Anda di halaman 1dari 31

SKENARIO

KASUS 2
Penyakit Endemik
Seorang dokter umum telah bekerja selama 6 bulan di Puskesmas yang terletak di suatu
kepulauan. Wilayah kerja Puskesmas banyak terdapat lagoon, rawa dan genangan air.
Wilayah ini menjadi endemik malaria dan endemik filaria dengan mikrofilarial rate 6%.
Bulan ini ditemukan 2 kejadian DBD dan 15 kasus chikungunya. Selama ini diagnosis
malaria hanya berdasarkan kondisi klinis,kadang-kadang dengan rapid diagnostic test, dan
belum pernah ada pelatihan khusus kepada petugas puskesmas mengenai pengobatan dan
pengelolaan malaria. Serangkaian program pengendalian telah disiapkan oleh dokter tersebut
selain kegiatan di Puskesmas. Beberapa petugas bersemangat untuk ikut serta dalam program
tersebut, namun adapula yang merasa kegiatan tersebut hanya menambah beban kerja.

STEP I

1. Vektor dan Reservoir


a. Vektor
Vektor adalah serangga, lalat, kutu, nyamuk, hewan kecil seperti mencit, tikus, atau
hewan pengerat lain. Vektor adalah setiap makhluk hidup selain manusia yang membawa
penyakit (carrier) yang menyebarkan dan menjalani proses penularan penyakit. Vektor
menyebarkan agen infeksi dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke manusia atau hewan
lain yang rentan melalui kotoran, gigitan, dan cairan tubuhnya, atau secara tidak langsung
melalui kontaminasi pada makanan. (Widoyono, 2011)

b. Reservoir
Reservoir adalah manusia, hewan, tumbuhan, tanah, atau zat organik (seperti tinja dan
makanan) yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang biak organisme infeksius. Sewaktu
organisme infeksius berkembang biak dalam reservoir, mereka melakukannya sedemikian
1

rupa sehingga penyakit dapat ditularkan pada pejamu yang rentan. Manusia sering berperan
sebagai reservoir sekaligus pejamu. Jika hewan menularkan penyakit pada manusia, inilah
yang disebut dengan zoonosis. Badan kesehatan dunia (WHO) mengatakan bahwa zoonosis
adalah penyakit dan infeksi yang ditularkan antara hewan vertebra dengan manusia.
(Widoyono, 2011)

Widoyono.2011.Penyakit Tropis Ed.2.Jakarta:Erlangga

1. Vektor malaria
Nyamuk anophelini yang berperan sebagai vektor malaria hanyalah anopheles.Di
seluruh dunia,genus anopheles jumlahnya 2000 spesies,60 spesies di antaranya sebagai
vektor malaria.Jumlah nyamuk anophelini di Indonesia 80 spesies dan 16 spesiestelah di
buktikan berperan sebagai vektor malaria,yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain
tergantung pada macam-macam faktor,seperti penyebaran geografik,iklim,dan tempat
perindukan.
Morfologi nyamuk anophelini berbeda jika di bandingkan dengan culicini.Telur
anophelini yang di letakan satu per satu di atas permukaan air berbentuk seperti prahu yang
bagian bawahnya konveks,bagian atas konkaf yang mempunyai sepasang pelampung yang
terletak pada sebelah ateral.Larva anophelini tampak mengapung sejajar dengan permukaan
air,mempunyai bagian-bagian badan yang bentuknya khas,yaitu spirakel pada bagian
posterior abdomen,tergal plate pada bagian tengah dorsal abdomen dan sepasang bulu palma
pada bagian lateral abdomen.Pupa mempunyai tabung pernapasan (respiratory trumpet) yan
bentuknya lebar dan pendek,digunakan untuk mengambil O2 dari udara.
Pada nyamuk dewasa palpus nyamuk jantan dan betina mempunyai panjang hampir
sama dengan panjang probosisnya.Perbedaanya adalah pada nyamuk jantan ruas palpus
bagian apikal berbentuk ganda (club form),sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut
mengecil.Sayap pada bagian pinggir (kosta dan vena 1) di tumbuhi sisik-sisik sayap yang
berkelompok membentuk gambaran belang-belang hitam dan putih.Selain itu,bagian ujung
sisik sayap membentuk lengkung (tumpul).Bagian posterior abdomen tidak seruncing
nyamuk aedes dan tidak setumpul nyamuk mansonia,tetapi sedikit melancip.
2. Vektor DBD
2

Demam berdarah dengue atau dengue hemorrhagig fever (DHF) adalah penyakit
virus yang berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yang
sangat pendek (beberapa hari).Penyakit ini masuk indonesia tahun 1968 melalui pelabuhan
surabaya dan pada tahun 1980 DHF telah tersebar di seluruh propinsi indonsia.Gejala klinis
DHF berupa demam tinggi secara terus menerus selama 2-7 hari dan manifestasi perdarahan
yang biasa di alami dengan terlihatnya tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechia) pada
badan penderita dapat mengalami syok dan meninggal.Sampai sekarang penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat.Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang di
sebut aedes aegypti,sedangkan vektor potensialnya adalah aedes albopictus.
Nyamuk betina meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2 cm di atas
permukaan air.seekor nyamukbetina dapat meletakkan rata-rata 100 butir telur tiap kali
bertelur.Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan pengelupasan
kulit sebanyak 4 kali,tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa.Pertumbuhan dari
telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.

3. Vektor filariasis

Nyamuk anophelini dan non-anophelini dapat berperan sebagai vektor filariasis


limfatik pada manusia dan filariasis binantang.Di Indonesia di temukan 3 jenis parasit
nematoda penyebab filariasis limfatik pada manusia,yaitu wuchereria brancrofti , brugia
malayi , brugia timori.Parasit-parasit ini tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia oleh
berbagai

spesies

nyamuk

yang

aedes,anopheles,culex,mansonia,coquilettidia

termasuk
dan

dalam

genus

armigeres.Beberapa

spesies

anopheles,aedes,dan culex telah di laporkan menjadi vektor filariasis bancrofti di perkotaan


atau di pedesaan.Vektor utama filariasis di daerah perkotaan atau di pedesaan.Vektor utama di
perkotaan adalah culex quinguefasciatus,sedangkan di pedesaan filariasis brancrifti dapat di
tularkan oleh berbagai spesies anopheles seperti An.aconitus , An.brancrofti , An.farauti ,
An.punctulatus dan An.supticus atau dapat pula di tularkan oleh nyamuk aedes kochi ,
Cx.bitaeniorrhynchus ,Cx.annulirostris dan Armigeres obsturbans .

