Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas kasih, karunia dan
rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Leukemia
Mieloblastik Akut dengan Paraparese Inferior dengan baik serta tepat pada
waktunya.
Adapun referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas rotasi di bagian
Radiologi RSMH Palembang Periode 15 Maret 2014 30 April 2014 dan juga
bertujuan untuk menambah informasi bagi Penulis dan pembaca tentang Leukemia
Mieloblastik Akut dengan Paraparese Inferior.
Penulis sangat bersyukur atas terselesaikannya tugas ini. Hal ini tidak terlepas
dari dukungan serta keterlibatan berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis ingin
berterima kasih kepada dr. RM. Faisal, Sp.Rad(K) selaku pengajar dan pembimbing di
bagian Radiologi RSMH Palembang.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu,
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata, Penulis mengucapkan terimakasih dan semoga referat ini dapat
memberikan manfaat.
Palembang, April 2014

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu berasal.
Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus
leukemia (kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang
diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar
dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi.
Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi
normal sel lainnya. Seseorang dengan kondisi seperti ini (leukemia) akan

menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan
perdarahan. (Hematologi Klinik Ed. 2.106).
Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri myeloid,
meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain - lain). Di negara
maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia.
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). (Buku
Ajar Hematologi dan Onkologi Anak).
1.2.Tujuan dan manfaat
Tujuan penulisan referat ini adalah agar penulis atau pembaca dapat mengerti
tentang Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) meliputi penyebab, penyebaran,
pengertian, perjalanan penyakit, gejala penyakit, komplikasi dan penatalaksanaan
penyakit ini.

BAB 2
PEMBAHASAN
Leukemia Mieloblastik Akut (LMA)
Definisi
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.
Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam
waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis.
Kemajuan pengobatan LMA dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih
baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi
suportif yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah
untuk mengatasi efek samping pengobatan. (Buku Ajar Hematologi dan Onkologi
Anak).
Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi
yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah
kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf.
3

Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya
menjadi faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa
kimia yang banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara berkembang,
diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga
diketahui dapat menyebabkan LMA.
Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah trisomi
kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down. Pasien Sindrom
Down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai resiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi
untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien
sindrom genetik seperti Sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui
mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk
menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi
jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker
payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu
timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor.
Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan
proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat
terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang
akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome)
yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan
sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan,
sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi,
termasuk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh
manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk
migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit,
tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut
dengan segala akibatnya.

Gejala klinis
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu
dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15%
pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah
tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk
memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk
menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi
yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah
disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia
yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi
dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai
dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi
sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rekti, sehingga organorgan tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100
ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat
aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi,
tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan
kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan
leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit,
sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah
kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan meninbulkan nyeri tulang
yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering dijumpai
sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA
juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah meningen dan untuk penegakan
diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil
melalui prosedur pungsi lumbal.
Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu

berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis


sitogenik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976
menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7).
Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British).
Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan
sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.
Kelainan hematologis yang biasa terjadi adalah anemia dengan jumlah eritrosit
yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3; leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50100 x 103 /mm3 (leukosit yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas);
trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang mengandung
auer body suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.
Sumsum tulang tampak hiperseluler karena mengandung mieloblas yang
masif, sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan
sumsum tulang ini sudah akan jelas meskipun mieloblas belum tampak dalam darah
tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi
sumsum tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi dengan mieloblas.
Diagnosis banding
Leukemia mieloblastik akut harus dibuat diagnosa banding dengan semua
leukemia akut dan anemia aplastik. Apabila ditemukan auer body maka diagnosa
banding tidak sulit ditegakkan, oleh karena kelainan ini patognomis untuk leukemia
mieloblastik akut. Apabila tidak ditemukan auer body maka harus dikerjakan reaksi
peroksidase dimana pada mieloblas peroksidase akan positif.
Anemia aplastik dengan mieloblastik akut yang alekemik dibedakan atas dasar
pemeriksaan sumsum tulang. Secara klinis endokarditis bakterialis mirip leukemia
mieloblastik akut karena adanya demam, anemia, splenomegali, dan petechiae.
Riwayat adanya penyakit jantung, splenomegali yang lebih besar dan tidak adanya
kelainan pada gusi dapat membedakan kedua keadaan ini. Anemia pernisiosa yang
disertai splenomegali dan ptechiae dapat menyerupai leukemia mieloblastik akut.
Komplikasi
Dua macam komplikasi yang sering bersifat fatal yaitu perdarahan serebelar dan
infeksi. Komplikasi yang jarang terjadi adalah keluhan akibat tekanan oleh suatu
tumor leukemia.
6

