema kulit minimal
Intervensi :
1. Kaji luka klien
2. Lakukan
perawatan
luka
secara aseptic
3. Minimalkan penekanan pada
luka
4. Kolaborasi
pemberian
diit
(tinggi protein, tinggi kalori)

WAKTU

INTERVENSI

WAKTU

EVALUASI

08.00

1. Mengkaji luka klien


2. Melakukan perawatan luka
secara aseptik
3. Meminimalkan
penekanan
pada luka
4. Kolaborasi pemberian diit
(tinggi protein, tinggi kalori)

13.00

S : Ayah klien mengatakan


hampir seluruh kulit tubuh
anaknya masih ada lesi
O:
KU sedang
Terdapat bula dan erosi
pada hampir seluruh
tubuh, sebagian bula
pecah dan mongering
- Luas luka kurang lebih
90%
- Warna hitam di mulut
- Warna kemerahan di
punggung
- Luas luka 90%, mulai
mengering
- Warna hitam di mulut
- Warna kemerahan di
punggung dan dada
-

A : Masalah belum tertasi

18/5 2016

MK: Resiko infeksi


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan klien tidak terjadi
infeksi dengan criteria hasil :
- Terbebas dari tanda-tanda
infeksi
- Personal hygien adekuat
- Luka dikulit membaik
- TTV dbn
Intervensi :
1. Pantau tanda dan gejala
infeksi
2. Lakukan
perawatan
luka
secara aseptic
3. Ganti laken dan selimut steril
4. Kaji
faktor
yang
dapat
meningkatkan
kerentanan
infeksi
5. Pantau hasil laboratorium
6. Amati penampilan personal
hygiene
7. Jelaskan
kepada
keluarga
mengenai resiko infeksi
8. Anjurkan pada keluarga untuk
menjaga personal hygiene
9. Ajarkan keluarga tentang cuci
tangan yang benar
10.Kolaborasi
pemberian
antibiotik

08.15

1. Memantau tanda dan gejala


infeksi
2. Melakukan perawatan luka
secara aseptik
3. Mengganti laken dan selimut
steril
4. Mengkaji faktor yang dapat
meningkatkan
kerentanan
infeksi
5. Memantau hasil laboratorium
6. Mengamati
penampilan
personal hygiene
7. Menjelaskan kepada keluarga
mengenai resiko infeksi
8. Menganjurkan pada keluarga
untuk
menjaga
personal
hygiene
9. Mengajarkan
keluarga
tentang cuci tangan yang
benar
10.Kolaborasi
pemberian
antibiotik : Gentamicyn 90
mg,IV

P : Lanjutkan intervensi
S:-

13.00

O:
KU sedang
Terdapat bula dan erosi
pada hampir seluruh
tubuh, sebagian bula
sudah pecah dan berbau
- Luas luka kurang lebih
90%, dan sebagian sudah
mengering
- Warna hitam di mulut
- Warna kemerahan di
punggung dan dada
- WBC = 10,8 x 103
- TTV : suhu 36,7 oC, Nadi
120 x/m, RR 26 x/m
-

A : Masalah belum teratasi


P : Lanjutkan intervensi

18/5 2016

MK: Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh

12.00

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan masalah teratasi
dengan criteria hasil :
- Intake adekuat
- Tidak ada gangguan menelan
- Hasil laborat dbn (Hb, Alb)

1. Mengkaji intake pasien


2. Menganjurkan keluarga untuk
memberikan
diit
yang
disediakan
3. Memantau
kemampuan
pasien
untuk
memenuhi
kebutuhan nutrisi
4. Kolaborasi pemberian PPN
1825 Kkal

13.00

Intervensi:
1. Kaji intake pasien
2. Anjurkan
keluarga
untuk
memberikan
diit
yang
disediakan
3. Pantau kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi
4. Kolaborasi dengan ahli gizi
18/5 2016

MK: Ansietas
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan kecemasan orangtua
berkurang/ hilang dengan
criteria hasil :
- Klien koperatif, tidak gelisah
- Menunjukkan pengendalian
terhadap cemas

11.00

1. mengkaji
dan
dokumentasikan
tingkat
kecemasan keluarga klien
2. mengkaji faktor penyebab
ansietas
3. Memberikan informasi yang
jelas dan faktual
4. Memotivasi keluarga dalam
pengendalian ansietas