Nyamuk non anophelini dapat di kenal dari morfologinya dengan memperhatikan


bagian-bagian badannya.Stadium telur non anophelini yang di letakkan satu per satu atau
berkelompok membentuk rakit (raft) mempunyai bermacam-macam bentuk.Ada yang
berbentuk lonjong dengan kedua ujung lancip dan berdinding yang menggabarkan anyaman
kain kasa (aedes) , ada juga yang menyerupai peluru senapan (culex) dan ada pula yang mirip
duri atau sasaran untuk pelemparan bola bowling (mansonia).

(parasitologi kedokteran,FK UI ,jakarta,2008,edisi ke 4,)

STEP II
2. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk
Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
a

Pengendalian Cara Kimiawi


Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada
nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari
golonganorganoklorin,

organofosfor,

karbamat,

dan

pyrethoid.

Bahan-bahan

insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumahrumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu
dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam
air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi. (Widoyono,
2011).
2

Pengendalian Hayati / Biologik

Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis


dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme
hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan
sebagai patogen, parasit dan pemangsa. (Widoyono, 2011)
Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia
affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan
cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax
merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk. (Widoyono, 2011).
3

Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan
mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu,
lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian
di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.
(Widoyono, 2011)

STEP III
3. Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif.
Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem
surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem
inin berguna untuk memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang.
Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas,
poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap
penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam
waktu 24 jam. (Widoyono, 2011).
Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam
masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran

kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini
harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini
pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap
penyebaran epidemi penyakit DBD. (Widoyono, 2011)

STEP IV
4. Penatalaksanaan
1. Chikungunya
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini penyakit ini belum
ada obat ataupun vaksinnya, pengobatan hanya bersifat simtomatis dan suportif.
1

Simtomatis
a

Antipiretik

: Parasetamol atau asetaminofen (untuk meredakan

demam)
b

Analgetik : Ibuprofen, naproxen dan obat Anti-inflamasi Non Steroid


(AINS) lainnya (untuk meredakan nyeri persendian/athralgia/arthritis)

Catatan: Aspirin (Asam Asetil Salisilat) tidak dianjurkan karena


adanya resiko perdarahan pada sejumlah penderita dan resiko
timbulnya Reyes syndrome pada anak-anak dibawah 12 tahun.
2

Suportif
a

Tirah baring (bedrest), batasi pergerakkan

Minum banyak untuk mengganti kehilangan cairan tubuh akibat muntah,


keringat dan lain-lain.

3. Pencegahan penularan
a

Penggunaan kelambu selama masa viremia {sejak timbul gejala (onset of


illness) sampai 7 hari (Depkes,2007)

Depkes, 2007 c. Pedoman Pengendalian Chikungunya. Ditjen PP dan PL, Depkes.Jakarta

STEP V

5. Diagnosis
Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah
yang diperiksa dengan mikroskop. Diagnosis laboratorium dilakukan dengan berbagai cara:
1. Diagnosis dengan mikroskop cahaya
Sediaan darah dengan pulasan Giemsa merupakan dasar untuk pemeriksaan dengan
mikroskop dan sampai sekarang masih digunakan sebagai baku emas untuk diagnosis rutin.
Sediaan darah malaria dapat digunakan untuk identifikasi spesies maupun menghi jumlah
parasit.
Pemeriksaan sediaan darah tebal dilakukan dengan memeriksa 100 pandang mikroskop
dengan pembesaran 500-600/1000 yang setara deng 0,20 l darah. Jumlah parasit
dapat dihitung per lapang pandang mikroskop Metode

semi-kuantitatif untuk

hitung

parasit (parasite count) pada sediaan I


darah tebal adalah sebagai berikut:
+

= 1-10 parasit per 100 lapangan

++

= 11-lOO parasitper 100 lapangan

+++

= l-10parasitper 1 lapangan

++++ = > lOparasitper 1 lapangan


Hitung parasit secara kuantifatif dapat dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per
200 leukosit dalam sediaan darah tebal dan jumlah leukosit rata-rata , 8000/l darah, sehingga
jumlah parasit dapat dihitung sebagai berikut:
Parasit/ l darah

= Jumlah parasit dalam 20 leukosit x 40

Pada sediaan darah tipis dihitung dahulu jumlah eritrosit perlapang pandang
mikroskop. Selain itu perlu diketahui jumlah total eritrosit, misalnya 4.500.000 eritrosit/l
darah (perempuan) atau 5.000.000 eritrosit/l darah pada laki-laki. Kemudian jumlah
parasit stadium aseksual dihitung paling sedikit dalam 25 lapang pandang mikroskop dan
total parasit dihitung sebagai berikut:

jumlah parasit yang


dihitung
Parasif

= _____________

ul darah

jumlah
eritrosit/l

jumlah eritrosit dalam 25


lapang pandang mikroskop
Berbagai upaya 2. Teknik mikroskopis lain
telah

dilakukan

untuk meningkatkan sensitivitas

teknik

mikroskopis

yang

konvensional:
a) Teknik guantitative buffy coat (QBC) berdasarkan kemampuan jingga akridin (acridine
orange) memulas asam nukleat yang berada dalam sel. Darah dari ujung jari
penderita dikumpulkan dalam tabung mikro-hematokrit yang berisi zat warna
jingga akridin dan antikogaulan. Kemudian tabung tersebut disentrifugasi pada
12.000 x g selama 5 meni Parasit yang berfluoresensi dengan pemeriksaan
mikroskop