Penatalaksanaan
Tatalaksana utama adalah dengan memperbaiki keadaan umum seperti pada
kondisi anemia diberikan tranfusi darah. Trombositopeni berat yang mengancam
perdarahan diatasi dengan transfusi konsentrat trombosit. Apabila terdapat infeksi
diberikan antibiotika yang adekuat. Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada
umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan pemberian regimen Doxorubicin 40
mg/mm2 berat badan hari 1-5, dilanjutkan dengan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari
1-7.
Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis serta pemeriksaan sumsum tulang
pada akhir minggu ketiga. Apabila tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat
parsial maka terapi harus diganti dengan regimen lain.
Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap
konsolidasi. Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm 2 hari 1-2 dan Ara C 1-5.
Regimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Apabila keadaan
memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat terjadi remisi
lengkap.
Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan
daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu
selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40%
pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan dounorubisin yang
diberikan sebagai obat tunggal, sedangkan bila diberikan sebagai obat kombinasi
remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. (Buku Ajar Hematologi dan
Onkologi Anak).
Prognosis
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup
lama (30-40 % angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps
setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST
allogenetik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik
LMA mempunyai prognosis lebih baik.

Paraparese Inferior
Definisi
Paraparese inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai.
Paraparese terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN). Paraparese spastik
adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu.
Paraparese spastik disebabkan oleh spondylitis TB, spinal cord injury, genetic
disorder (hereditary spastic paraplegia), autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord
disorder) tumor medulla spinalis, mutiple sclerosis.

Paraparese flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki
penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot,
gerakan sukarela yang sebagian atau seluruhnya hilang. Paraparese flaksid termasuk
polio, lesi pada neuron motorik yang lebih rendah, Guillain Barre syndrome.
Beberapa etiologi penyebab; yaitu tumor medula spinalis yaitu tumor di daerah spinal
yang dapat terjadi pada daerah cervical pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan
atas tumor primer dan sekunder. Tumor primer adalah tumor yang jinak yang berasal
dari tulang, serabut saraf, selaput otak dan jaringan otak dan tumor yang ganas yang
berasal dari jaringan saraf dan sel muda seperti kordoma. Tumor sekunder merupakan
metastase dari tumor ganas di daerah rongga dada, perut , pelvis dan tumor payudara.

Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Beberapa penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih dalam tahap
penelitian adalah virus, kelainan genetik, dan bahan-bahan kimia yang bersifat
karsinogenik. Adapun tumor sekunder (metastasis) disebabkan oleh sel-sel kanker
yang menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah yang kemudian menembus
dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan medulaspinalis yang normal dan
membentuk jaringan tumor baru di daerah tersebut.

10

Pemeriksaan Penunjang
1.
Cairan spinal
Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein danxantokhrom,
dan kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam mengambil dan memperoleh
cairan spinal dari pasien dengan tumor medula spinalis harus berhati-hati karena blok
sebagian dapat berubah menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan
paralisis yang komplit.
2.
Foto Polos
Foto polos tulang belakang berguna untuk skrining, memperlihatkan kelainan
pada 90 % pasien dengan tumor sekunder kolom tulang belakang. Evaluasi foto polos
harus termasuk penilaian :
Perubahan tulang kualitatif (litik, blastik, sklerotik). Kebanyakan metastasis
spinal memperlihatkan perubahan osteolitik. Perubahaan sklerotik atau

osteoblastik paling sering terjadi pada metastasis dari payudara atau prostat.
Daerah yang terkena (elemen posterior, pedikel, badan tulang belakang). Tidak
lazim metastasis spinal mengenai hanya elemen posterior (spine dan lamina).
Lebih sering fokus tumor berlokasi di badan tulang belakang, menyebabkan
kompresi kantung dural serta isinya dari depan. Paling sering, metastasis
spinal mengenai dari lateral, didaerah pedikel, dan meluas keanterolateral dan
keposterolateral. Erosi pedikel lebih dini dan paling sering kelainannya
tampak pada foto polos tulang belakang pasien dengan metastasis spinal.
Radiograf anteroposterior tulang belakang biasanya menampilkan totem of
owls. Erosi pedikel menimbulkan tanda winking owls; erosi pedikel

bilateral menampilkan tanda blinking owl.


