Anda di halaman 1dari 43

TUGAS PRESENTASI FIQIH

PUASA

Disusun Oleh:
Kelompok 3 Kelas 1B PBI
Dian Karyani Astuti
Ikrima Nur Endah
Restu Esa Putra

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF


HIDAYATULLAH JAKARTA
2009

PUASA
A

Pengertian Puasa

Pengertian As-Shaum (puasa) menurut bahasa adalah menahan diri


dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah agama (syara) adalah
menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, mulai dari
terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan syaratsyarat tertentu.
Allah SWT berfirman:


















Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa. (Al-Baqarah:183)

Hadits

: :"









(







) ."







Dari Anas bin Malik berkata : Rosulullah Shollallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda : Allah mewajibkan puasa atas umatku selama tiga puluh
hari dan meewajibkan atas umat-umat yang lain lebih sedikit atau
lebih banyak. Hal tersebut disebabkan karena ketika Adam memakan
bagian dari pohon (syajroh) di dalam perutnya selama tiga puluh hari.
Maka ketika Allah menerima taubatnya Allah memerintahkannya utk
berpuasa selama tiga puluhhari termasuk pada malam harinya. Dan

diwajibkan atasku dan umatku (utk berpuasa) pada siangnya saja dan
kita makan dimalam harinya sebagai keutamaan dari Allah Azza wa
Jalla.
Derajat Hadits : Dhoif (lemah)
-

Di keluarkan oleh Al Khothib dalam Tarikh Baghdad no: 6991

Ibnu Al Jauzy daam Al Maudhuat no. 101

B. Syarat-syarat Wajib Puasa


1. Berakal sehat
2. Baligh (sudah cukup umur)
3. Mampu melaksanakannya

C. Syarat sah puasa :


1. Islam (tidak murtad)
2. Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
3. Suci dari haid dan nifas
4. Mengetahui waktu diterimanya puasa

D. Rukun puasa :
1. Niat
2. Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit
fajar hingga terbenam matahari

E. Hal-hal yang dapat Membatalkan Puasa

1. Makan atau minum dengan sengaja


2. Berhubungan suami istri
3. Keluar mani dengan sengaja
4. Muntah dengan sengaja
5. Hilang akal
6. Keluar haid atau nifas
Hadits





" :






























(





")
Dari Abu hurairah Radliyallahu 'Anhu barangsiapa yang berbuka
(membatalkan puasanya) satu hari saja di bulan Ramadhan tanpa
sebab (syari) dan juga bukan karena sakit maka tidak dapat
digantikannya walaupun dengan puasa selama satu tahun penuh.

F. Macam-macam Puasa
A. PUASA WAJIB
1.Puasa Ramadhan
Allah taala berfirman,


Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk
berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2] : 183).
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, Puasa Ramadhan
merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia)

di dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan


ijma/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah
menunjukkan demikian. (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380).
2. Puasa Nazar
Untuk puasa nazar hukumnya wajib jika sudah niat akan puasa
nazar. Jika puasa nazar tidak dapat dilakukan maka dapat diganti
dengan memerdekakan budak / hamba sahaya atau memberi
makan / pakaian pada sepuluh orang miskin. Puasa nazar biasanya
dilakukan jika ada sebabnya yang telah diniatkan sebelum sebab itu
terjadi. Nazar dilakukan jika mendapatkan suatu nikmat /
keberhasilan atau terbebas dari musibah / malapetaka. Puasa nazar
dilakukan sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas ni'mat dan
rizki yang telah diberikan.
3. Puasa Kifarat (Denda)
Dalam syariat Islam puasa kifarat hukumnya wajib bila :
1. Puasa kifarat karena membunuh seorang muslim tanpa
disengaja. Kesalahan tersebut mewajibkan pelaksanaan salah
satu dari dua denda, yaitu diyat atau kifarat.
Kifarat untuk itu ada dua macam yaitu:
1. Memerdekan hamba beriman yang tidak ada cela pada dirinya
yang menghambat kerja atau usaha
2. Puasa 2 (dua) bulan berturut-turut.
2. Puasa kifarat karena seorang melakukan hubungan
suami istri selama puasa ,maka :

1. Wajib membayar kifarat, ialah memerdekakan seorang hamba


atau jika ia tidak mampu,
2. Berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika ia tidak kuat berpuasa,
maka ia terkena hokum wajib member makanan untuk orangorang miskin sebanyak 60 orang masing-masing 1 mud.
B. PUASA SUNAH
1. Puasa 6 hari dibulan Syawal
Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang
berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal,
maka itulah puasa seumur hidup. [Riwayat Muslim 1984, Ahmad
5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
i radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda :
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu
menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka
(pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi
shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh
bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya)
sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa
selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban dalam "Shahih" mereka.)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam


bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam
hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama
setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad
yang befiau miliki adalah shahih.")
Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di
bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap
hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah
disinggung dalam hadits Tsauban di muka.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di
antaranya :
1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan
pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib,
berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari
Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan
(dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana
keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di
berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum
muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu
membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya
puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang
hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik
setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan

adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa


mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan
lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal


Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang
berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal,
maka itulah puasa seumur hidup. [Riwayat Muslim 1984, Ahmad
5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]Hukum Puasa Syawal
Hukumnya adalah sunnah: Ini adalah hadits shahih yang
menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah.
Asy-Syafii, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya.
Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang
dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti;
khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari
Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau
karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam
Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa
digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah
diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]
Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.

Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung


setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah
Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah
selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. dan
ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6
hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah
melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika
seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga
akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada
makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat
mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu
Dawud. [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]
Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: Itulah
mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi,
supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]
2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus
berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6
hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan
dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan
Ramadhan-nya terlebih dahulu.

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]


Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam
hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun.
Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari
padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya
tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin)
Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan
lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda
tertolaknya amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat
mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang
berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul
Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan
puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat
ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan
dosa-dosa.
Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang
hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan
kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia
malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk
kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran.
Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali
melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia

bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas


menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai
kembali "(An-Nahl: 92)
5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amalamal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada
Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya
bulan mulia ini, selama ia masih hidup.
Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepatcepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari
peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit
manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka
merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera
kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali
melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya
terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi
benci.
Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh
dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu
mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar:
"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar
kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang
beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa


Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu
mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya.
Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan
demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya
dengan enam hari di bulan Syawal.

2. Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan Syaaban


dan Kelebihannya
REJAB sudah meninggalkan kita dengan seribu satu kelebihan.
Berbahagialah mereka yang mengambil sepenuh kesempatan dari
fadhilatnya. Jika diizinkan Allah kita akan berkesempatan bersama
Rejab pada tahun hadapan.
Kini muncul pula bulan SYAABAN. Bulan yang berada di tengah-tengah
antara Rejab dan Ramadan. Bulan yang juga penuh dengan fadhilat
dan keberkatannya.
Hukamak berpendapat, bulan Rejab adalah bulan kesempatan untuk
kita meminta ampun dari segala dosa, bulan Syaaban pula adalah
kesempatan untuk memperbaiki diri dari segala macam cela manakala
Ramadan pulan bulan untuk mengubat hati dan jiwa.
Syaaban bererti berpecah atau bercerai-berai. Ini kerana mengambil
sempena peristiwa orang-orang Arab pada bulan tersebut berkeliaran
ke merata tempat untuk mencari air. Ada pula berpendapat, Syaaban
bermaksud pemisah iaitu pemisahan antara bulan Rejab dan
Ramadan.

Rasulullah saw telah bersabda yang bermaksud:


Tahukah kamu sekelian, mengapa dinamakan bulan Syaaban? Maka
umatnya menjawab: Hanya Allah dan RasulNya yang lebih
mengetahui.
Baginda meneruskan sabdanya: Kerana di dalam bulan itu
berkembanglah kebaikan yang banyak sekali. (Dipetik dari kitab
Raudatul Ulama).
KEUTAMAAN SYAABAN:
Allah swt mengangkat darjat orang yang menghidupkan bulan ini
dengan amalan ibadat. Allah juga banyak mengurniakan rahmat
kepada hambaNya. Rasullah bersabda yang bermaksud: Allah
mengangkat amalan-amalan semua hambaNya pada bulan
ini.

Orang yang membesarkan bulan ini dengan beribadat, akan


terpelihara dari maksiat. Taubatnya diterima juga terselamat dari mara
bencana pada tahun berkenaan. Sabda Rasulullah saw lagi yang
bermaksud: Barang siapa yang membesarkan Syaaban dan bertakwa
kepada Allah swt serta taat dan juga menahan diri daripada maksiat,
Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan menyelamatkannya
daripada segala bencana yang berlaku pada tahun itu, juga daripada
sakit-sakit.
Kasih dan ketaatan orang yang beribadat pada tahun itu terhadap
Allah akan kekal. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud:
Barangsiapa yang menghidupkan malam dua hariraya dan malam

pertengahan bulan Syaaban, maka hatinya tidak mati biarpun semua


hati mati ketika itu.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim daripada Saidatina Aisyah
Radhiallahuanha, dia telah berkata yang bermaksud: Adalah
Rasulullah saw sering berpuasa hingga kami menyangka bahawa
Baginda berpuasa berterusan dan Baginda sering berbuka sehingga
kami menyangka bahawa Rasulullah akan berbuka seterusnya. Aku
tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali pada
bulan Ramadan dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa
sunat dalam sebulan yang lebih banyak dari puasanya di bulan
Syaaban.
Nabi saw pernah bersabda yang bermaksud: Keutamaan bulan
Syaaban ke atas bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan aku
di atas semua nabi-nabi yang lain, sedangkan keutamaan bulan
Ramadan ke atas semua bulan yang lain adalah seperti keutamaan
Allah Taala ke atas makhlukNya.
APAKAH AMALAN YANG WAJAR DILAKUKAN DI BULAN
SYAABAN?
1. Memperbanyakkan puasa sunat:
i. Dalam Kitab Durratun Nasihin dinyatakan bahawa Rasulullah
saw bersabda

bermaksud: Sesiapa yang berpuasa tiga hari pada

permulaan Syaaban, tiga hari pertengahannya dan tiga hari pada


akhir Syaaban, maka Allah swt mencatat untuknya pahala seperti
pahala tujuh puluh nabi dan seperti beribadat tujuh puluh tahun dan
apabila dia mati pada tahun itu maka matinya seperti orang mati
syahid.