fluoresen merapakan salah satu hasil usaha ini, tetapi cara ini tidak dapat

digunakan secara

luas

seperti

pemeriksaan sediaan darah tebal dengan pulasan

Giemsa.
b) Teknik Kawamoto merupakan modi-fikasi teknik QBC yang memulas sediaan darah
dengan jingga akridin dan diperiksa dengan mikroskop cahaya dengan lampu halogen.
5. Metode lain tanpa menggunakan mikroskop
Beberapa

metode

untuk

men-deteksi parasit malaria tanpa meng-gunakan

mikroskop telah dikembang-kan dengan maksud untuk mendeteksi parasit lebih mudah
daripada dengan mikroskop cahaya. Metode ini men-deteksi protein atau asam nukleat
yang berasal dari parasit. a) Rapid antigen detection test (RDT), dasarnya adalah
immunochomato-graphy pada kertas nitrocellulose. Dengan cara ini berbagai protein
8

parasit yang spesifik dapat dideteksi dalam darah dari ujung jari pen-derita. Protein kaya
histidin II (histi-dine rich protein II) yang spesifik P. falciparum digunakan sebagai
marker adanya infeksi tersebut.
Enzim lactate dehydrogenase yang dihasilkan berbagai spesies plasmo-dium dapat
digunakan untuk me-nyatakan

infeksi

non-falciparum seperti -P. vivac Saat ini sedang

dikembangkan marker untuk P. malariae dari enzim yang sama.

Enzim lainnya yang dipelajari ada-lah aldolase. Rapid test malaria ini telah dicoba di
berbagai daerah endemis malaria di dunia, termasuk di Indonesia. Tes Ini sederhana dan
cepat karena hasilnya dapat dibaca dalam waktu 15 menit. Selain itu tes ini dapat dilakukan
oleh petugas yang tidak terampil dan memerlukan sedikit latihan. Alatnya sederhana, kecil dan
tidak memerlukan aliran listrik.

Secara umum rapid test mempunyai nilai sensitivitas

dan spesifisitas lebih dari 90%


Kelemahan rapid test adalah :
1. kurang sensitif bila jumlah parasit dalam darah rendah (kurang dari 100 parasit/fiL darah)
2. tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)
3. antigen yang masih beredar beberapa hari-minggu setelah parasit hilang memberikan reaksi
positif palsu
4. gametosit muda (immature), bukan yang matang (mature) mungkin masih dapat dideteksi

5. biaya tes ini masih cukup mahal


6. tidak stabil pada suhu ruang diatas 30C
Hasil positif palsu (false positive) yang disebabkan antigen residual yang beredar dan
gametosit muda dalam darah biasanya ditemukan pada penderita tanpa gejala. Selain itu
juga pada orang yang mengandung faktor rhematoid. Seharusnya tidak mengakibatkan over
treatment bila tes ini digunakan untuk menunjang diagnosis klinis pada penderita dengan
gejala.
b) Metode yang berdasarkan deteksi asam nukleat dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:
hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensiti-vitasnya dapat ditingkatkan dengan PCR.
Beberapa pelacak (probe) DNA dan RNA yang spesifik telah dikem-bangkan untuk mengidenti
9

keempat spesies Plasmodium, terutama untuk P.falciparum ternyata tes ini sangat spesifik
(mendekati 100%) dan sensitif (lebih dari 90%), dapat mendeteksi 2 parasit, bahkan 1
parasit/l darah Penggunaan pelacak tanpa label radioaktif (non-radiolabelled) walaupun
kurang sensitif dibanding dengan yang radioaktif, self-life lebih panjang serta mudah
disimpan dan diolah.
Kelemahan tes ini adalah:
1. penyediaan primer DNA dan sangat rumit
2. alat yang diperlukan untuk disasi rumit
3. alat untuk amplifikasi PCR deteksi hasil amplifikasi canggih dan mahal
4. membutuhkan waktu lama (24 jam)
Keuntungan utama teknik PCR adalah dapat mendeteksi dan mengidentifikasi infeksi
ringan dengan sangat tepat dan dapat dipercaya.
Hal ini penting untuk studi epidemiologi dan eksperimental, tetapi kurang penting untuk
pemeriksaan rutin.
Biosafety
Pengambilan darah untuk diagnosis nalaria mempunyai risiko. Virus hepatitis 3, virus
HIV dan kuman patogen lainnya iapat ditularkan melalui lanset (alat tusuk intuk
pengambilan darah), jarum semprit dan alat lain yang tidak steril dengan jempurna.
Karena itu digunakan lanset aiau jarum yang sekali pakai (disposable). Sediaan darah
seyogyanya ditangani onenurut pedoman standar biosafety.
kekebalan pada Malaria
Kekebalan yang didapat (naturally acquired immunity) pada malaria dapat
dibedakan dalam beberapa katogori. Kekebalan terhadap gejala klinis ada 2 tipe yang
pertama adalah kekebalan klinik yang dapat menurunkan risiko kematian yang kedua
adalah kekebalan klinik yang mengurangi beratnya gejala klinis. kekebalan terhadap
parasit dapat mengurangi jumlah parasit bila orang tersebut infeksi. Mekanisme
kekebalan seluler humoral akan saling melengkapi mencapai batas tertentu diantara
berbagai kategori kekebalan tersebut. Pada pend rita akut P. falciparum, mungkin derajat
10

kekebalan terhadap beberapa aspek malaria berat yang membahayakan jiwa dapat
diperoleh hanya setelah satu atau dua kali terinfeksi. Sebaliknya, kekebalan klinik yang
tidak berhubungan dengan risiko kematian, memerlukan infeksi berulang yang lebih
banyak. Kekebalan terhadap parasit

