islamjustru di anjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar abduktif
yaitumencoba memadukan model berfikir deduktif dan induktif. Nalar abduktif ini mirip dengan nalar
sui generis kum empiris. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash-nash
dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu islam yang lengkap (konfrehensif), luar
biasa, dan kelak dapat menuntaskan problem-problem social kekinian dan keindonesiaan.
Epistimologi irfani
Epistimologi irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Sumber pengetahuan
nya irfani adalah pengalaman (experience). Dari irfani kemudian muncul illuminasi (illuminatif).
Analogi dalam nalar irfani ada 3 (tiga ) yaitu:
Penyerupaan didasarkan pada korespodensi numeris
Penyerupaan didasarkan pada suatu representasi
Penyerupaan ritoris dan puitis.
Tekhnik-tekhnik penelitian khusus dalam nalar irfani:
Riyadah : rangkaian latihan dan ritus, dengan penahapan dan prosedur tertentu.
Tariqah : sebagai kehidupan jamaah yang mengikuti aliran tasawuf yang sama.
Ijazah : dalm penelitian irfaniah , kehadiran guru (mursyid) sangat penting. Mursyid membimbing
murid dari tahap satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu , mursyid memberikan wewenang
(ijazah) kepada murid.
Dalm nalar irfani yang menjadi tolak ukur adalah memahami perasaan orang lain, simpati, empati.
Keputusan tidak didasarkan pada yang tersurat atau formalitas, namun lebih kepada yang tersirat dan
apa yang dirasakan pihak lain.dalam studi islam keilmuan yang termasuk dalam kategori ini adalah
tasawuf dan akhlak.
Dalam pandangan Amin Abdullah , ketiga nalar keilmuan di atas tidak dapat berdiri sendiri , namun
harus saling berhubungan satu nalar dengan yang lain. Dalam diri seorang harus ada ketiga nalar
tersebut sehingga ketika mencermati dan menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami secara sepihak
dan satu alur, namun dilihat secara komfrehensif, baik dari aspek formal, makna, dan penyebab
terjadinya hal tersebut.
Menembus Batas Pencerahan; Genealogi Tajdid Muhammadiyah
Posted on 11 Mei 2008 by Kang Yayan| Tinggalkan komentar
Menembus Batas Pencerahan; Genealogi Tajdid Muhammadiyah
Oleh: Yayan Sopyani Al-Hadi
(Sudah dimuat di Bulletin Pemikiran Insight)
Istilah pencerahan peradaban merupakan tema sentral muktamar Muhammadiyah beberapa bulan yang
lalu di Malang Jawa Timur. Namun, sampai saat ini Muhammadiyah belum bisa merumuskan gagasan
tersebut dalam tataran praksis sosial, pergerakan dan amal usaha. Hal ini dikarenakan gagasan tersebut
masih menyisakan problem metodologis. Tak heran bila Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran
Islam telah berganti nama menjadi Majlis Tarjih dan Tajdid. Hal ini menunjukan bahwa gagasan
pencerahan peradaban masih menggantung dalam diskursus ontologis, belum dirumuskan secara
epistemologis dengan rinci sebagai cara pandang dari teologi dan ideologi yang dijadikan sandaran.
Epistemologi sering dipahami sebagai filsafat pengetahuan yang mempelajari dan mencoba menentukan
kodrat serta scope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Epistemologi diawali dengan rasa skeptis ( keraguraguan) atas segala pernyataan dan kenyataan.
Dalam sejarah filsafat Barat, Plato sering dianggap sebagi pengagas epistemologi karena dia yang
pertama kali mencoba mengolah dasar- dasar pengetahuan. Setelah mengalami masa kegelapan (dark
ages), didunia Barat epistemologi dibahas ulang oleh bapak filsafat modern, Rene Descartes. Dengan
mengawalinya dari cogito ergu sum ( aku berpikir maka aku ada) maka rasionalisme dibangun. Tak lama
kemudian rasionalisme diserang oleh kaum positivis dengan pendekatan empiris. Kemudian, rasionalisme
dan empirisme mendapat eklektisasi (pembauran) dari seorang filosuf Jerman, Imanuel Kant dengan
istilah kritisisme. Memang dialetika wacana epistemologi terus bergejolak. Dekontruksi antar teori dan
beragam pendekatan terus berlanjut.
Kedua, Burhani. Dalam epistemologi ini sumber pemahaman dan pemknaan didapatkan dari akal dengan
pendekatan demontratif- rasional-kontekstual (burhani al-waqi). Epistemologi ini adalah pembauran dan
usaha harmonisasi yang dilakukan para filosof muslim antara tata bahasa Arab dengan logika Yunani dan
antara teologi dengan filsafat.
Ketiga, Irfani. Epistemologi ini menekankan sumber pengetahuan pada pengalaman mistik ritual
(experiental-gonstik) dengan pendekatan al-kasaf (unveiling, decouverte) dan al-ayan ( intuituf). Nalar
irfani, didukung dan dikembangkan oleh kaum sufi dan dipraktekan oleh tarekat- tarekat sufiyah.
Ketiga nalar ini menjadi arus utama epistemologi pemikir yang beraliran Asariyah dalam teologi atau
Ahl as-sunnah Wa al-Jamaah dalam politik. Namun sayang, ketiga epistemologi yang lebih bersifat
tipologis ini ini tidak dijadikan sebagai modal pemikiran tapi dijadikan dikotomik sebagi basis konflik
dan pertentangan. Tak mengherakan bila terjadi takfir ( pengkafiran) antara satu pemikir dengan pemikir
lain. Ibnu Sina, pengguna nalar Burhani (Rasional paripatetik), disesatkan oleh Al-Ghozali, pengguna
nalar irfan-bayan ( tasawuf-sunni). Bahkan dalam kitabnya, al-Munqid min al-Dholal, al- Ghozali
mengkafirlan Ibnu Sina. Sementara, itu al-Ghozali dianggap bodoh oleh Ibnu Rusdy dalam kitabnya atTahafut fi at-Tahafut. Abu Hanifah dianggap telah membuat syariat baru oleh Imam Syafii ketika
mengunakan metodologi istihsan dalam yurisprudensi Islam. Sedangkan Syafii dianggap sesat oleh Ibnu
Hazm dalam bukunya Ibthol al-Qiyas karena mengunakan analogi dalam istinbat al- ahkam (pengambilan
konklusi hukum). Tak sekedar itu, Ibnu Hazm dengan tajam menyindir Syafii, dengan menyebutkan
bahwa yang pertama kali mengunakan analogi adalah iblis. Lebih dari semuanya, Al-Hallaj, pengguna
Nalar ifran ( mistik), mesti diesksekusi dengan cara digantung dan dibakar karena dianggap telah sesat
oleh para ulama fikih pengguna nalar bayan .