Pengertian Puasa Edited
Pengertian Puasa Edited
PUASA
Disusun Oleh:
Kelompok 3 Kelas 1B PBI
Dian Karyani Astuti
Ikrima Nur Endah
Restu Esa Putra
PUASA
A
Pengertian Puasa
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa. (Al-Baqarah:183)
Hadits
: :"
(
) ."
Dari Anas bin Malik berkata : Rosulullah Shollallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda : Allah mewajibkan puasa atas umatku selama tiga puluh
hari dan meewajibkan atas umat-umat yang lain lebih sedikit atau
lebih banyak. Hal tersebut disebabkan karena ketika Adam memakan
bagian dari pohon (syajroh) di dalam perutnya selama tiga puluh hari.
Maka ketika Allah menerima taubatnya Allah memerintahkannya utk
berpuasa selama tiga puluhhari termasuk pada malam harinya. Dan
diwajibkan atasku dan umatku (utk berpuasa) pada siangnya saja dan
kita makan dimalam harinya sebagai keutamaan dari Allah Azza wa
Jalla.
Derajat Hadits : Dhoif (lemah)
-
D. Rukun puasa :
1. Niat
2. Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit
fajar hingga terbenam matahari
" :
(
")
Dari Abu hurairah Radliyallahu 'Anhu barangsiapa yang berbuka
(membatalkan puasanya) satu hari saja di bulan Ramadhan tanpa
sebab (syari) dan juga bukan karena sakit maka tidak dapat
digantikannya walaupun dengan puasa selama satu tahun penuh.
F. Macam-macam Puasa
A. PUASA WAJIB
1.Puasa Ramadhan
Allah taala berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk
berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2] : 183).
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, Puasa Ramadhan
merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia)
diantaranya :
1.Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra, Rasulullah saw,
bersabda :
Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini
dapat menghapus dosa selama setahun
sebelumnya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Ibnu Abbas ra berkata :
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw, berupaya
keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang
lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan
bulan Ramadhan. (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Ibnu Abbas ra berkata :
Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada
hari Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?.
Mereka menjawab :ini adalah hari istimewa, karena
pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari
musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari
ini. Rasulullah pun bersabda :
"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian
Maka beliau nerpuasa dan memerintahkan
shahabatnya untuk berpuasa. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
4.Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas ra berkata :
Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari asyura
dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa,
mereka (para shahabat) berkata : "Ya Rasulullah ini
adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani".
kiamat kelak ,orang yang berpuasa akan masuk syurga melalui pintu
kusus yakni Rayyan.puasa jg menjadi benteng yang tangguh untuk
melindungi seseorang dari panasnya nerakayg membara,demikian
hadist riwayat Bukhari dan Muslim.Tak hanya itu,puasa jg dapat
menyucikan jiwa seseorang yang menjalankannya.Hadist riwayat Ibnu
Majah menyebut,''Segala sesuatu ada zakat pencucinya,sedangkan
zakat jiwa itu adalah dengan berpuasa.dan puasa itu separuh
kesabaran.
.
.
:
.
.
:
.
Dari Abi Murrah Maula (bekas budak) Umi Hani, Bahwa ia bersama
Abdullah bin Amr datang kepada ayahnya Amru bin Ash, Maka
disuguhkanlah kepada mereka berdua makanan. Ia (Amr bin Ash),
Makanlah. Ia (Abdullah bin Amr) menjawab, Aku sedang puasa.
Maka Amr bin Ash berkata, Makanlah, karena hari ini adalah hari
dimana Rasulullah shallallohu alaihi wasallam memerintahkan kita
untuk berbuka (makan) dan melarang dari berpuasa pada hari ini.
Malik berkata, (yang dimaksud) Itulah hari-hari tasyriq
(Dishohihkan Oleh Syeikh al-Albany dalam Shohih Sunnan Abi Daud)
Hari 11, 12 dan 13 Dzulhijjah adalah Hari Tasyrik
Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam
dianjurkan untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman
yang sedang mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum
berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah
tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat
saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan
kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.
I. Hikmah-hikmah Puasa :
b. Sarana yang disediakan oleh Allah SWT untuk mencapai
Taqwa.
c. Puasa merupakan sarana pendidikan dan latihan
d. Menumbuhkan jiwa social atau kesadaran bermasyarakat
e. Menyehatkan tubuh
f. Puasa membuat awet muda atau menunda proses
penunaan.
g. Puasa adalah cara terbaik untuk menjaga keselarasan dan
keindahan fisik.
.
Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho
puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat.[3]
Catatan: Adapun untuk wanita hamil dan menyusui apakah mesti ada
qodho puasa, maka ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini.
Ada ulama yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui mesti
mengqodho puasanya ditambah dengan mengeluarkan fidyah. Ada
pula yang mengatakan cukup mengqodho puasa saja tanpa fidyah.