hanya

efektif

setelah

terjadi infeksi berulang

dalam jumlah yang jauh lebih besar. Hal ini disebabkan individu yang

terinfeksi

biasanya terinokulasi oleh parasit yang sifat genetik dan antigeniknya berbeda.
Sehingga setiap menghadapi suatu infeksi, hospes harus selalu mengembangkan respons
kekebalan spesifik yang baru terhadap plasmodium tersebut. Individu yang tinggal di
daerah endemi malaria memerlukan waktu yang sangat lama untuk memperoleh kekebalan
yang efektif terhadap parasit. Walaupun demikian, setelah kekebalan itu diperoleh, bila
individu tsb meninggalkan daerah endemis, sehingga tidak terinfeksi dalam waktu
setengah sampai satu tahun, maka kekebalan tsb akan hilang, hal ini disebut sebagai
premunisi. Akibatnya individu itu akan kembali dalam keadaan semula yaitu mudah
terinfeksi kembali.
Hubungan antara parasit malaria dan manusia di daerah endemis dalam periode yang
sangat panjang (ribuan tahun) iapat menyebabkan terjadinya evolusi 3ada eritrosit
hospes yang pada akhirnya ikan melindungi hospes baik dari infeksi naupun gejala klinis
malaria. Kekebalan enis ini disebut sebagai kekebalan jawaan atau innate immunity.
Kekebalan bawaan pada malaria berhubungan dengan ;ifat genetik misalnya: 1) Penderita tala
semia heterozigot relatif kebal terhadap infeksi malaria 2) Penderita defisiensi enzim G6PD
heterozigot dan hemizigot akan terproteksi sampai 50% terhadap malaria berat. 3) orang
Negro di Afrika Barat relatif kebal terhadap P.vivax oleh karena tidak rnempunyai reseptor
Dufify pada perrnukaan eritrosit yang me-rapakan reseptor untuk Rvivax; 4) orang yang
mengandung Hb S heterozigot bila terinfeksi P. falcipantm, kemungkinan 90% tidak akan
menderita malaria berat. 5) Penderita Southeast Asian Ovalocytosis (SAO) di Malaysia,
Indonesia dan Pasifik Barat (Papua Nugini, kepulauan Solomon dan Vanuatu) relatif kebal
terhadap infeksi P.falciparum dan P. vivax
Perkembangan Vaksin Malaria
Parasit malaria mempunyai siklus hidup yang sangat kompleks, karena selain
melibatkan beberapa stadium, setiap stadium akan mengekspresikan berbagai antigen.
Akibatnya tidak seperti penyakit lain, vaksin malaria yang dibuat dari satu stadium mungkin

11

tidak akan efektif ter-hadap stadium lainnya. Secara garis besar stadium dan antigen yang
penting diper-hatikan untuk pembuatan vaksin malaria adalah:
1. Stadium pra-eritrositik: termasuk sporo-zoit dan stadium parasit di hati, dapat menghambat
terjadinya gejala klinis maupun transmisi penyakit di daerah endemis. Contoh:
circumsporozoite protein (CSP), Thrombospondin-related adhesion protein (TRAP), Liver
stage antigen (LSA).

menggembirakan. Walaupun demikian pada manusia temyata kurang bersifat


imunogenik, sehingga kernampuan proteksinya kurang baik. Berbagai modifikasi telah
dilakukan untuk meningkatkan imunogenitas calon vaksin ini, misalnya dengan
menambahkan

plasmid

yang

mengekspresikan

sitokin

seperti

GM-CSF

dan

interleukin-12 atau molekul yang dapat menstimulasi sistem imun seperti CpG.
Pendekatan multistage (berbagai sta-dium) dan multivalen (berbagai antigen dari
stadium yang sama) merupakan dasar kesuksesan aplikasi vaksin malaria. Pada multivalen,
masalahnya adalah meng-identifikasi antigen yang mempunyai sifat protektif terbaik untuk
diformulasikan dalam satuan unit vaksin. Selain itu juga diperhitungkan agar respons
hospes me-libatkan baik respons sel-T maupun sel-B. Peningkatan efektivitas terlihat bila
meng-tombinasi antigen stadium hati (respons sel T) dan sporozoit (respons sel-B), maka
.'umlah sel hati yang terinfeksi berkurang dan terjadi hambatan pertumbuhan trofozoit
hati. Selain itu dengan mengkombinasi vaksin pra-eritrosit dan stadium aseksual eritrosit,
setiap merozoit yang berhasil keluar dari sel hati akan dihadapi oleh vaksin eritrosit. Bila
kombinasi ini litambah dengan vaksin stadium seksual, ikan mencegah penyebaran parasit
yang persisten obat di dalam suatu komunitas.
Penelitian pengembangan vaksin malaria raembutuhkan biaya yang sangat tinggi dan saat
ini dilakukan oleh beberapa pusat penelitian di Amerika dan Eropa dengan bantuan WHO.
Walaupun banyak sekali kesulitan yang dihadapi, perkembangannya banyak memberikan
harapan bahwa vaksin ini di kemudian hari dapat digunakan.

PENANGANAN PENDERITA TANPA KOMPLIKASI (MALARIA BIASA)

12

Semua individu dengan infeksi malaria yaitu tnereka dengan ditemukannya


plasmodium aseksual didalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukan
parasit dalam darahnya perlu diobati.
Prinsip pengobatan malaria : 1). Penderita tergolong malaria biasa (tanpa
komplikasi) atau penderita malaria berat/ dengan komplikasi. "Penderita
dengan komplikasi/ malaria berat memakai obat parenteral, malaria biasa
diobati dengan per oral; 2). Penderita malaria harus mendapatkan
pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan pengobatan dan
mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT (Artemisinin
base Combination Therapy); 3). Pemberian pengobatan dengan ACT harus
berdasarkan hasil pemeriksaan malaria

yang positif dan

dilakukan

monitoring efek/respon pengobatan; 4). Pengobatan malaria klinis/


tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obatnon-ACT

PENGOBATAN PENDERITA MALARIA


Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan

malaria dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination


Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama
karena

efektif

dalam

mengatasi

plasmodium

yang

resisten

dengan

pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium


dalam

semua

stadium

termasuk

gametosit.

Juga

efektifterhadap

sem\ia.spesies,P.falcipamm, P.vivcvc maupun lainnya. Laporan kegagalan


terhadap ART belum dilaporkan saat ini.

