Anda di halaman 1dari 24

Referat

HEPATITIS B KRONIK

Oleh :
Muhammad Zakki AF (07923012)
Mia
Yosrizal

Preseptor:

dr. Saptino Miro, SpPD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. M. DJAMIL, PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hepatitis B adalah penyakit infeksi diserbabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel sel hati.
Sekitar satu per tiga dari populasi dunia pernah terpapar pada suatu waktu pada virus
hepatitis B (HBV). Selain itu, hampir 350 juta individu-individu diseluruh dunia
terinfeksi secara kronis (durasi yang lama) dengan virus ini. Sebagai akibatnya,
komplikasi-komplikasi dari infeksi virus hepatitis B menjurus pada dua juta kematiankematian setiap tahunnya.
Menurut angka-angka dari Centers for Disease Control (CDC), 140,000 sampai
320,000 kasusu-kasus akut (durasi yang pendek) hepatitis B (infeksi hati dengan virus
hepatitis) terjadi setiap tahun di Amerika. Hanya kira-kira 50% dari orang-orang
dengan hepatitis B akut yang mempunyai gejala-gejala (adalah simptomatik).
Diantara pasien-pasien yang simptomatik, 8,400 sampai 19,000 orang-orang
diopname dan 140 sampai 320 meninggal setiap tahun di Amerika. Pada dekade yang
lalu terjadi penurunan yang lebih dari 70% pada kejadian hepatitis B akut di Amerika.
Penurunan ini mungkin berkaitan dengan kesadaran publik yang meninggi pada HIV
dan AIDS dan praktek-praktek seksual yang lebih aman. (Hepatitis Virus B dan HIV
disebarkan dalam suatu cara yang hampir sama). Pada saat ini, kejadian-kejadian

hepatitis B akut yang paling tinggi adalah diantara dewasa-dewasa muda, antara umur
20 dan 30 tahun.
Indonesia menempati peringkat ketiga dunia setelah China dan India untuk jumlah
penderita hepatitis.Ahli kesehatan dari Divisi Hepatologi, Depatemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ali Sulaiman memperkirakan sejumlah 13
juta penduduk Indonesia mengidap hepatitis B.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hepatitis B endemik di China dan bagian
lain di Asia termasuk di Indonesia. Sebagian besar orang di kawasan ini bisa terinfeksi
Hepatitis B sejak usia kanak-kanak. Di sejumlah negara di Asia, 8-10 persen populasi
orang dewasa mengalami infeksi Hepatitis B kronik. Infeksi Hepatitis B kronik atau
jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan hati yang parah seperti pengerasan
hati atau sirosis dan kanker hati atau karsinoma hepatoseluler yang dapat
mengakibatkan kematian.
Kejadian yang sering pada penderita yang mendapat virus hepatitis B sejak bayi-bayi
dan anak-anak dimana akan menjadi infeksi kronis. Jadi, di Amerika, suatu perkiraan
dari 1 sampai 1.25 juta orang-orang terinfeksi kronis dengan virus hepatitis B. Lebih
jauh, 5,000 sampai 6,000 orang-orang meninggal setiap tahun dari penyakit hati virus
hepatitis

kronis

dan

komplikasi-komplikasinya,

termasuk

kanker

hati

(hepatocellular carcinoma) primer (berasal dari hati).


Oleh karena itu, penderita dan kelompok yang memiliki faktor risiko hepatitis B perlu
menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis virus B.
1.2.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui patogenesis terjadinya hepatitis B.


Untuk mengetahui hal hal yang dapat menegakkan diagnosis hepatitis B.
Untuk mengetahui penatalaksanaan hepatitis B.

1.3. Batasan Masalah


Pembahasan referat ini dibatasi pada patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
Hepatitis virus B.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Anatomi Hepar


Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada
manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua
sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200
1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan
bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat
oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah
posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan kontak
langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare
area. Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior, diafragma dan
organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen.
Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen
dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig.
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan bagian
dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum
sebelah proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta

dan duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi


anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kirikanan dan Lig coronaria posterior kiri-kanan
: Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri-kanan : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria
anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan epigastrium,
dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan
pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar).
Permukaan lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/5 tepat di bawah aerola mammae. Lig
falciformis membagi hepar secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus kanan
yang besar dan lobus kiri.

