HEPATITIS B KRONIK
Oleh :
Muhammad Zakki AF (07923012)
Mia
Yosrizal
Preseptor:
hepatitis B akut yang paling tinggi adalah diantara dewasa-dewasa muda, antara umur
20 dan 30 tahun.
Indonesia menempati peringkat ketiga dunia setelah China dan India untuk jumlah
penderita hepatitis.Ahli kesehatan dari Divisi Hepatologi, Depatemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ali Sulaiman memperkirakan sejumlah 13
juta penduduk Indonesia mengidap hepatitis B.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hepatitis B endemik di China dan bagian
lain di Asia termasuk di Indonesia. Sebagian besar orang di kawasan ini bisa terinfeksi
Hepatitis B sejak usia kanak-kanak. Di sejumlah negara di Asia, 8-10 persen populasi
orang dewasa mengalami infeksi Hepatitis B kronik. Infeksi Hepatitis B kronik atau
jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan hati yang parah seperti pengerasan
hati atau sirosis dan kanker hati atau karsinoma hepatoseluler yang dapat
mengakibatkan kematian.
Kejadian yang sering pada penderita yang mendapat virus hepatitis B sejak bayi-bayi
dan anak-anak dimana akan menjadi infeksi kronis. Jadi, di Amerika, suatu perkiraan
dari 1 sampai 1.25 juta orang-orang terinfeksi kronis dengan virus hepatitis B. Lebih
jauh, 5,000 sampai 6,000 orang-orang meninggal setiap tahun dari penyakit hati virus
hepatitis
kronis
dan
komplikasi-komplikasinya,
termasuk
kanker
hati
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
Fungsi hemodinamik
Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500
cc/ menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica
25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke
hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran
ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan
organ penting untuk mempertahankan aliran darah.
2.2. Definisi
Hepatitis B adalah penyakit infeksi diserbabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel sel hati.
2.3. Epidemiologi
Infeksi hepatitis virus hepatitis B merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat
yang cukup besar di Indonesia. Dan berbaagai penelitian yang ada, Frekuensi
pengidap HBsAg berkisar antara 3-20%. Penelitian dari berbagai daerah di Indonesia
menunjukkan angka yang sangat bervariasi bergantung pada tingkat endemisitas
hepatitis B di tiap-tiap daerah, contoh: tingkat endemisitas daerah Indonesia bagian
Timur lebih tinggi dibandingkan daerah Indonesia bagian Barat.
Infeksi hepatitis B kronik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di seluruh dunia. Di
Eropa dan Amerika 15-25% penderita Hepatitis B kronik meninggal karena proses
hati atau kanker hati primer. Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria
Cina yang HBsAg positif bahkan mendapatkan angka yang lebih besar yaitu antara
40-50%.
Menurut tingginya, prevalensi infeksi virus hepatitis B, WHO membagi dunia
menjadi 3 macam daerah yaitu daerah dengan endemitas tinggi, sedang dan rendah.
- daerah endemisitas tinggi
penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah
frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 10-15%.
- daerah endemisitas sedang
penularan terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi
HBsAg dalam populasi berkisar 2-10%.
- daerah endemisitas rendah
penularan utama terjadi pada masa dewasa, penularan pada masa perinatal dan kanakkanak sanngat jarang tejadi. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar kurang 2 %.
2.4. Etiologi
Penyebab hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam kelas hepaDNA dan
mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut
hepatitis B surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu
sebagian dari molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung
enzim yaitu DNA polymerase. Disamping itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen
(HBeAg). Antigen ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBsAg positif.
HBeAg positif pada penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif dan artinya
derajat infektivitasnya tinggi, maka bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa
HBeAg untuk menentukan prognosis penderita.
Cara penularan infeksi virus hepatitis B ada dua, yaitu : penularan horizontal dan
vertikal.
- Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis B
kepada individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat
terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir,
- Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi
yang dilahirkan
Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas (penularan
parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang kedua adalah
penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya bahan infektif
melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit.
Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B adalah
selaput lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir
genetalia.
Penularan vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero),
selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau post natal.
Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus
membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata
sekitar 60-90 hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang
yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu ibu, urin, dan
bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tuibuh ini(terutama darah, semen, dan
saliva) telah terbukti bersifat infeksius.
Orang yang beresiko tinggi menderita hepatitis B:
1.
2.