Golongan Artemisinin
Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bahasa Cina
sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton
mempunyai beberapa formula seperti: artemisinin, artemeter, arte-eter,
artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat
cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai
13

obat sizontocidal darah. Karena beberapa penelitian bahwa pemakaian


obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka direkomendasi-kan
untuk dipakai dengan kombinasi obat lain,. Dengan demikian juga akan
memperpendekpemakaian obat. Obat ini cepat diubah dalam bentuk
aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/injeksi dan suppositoria.
Pengobatan ACT (Artem/s/n/n base Combination Therapy)
Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan
terjadinya

rekrudensi.

Karenanya

WHO

memberikan

petunjuk

penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat anti


malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base Combination Therapy
(ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap (flxed dose)
atau kombinasi tidak tetap (non-fixed dose). Kombinasi dosis tetap lebih
memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah "Co-Artem" yaitu
kombinasi artemeter (20mg)+ lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4
tablet 2x1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap yang lain ialah
dihidroartemisinin (40mg)+piperakuin (320mg) yaitu "Artekin". Dosis
artekin untuk dewasa: dosis awal 2tab-let, 8 jam kemudian 2 tablet, 24
jam dan 32 jam, masihg-masing 2 tablet. Kombinasi ACT yang tidak tetap
misalnya:

Artesuriat + meflokuin'

Artesunat + amodiakin

Artesunat + klorokuin

Artesunat+sulfadoksin-pirimetamin

Artesunat + pironaridin

Artesunat + chlorproguanil-dapspn (CDA/Lapdapplus)

Dihidroartemisinin+ Piperakuin + Trimethoprim (Artecom)

Artecom+primakuin(CV8)

Dihidroartemisinin + naptokuin
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi
artesunate + amodiakuin dengan nama dagang "ARTESDIAQUINE" ataii
Artesumoon. Dosis untuk orang dewasa yaitu. artesunate (50mg/tablet)
14

200mg pada hari I-III (4 tablet). Untuk Amodiakuin (200mg/tablet) yaitu 3


tablet hari I dan II dan 11/2 tablet hari III. Artesumoon ialah kombinasi
yang dikemas.sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister/ hari
(artesunate + amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah
25-30 mg/kg BB selama 3 hari.
Pengembangan

terhadap'pengobatan

masa

depan

ialah

dengan

tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa


maupun anak (dosis tetap) dan kombinasi yang paling poten dan efektif
dehgan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang dikembangkan obat semi
sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik.
Catatan:

Untuk

pemakaian

obat

golongan

artemisinin.

HARUS

disertai/dibuktikan dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidaktidaknya dengan tes cepat antigeii yang positif. Bila malaria klinis/tidak ada
hasil pemeriksaan parasitologik tetap menggunakan obat non-ACT.
Pengobatan Malaria Dengan Obat-obat Non-ACT
Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah
dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup
efektif

baik

(kegagalan

terhadap

masih

menggunakan

klorokuin

kurang

obat

maupun

25%).

standard

sulfadoksin

Dibeberapa

seperti

daerah

klorokuin

pirimetamin
pengobatan

dan

sulfadoksin-

pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon


pengobatan.
Obat non - ACT ialah :
Klorokuin Difosfat/Sulfat, 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25 mg basa/kg
BB untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kg BB hari I dan hari II, 5 mg /kg BB pada hari
III. Pada orang dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablet hari
III. Dipakai untuk P. Falciparum maupun P. Vivax.
Sulfadoksin-Pirimetamin(SP), (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin),
dosis

orang

dewasa

tablet

dosis
15

tunggal

(1

kali).

Ataudosis

anakmemakaitakaranpirimetamin 1,25 mg/kg BB; Obat ini hanya dipakai


untuk plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk P.vivax. Bila terjadi
kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP
Kina Sulfat: (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3x10 mg/kg BB
selama 7 hari, dapat dipakai untuk.P Falciparum maupun P: Vivax. Kina
dipakai sebagai obat cadangan untuk mehgatasi resistensi terhadap
klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk waktu yang lama (7 hari)
menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai.
Primakuin

(1

tablet

15

mg),

dipakai

sebagai

obat

pelengkap/pengobatan radical terhadap P. Falciparum maupun P. Vivax.


Pada P. Falciparum dosis nya 45mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh
gamet; sedangkan untuk P. Vivax dosisnya 15mg/ hari selama 14 hari yaitu
untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-relaps).

PENGGUNAAN OBAT KOMBINASI NON-ACT

Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan
belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat menggunakan. obat
standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai
berikut

a).

Kombmasi

Klorokuin

Sulfadoksin-Pirimetamin; b).

Kombinasi SP + Kina; c). Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/ Tetrasiklin; d).


Kombinasi SP + Doksisiklin/Tetrasiklin; e). Kina+Doksisiklin Tetrasiklin; f).
Kina+Klindamisin
Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan
monitoring respon pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap
obat malaria berlangsung cepat dan meluas.

PENCEGAHAN DAN VAKSIN MALARIA

16

Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang


non-imun, khususnya pada turis nasional maupun internasional. Ketnoprofilaktis yang dianjurkan ternyata tidak memberikan perlindungan secara
penuh.

Oleh

karenanya

masih

sangat

dianjurkan

untuk

memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari


gigitan nyamuk yaitu dengan cara : 1). Tidur dengan kelambu sebaiknya
dengan kelambu impregnated (dicelup peptisida : pemethrin atau
deltamethrin). 2). Menggunakan obat pembimuh nyamuk (mosquitoes
repellents) : gosok, spray, asap, elektrik; 3). Mencegah berada di alam
bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai proteksi (baju
lengan panjang, kaus/stocking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00
sampai jam 06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000 m; 4).
Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat antinyamuk.
Bila akan di gunakan kemoprofllaktis perlu di ketahui sensitivitas
plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif
(seperti Minahasa) cukup profilaktis dengan 2 tablet klorokuin (250 mg
klorokuin diphosphat) tiap minggu 1 minggu sebelum berangkat dan 4

minggu setelah tiba kembali. Profilaktis ini juga.dipakai pada wanita hamil
di daerah endemik atau pada individu yang terbukti imunitasnya rendah
(sering terinfeksi malaria). Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan
doksisiklin 100 mg/hari atau mefloquin 250 mg/minggu atau klorokuin 2 tablet/
minggu ditambah proguanil 200 mg/ hari. Obat baru yang dipakai untuk
pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mg/kg BB/ hari; Etaquin, Atovaquone/
Proguanil (Malarone) dan Azitromycin.