ii. Jika berpuasa sehari dalam bulan Syaaban akan diharamkan


tubuhnya dari api neraka. Dia akan menjadi taulan nabi Yusof di dalam
syurga. Diberi pahala seperti pahala nabi Ayub dan Nabi Daud.
iii Jika berpuasa sebulan pada bulan Syaaban, dipermudahkan Allah
kepadanya Sakaratulmaut dan ditolaknya (terlepas) daripada
kegelapan dalam kubur, dilepaskan daripada huru-hara Mungkar dan
Nangkir, ditutup keaibannya di akhirat nanti dan diwajibkan syurga
baginya.
iv. Sesiapa yang berpuasa pada awal Khamis di bulan Syaaban dan
akhir Khamis (juga dalam Syaaban) dimasukkannya dalam syurga .
(Hadis Rasulullah yang dipetik dari kitab al-Barokah.)
v. Rasulullah saw turut bersabda yang bermaksud: Dinamakan
Syaaban kerana padanya terdapat kebajikan yang amat banyak dan
puasa yang lebih afdal sesudah Ramadan ialah puasa bulan Syaaban.
1. Perbanyakkan doa, zikir dan berselawat kepada
Rasulullah saw:
Sabda Nabi saw yang bermaksud: Barang siapa yang
mengagungkan bulan Syaaban, bertakwa kepada Allah, taat
kepadaNya serta menahan diri dari perbuatan maksiat, maka Allah swt
akan mengampuni segala dosanya dan menyelamatkannya pada tahun
tersebut dari segala macam bencana dan penyakit. (Dipetik dari kitab
Zubdatul Waizhin)
1. Bertaubat:
Bulan Syaaban merupakan bulan untuk kita memperbanyakkan taubat
kepada Allah swt.

MALAM NISFU SYAABAN:


Malam 15 Syaaban lebih dikenali sebagai malam Nisfu Syaaban.
Pada malam ini umat Islam sangat-sangat disarankan untuk
memanfaatkannya kerana malam ini penuh dengan rahmat dan doa
sangat mustajab.
Justeru umat Islam disaran untuk menghidupkan malam ini dengan
membaca surah Yassin sebanyak tiga kali selepas solat maghrib.
2. Puasa assyura
1. Allah berfirman :
((
))
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat);
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al
Hasyr: 18).
Ayat ini memperingatkan kita untuk mengevaluasi
perbuatan yang telah kita lakukan pada masa lalu
agar meningkat di masa datang yang pada akhirnya
menjadi bekal kita pada hari kiamat kelak.
Rasulullah saw bersabda : "Orang yang cerdas
adalah orang yang menghitung-hitung amal baik
(dan selalu merasa kurang) dan beramal shaleh
sebagai persiapan menghadapi kematian".
Dalam sebuah atsar yang cukup mashur dari Umar

bin Khaththab ra beliau berkata :


"Hitunglah amal kalian, sebelum dihitung oleh Allah"
3. Mengenang Hijrah Rasulullah saw
Sebenarnya dalam kitab Tarikh Ibnu Hisyam
dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah
dari Mekah ke Madinah adalah pada akhir bulan
Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabiul
Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram
sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan
penetapan Bulan Muharram sebagai awal bulan
dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah
pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra tatkala
mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada
yang mengusulkan Rabiul Awal sebagai l bulan ada
pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun
kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan
Muharram, dengan pertimbangan pada bulan ini
telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah
pasca peristiwa Baiatul Aqabah, dimana terjadi
baiat 75 orang Madinah yang siap membela dan
melindungi Rasulullah SAW, apabila beliau datang ke
Madinah. Dengan adanya bai'at ini Rasulullah pun
melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat
terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut
dari orang-orang Qurais senantiasa mengintai beliau.
Peristiwa hijrah ini seyogyanya kita ambil sebagai
sebuah pelajaran berharga dalam kehidupan kita.
Betapapun berat menegakkan agama Allah, tetapi

seorang muslim tidak layak untuk mengundurkan diri


untuk berperan didalamnya. Rasulullah SAW, akan
keluar dari rumah sudah ditunggu orang-orang yang
ingin membunuhnya. Begitu selesai melewati
mereka, dan harus bersembunyi dahulu di sebuah
goa,masih juga dikejar, namun mereka tidak berhasil
dan beliau dapat meneruskan perjalanan. Namun
pengejaran tetap dilakukan, tetapi Allah
menyelamatkan beliau yang ditemani Abu Bakar
hingga sampai di Madinah dengan selamat. Allah
menolong hamba yang menolong agamaNya.
Perjalanan dari Mekah ke Madinah yang melewati
padang pasir nan tandus dan gersang beliau lakukan
demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah
pengorbanan. Namun dibalik kesulitan ada
kemudahan. Begitu tiba di Madianah, dimulailah
babak baru perjuangan Islam. Perjuangan demi
perjuangan beliau lakukan. Menyampaikan wahyu
Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat
yang beradab dan terkadang harus menghadapi
musuh yang tidak ingin hadirnya agama baru. Tak
jarang beliau turut serta ke medan perang untuk
menyabung nyawa demi tegaknya agama Allah,
hingga Islam tegak sebagai agama yang dianut oleh
sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu
sudahkah kita berbuat untuk agama kita?
4. Kalender Hijriyah adalah Kalender Ibadah
kita