Pengguna obat intravena yang sering bertukar jarum dan alat suntik
3.
Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang terinfeki
4.
5.
6.
Narapidana pria
7.
8.
9.
Pekerja sosial dibidang kesehatan terutama yang banyak kontak dengan darah
10.
Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat pada saat atau seggera setelah
lahir.
2.5. Patofisiologi
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya selsel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk
bulat dan tubuler dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus
hepatitis B smerangsang respon imun tubuh, yang pertama kali adalah respon imun
non spesifik karena dapat terangsang dalam waktu beberapa menit sampai beberapa
jam dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian diperlukan respon imun
spesifik yaitu dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. aktivasi sel T,
CD8 + terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC kelas
I yang ada pada permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus
yang ada di dalam sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk
nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT.
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD+ akan mengakibatkan produksi
antibody antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi
partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan
demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis B dapat
diakhiri tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi virus hepatitis
B yang menetap. Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon imun yang tidak
efisien dapat disebabkan oleh faktor virus atau pun faktor pejamu.
Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B,
hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel sel terinfeksi, terjadinya
mutan virus hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg, integarasi genom virus
hepatitis B dalam genom sel hati
Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor
kelamin dan hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam
persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B
pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif, diduga
persistensi infeksi virus hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg
yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi virus hepatitis B, sedangkan
persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya
konsentrasi partikel virus.
sistem
imunologi
kurang
sempurna
sehingga
mekanisme,
untuk
menghilangkan virus hepatitis B tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan virus
hepatitis B.
Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang jelas.
Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia,
mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap.
Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum,
SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
2. Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan
splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu
kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium
tes fungsi hati abnormal.
3. Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase.
pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan
Kriteria
Diagnosis
Hepatitis B
kronis
Carrier
HBsAg
inaktif
Patologi
Limiting plate necrosis ringan (interface hepatitis ringan) dan atau nekrosis
lobular fokal
Limiting plate necrosis berat (interface hepatitis berat) dan atau bridging
necrosis
Stage
Patologi
Keterangan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai penyakit hati :
darah rutin dan fungsi hati
Pemeriksaan replikasi virus : HBeAg, antiHBe dan
HBV DNA
Pemeriksaan untuk menyisihkan penyakit hati lainnya :
anti HCV, anti HDV (khususnya pengguna narkoba
injeksi, atau daerah endemis)
Skrining karsinoma hepatoselular :kadar alfa feto
protein dan ultrasonografi
Biopsi hati pada pasien yang memenuhi kriteria
hepatitis B kronis.
5
Follow up pasien yang belum Pasien HBeAg positif dan HBV DNA > 10 copies/ml
dan kadar ALT normal :
diterapi
Pemeriksaan ALT setiap 3 6 bulan
Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa ulang setiap 1-3 bulan
Bila ALT > 2 x BANN selama 3-6 bulan,
pertimbangkan biopsi dan terapi
Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular
Pasien carrier HBsAg inaktif :
Pemeriksaan ALT setiap 6 12 bulan
Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa HBV DNA dan
singkirkan penyebab penyakit hati lainnya
Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Indikasi Terapi
ALT
Normal
ALT
normal
ALT 1-2 x
batas
atas
Tidak
diberikan
pengobata
n
Tidak
diberikan
pengobata
n
Tidak
diberikan
pengobata
n
Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT
Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT
Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT
Surveilans KHS
dengan USG
maupun AFP/6
bulan bagi
kelompok risiko
ALT 2 5
x batas
atas
normal
ALT >5 x
batas
atas
normal
Pengobatan
diberikan
bila
kenaikan
ALT
menetap
>3 bulan
atau
terdapat
Terdapat
indikasi mulai
terapi
Bila DNA VHB
<2 x 103 IU/mL
dan tidak ada
tanda
dekompensasi,
bisa dipantau 3
6 bulan untuk
timbulnya
serokonversi
Respon
Tidak
respon
Pantau DNA
VHB,
HBeAg, dan
ALT 1 3
bulan
Pertimbangka
n strategi
terapi lain
ALT
Normal
ALT
normal
Tidak
diberikan
pengobata
n
Tidak
diberikan
pengobata
n
Tidak
diberikan
pengobata
n
Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT
Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT
Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT
Surveilans KHS
dengan USG
maupun AFP/6
bulan bagi
kelompok risiko
ALT >2 x
batas
atas
normal
ALT 1-2 x
batas
atas
Pengobatan
diberikan
bila
kenaikan
ALT
menetap
>3 bulan
atau
terdapat
Respon
Pantau DNA
VHB,
HBeAg, dan
ALT 1 3
bulan
Tidak
respon
Pertimbangka
n strategi
terapi lain
Dekompensata
Terapi dengan
analog
nukleos(t)ida,
pertim-bangkan
Terapi
suportif
Ya
Tidak
Terapi dengan
analog
nukleos(t)ida
Terapi dengan
analog
nukleos(t)ida atau
interferon
Pemeriksaan histologist hati pada pasien hepatitis B kronik tidak dilakukan secara
rutin. Indikasi dilakukannya pemeriksaan histologist hati adalah pasien yang tidak
memenuhi criteria pengobatan dan berumur >30 tahun atau <30 tahun dengan riwayat
KHS dan sirosis dalam keluarga.
