Anda di halaman 1dari 3

TOTALISASI

UNCONVENTIONAL GAS SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF ENERGI MASA DEPAN DI


INDONESIA BERDASARKAN ASPEK KETEKNIKAN, KEEKONOMIAN DAN LINGKUNGAN.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari flora, fauna, mineral hingga
energi. Kekayaan energi yang dimiliki Indonesia tidak hanya berkaitan dengan jumlahnya saja melainkan
juga keragamannya. Indonesia kaya akan berbagai jenis energi baik yang berbasis fosil, nonfosil,
konvensional hingga non konvensional sehingga menjadi salah satu kekuatan energi Indonesia. Oleh
karena itu, kami memilih topik energi alternatif untuk tulisan kali ini.
Melihat kondisi sekarang, sektor minyak menjadi produsen nomor 1 di dunia sebagai energi utama.
Namun harga minyak yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu memungkinkan untuk berpikir
menggunakan energi alternatif yang lain, yang ramah lingkungan dan bernilai ekonomis yang dapat
dipakai untuk semua kalangan masyarakat.
Gas non konvensional merupakan solusi alternatif energi di Indonesia yang dibutuhkan saat ini, yang
merupakan investasi bernilai TOTAL yang dapat menggantikan hegemoni konsumsi minyak dunia di
masa sekarang dan yang akan datang, jika dikelola dengan baik. Gas non konvensional merupakan gas
yang terbentuk dan terjebak (trap) langsung pada batuan induk (source rock). Sedangkan gas
konvensional yang banyak digunakan sekarang terbentuk di batuan induk (source rock) kemudian
bermigrasi dan terjebak (trap) pada lapisan batuan sedimen. Kecuali CBM, letak gas non-konvensional di
bawah permukaan bumi. Shale gas, shale oil, tight sand gas, gas methana batubara (CBM) dan methane
hydrate merupakan jenis migas non konvensional. Migas non konvensional ini dapat ditemukan
pada reservoir dengan permeabilitas lebih besar dari 1 md (milli darcy) dan dapat diekstrak
menggunakan teknologi tertentu seperti hydraulic fracturing dan directional drilling.
Gas non konvensional ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1981 oleh Mitchell dan devon yang
merupakan insinyur di ladang gas di Amerika dengan konsep sumur vertikal yang mempermudah
ekstraksi gas non-konvensional. Pada tahun yang sama di formasi Shale Barnett Fort Worth Basin, Texas
Utara/Tengah, dikembangkan sebuah konsep visioner yang kemudian mengubah peta energi dunia.
Di Indonesia sendiri potensi Shale gas cukup besar yaitu sekitar 574 TCF (Trillion Cubic Feet) dari TOTAL
cadangan dunia sebesar 6622 TCF. Cadangan Shale gas lebih besar dibandingkan CBM sekitar 453,3 TCF
dan gas bumi 334,5 TCF. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan pemerintah, hingga saat ini
terdapat 7 cekungan di Indonesia yang mengandung Shale gas dan 1 berbentuk klasafet formasi
cekungan terbanyak berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa
Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, Shale gas masing-masing berada di 2
cekungan. Di Papua, berbentuk klasafet formation.
Cadangan CBM Indonesia tersebar dalam 11 cekungan. Dengan cadangan 453,3 TCF, Indonesia termasuk
nomor 6 di dunia, berdasarkan evaluasi yang dilakukan Advanced Resources International, Inc (ARI)
tahun 2003. Rusia menempati posisi teratas dengan cadangan sekitar 450-2.000 TCF. Selengkapnya hasil
evaluasi ARI mengenai cadangan CBM di dunia, sebagai berikut:
1. Rusia: 450-2.000 TCF
2. China: 700-1.270 TCF
3. Amerika Serikat: 500-1.500 TCF
4. Australia/New Zealand: 500-1.000 TCF