Barangkali kita tidak memperhatikan bahwa ibadah


yang kita lakukan seringkali berkait erat dengan
penanggalan Hijriyah. Akan tetapi hari yang istimewa
bagi kebanyakan dari kita bukan hari Jumat,
melainkan hari Minggu. Karena kalender yang kita
pakai adalah Kalender Masehi. Dan sekedar
mengingatkan, hari Minggu adalah hari ibadah
orang-orang Nasrani. Sementara Rasulullah saw
menyatakan bahwa hari jumat adalah sayyidul
ayyam (hari yang utama diantara hari yang lain).
Demikian pula penetapan hari raya kita, baik Idul
Adha maupun Idul Fitri pun mengacu pada hitungan
kalender Hijriyah. Wukuf di Arafah yang merupakan
satu rukun dalam ibadah haji, waktunya pun berpijak
pada kalender hijriah. Begitu pula awal Puasa
Ramadhan, puasa ayyamul Bidh ( tanggal 13,14,15
tiap bulan) dan sebagainya mengacu pada
Penanggalan Hijriah. Untuk itu seyogyanya bagi
setiap muslim untuk menambah perhatiannya pada
Kalender Islam ini.
5. Beberapa Keutamaan dan Peristiwa di Bulan
Muharram
a. Bulan Haram
Muharram, yang merupakan bulan pertama dalam
Kalender Hijriyah, termasuk diantara bulan-bulan
yang dimuliakan (al Asy- hurul Hurum).
Sebagaimana firman Allah Taala :
"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas

bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia


menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat
empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).
Dalam hadis yang dari shahabat Abu Hurairah ra,
Rasulullah saw bersabda :
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman
bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit
dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan
diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati :
3 bulan berturut-turut; Dzul Qodah, Dzul Hijjah,
Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat
diantara bulan Jumada tsaniah dan Syaban. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Pada keempat bulan ini Allah melarang kaum
muslimin untuk berperang. Dalam penafsiran lain
adalah larangan untuk berbuat maksiat dan dosa.
Namun bukan berarti berbuat maksiat dan dosa
boleh dilakukan pada bulan-bulan yang lain.
Sebagaimana ayat Al Quran yang memerintahkan
kita menjaga Shalat Wustha, yang banyak ahli Tafsir
memahami shalat wustha adalah Shalat Ashar.
Dalam hal ini, shalat Ashar mendapat perhatian
khusus untuk kita jaga.
Firman Allah : "Peliharalah segala shalat mu, dan
peliharalah shalat wustha" (Q.S. al Baqarah :238)
Nama Muharram secara bahasa, berarti diharamkan.
Maka kembali pada permasalahan yang telah dibahas
sebelumnya, hal tersebut bermakna pengharaman
perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah memiliki

tekanan khusus untuk dihindari pada bulan ini.


b. Bulan Allah
Bulan Muharram merupakan suatu bulan yang
disebut sebagai syahrullah (Bulan Allah)
sebagaimana yang disampaikan Rasulullah SAW,
dalam sebuah hadis. Hal ini bermakna bulan ini
memiliki keutamaan khusus karena disandingkan
dengan lafdzul Jalalah (lafadz Allah). Para Ulama
menyatakan bahwa penyandingan sesuatu pada
yang lafdzul Jalalah memiliki makna tasyrif
(pemuliaan), sebagaimana istilah baitullah,
Rasulullah, Syaifullah dan sebagainya.
Rasulullah bersabda : Puasa yang paling utama
setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu)
Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama
setelah shalat fardhu adalah shalat malam. (H.R.
Muslim)
c. Sunnah Berpuasa
Di bulan Muharram ini terdapat sebuah hari yang
dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu pada
tanggal sepuluh bulan ini. Asyuro berasal dari kata
Asyarah yang berarti sepuluh.
Pada hari Asyuro ini, terdapat sebuah sunah yang
diajarkan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk
melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan
kepada Allah Taala. Yaitu ibadah puasa, yang kita
kenal dengan puasa Asyuro. Adapun hadis-hadis
yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut,

diantaranya :
1.Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra, Rasulullah saw,
bersabda :
Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini
dapat menghapus dosa selama setahun
sebelumnya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Ibnu Abbas ra berkata :
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw, berupaya
keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang
lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan
bulan Ramadhan. (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Ibnu Abbas ra berkata :
Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada
hari Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?.
Mereka menjawab :ini adalah hari istimewa, karena
pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari
musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari
ini. Rasulullah pun bersabda :
"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian
Maka beliau nerpuasa dan memerintahkan
shahabatnya untuk berpuasa. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
4.Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas ra berkata :
Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari asyura
dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa,
mereka (para shahabat) berkata : "Ya Rasulullah ini
adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani".

Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan


kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan
berpuasa pada hari kesembilan (tanggal sembilan).
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu
Khuzaimah dalam shahihnya meriwayatkan sebuah
hadis dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw. bersabda :
"Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan
Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya.
Selain hadis-hadis yang menyebutkan tentang puasa
di bulan ini, tidak ada ibadah khusus yang dianjurkan
Rasulullah

untuk dikerjakan di bulan Muharram ini.