2.8.2. Hasil Terapi Terkini
Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, yaitu golongan interferon
dan golongan nukleos(t)ida
Tabel 1. Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleos(t)ida
Durasi terapi
Cara pemberian
Dapat digunakan pada
sirosis dekompensata
Efek samping
Kemampuan menekan
DNA VHB dalam 1
tahun
Interferon
Dibatasi (maksimal 48
minggu
Injeksi subkutan
Tidak
Analog nukleos(t)ida
Sering kali harus jangka
panjang (seumur hidup)
Oral 1 kali per hari
Ya
Banyak
Sedikit lebih rendah
Minimal
Sedikit lebih tinggi,
pemakaian > 1 tahun akan
meningkatkan angka ini
lebih jauh
Sedikit lebih tinggi,
pemakaian > 1 tahun akan
meningkatkan angka ini
lebih jauh
Lebih rendah, dapat
menyamai IFN pada
pemakain > 1 tahun
Seimbang
Seimbang
Cukup tinggi pada
beberapa jenis
Cukup sering kambuh bila
terapi tidak dilanjutkan
jangka panjang
Kemampuan
serokonversi HBeAg
dalam 1 tahun (pada
HBeAG positif
Kemampuan
serokonversi HBsAg
dalam 1 tahun
Respon biokimia
Respon histopatologik
Resistensi
Lebih tinggi
Seimbang
Seimbang
Tidak ditemukan
Interferon
Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam
pertahanan terhadap virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah singkat, yaitu
sekitar 3 8 jam. Pengikatan interferon pada molekul polyethylene glycol (disebut
dengan pegylation) akan memperlambat absorbsi pembersihan, dan mempertahankan
kadar dalam serum dalam waktu lama sehingga memungkinkan pemberian mingguan.
Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yakni pegylated-interferon -2a (PegIFN -2a) dan pegylated-interferon -2b (Peg-IFN -2b).
Bukti-bukti terbaru menunjukkan pemberian Peg-IFN -2a dengan dosis 180
g/minggu selama 48 minggu menunjukkan hasil lebih baik.
Selama pemberian interferon, pemeriksaan darah tepi harus dilakukan setiap bulan
untuk menilai efek samping terapi. Pemantauan adanya sepresi berat juga harus
dilakukan pada setiap kunjungan pasien.
Analog Nukleos(t)ida
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polymerase virus,
bekompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan
rantai DNA.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah lamivudin, adefovir dipivoxil,
entecavir, telbivudin, dan tenofovir disoproxil fumarate. Dari lima obat tersebut,
hanya entecavir dan tenofovir yang masih memiliki efektivitas tinggi dengan tingkat
resistensi yang relative rendah, sehingga obat-obat golongan nukleos(t)ida lainnya
sudah mulai ditinggalkan.
Pada prinsipnya, terapi analog nukleos(t)ida harus diteruskan sebelum tercapai
indikasi penghentian terapi atau timbul kemungkinan resistensi dan gagal terapi. Perlu
diperhatikan bahwa sebagian pasien terbukti tidak bisa mempertahankan respon
virologist ataupun serologis setelah penghentian terapi analog nukleos(t)ida, maka
pemantauan terhadap indicator-indikator hepatitis B harus dilakukan secara berkala.
2.8.4. Terapi pada Penyakit Hati Lanjut
Pada fase immune clearance, system imun penderita akan bereaksi melawan infeksi
VHB. Fasi ini ditandai dengan peningkatan ALT sampai lebih dari lima kali batas atas
nilai normal. Semakin tinggi ALT, maka semakin tinggi aktivitas imun penderita
terhadap infeksi VHB. Kerusakan hepatosit yang terjadi pun semakin ekstensif.