Vaksinasi terhadap malaria masih .tetap dalam pengembanganl. Hal


yang

menyulitkan

ialah

banyaknya

antigen

yang

terdapat

pada

plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada daur


plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalab. P.falciparum sekarang
17

baru

ditujukan

pada

pembuatan

vaksin

untuk

proteksi

tehadap

P.falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu


vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual
dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit.
Vaksin bentuk aseksual yang pemah dicoba ialah SPF-66 atau yang
dikenal sebagai vaksin Patatroyo, yang pada penelitiah akhir-akhir ini tidak
dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujauan mencegah
sporozoit menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi.
Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumsporozoit.
Uji coba pada manusia tampahnya memberikan perlindungan yang
bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam persiapkan.
HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang ideal ialah vaksin yang multistage (sporozoit, aseksual), multivalen (terdiri beberapa antigen) sehingga
memberikan respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan
diharapkan memberikan respon terbaik dan harga yang kurang mahal.

STEP VI
6. Pencegahan
1.Demam Berdarah Dengue
A Pencegahan Primer
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan
primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. (Widoyono, 2011)

18

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan


orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
(Widoyono, 2011)
6. Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan
distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan
waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian
vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah survei jentik. (Widoyono, 2011)
Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua
tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan
cara visual. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap
tempatgenangan air tanpa mengambil jentiknya. (Widoyono, 2011)
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil
kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada
100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling). (Widoyono,
2011)
7. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai
pemantauan hasilhasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan
bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan
merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku
sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam
membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan
istilah 3M, yaitu :
a

Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan


peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
19

Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak

dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.


Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya
dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk
Aedes aegypti. (Widoyono, 2011)

B Pencegahan Sekunder
1

Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:


Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :
a Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan
obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa
b

ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.


Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah

kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.


Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian
luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten,
disertai dengan cara penanggulangan seperlunya. (Widoyono, 2011).
STEP VII

7. Pemeriksaan Laboratorium

Chikungunya

Untuk memastikan diagnosis perlu pemeriksaan laboratorium yang dapat


dilakukan dengan beberapa metode yaitu: Isolasi virus dari inokulasi serum fase akut,
pemeriksaan serologis dengan cara ELISA, pemeriksaan IgG dan IgM dengan metode
Immuno Fluorescent Assay (IFA), pemeriksaan materi genetik dengan Polymerase
20

Chain Reaction (PCR), pemeriksaan antibodi dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (H.I
Test) menggunakan serum diambil pada masa akut ( hari ke 5 mulai demam ) dan
serum konvalesen pada minggu ke 2 sesudah demam serta sequencing. (Depkes,2007)

Isolasi Virus
Isolasi virus chikungunya didasarkan pada inokulasi spesimen biologis
dari nyamuk atau dari manusia (serum) secara invitro dengan menggunakan
kultur jaringan sel vero, BHK-21, HeLa sel dan sel C6/36. Isolasi virus juga
dapat dilakukan secara in vivo dengan menggunakan anak mencit yang masih
menyusui (suckling mice). (Depkes,2007)
Jenis untuk isolasi virus chikungunya adalah serum pada masa akut 0-6
hari, tetapi ada beberapa literatur menyebutkan bisa sampai 8 hari. Spesimen
yang berasal dari nyamuk juga dapat digunakan untuk bahan isolasi virus.
Semua spesimen biologis untuk isolasi virus harus diproses secepatnya, bila
memang perlu ditunda maksimal penundaan adalah 48 jam dengan disimpan
pada suhu 2-8oC. (Depkes,2007)

Deteksi Viral RNA


Deteksi viral RNA virus chikungunya dapat dilakukan pada saat akut
penderita (<8 hari). Deteksi viral RNA juga dapat menggunakan spesimen
biologis dari nyamuk (vektor). Deteksi viral RNA didasarkan pada gen NSP1
atau E16 saat ini telah dikembangkan berbagai macam teknik deteksi viral RNA
virus chikungunya yaitu secara RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction) dan Real Time PCR. (Depkes,2007)

Serologi (Deteksi IgM dan atau IgG)


Infeksi Chikungunya juga dapat dideteksi secara serologi dengan
mendeteksi anti-chik berupa IgM atau IgG. Sampai saat ini telah banyak
dikembangkan teknik diagnostik untuk mendeteksi chikungunya secara serologi
diantaranya Haemaglutination, Complement Fixation Test (CFT), Immuno
flourescent assay (IFA), dan Plaque Reduction Neutralization Testing (PRNT).
Antibodi IgM dapat dideteksi dari hari ke-4 infeksi sampai beberapa minggu

21

waktu lamanya. Antibodi IgG dapat dideteksi hari ke- 15 sampai beberapa tahun
lamanya. (Depkes,2007).

Gambar 1. Timeline Antibodi (Depkes,2007)

Interpretasi:
1

Bila IgM (-) dan IgG (-) dengan gejala klinis jelas, pemeriksaan diulang 10-14
hari kemudian.
Bila hasil pemeriksaan ulang IgM (+) IgG(-) berarti infeksi akut primer.

Bila IgM (-)IgG(+) dilakukan pemeriksaan ulang 10-14 hari kemudian.


Bila hasil pemeriksaan ulang IgG (+) dengan kenaikan titer >4X berarti infeksi
sekunder.