Yang lain lagi mengatakan cukup mengeluarkan fidyah saja. Intinya,
pembahasan mengenai puasa bagi wanita hamil dan menyusui butuh
penjabaran tersendiri. Sedangkan yang penulis pilih wal ilmu
indallah- adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ishaq dan ulama
belakangan seperti Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa wanita
hamil dan menyusui yang khawatir pada diri atau anaknya ketika
berpuasa, cukup baginya mengeluarkan fidyah tanpa harus
mengqodho. Alasannya, pendapat ini adalah perkataan Ibnu Abbas
ketika menjelaskan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah
ayat 185). Sehingga perkataan ini dinilai marfu (sabda Nabi)
sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul. Namun, kami tetap
menghargai pendapat ulama lainnya dalam permasalahan ini dan
mudah-mudahan kita bisa lapang dada dengan perselisihan yang ada.
Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan
Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya
pada kami, Apakah aku wajib untuk mengqodho puasa tersebut?
Kami pun akan menjawab, Tidak wajib bagimu untuk mengqodho
puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.[8]
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu
awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia
telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil
dan tidak ada manfaat sama sekali.
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin
di atas dengan mengatakan, Lalu kenapa ada qodho bagi orang yang
memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang
tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho, artinya lebih
layak untuk mengganti shalat atau puasanya.
Syaikh Ibnu Utsaimin alhamdulillah- telah merespon perkataan
semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, Seseorang yang
memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya
tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah
sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, Shalatlah ketika dia
ingat.
Catatan:
Adapun perkataan Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang disebutkan
oleh Bukhari secara muallaq (tanpa sanad) dan dikatakan sebagai
hadits marfu (sabda Nabi),
Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur
(alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini
tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang
mampu melakukannya.
Juga ada perkataan yang serupa dari Ibnu Masud, maka hadits-hadits
tersebut adalah hadits yang dhoif sebagaimana disebutkan oleh
mayoritas ulama.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, Hadits ini
adalah hadits dhoif (lemah) menurut mayoritas ulama. Walaupun
hadits tersebut dhoif, namun kita dapat melihat permasalahan orang
yang tidak puasa tanpa udzur pada kaedah ushul. Kaedah tersebut
adalah: Sesungguhnya seseorang jika ibadahnya itu batal, maka dia
memiliki keharusan untuk mengqodhonya. Sebagaimana seseorang
yang shalat kemudian shalatnya tersebut batal karena sebab hadats,
tertawa, makan, dan minum; maka dia juga memiliki keharusan untuk
mengqodho shalatnya. Begitu pula dengan puasa, jika puasanya
tersebut batal, maka dia memiliki kewajiban untuk mengqodho
puasanya.
Hal ini berbeda dengan seseorang yang tidak puasa atau tidak shalat
sama sekali. Menurut mayoritas ulama, mereka mengatakan, Orang
yang tidak shalat atau tidak puasa diharuskan mengqodho puasa atau
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz pernah menjabat sebagai
ketua Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan,
Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho puasa Ramadhan
hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur
untuk menunaikan qodho tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat
dan menunaikan qodho atau dia memiliki kewajiban kafaroh?
Syaikh Ibnu Baz menjawab, Dia wajib bertaubat kepada Allah
subhanahu wa taala dan dia wajib memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho
puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha
Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras
atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai
ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal
inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu anhum
seperti Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Namun apabila dia
menunda qodhonya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau
pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa,
maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho
puasanya.[15]
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho
puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki
kewajiban: [1] Bertaubat kepada Allah, [2] mengqodho puasa, dan
[3] wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar
setengah sho (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho.
Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit),
sehingga dia menunda qodho Ramadhan hingga Ramadhan
berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho
puasanya saja. Hanya Allah yang memberi taufik.
Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
kemudian dia berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan
[dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar],
apakah aku harus mempuasakannya? Kemudian Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau
tunaikan.[20]
Hadits Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum
sedangkan hadits Ibnu Abbas membicarakan utang puasa nadzar.
Pendapat ketiga: Dipuasakan khusus untuk puasa nadzar saja, tidak
untuk qodho puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad,
Ishaq, Abu Ubaid dan Al Laits.
Pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua yaitu bagi orang
yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa (baik puasa
nadzar maupun puasa Ramadhan), maka ahli warisnya nanti yang
akan membayar qodho puasanya.
Alasan pendapat kedua lebih kuat adalah:
1. Surat An Najm ayat 39 memiliki pengecualian yaitu ada beberapa
amalan yang dilakukan oleh orang lain dan bemanfaat untuk orang
yang sudah mati di antaranya adalah amalan puasa.
2. Untuk hadits Abu Hurairah bahwa amalan manusia itu terputus
kecuali dari tiga perkara, maksud hadits ini adalah terputusnya amalan
mayit dan bukan yang dimaksudkan adalah terputusnya amalan orang
lain untuk si mayit.
3. Puasa yang boleh diqodho oleh ahli waris si mayit bukanlah hanya
puasa nadzar saja, namun berlaku pula untuk puasa Ramadhan.
Alasannya, hadits Aisyah dan Ibnu Abbas tidaklah saling
bertentangan. Hadits Aisyah memang bersifat umum yaitu
membicarakan puasa secara umum. Sedangkan hadits Ibnu Abbas
membicarakan puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits Aisyah tidak
yang sedang hamil atau menyusui tercakup dalam makna firman Allah,