Temuan lain (bayangan jaringan lunak paraspinal, tulang belakang yang
kolaps, fraktura dislokasi patologis, dan mal alignment). Daerah erosi pedikel
sering bersamaan dengan bayangan jaringan lunak paravertebral. Hilangnya
integritas struktural bisa menyebabkan kolaps tulang belakang dengan
kompresi baji. Destruksi lebih lanjut badan tulang belakang bisa berakibat
fraktura dislokasi patologis. Fraktura dislokasi patologis paling sering terjadi
didaerah servikal, dimana pergerakan leher luas, posisi tergantungnya kepala,
dan hilangnya sanggaan rangka iga, semua berperan menempatkannya pada
risiko integritas struktural kolom spinal dan alignment anatomik kanal spinal.

3.

Scan Tulang
Menggunakan radioisotop, bisa memperlihatkan adanya tumor spinal metastatik

pada tahap lebih awal dibanding foto polos. Diduga 50-75 % ruang meduler vertebral
11

tergantikan sebelum perubahan radiografik tampak. Namun scan tulang relatif tidak
spesifik. Perubahan degeneratif dan infeksi, seperti tumor spinal, menyebabkan take
positif. Kegunaan scan tulang adalah untuk menunjukkan adanya pertumbuhan
skeletal multipel.
4.
Mielografi
Dimasa lalu merupakan standar untuk menunjukkan lokasi dan tingkat kord
spinal dan akar saraf yang terganggu tumor spinal. Tumor spinal ekstradural,
intradural ekstrameduler dan intrameduler dibedakan dengan pola khas mielografik.
Deviasi kolom kontras menunjukkan asal (anterior, lateral, posterior) massa penekan.
Bila tingkat blok total ditemukan dengan mielografi lumbar adalah berbeda dengan
penilaian klinis, mielografi sisternal harus dilakukan untuk menentukan perluasan lesi
soliter atau untuk menentukan tingkat yang lebih proksimal yang terkena. MRI sudah
menggantikan mielografi sebagai prosedur diagnostik.
5.
Tomografi Aksial Terkomputer (CT scanning)
Berguna menampilkan distribusi tumor spinal, pergeseran kord spinal dan akar
saraf, derajat destruksi tulang, dan perluasan paraspinal dari lesi dalam dataran
horizontal. Juga efektif membedakan kelainan degeneratif jinak tulang belakang dari
lesi neoplastik.
6.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Penatalaksanaan
Tumor Metastasis
Tatalaksana untuk mengurangi nyeri dan untuk mempertahankan atau
memperbaiki fungsi neurologis. Namun mengurangi nyeri serta menjaga atau
memulihkan fungsi neurologis berperan tidak ternilai dalam menjaga kualitas sisa
hidup penderita kanser dan mengurangi kesulitan perawatan. Tindakan radiasi, bedah
atau kombinasinya tetap kontroversi. Radioterapi biasa dipikirkan sebagai terapi
inisial bagi kebanyakan pasien dengan tumor spinal sekunder radiosensitif yang
bergejala dengan tanpa defisit neurologis atau minimal, terutama efektif untuk lesi
limforetikuler. Operasi dipikirkan sebagai pilihan terakhir. Indikasi operasi biasanya
adalah gagal atas radiasi, diagnosis tidak diketahui, fraktur/dislokasi patologis dan
paraplegia yang berlangsung cepat atau sudah berjalan lanjut.
Prognosis
Prognosis pasien dengan metastasis spinal simptomatis bervariasi. Tindakan
tergantung beratnya defisit, lamanya gejala, jenis tumor, lokasi tumor dan derajat
penyakit.

12

BAB 3
PENUTUP
Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel
darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau
bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya
sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah
(berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah
yang membantu proses pembekuan darah).
Sampai saat ini penyebab penyakit leukemia belum diketahui secara pasti,
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia yaitu :
1. Radiasi.
2. Leukemogenik: beberapa zat kimia dilaporkan telah diidentifikasi dapat
mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia, misalnya racun lingkungan seperti
benzena, bahan kimia industri seperti insektisida, obat-obatan yang digunakan untuk
kemoterapi.
3. Herediter: penderita sindrom Down memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih
besar dari orang normal.