Bagaimana Berpuasa di bulan Asyuro :


Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Maaad
berdasarkan riwayat-riwayat yang adamenjelaskan :
- Urutan pertama, dan ini yang paling sempurna
adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh
ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11)
- Urutan kedua, puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang
disebutkan dalam banyak hadits
- Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
3. Berpuasa Selang-seling (Seperti Puasa Daud)
4.Puasa tanggal 9 Dzulhijjah (Arofah) bagi selain orang yang
melaksanakan Haji

Dari Abu Qatadah Al-Anshari r.a. katanya Rasulullah


s.a.w. ditanya orang tentang puasa hari arafah (9
Zulhijjah). Jawab baginda, "Semoga dapat
menghapus dosa tahun yang lalu dan yang akan datang".
Kemudian Nabi ditanya pula tentang puasa hari asyura
(10 Muharram). Jawab baginda, "semoga dapat
menghapus dosa tahun yang lalu". (Sahih Muslim)
5.Berpuasa pada hari senin dan kamis
Amal perbuatan seorang hamba akan diaudit (diperiksa) setiap hari
Senin dan Kamis.
Karena itu, alangkah mulianya seorang hamba jika ketika datang hari
audit keadaannya tengah berpuasa. (HR. Tirmidzi)
Popularitas puasa senin kamis nyaris tak perlu dipertanyakan
lagi.Inilah sunnah nabi yg memungkinkan umatnya mendapat manfaat
puasa setiap minggu.Amalan ini mmg sangat baik.Beberapa hadist
nabi menjelaskan keutamannya.Abu Hurairah ra dg riwayat Ahmad
menyebut bahwa nabi SAW paling sering berpuasa senin kamis.Ketika
hal itu ditanyakan sahabat beliau menjawab,''Seluruh amal
dibentangkan pada hari senin dan kamis.Ketika itulah Alloh
mengampunisetiap muslim atau mukmin kecuali yg melakukan dosa
secara terang2an.Alloh berkata ,''tundalah untuknya''.Dengan radaksi
yang mirip.sebuah hadist daari AISYAH ra. dan USAMAH menyebutkan
bahwa kesungguhan Nabi melaksanakan puasa senin-kamis dikatakan
beliau kaarena pada dua hari itulaah amal manusia dilaporkan kepada
ALLOH ROBBUL 'ALAMIN.''Dan aku suka pada saat amalku dilaporkan
aku sdg dalam keadaan berpuasa.''Ggaransi spiritual puasa senin
kamis jg dpt dikaitkan dg garannnsi yg diberikan kepada amalan
lain.Sebagaimana Masyur diketahui ,,lewat hadist shohih,pada hari

kiamat kelak ,orang yang berpuasa akan masuk syurga melalui pintu
kusus yakni Rayyan.puasa jg menjadi benteng yang tangguh untuk
melindungi seseorang dari panasnya nerakayg membara,demikian
hadist riwayat Bukhari dan Muslim.Tak hanya itu,puasa jg dapat
menyucikan jiwa seseorang yang menjalankannya.Hadist riwayat Ibnu
Majah menyebut,''Segala sesuatu ada zakat pencucinya,sedangkan
zakat jiwa itu adalah dengan berpuasa.dan puasa itu separuh
kesabaran.

G. Waktu haram puasa


Waktu haram puasa adalah waktu di mana umat Islam dilarang
berpuasa. Hikmahnya adalah ketika semua orang bergembira,
seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.

Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri ( 1 Syawal )

Berpuasa pada Hari Raya Idul Adha ( 10 Zulhijjah )

Berpuasa pada hari-hari Tasyrik ( 11, 12, dan 13 Zulhijjah )

Puasa Hari Tasyrik




















.
.






:


.


.











:





.
Dari Abi Murrah Maula (bekas budak) Umi Hani, Bahwa ia bersama
Abdullah bin Amr datang kepada ayahnya Amru bin Ash, Maka
disuguhkanlah kepada mereka berdua makanan. Ia (Amr bin Ash),
Makanlah. Ia (Abdullah bin Amr) menjawab, Aku sedang puasa.

Maka Amr bin Ash berkata, Makanlah, karena hari ini adalah hari
dimana Rasulullah shallallohu alaihi wasallam memerintahkan kita
untuk berbuka (makan) dan melarang dari berpuasa pada hari ini.
Malik berkata, (yang dimaksud) Itulah hari-hari tasyriq
(Dishohihkan Oleh Syeikh al-Albany dalam Shohih Sunnan Abi Daud)

Hari 11, 12 dan 13 Dzulhijjah adalah Hari Tasyrik
Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam
dianjurkan untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman
yang sedang mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum
berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah
tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat
saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan
kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.

H. Perbuatan-perbuatan yang Disunnatkan dalam


Berpuasa
1. Makan sahur sesudah tengah malam
2. Mengakhiri waktu makan sahur
3. Menyegerakan berbuka pada waktunya
4. Memberbanyak ibadah
5. Berbuka dengan kurma atau sesuatu yang
manis
6. Mengakhiri makan sahur sampai beberapa
menit sebelum imsak

7. Memberi makan untuk orang-orang yang akan


berbuka puasa

I. Hikmah-hikmah Puasa :
b. Sarana yang disediakan oleh Allah SWT untuk mencapai
Taqwa.
c. Puasa merupakan sarana pendidikan dan latihan
d. Menumbuhkan jiwa social atau kesadaran bermasyarakat
e. Menyehatkan tubuh
f. Puasa membuat awet muda atau menunda proses
penunaan.
g. Puasa adalah cara terbaik untuk menjaga keselarasan dan
keindahan fisik.