3
3

Bila IgM (+) IgG(+) berarti sedang terjadi infeksi sekunder


(Depkes,2007)

Pencegahan
a Demam Berdarah Dengue (DBD)
1 Pembersihan jentik
a Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
b Larvasidasi
c Menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat)
2 Pencegahan gigitan nyamuk
a Menggunakan kelambu
b Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
c Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju)
d Penyemprotan

22

Chikungunya
Upaya pencegahan chikungunya hampir sama dengan pencegahan untuk

penyakit DBD. Penting bagi masyarakat untuk melakukan gerakan pemberantasan


sarang nyamuk secara rutin, menggunakan obat anti-nyamuk pada jam-jam saat
nyamuk banyak menggigit, dan mengoleskan losion anti-nyamuk pada anak sekolah.
Karena penyakit ini berpotensi menyebabkan KLB, penderita chikungunya perlu
diisolasi meskipun tidak dirawat dirumah sakit. Isolasi yang tepat akan sangat berguna
untuk mencegah penularan penyakit ini.
Setiap laporan kasus harus segera ditindaklanjuti dengan penyelidikan
epidemiologis (PE) untuk memastikan diagnosis kasus dan pencegahan KLB. Setelah
definisi kasus ditegakkan, masyarakat perlu dikumpulkan untuk diberi penyuluhan
tentang pencegahan, seperti pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik secara
rutin, dan tindakan dini jika terjadi gejala dan tanda-tanda seperti chikungunya.
Secara umum, upaya pengendalian penyakit terdiri dari:
1

Pencegahan gigitan nyamuk


Ini bisa dilakukan dengan pemasangan kelambu, penggunaan kasa anti nyamuk,
dan pemakaian obat nyamuk oles, bakar, atau semprot. Berdasarkan laporan hasil
penelitian, tidur siang berhubungan dengan gigitan nyamuk Aedes, sehingga
memakaikan baju lengan panjang dan celana panjang kepada anak yang tidur
siang merupakan upaya perlindungan yang penting.

Pemberantasan jentik
Istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sebenarnya kurang tepat karena
nyamuk beristirahat di semak-semak, gantungan baju bekas pakai, gorden, dan
tempat sejuk dan lembap lainnya. Nyamuk Aedes sp. akan bertelur dipermukaan
air yang jernih, seperti tempat penampungan air, vas, atau pot bunga, air buangan
dispenser, penampungan air AC, dan tempat minum burung.
Pemberantasan jentik dibagi menjadi 3 cara, yaitu:
a Fisik, dengan 3 M plus
b Biologi, dengan menebar ikan pemakan jentik ditempat penampungan air
c Kimiawi, dengan pemberian larvasida (pembasmi larva) berupa:
1 Temephos yang berbentuk granul, dosis 1 ppm atau 10 gram untuk 100
2

liter air yang diberikan setiap 3 bulan.


Insect growth regulator (ISG), seperti methroprene dan phyriproxiphene
yang bisa menjaga jentik sampai 3-6 bulan.

23

Pemberantasan nyamuk
Ini dilakukan untuk memutus rantai penularan dengan penyemprotan (fogging)
massal menggunakan insektisida cair 2 kali dengan selang waktu 1 minggu.

Malaria

Berbasis masyarakat
a Pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat harus selalu
ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan, pendidikan kesehatan, diskusi
kelompok maupun melalui kampanye masal untuk mengurangi tempat sarang
nyamuk (pemberantasan sarang nyamuk, PSN). Kegiatan ini meliputi
menghilangkan genangan air kotor, diantaranya dengan mengalirkan air atau
menimbun atau mengeringkan barang atau wadah yang memungkinkan
b

sebagai tempat air tergenang.


Menemukan dan mengobati penderita sedini mungkin akan sangat membantu

mencegah penularan.
Melakukan penyemprotan melalui kajian mendalam tentang bionomic
anopheles seperti waktu kebiasaan menggigit, jarak terbang, dan resistensi
terhadap insektisida.

Berbasis pribadi
a Pencegahan gigitan nyamuk, anatara lain: (1) tidak keluar rumah antara senja
dan malam hari, bila terpaksa keluar, sebaiknya mengenakan kemeja dan
celana panjang berwarna terang karena nyamuk lebih menyukai warna gelap,
(2) menggunakan relepan yang mengandung dimetilftalat atau zat antinyamuk
lainnya, (3) membuat konstruksi rumah yang tahan nyamuk dengan memasang
kasa antinyamuk pada ventilasi pintu dan jendela, (4) menggunakan kelambu
yang mengandung insektisida (insecticide-treated mosquito net, ITN), (5)
menyemprot kamar dengan obat nyamuk atau menggunakan obat nyamuk
b

bakar.
Pengobatan profilaksis bila akan memasuki daerah endemic, meliputi:
1 Pada daerah dimana plasmodiumnya masih sensitive terhadap klorokuin,
diberikan klorokuin 300 mg basa atau 500 mg klorokuin fosfat untuk

24

orang dewasa, seminggu 1 tablet, dimulai 1 minggu sebelum masuk daerah


2

sampai 4 minggu setelah meninggalkan tempat tersebut.


Pada daerah dengan resistensi klorokuin, pasien memerlukan pengobatan
supresif, yaitu dengan meflokuin 5 mg/kgBB/minggu atau doksisiklin 100
mg/hari atau sulfadoksin 500 mg/pirimetamin 25 mg, 3 tablet sekali

minum.
Pencegahan dan pengobatan malaria pada wanita hamil, meliputi:
1 Klorokuin, bukan kontraindikasi
2 Profilaksis dengan klorokuin 5 mg/kgBB/minggu dan proguanil 3
3

mg/kgBB/hari untuk daerah yang masih sensitive klorokuin.