5. Kanada: 360-460 TCF


6. Indonesia: 400-453 TCF
7. Afrika bagian Selatan: 90-220 TCF
8. Eropa bagian Barat: 200 TCF
9. Ukraina: 170 TCF
10. Turki: 50-110 TCF
11. India: 70-90 TCF
12. Kazakhstan: 40-60 TCF
13. Amerika bagian Selatan/Meksiko: 50 TCF
14. Polandia: 20-50 TCF.
Cadangan CBM Indonesia terutama berlokasi di Sumatera Selatan sebesar 183 TCF, Barito 101,6 TCF,
Kutai 80,4 TCF dan Sumatera Tengah 52,5 TCF.
Dengan melihat kondisi tersebut, kita optimis bisa menjadi produsen energi di masa yang akan datang
dengan syarat TOTALisasi energi yang ada saat ini. Namun dengan keadaan Indonesia sekarang yang
ambruadul yang masyarakatnya ikut dalam politik bebas tanpa melihat keadaan sekitar yang
menedepankan kepentingan diri dan kelompoknya diperlukan kebijakan dari semua kalangan
pemerintah, kontraktor, masyarakat, engineer serta perusahaan selaku penggerak komoditi tersebut.
Diperlukan strategi kebijakan yang dapat menTOTALisasikan optimisme kita saat ini yaitu analisis
keekonomian migas yang ramah lingkungan. Gas alam mengeluarkan emisi karbon dioksida lebih sedikit
daripada bensin ketika dibakar. Dengan demikian, gas alam dianggap sebagai "bahan bakar hijau"
meskipun dalam keadaan mentah, metana yang terpancar lebih merusak lapisan ozon daripada CO2,
dan rekahan pancaran gas, yang dikenal sebagai fracking, telah menjadi bahan kritikan bagi pemerhati
lingkungan, namun seiring dengan berkembangnya teknologi saat ini telah berkembang solusi untuk
mengurangi gas emisi yang dihasilkan dari gas unconventional saat ini seperti di injeksikan kembali,
digunakan langsung, digunakan dengan pemrosesan terlebih dulu, dibuang ke badan air, hingga
diuapkan dipermukaan. Pemilihan proses ini sangat tergantung oleh baku mutu lingkungan tempat
produksi, pertimbangan ekonomi, lapisan yang cocok untuk injeksi kembali, iklim, dan komposisi kimia
dari air itu sendiri.
Untuk konsumen individu, infrastruktur pengisian bahan bakar masih terbatas. Dan gas terkompresi
atau gas cair masih mahal dan membutuhkan kapasitas penyimpanan yang besar, terbatas pada jenis
kendaraan tertentu, oleh karena itu dibutuhkan pipa gas alam dan penyimpanan memiliki fasilitas yang
lebih besar dan lengkap, serta keamanan yang sangat baik. Hal ini sangat penting karena apabila
kebocoran gas alam terjadi dapat menyebabkan kecelekaan yang lebih parah. Karena bahan baku gas
bumi tidak memiliki bau, gas alam perusahaan menambahkan berbau substansi untuk agar orang-orang
akan tahu jika ada kebocoran.
Berdasarkan dari berbagai sumber, setidaknya kami memperoleh indikator keekonomian untuk
menjadikan unconventional lebih ekonomis dibandingkan dengan gas conventional yang kita gunakan

saat sekarang ini. Produksi awal, puncak laju produksi, jumlah sumur rata-rata, biaya sumur, faktor
perolehan, bagi hasil dalam hal ini pemerintah dan kontraktor, serta biaya tambahan berupa teknologi
penunjang produksi. Dari berbagai indikator diatas untuk menarik investor untuk mengembangkan
energi unconventional gas dibutuhkan kerjasama antara pemerintah, kontraktor, serta masyarakat itu
sendiri sehingga kelak menjadikan energi ini sebagai energi yang berinvestasi TOTAL.
Hambatan lain dalam pengembangan unconventional gas di Indonesia selain lingkungan, ekonomi, dan
prosesnya yaitu masih tingginya subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Sebagai sumber energi
utama, membuat unconventional gas akan kesulitan untuk menembus pasar domestik, serta banyaknya
masyarakat yang menganngap bahwa energi saat ini masih mempunyai banyak cadangan sehingga
masyarakat dengan bebasnya menggunakan energi secara besar-besaran.
Oleh karena itu melaui tulisan ini saya mengajak untuk semua kalangan agar dapat mengerti, memahami
serta mengaplikasikan budaya hemat energi mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Mulai
dari status ekonomi tinggi, menengah, serta bawah, industri serta rumahan untuk membudayakan
hemat energi. Mensosialisasikan serta mencontohkan kepada masyarakat akan pentingnya
penghematan energi saat dini untuk kelangsungan kita di masa yang akan datang.
Penulis : Hardiansyah
Mahasiswa Teknik perminyakan INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS BANDUNG
SEMESTER 4 (Tingkat Dua)

Anda mungkin juga menyukai