J. Permasalahan Qodho Puasa Ramadhan

Yang dimaksud dengan qodho adalah mengerjakan suatu ibadah


yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. Untuk kasus orang
sakit misalnya. Di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat
sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia
mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho.

Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho Puasa


Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk
tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho puasanya
setelah lepas dari udzur, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau
sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.

Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Taala,




Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. (Qs. Al Baqarah: 185)
Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari Aisyah, beliau
mengatakan,

.




Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho
puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat.[3]

Catatan: Adapun untuk wanita hamil dan menyusui apakah mesti ada
qodho puasa, maka ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini.
Ada ulama yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui mesti
mengqodho puasanya ditambah dengan mengeluarkan fidyah. Ada
pula yang mengatakan cukup mengqodho puasa saja tanpa fidyah.
Yang lain lagi mengatakan cukup mengeluarkan fidyah saja. Intinya,
pembahasan mengenai puasa bagi wanita hamil dan menyusui butuh
penjabaran tersendiri. Sedangkan yang penulis pilih wal ilmu
indallah- adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ishaq dan ulama
belakangan seperti Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa wanita
hamil dan menyusui yang khawatir pada diri atau anaknya ketika
berpuasa, cukup baginya mengeluarkan fidyah tanpa harus
mengqodho. Alasannya, pendapat ini adalah perkataan Ibnu Abbas
ketika menjelaskan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah
ayat 185). Sehingga perkataan ini dinilai marfu (sabda Nabi)
sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul. Namun, kami tetap
menghargai pendapat ulama lainnya dalam permasalahan ini dan
mudah-mudahan kita bisa lapang dada dengan perselisihan yang ada.

K. Dosa Besar Karena Sengaja Tidak Berpuasa


Ramadhan
Di bulan Ramadhan, di antara kaum muslimin malah ada yang enakenakan tidak berpuasa. Bukan karena alasan sakit atau bersafar,
namun mereka tidak berpuasa karena malas-malasan. Mereka tidak
berpuasa tanpa ada udzur (alasan) sama sekali.
Perlu diketahui bersama bahwa meninggalkan puasa Ramadhan
semacam ini termasuk dosa besar dan akan mendapatkan siksa
sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut.

Abu Umamah Al Bahili menuturkan bahwa beliau mendengar


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bercerita, Ketika aku tidur,
aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik
lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata,
Naiklah. Lalu kukatakan, Sesungguhnya aku tidak mampu.
Kemudian keduanya berkata, Kami akan menolongmu. Maka aku
pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung dan
tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya, Suara apa
itu? Mereka menjawab, Itu adalah suara jeritan para penghuni
neraka.
Kemudian aku dibawa berjalan-jalan dan aku sudah bersama orangorang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut
mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku
(Abu Umamah) bertanya, Siapakah mereka itu? Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menjawab, Mereka adalah orang-orang
yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.[4]
Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk
dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa
wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun
mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih
besar dari dosa besar lainnya[5]. Adz Dzahabi sampai-sampai
mengatakan, Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan,
bukan karena sakit (atau udzur lainnya), maka dosa yang dilakukan
lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman
keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka
sebagai orang-orang munafik dan sempalan.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja


membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau
pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho puasa.[7]
Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm
dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan
sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho
puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: Ibadah
yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang
meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan
baginya untuk mengqodho kecuali jika ada dalil baru yang
mensyariatkannya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di
atas:

Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir),
apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya
tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan
tidak sah.
Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh:
Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan
shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, Apakah aku
wajib mengqodho (mengganti) shalatku? Kami katakan, Engkau
tidak wajib mengganti (mengqodho) shalatmu. Karena hal itu sama
sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak
diterima.

Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan
Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya
pada kami, Apakah aku wajib untuk mengqodho puasa tersebut?
Kami pun akan menjawab, Tidak wajib bagimu untuk mengqodho
puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.[8]
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu
awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia
telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil
dan tidak ada manfaat sama sekali.
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin
di atas dengan mengatakan, Lalu kenapa ada qodho bagi orang yang
memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang
tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho, artinya lebih
layak untuk mengganti shalat atau puasanya.
Syaikh Ibnu Utsaimin alhamdulillah- telah merespon perkataan
semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, Seseorang yang
memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya
tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah
sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, Shalatlah ketika dia
ingat.

Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar


waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah
mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus
yang kedua ini, amalannya tidak diterima.[9]
Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada
udzur di atas tidak perlu mengqodho, lalu apa kewajiban dirinya?
Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan
hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan
sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, Amalan ketaatan seperti puasa,
shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada
udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho, taubatlah
yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika
dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak
melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi
amalan-amalan tersebut.[10]
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, Pendapat yang
kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa
sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.[11]
Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa
dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan
ikhlash (bukan riya), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali
melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad
untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat
tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari
terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik.