Pada pasien HIV positif dengan indikasi terapi anti-HIV, pilihan utama pengobatan
VHB adalah tenofovir dengan lamivudin atau emtricitabine. Pada pasien dengan VHB
resisten lamivudin, maka regimen terapi anti-HIV harus ditambahakn dengan
tenofovir atau mengganti salah satu HRTI dengan tenofovir.
Wanita Hamil
Pada wanita hamil yang telah didiagnosis mengidap infeksi VHB kronik pada awal
kehamilan, keputusan dimulainya terapi harus melihat risiko dan keuntungan
pengobatan tersebut. Terapi VHB pada wanita hamil biasanya ditunda sampai
trimester 3 untuk menghindari transmisi perinatal.
Peg-IFN dikontraindikasikan pada kehamilan. Sedangakn lamivudin, entecavir, dan
adofovir dikategorikan dalam pregnancy safety class C. telbivudin dan tenofovir
dikategorikan pregnancy safety claa B. tenofovir lebih direkomendasikan sebagai
terapi karena ririsko resistensi yang rendah.
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi tentang kelompok yang mendapat
keuntungan paling tinggi dengan pemberian terapi antiviral selama kehamilan. Namun
panduan yang ada menunjukkan batasan DNA VHB > 2 x 10 6 IU/mL sebagai indikasi
pemberian terapi antiviral.
Pasien dengan Terapi Imunosupresi
Reaktivasi replikasi VHB dengan dekompensasi hati pada pasien imunosupresi
dilaporkan pada 20 50 % pasien dengan infeksi VHB kronik yang menjalani
kemoterapi atau terapi imunosupresi.
Karena risiko reaktivasi yang tinggi ini, maka seluruh pasien yang akan menjalani
kemoterapi disarankan untuk menjalani pemeriksaan HBsAg dan anti-HBc. Pada
pasien dengan HBsAg positif, pemeriksaan DNA VHB harus dilakukan dan pasien
harus mendapat terapi profilaksis sejak 1 minggu sebelum menjalani kemoterapi
sampai 12 bulan setelah kemoterapi. Penggunaan lamivudin sebagai terpai profilaksis
menurunkan risiko reaktivasi VHB serta menurunkan insiden gagal hati dan kematian
terakit infeksi VHB. EASL merekomendasikan pada pasien dengan DNA VHB tinggi
atau akan menjalani sesi kemoterapi yang panjang dan repetitive, antiviral potensi
tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir atau tenofovir digunakan
sebagai profilaksis.
Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan dengan HBsAg positif dan DNA VHB >2000 IU/ml dapat
diberikan antiviral potensi tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir
atau tenofovir.
Hepatitis Akut
Pemberian lamivudin 100-150 mg/hari menyebabkan hilangnya HBsAg pada 82,4%
pasien hepatitis akut fulminan selama kurang dari 6 bulan. Panduan dari EASL
merekomendasikan pemberian lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi atau
setelah munculnya anti-HBe pada pasien HBsAg positif.
Pasien yang akan Menjalani Transplantasi Hati
Terapi profilaksis untuk menurunkan muatan virus sebelum tranplantasi dilakukan
perlu diberikan untuk mencegah rekurensi post transplantasi. Terapi profilaksis yang
dapat diberikan adalah analog nukleos(t)ida dengan ambang resistensi yang tinggi.
Profilaksis pre tramsplantasi yang dgabungkan dengan kombinasi lamivudin dan
HBIG dosis tinggi setelah transplatasi hati dapat menurunkan risiko rekurensi sampai
90%.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Cahyono SB. Hepatitis B. Yogyakarta: Kanisius, 2010; 20-33
Hepatitis
diaksess
dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/
13. Buster, dkk. Antiviral Treatmeant For chronic Hepatitis B virus infection
Immune Modulation or Viral Suppression . Dalam : Netherlands The Journal
of Medicine , volume 64, nomor 6. Tahun 2006
14. Lok, Anna. S.F, dkk. Practice Guideline of Chronic Hepatitis B : Update 2009.
American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
15. Suharjo, JB, dkk. Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronik. Dalam jurnal
: Cermin Dunia Kedokteran, No. 150. 2006
16. Gani, Rino. A, dkk. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di
Indonesia. 2012. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)