Meflokuin 5 mg/kgBB/minggu diberikan pada bulan keempat kehamilan

untuk daerah dimana plasmodiumnya resisten terhadap klorokuin


4 Profilaksis dengan doksisiklin tidak diperbolehkan.
Informasi tentang donor darah. Calon donor yang datang ke daerah endemic
dan berasal dari daerah nonendemik serta tidak menunjukkan keluhan dan
gejalan klinis malara, boleh mendonorkan darahnya selama 6 bulan sejak dia
datang. Calon donor tersebut, apabila telah diberi pengobatan profilaksis
malaria dan telah menetap didarah itu 6 bulan atau lebih serta tidak
menunjukkan gejala klinis, maka diperbolehkan menjadi donor selama 3
tahun. Banyak penelitian melaporkan bahwa donor dari daerah endemic
malaria merupakan sumber infeksi.

(Widoyono. 2011)

Daftar pustaka
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Edisi kedua. Jakarta. Erlangga.
1

Pemeriksaan penunjang malaria


A Pemeriksaan Tetes Darah Untuk Malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria
sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil
negative tidak mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi tiga kali
dan hasil negative maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Adapun
pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui :

25

a.

Tetesan preparat darah tebal.

Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan


darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat
khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk
memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit
(diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan
negative bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran 700-1000
kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan
menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung
parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter
darah. ( Sudoyo AW, 2009 )

b.

Tetesan preparat darah tipis.

Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah


tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite
count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000
sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang
berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria.
Pengecatan dilakukan dengan pewarnaan Giemsa, atau Leishmans, atau Fields dan
juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa
laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik. (
Sudoyo AW, 2009 )

Tes Antigen : P-F test

Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum (Histidine Rich Protein II).


Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus,
sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks
sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi
26

laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic


telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0-200
parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P.falciparum atau P.vivax.
Sensitivitas sampai 95 % dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2.
Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid test). ( Sudoyo AW, 2009 )

Tes Serologi

Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tekhnik
indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibody
specific terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini
kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibody baru terjadi setelah
beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian
epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi
baru ; dan test > 1:20 dinyatakan positif . Metode-metode tes serologi antara lain
indirect haemagglutination test, immunoprecipitation techniques, ELISA test, radioimmunoassay. ( Sudoyo AW, 2009 )

Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA,
waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan
tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini
baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin
( Sudoyo AW, 2009 ).

Penatalaksanaan Malaria
a

Istirahat = tidak perlu istirahat mutlak

Diet = makanan biasa

Medika mentosa

27

Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan


memakai obat ACT ( artesimin base combination therapy ). Golongan artesimin
(ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium
yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artesimin juga membunuh plasmodium
dalam semua stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua spesies, P.
falciparum, P.vivax maupun lainnya. Laporan kegagalan ART belum dilaporkan saat
ini. ( Sudoyo AW, 2009 )

Golongan Artemisinin
Berasal dari tanaman Artemisia annua.

Yang disebut dalam bahasa cina

sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai


beberapa formula seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik,
dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2
jam, larut dalam air, bekerja sebgai obat sizontocidal darah. karena berapa penelitian
bahwa pemakaian obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka
direkomendasikan untuk memakai kombinasi obat lain. Dengan demikian juga akan
memperpendek pemakaian obat. Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan
penyediaanya ada yang oral, injeksi dan suppositoria. ( Sudoyo AW, 2009 )
Penggobatan ACT ( Artemisinin base Combination Therapy )

Penggunaanya golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan


terjadinya rekrudensi.

Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan

artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat lain. Hal ini disebut Artemisinin
base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis
tetap (fixed dose) atau kombinasi tidak tetap ( non-fixed dose). Kombinasi dosis tetap
lebih memudahkan pemberian pengobatan.

Contoh ialah Co-Artem yaitu

kombinasi artemeter (20 mg) + lumefantrine (120 mg). dosis Coartem 4 tablet 2x1
sehari selama 3 hari. Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya :

28

Artesunat + meflokuin

Artesunat + amodiakuin

Artesunat + klorokuin

Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin

Artesunat + pironaridin

Artesunat + chlorproguanil-dapson

Artecom + primakuin

Dari kombinasi diatas yang tersedia diindonesia saat ini adalah kombinasi
Artesunat + amodiakuin dengan nama dagang Artediaquine atau artesumoon.
Dosis untuk orang dewasa yaitu artesunat (50 mg/tablet) untuk amodiakuin (200
mg/tablet). Artesumoon ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan
pakai tiap blister/hari (Artesunat + amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis
amodiakuin adalah 25-30 mg/kg BB selama 3 hari. ( Sudoyo AW, 2009 ).

Obat non ACT ialah :


a

Klorokuin Difosfat/Sulfat, 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25 mg basa/kg


BB untuk 3 hari. Pada orang dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hairi I & II
dan 2 tablet hari III. Dipakai untuk P.falsiparum maupun P.vivax.

Sulfadoksin-Pirimetamin (SP), (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimeamin),


dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Atau memakai takaran
pirimetamin 1,25 mg/kg BB. Obait ini hanya dipakai untuk P. falciparum dan
tidak efektif untuk P. vivax.

Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3x10 mg/kg BB
selama 7 hari, dapat dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax. Kina
dipakai sebagai obat cadaangan untuk mengatassi resistensi terhadap
klorokuin dan SP.

Pemakaian obat ini untuk waktu selama 7 hari


29

menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai


d

Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai pelengkap/pengobatan radikal


terhadap P. falciparum dan P.vivax. Pada P.falciparum dosisnya 45 mg (3
tablet) untuk membunuh gamet sedangkan P. vivax dosisnya 15 mg/hari
selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit ( anti-relaps ).
( Sudoyo AW, 2009 )

Sudoyo AW. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V . Jakarta. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI
.

DAFTAR PUSTAKA
30

Sudoyo AW. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Widoyono.2011.Penyakit Tropis Ed.2.Jakarta:Erlangga
(parasitologi kedokteran,FK UI ,jakarta,2008,edisi ke 4,)
Depkes, 2007 c. Pedoman Pengendalian Chikungunya. Ditjen PP dan PL, Depkes.Jakarta
ambar 1. Timeline Antibodi (Depkes,2007)
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Edisi kedua. Jakarta. Erlangga.

31

Anda mungkin juga menyukai