Catatan:
Adapun perkataan Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang disebutkan
oleh Bukhari secara muallaq (tanpa sanad) dan dikatakan sebagai
hadits marfu (sabda Nabi),







Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur
(alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini
tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang
mampu melakukannya.
Juga ada perkataan yang serupa dari Ibnu Masud, maka hadits-hadits
tersebut adalah hadits yang dhoif sebagaimana disebutkan oleh
mayoritas ulama.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, Hadits ini
adalah hadits dhoif (lemah) menurut mayoritas ulama. Walaupun
hadits tersebut dhoif, namun kita dapat melihat permasalahan orang
yang tidak puasa tanpa udzur pada kaedah ushul. Kaedah tersebut
adalah: Sesungguhnya seseorang jika ibadahnya itu batal, maka dia
memiliki keharusan untuk mengqodhonya. Sebagaimana seseorang
yang shalat kemudian shalatnya tersebut batal karena sebab hadats,
tertawa, makan, dan minum; maka dia juga memiliki keharusan untuk
mengqodho shalatnya. Begitu pula dengan puasa, jika puasanya
tersebut batal, maka dia memiliki kewajiban untuk mengqodho
puasanya.
Hal ini berbeda dengan seseorang yang tidak puasa atau tidak shalat
sama sekali. Menurut mayoritas ulama, mereka mengatakan, Orang
yang tidak shalat atau tidak puasa diharuskan mengqodho puasa atau

shalat yang sengaja ia tinggalkan. Namun yang lebih tepat, orang


yang meninggalkan shalat atau puasa dengan sengaja tidak ada
qodho baginya. Dia tidak perlu dikasihani dan tidak mendapat
keringanan. Puasa yang ingin dia lakukan setelah keluar waktunya
tidaklah bermanfaat. Hal itu tidak akan melepaskan dia dari beban
kewajiban. Dia tidak diharuskan melakukan sesuatu karena itu tidak
bermanfaat baginya.[12]
Qodho Ramadhan Boleh Ditunda
Qodho Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan
setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh
dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Syaban, asalkan sebelum
masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah
Aisyah pernah menunda qodho puasanya sampai bulan Syaban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar
Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,





Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu
mengqodhonya kecuali di bulan Syaban. Yahya (salah satu perowi
hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan Aisyah karena beliau
sibuk mengurus Nabi shallallahu alaihi wa sallam.[13]
Ibnu Hajar mengatakan, Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya
mengundurkan qodho Ramadhan baik mengundurkannya karena ada
udzur atau pun tidak.[14]

Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho Ramadhan dilakukan


dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Taala
yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,

Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan
merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (Qs. Al
Muminun: 61)
Mengakhirkan Qodho Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika
Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya
kewajiban qodho setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan
Syaban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa
Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan
tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia
memiliki kewajiban qodho puasa saja ataukah memiliki tambahan
kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja
mengakhirkan qodho Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka
dia cukup mengqodho puasa tersebut disertai dengan taubat.
Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafii mengatakan bahwa jika dia
meninggalkan qodho puasa dengan sengaja, maka di samping
mengqodho puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan
orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho. Pendapat inilah
yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat
seperti Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz pernah menjabat sebagai
ketua Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan,
Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho puasa Ramadhan
hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur
untuk menunaikan qodho tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat
dan menunaikan qodho atau dia memiliki kewajiban kafaroh?
Syaikh Ibnu Baz menjawab, Dia wajib bertaubat kepada Allah
subhanahu wa taala dan dia wajib memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho
puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha
Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras
atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai
ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal
inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu anhum
seperti Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Namun apabila dia
menunda qodhonya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau
pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa,
maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho
puasanya.[15]
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho
puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki
kewajiban: [1] Bertaubat kepada Allah, [2] mengqodho puasa, dan
[3] wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar
setengah sho (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho.
Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit),
sehingga dia menunda qodho Ramadhan hingga Ramadhan
berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho
puasanya saja. Hanya Allah yang memberi taufik.

Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho Puasa


Apabila kita memiliki kewajiban qodho puasa selama beberapa hari,
maka untuk menunaikan qodho tersebut tidak mesti berturut-turut.
Misal kita punya qodho puasa karena sakit selama lima hari, maka
boleh kita lakukan qodho dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada
bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar
dibolehkannya hal ini adalah,
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Qs. Al Baqarah: 185).
Ibnu Abbas mengatakan, Tidak mengapa jika (dalam mengqodho
puasa) tidak berurutan.[16]
Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang
Puasa
Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa,
apakah puasanya diqodho oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah
tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih sampai tiga pendapat.
Pendapat pertama: Tidak dipuasakan oleh ahli warisnya, baik puasa
nadzar maupun puasa Ramadhan. Inilah pendapat Abu Hanifah dan
murid-muridnya, pendapat Imam Malik, dan pendapat yang nampak
pada madzhab Syafii. Di antara dalil mereka adalah firman Allah,

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya. (Qs. An Najm: 39). Jadi amalan puasa orang
lain tidak bermanfaat bagi orang yang sudah mati.