13

4. Virus: beberapa jenis virus dapat menyebabkan leukemia, seperti rotavirus, virus
leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
Sistem terapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia
adalah kombinasi antara kemoterapi dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada
pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal dalam sumsum tulang.
Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala dan tanda yang telah
ditampakkan oleh tubuh penderita dengan monitor yang komprehensif.

KASUS
I.

IDENTIFIKASI
Seorang anak laki-laki, usia 2 tahun 5 bulan, berat badan 13 kg, tinggi badan 90
cm, beralamat di Lubuk Linggau. Dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSMH pada tanggal 4 Maret 2014.
Anamnesis
Keluhan utama: demam.
Keluhan tambahan: kelemahan pada kedua kaki .
Riwayat perjalanan penyakit:
Tiga hari SRMS anak demam yang tidak terlalu tinggi, demam bersifat
naik turun, turun apabila diberi obat penurun panas, batuk (+), pilek (+), BAB
dan BAK tidak ada keluhan. Anak mulai mengeluh kaki terasa lemas, saat
digunakan berdiri, anak cenderung terjatuh sehingga anak menolak untuk
berdiri, nyeri (-), bengkak pada kedua kaki (-). Anak belum dibawa berobat.
Satu hari SMRS anak masih demam, anak mulai mengeluh susah
BAK, saat BAK anak tampak kesakitan dan menjadi sering BAK tetapi
sedikit-sedikit. BAB dalam batas normal. Anak kemudian dibawa ke Graha
RSMH dan disarankan untuk rawat inap.
Riwayat penyakit dahulu
- Anak telah terdiagnosa AML sejak Januari 2014, sudah mendapat kemoterapi
siklus pertama. Anak kontrol dan minum obat secara teratur.

14

- Anak telah terdiagnosa hipotiroid dan sindrom Down, sedang menjalani terapi
dengan tyrax selama 21 hari.
- Riwayat terjatuh disangkal.
- Riwayat sulit BAK sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat

penyakit

yang

sama

dalam

keluarga

disangkal.
Riwayat keluarga
Penderita merupakan anak pertama dengan status sosial dan ekonomi cukup.

Riwayat kehamilan dan kelahiran


Penderita merupakan anak yang diharapkan, ANC teratur ke SpOG tiap bulan.
Ibu hanya mengkonsumsi vitamin yang diberikan oleh dokter, riwayat minum
obat-obatan lain disangkal. Riwayat memelihara kucing atau anjing disangkal.
Riwayat sering demam atau menderita ruam saat hamil disangkal. Usia ibu
saat hamil adalah 32 tahun.
Anak lahir ditolong SpOG, spontan, cukup bulan, lahir langsung menangis,
berat badan lahir 2.800 gram, panjang badan tidak diketahui.
Riwayat imunisasi
BCG (+), scar (+), DPT I, II, III (+), Hepatitis I, II, III (+), Polio I, II, III, IV

(+), Campak (+).


Kesan: imunisasi dasar lengkap dan diberikan sesuai umur.
Riwayat makan
- ASI
: dari lahir sampai usia 2 tahun.
- PASI
: 3 bulan sampai usia 2 tahun.
- Bubur susu : mulai usia 4 bulan sampai 8 bulan.
- Nasi tim
: usia 9 bulan sampai 11 bulan.
- Nasi biasa : 1 tahun sampai dengan sekarang
Kesan: kualitas dan kuantitas cukup
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
-

Tengkurap usia 6 bulan.


Duduk usia 12 bulan.
Merangkak usia 18 bulan.
Saat ini anak belum dapat berdiri dengan sempurna, dapat berdiri apabila

dibantu.
- Anak belum dapat berbicara dengan lancar, hanya dapat mengucapkan
beberapa suku kata, misalnya mama, papa, mamam.
Kesan: riwayat pertumbuhan dan perkembangan terlambat.

15

II.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum:
Kesadaran: Kompos Mentis, GCS: E4M6V5=15, Nadi: 110x/menit (isi dan
tegangan cukup), pernapasan: 28x/menit, suhu: 38,5 oC.
BB: 13 kg; TB: 90 cm. BB/U: 80% ; TB/U: 88 % ; BB/TB: 86% LK: 44 cm
(normosefali).
Kesan: status gizi baik.
Keadaan spesifik:
Kepala
: wajah dismorfik, pupil bulat isokor, 3/3 mm, refleks cahaya +/
+, konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-).
Leher
: JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak membesar.
Thoraks : bentuk normal, simetris, retraksi (-).
Jantung

: bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : datar, lemas, hepar tidak teraba membesar, lien teraba di