13.00

S :Ayah klien mengatakan


anaknya masih susah
menelan dan hanya
minum susu
O:
- KU sedang
- BB sebelum sakit 21 kg,
BB sekarang 16 kg, TB 114
cm BBI: 66%
- Hb 11,2 g/dl
- Klien nampak kurus
- Terdapat luka pada mulut
- Hiersalivasi
- Intake susu 700 cc
A

:Masalah belum teratasi

:Lanjutkan intervensi

S:O:
- Keluarga nampak lebih
tenang dan kooperatif
- Keluarga mampu
mengendalikan cemas
- Keluarga selalu menjaga
klien dan bermain
bersama
A : Masalah tertasi

Intervensi :
1. Kaji
dan
dokumentasikan
tingkat kecemasan keluarga
klien
2. Kaji faktor penyebab ansietas
3. Berikan informasi yang jelas
dan faktual
4. Motivasi
keluarga
dalam
pengendalian ansietas
18/5 2016

MK: Gangguan body image


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan klien tidak ada
gangguan citra diri dengan
kriteria hasil:
-

Pasien dapat menerima


keadaan tubuhnya secara
proporsional
Pasien dapat beradaptasi
dengan keadaan tubuhnya

Intervensi :
1. Binalah
hubungan
saling
percaya.
2. Kajilah penyebab gangguan
citra tubuh.
3. Eksplorasi aktivitas baru yang
dapat dilakukan.
4. Perhatikan perilaku menarik
diri,
membicarakan
diri

P : Intervensi dihentikan

12.00

1. membina hubungan saling


percaya.
2. Mengkaji
penyebab
gangguan citra tubuh.
3. Mengkaji aktivitas baru yang
dapat dilakukan.
4. Mengamati perilaku menarik
diri,
membicarakan
diri
tentang
hal
negatif,
penggunaan
penyangkalan
atau terus menerus melihat
perubahan nyata atau yang
diterima.
5. Mendorong
ekspresi
ketakutan; perasaan negatif,
dan kehilangan bagian tubuh.

13.00

S:O:
Anak kooperatif diajak
bercerita
- Saat anak tidak kooperatif,
hanya dengan nasihat
tentang fashion show yang
bisa membuat kooperatif
-

A : Masalah tertasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi 2-4

tentang
hal
negatif,
penggunaan peny angkalan
atau terus menerus melihat
perubahan nyata atau yang
diterima.
5. Dorong ekspresi ketakutan;
perasaan
negatif,
dan
kehilangan bagian tubuh.

TGL
19/5 2016

MASALAH
MK: Kerusakan integritas kulit
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan integritas kulit klien
membaik dengan criteria hasil:
- Menunjukkan perawatan kulit
dan perawatan luka yang
optimal
- Tidak ada lepuh/ purulen
- Eritema kulit minimal
Intervensi :
1. Kaji luka klien
2. Lakukan
perawatan

luka

WAKTU

INTERVENSI

WAKTU

EVALUASI

08.00

1. Mengkaji luka klien


2. Melakukan perawatan luka
secara aseptik
3. Meminimalkan
penekanan
pada luka
4. Kolaborasi pemberian diit
(tinggi protein, tinggi kalori)

13.00

S : Ayah klien mengatakan


hampir seluruh kulit tubuh
anaknya masih ada lesi,
tetapi sudah mendingan
O:
KU sedang
Terdapat bula dan erosi
pada hampir seluruh
tubuh, sebagian bula
pecah dan mengering
- Luas luka kurang lebih
90%
- Warna hitam di mulut
- Warna kemerahan di
punggung
-

secara aseptic
3. Minimalkan penekanan pada
luka
4. Kolaborasi
pemberian
diit
(tinggi protein, tinggi kalori)

Luas luka 90%, mulai


mengering
Warna hitam di mulut
Warna kemerahan di
punggung dan dada
A : Masalah belum tertasi
P : Lanjutkan intervensi

19/5 2016

MK: Resiko infeksi


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan klien tidak terjadi
infeksi dengan criteria hasil :
- Terbebas dari tanda-tanda
infeksi
- Personal hygien adekuat
- Luka dikulit membaik
- TTV dbn
Intervensi :
1. Pantau tanda dan gejala
infeksi
2. Lakukan
perawatan
luka
secara aseptic
3. Ganti laken dan selimut steril
4. Kaji
faktor
yang
dapat
meningkatkan
kerentanan
infeksi
5. Pantau hasil laboratorium
6. Amati penampilan personal
hygiene