Dalil yang lainnya adalah hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu


alaihi wa sallam bersabda,







Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3]
anak sholih yang mendoakan orang tuanya.[17]
Pendapat kedua: Dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar
maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam
Ahmad, Imam Asy Syafii, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi,
pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits Aisyah,



Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban
puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.[18]
Yang dimaksud waliyyuhu adalah ahli waris [19].
Juga hadits Ibnu Abbas, beliau berkata,





Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
kemudian dia berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan
[dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar],
apakah aku harus mempuasakannya? Kemudian Nabi shallallahu

alaihi wa sallam bersabda, Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau
tunaikan.[20]
Hadits Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum
sedangkan hadits Ibnu Abbas membicarakan utang puasa nadzar.
Pendapat ketiga: Dipuasakan khusus untuk puasa nadzar saja, tidak
untuk qodho puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad,
Ishaq, Abu Ubaid dan Al Laits.
Pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua yaitu bagi orang
yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa (baik puasa
nadzar maupun puasa Ramadhan), maka ahli warisnya nanti yang
akan membayar qodho puasanya.
Alasan pendapat kedua lebih kuat adalah:
1. Surat An Najm ayat 39 memiliki pengecualian yaitu ada beberapa
amalan yang dilakukan oleh orang lain dan bemanfaat untuk orang
yang sudah mati di antaranya adalah amalan puasa.
2. Untuk hadits Abu Hurairah bahwa amalan manusia itu terputus
kecuali dari tiga perkara, maksud hadits ini adalah terputusnya amalan
mayit dan bukan yang dimaksudkan adalah terputusnya amalan orang
lain untuk si mayit.
3. Puasa yang boleh diqodho oleh ahli waris si mayit bukanlah hanya
puasa nadzar saja, namun berlaku pula untuk puasa Ramadhan.
Alasannya, hadits Aisyah dan Ibnu Abbas tidaklah saling
bertentangan. Hadits Aisyah memang bersifat umum yaitu
membicarakan puasa secara umum. Sedangkan hadits Ibnu Abbas
membicarakan puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits Aisyah tidak

dikhususkan dengan hadits Ibnu Abbas karena di dalamnya tidak ada


pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis
(pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil
yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil.
Ibnu Hajar mengatakan,


Hadits Ibnu Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan
dengan hadits Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang
memiliki qodho puasa nadzar. Adapun hadits Aisyah adalah hadits
yang bersifat umum.[21]
Kesimpulan: Bagi orang yang mati dalam keadaan masih memiliki
utang puasa, dia tidak terlepas dari tiga kemungkinan:
1. Orang yang mati tersebut masih memiliki udzur hingga dia
meninggal dunia dan dia tidak mampu membayar qodho puasa, untuk
orang semacam ini tidak perlu dibayar qodho puasanya.
2. Orang yang mati tersebut ketika dia hidup sebenarnya masih
memiliki kesempatan untuk membayar qodho puasa, namun dia tidak
menunaikannya sampai dia mati, maka untuk orang semacam ini
hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.
3. Orang yang mati tersebut memiliki utang nadzar namun belum
ditunaikan, maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan
oleh ahli warisnya.
Boleh juga beberapa hari utang puasa dibagi kepada beberapa ahli
waris. Kemudian mereka boleh laki-laki ataupun perempuan-

mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka


membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak
beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang
dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.[22]
Demikian pembahasan kami mengenai qodho Ramadhan. Semoga
Allah selalu memberikan kita kepahaman dalam mempelajari agama
ini. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.
Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu wa
sallamu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi ajmain
FIDIYAH
Wanita yang berada dalam kondisi hamil dan menyusui memang
boleh untuk tidak berpuasa. Hanya saja apakah gantinya cukup
membayar fidyah atau menggantinya di hari yang lain? Dalam hal ini
ada perbedaan pendapat di antara para ulama dengan melihat kepada
kondisi wanita hamil tersebut.
1. Apabila wanita hamil tersebut tidak berpuasa karena
mengkhawatirkan kondisi dirinya menurut sebagian besar ulama fiqih,
puasanya wajib diqadha pada hari yang lain. Kondisinya disamakan
dengan orang yang sedang sakit. Allah befirman, Siapa yang sakit
atau sedang melakukan perjalanan jauh, ia dapat menunaikan pada
hari-hari lain. (al-Baqarah: 185).
2. Apabila ia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi
janinnya, maka menurut Ibn Abbs dan yang lain, ia hanya wajib
membayar fidyah, tanpa harus membayar puasanya di hari lain.
Sebuah hadis yang berasal dari Ibn Abbs menegaskan bahwa wanita

yang sedang hamil atau menyusui tercakup dalam makna firman Allah,

Orang-orang yang berat menunaikan puasa, maka ia wajib


membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin. (alBaqarah: 184).
3. Apabila ia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya
dan anaknya, maka menurut Imam Ahmad dan al-SyafiI, ia wajib
membayarnya di hari lain, tanpa perlu memberikan fidyah.
Hanya saja, menurut Syeikh Yusuf al-Qardawi, wanita yang amat
subur yang seringkali hamil dan menyusui nyaris tidak memiliki
kesempatan untuk mengqadha puasa yang ditinggalkan dan hal itu
amat memberatkan. Karenanya, menurutnya cukup bagi wanita
tersebut untuk memberikan fidyah saja.

Anda mungkin juga menyukai