Schuffner II, bising usus (+) normal, teraba massa di regio iliaka kanan-kiri.
Ekstremitas: akral dingin(-), sianosis(-), spastis(-), CRT<3.
Status neurologik:
Pemeriksaan

Tungkai

Lengan

Lengan

Motorik

Kanan

Kanan

Kiri

Gerakan

Terbatas

Terbatas

Luas

Luas

Kekuatan

Tonus

Hipotoni

Hipotoni

Eutoni

Eutoni

Klonus

Tidak ada

Tidak ada

Refleks fisiologi Menurun

Menurun

Normal

Normal

Refleks patologi

Tungkai Kiri

Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan otonom
Pemeriksaan nervus kranialis
GRM

: dalam batas normal.


: dalam batas normal.
: dalam batas normal.
: tidak ditemukan.

RINGKASAN DATA DASAR


Seorang anak laki-laki, usia 2 tahun 5 bulan, berat badan 13 kg, tinggi badan 90
cm, beralamat di Lubuk Linggau. Dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH
pada tanggal 4 Maret 2014. Anak datang dengan keluhan utama demam dan keluhan
tambahan adanya kelemahan pada kedua tungkai bawah.
Tiga hari SRMS anak demam yang tidak terlalu tinggi, demam bersifat naik
turun, turun apabila diberi obat penurun panas, batuk (+), pilek (+), BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Anak mulai mengeluh kaki terasa lemas, saat digunakan berdiri,
16

anak cenderung terjatuh sehingga anak menolak untuk berdiri, nyeri (-), bengkak pada
kedua kaki (-). Anak belum dibawa berobat.
Satu hari SMRS anak masih demam, anak mulai mengeluh susah BAK, saat
BAK anak tampak kesakitan dan menjadi sering BAK tetapi sedikit-sedikit. BAB
dalam batas normal. Anak kemudian dibawa ke Graha RSMH dan disarankan untuk
rawat inap.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran: kompos mentis, nadi:
110x/menit (isi dan tegangan cukup), pernapasan: 28x/menit, suhu: 38,5oC, status gizi
baik. Keadaan spesifik: kepala: wajah dismorfik, pupil bulat isokor, reflek cahaya
normal; thorak: simetris, retraksi (-); jantung: bunyi jantung I dan II normal, murmur
(-), gallop (-); paru: vesikuler, ronki (-), wheezing (-); abdomen: datar, lemas, hepar
tidak membesar, lien teraba di Schuffner II, BU(+) normal, teraba massa di regio
iliaka kanan-kiri; ekstremitas: akral dingin (-), sianosis(-). Status neurologis: gerakan
tungkai bawah terbatas dengan kekuatan 3, reflek fisiologis menurun, tidak dijumpai
reflek patologis dan gejala rangsang meningeal.
Masalah awal
1.
2.
3.
4.

Demam ec suspek demam neutropenia, ISK


Paraparese inferior ec suspek metastase keganasan
Sindrom Down
Retensio urin ec suspek neurogenic bladder, suspek metastase keganasan,

penekanan massa
5. Massa regio iliaka kanan-kiri
Rencana diagnostik
1. Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, fungsi ginjal, urinalisa rutin
2. Rontgen lumbosacral AP/lateral
3. CT scan lumbosacral sentrasi L4-S3

Rencana terapi
1. IVFD D5 NS 1150 cc/24 jam gtt 10 makro
2. Parasetamol 3x200 mg (po)
3. Ceftriaxone 1x1,3 gr (iv)
4. Thyrax 2x25 g (po)
5. Diet 1300 kkal + protein 25 gr dalam bentuk susu Pediasure 3x200cc dan
F135 5x100 cc (anak menolak makan)
6. Pemasangan kateter uretra berkala untuk mengatasi retensi urine
7. Monitoring : tanda vital (suhu, nadi, laju napas)

17

PENUTUP
Terima kasih saya sampaikan kepada dr. RM. Faisal, SpRad(K) yang telah
membimbing saya sehingga laporan kasus ini dapat diajukan.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta, I made. Hematologi Klinik Anak. Jakarta: EGC, 2006
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1996.
3. Desen, Wan. Penatalaksanaan Hematologi Onkologi Anak. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
4. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi 4.Jakarta:
EGC, 2005
5. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi
Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005
6. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2006.
7. Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit Alumni :
Bandung. 1997.
8. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003

19

Anda mungkin juga menyukai