08.15

1. Memantau tanda dan gejala


infeksi
2. Melakukan perawatan luka
secara aseptik
3. Mengganti laken dan selimut
steril
4. Mengkaji faktor yang dapat
meningkatkan
kerentanan
infeksi
5. Memantau hasil laboratorium
6. Mengamati
penampilan
personal hygiene
7. Menjelaskan kepada keluarga
mengenai resiko infeksi
8. Menganjurkan pada keluarga
untuk
menjaga
personal
hygiene
9. Mengajarkan
keluarga
tentang cuci tangan yang
benar
10.Kolaborasi
pemberian
antibiotik : Gentamicyn 90
mg,IV

13.00

S:O:
KU sedang
Terdapat bula dan erosi
pada hampir seluruh
tubuh, sebagian bula
sudah pecah dan
mengering
- Luas luka kurang lebih
90%, dan sebagian sudah
mengering
- Warna hitam di mulut
- Warna kemerahan di
punggung dan dada
- WBC = 10,8 x 103
- TTV : suhu 36,6 oC, Nadi
118 x/m, RR 24 x/m
-

A : Masalah belum teratasi


P : Lanjutkan intervensi

7. Jelaskan
kepada
keluarga
mengenai resiko infeksi
8. Anjurkan pada keluarga untuk
menjaga personal hygiene
9. Ajarkan keluarga tentang cuci
tangan yang benar
10.Kolaborasi
pemberian
antibiotik
19/5 2016

MK: Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan masalah teratasi
dengan criteria hasil :
- Intake adekuat
- Tidak ada gangguan menelan
- Hasil laborat dbn (Hb, Alb)
Intervensi:
1. Kaji intake pasien
2. Anjurkan
keluarga
untuk
memberikan
diit
yang
disediakan
3. Pantau kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi
4. Kolaborasi dengan ahli gizi

12.00

1. Mengkaji intake pasien


2. Menganjurkan keluarga untuk
memberikan
diit
yang
disediakan
3. Memantau
kemampuan
pasien
untuk
memenuhi
kebutuhan nutrisi
4. Kolaborasi pemberian PPN
1850 kkal

13.00

S :Ayah klien mengatakan


anaknya masih susah
menelan dan hanya
minum susu
O:
- KU sedang
- BB sebelum sakit 21 kg,
BB sekarang 16 kg, TB 114
cm BBI: 66%
- Hb 11,2 g/dl
- Klien nampak kurus
- Terdapat luka pada mulut
- Hiersalivasi
- Intake susu + bubur saring
800 cc
A

:Masalah belum teratasi

:Lanjutkan intervensi

19/5 2016

MK: Gangguan body image


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan klien tidak ada
gangguan citra diri dengan
kriteria hasil:
-

Pasien dapat menerima


keadaan tubuhnya secara
proporsional
Pasien dapat beradaptasi
dengan keadaan tubuhnya

Intervensi :
1. Binalah
hubungan
saling
percaya.
2. Kajilah penyebab gangguan
citra tubuh.
3. Eksplorasi aktivitas baru yang
dapat dilakukan.
4. Perhatikan perilaku menarik
diri,
membicarakan
diri
tentang
hal
negatif,
penggunaan peny angkalan
atau terus menerus melihat
perubahan nyata atau yang
diterima.
5. Dorong ekspresi ketakutan;
perasaan
negatif,
dan
kehilangan bagian tubuh.

12.00

1. Membina hubungan saling


percaya.
2. Mengkaji
penyebab
gangguan citra tubuh.
3. Mengkaji aktivitas baru yang
dapat dilakukan.
4. Mengamati perilaku menarik
diri,
membicarakan
diri
tentang
hal
negatif,
penggunaan
penyangkalan
atau terus menerus melihat
perubahan nyata atau yang
diterima.
5. Mendorong
ekspresi
ketakutan; perasaan negatif,
dan kehilangan bagian tubuh.

13.00

S:O:
Anak kooperatif diajak
bercerita
- Saat anak tidak kooperatif,
hanya dengan nasihat
tentang fashion show yang
bisa membuat kooperatif
-

A : Masalah tertasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi 2-4

Anda mungkin juga menyukai