2.1.2. Hepar Secara Mikroskopis


Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam
parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa
dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempenganlempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang
disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian
tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terediri dari sel-sel
fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya mudah dilalui
oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain . Lempengan sel-sel hepar
tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid. Pada pemantauan
selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli. Di tengah-tengah lobuli
terdapat 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari vena-vena hepatika (vena yang
menyalurkan darah keluar dari hepar). Di bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap
tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/TRIAD yaitu traktus portalis
yang mengandung cabang-cabang v.porta, A.hepatika, ductus biliaris. Cabang dari
vena porta dan A.hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid
setelah banyak percabangan Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus
yg terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi

akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih


besar, air keluar dari saluran empedu menuju kandung empedu.

2.1.3. Fisiologi Hepar


Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 25% oksigen darah. Ada
beberapa fungsi hati yaitu:
i.

Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat


Pembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein saling
berkaitan 1 sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus
halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu
ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi
glukosa. Proses pemecahan glikogen menjadi glukosa disebut glikogenelisis.
Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh,
selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan
terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan:
Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan
membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat
diperlukan dalam siklus krebs).

ii.

Fungsi hati sebagai metabolisme lemak


Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon KETONE BODIES
2. Senyawa 2 karbon ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi
kholesterol. Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme
lipid.

iii.

Fungsi hati sebagai metabolisme protein


Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan
proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non
nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan
- globulin dan organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan end product
metabolisme protein. - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di
limpa dan sumsum tulang. globulin hanya dibentuk di dalam hati. Albumin
mengandung 584 asam amino dengan BM 66.000.

iv.

Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah


Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX,
X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah yang beraksi adalah faktor
ekstrinsik, bila ada hubungan dengan katup jantung yang beraksi adalah faktor
intrinsik. Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan
faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan
beberapa faktor koagulasi.

v.

Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin


Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K

vi.

Fungsi hati sebagai detoksikasi


Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam
bahan seperti zat racun, obat over dosis.

vii.

Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas


Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi globulin sebagai imun livers mechanism.

viii.

Fungsi hemodinamik
Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500
cc/ menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica
25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke
hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran
ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan
organ penting untuk mempertahankan aliran darah.
2.2. Definisi
Hepatitis B adalah penyakit infeksi diserbabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel sel hati.
2.3. Epidemiologi
Infeksi hepatitis virus hepatitis B merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat
yang cukup besar di Indonesia. Dan berbaagai penelitian yang ada, Frekuensi
pengidap HBsAg berkisar antara 3-20%. Penelitian dari berbagai daerah di Indonesia
menunjukkan angka yang sangat bervariasi bergantung pada tingkat endemisitas
hepatitis B di tiap-tiap daerah, contoh: tingkat endemisitas daerah Indonesia bagian
Timur lebih tinggi dibandingkan daerah Indonesia bagian Barat.
Infeksi hepatitis B kronik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di seluruh dunia. Di
Eropa dan Amerika 15-25% penderita Hepatitis B kronik meninggal karena proses
hati atau kanker hati primer. Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria
Cina yang HBsAg positif bahkan mendapatkan angka yang lebih besar yaitu antara
40-50%.
Menurut tingginya, prevalensi infeksi virus hepatitis B, WHO membagi dunia
menjadi 3 macam daerah yaitu daerah dengan endemitas tinggi, sedang dan rendah.
- daerah endemisitas tinggi

penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah
frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 10-15%.
- daerah endemisitas sedang
penularan terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi
HBsAg dalam populasi berkisar 2-10%.
- daerah endemisitas rendah
penularan utama terjadi pada masa dewasa, penularan pada masa perinatal dan kanakkanak sanngat jarang tejadi. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar kurang 2 %.
2.4. Etiologi
Penyebab hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam kelas hepaDNA dan
mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut
hepatitis B surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu
sebagian dari molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung
enzim yaitu DNA polymerase. Disamping itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen
(HBeAg). Antigen ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBsAg positif.
HBeAg positif pada penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif dan artinya
derajat infektivitasnya tinggi, maka bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa
HBeAg untuk menentukan prognosis penderita.
Cara penularan infeksi virus hepatitis B ada dua, yaitu : penularan horizontal dan
vertikal.
- Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis B
kepada individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat
terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir,
- Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi
yang dilahirkan
Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas (penularan
parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang kedua adalah
penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya bahan infektif
melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit.

Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B adalah
selaput lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir
genetalia.
Penularan vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero),
selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau post natal.
Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus
membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata
sekitar 60-90 hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang
yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu ibu, urin, dan
bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tuibuh ini(terutama darah, semen, dan
saliva) telah terbukti bersifat infeksius.
Orang yang beresiko tinggi menderita hepatitis B:
1.

Imigran dari daerah endemis HBV

2.

Pengguna obat intravena yang sering bertukar jarum dan alat suntik

3.

Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang terinfeki

4.

Pria homoseksual yang secara seksual aktif

5.

Pasien rumah sakit jiwa

6.

Narapidana pria

7.

Pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu


dari plasma

8.

Kontak serumah dengan karier HBV

9.

Pekerja sosial dibidang kesehatan terutama yang banyak kontak dengan darah

10.

Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat pada saat atau seggera setelah
lahir.

2.5. Patofisiologi
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya selsel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk
bulat dan tubuler dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus
hepatitis B smerangsang respon imun tubuh, yang pertama kali adalah respon imun

non spesifik karena dapat terangsang dalam waktu beberapa menit sampai beberapa
jam dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian diperlukan respon imun
spesifik yaitu dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. aktivasi sel T,
CD8 + terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC kelas
I yang ada pada permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus
yang ada di dalam sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk
nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT.
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD+ akan mengakibatkan produksi
antibody antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi
partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan
demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis B dapat
diakhiri tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi virus hepatitis
B yang menetap. Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon imun yang tidak
efisien dapat disebabkan oleh faktor virus atau pun faktor pejamu.
Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B,
hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel sel terinfeksi, terjadinya
mutan virus hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg, integarasi genom virus
hepatitis B dalam genom sel hati
Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor
kelamin dan hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam
persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B
pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif, diduga
persistensi infeksi virus hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg
yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi virus hepatitis B, sedangkan
persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya
konsentrasi partikel virus.

2.6. Manifestasi Klinis


Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis
hepatitis B dibangi 2 yaitu :
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang
sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari
tubuh hospes.
Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik
2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
dengan

sistem

imunologi

kurang

sempurna

sehingga

mekanisme,

untuk

menghilangkan virus hepatitis B tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan virus
hepatitis B.
Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang jelas.
Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia,
mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap.
Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum,
SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
2. Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan
splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu
kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium
tes fungsi hati abnormal.
3. Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase.
pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan

laboratorium menjadi normal.


Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar
mempunyai prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir
dengan kematian. Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang
berat, tetapi pemeriksaan SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik
hati menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah
yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuriadan uremia.
Hepatitis Kronik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik.
Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang baik.
Gejala tambahan dapat terjadi, terutama pada orang yang sudah lama mengalami
hepatitis B kronis. Gejala ini termasuk ruam, urtikaria (kaligata rasa gatal yang
berbintik-bintik merah dan bengkak), arthritis (peradangan sendi), dan polineuropati
(semutan atau rasa terbakar pada lengan dan kaki).
2.7. Diagnosis
Manifestasi klinik hepatitis B kronik secara garis besar dibagi 2

Hepatitis B kronik yang masih aktif


- HbsAg (+) , DNA VHB lebih lebih dari 105 copies / ml . didapatkan kenaikan
ALT yang menetap atau intermitten.
- Tanda tanda peradangan penyakit hati kronik
- Histopatologi hati terjadi peradangan yang aktif.

Carrier VHB inaktif


- HbsAg (+), titer DNA VHB kurang dari 105kopi / ml . konsentrasi ALT normal
- Keluhan tidak ada
- Kelainan kerusakan jaringan hati minimal.

Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitis B kronik


Definisi

Kriteria

Diagnosis

Hepatitis B

Proses nekro-inflamasi kronis hati1. HBsAg + > 6 bulan

kronis

disebabkan oleh infeksi persisten 2. HBV DNA serum > 105copies/ml


virus hepatitis B.
3. Peningkatan kadar ALT/AST
Dapat dibagi menjadi hepatitis B
secara berkala/persisten
kronis dengan HBeAg + dan
4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis
HBeAg kronis (skor nekroinflamasi > 4)

Carrier

Infeksi virus hepatitis B persisten 1. HBsAg + > 6 bulan


tanpa disertai proses nekro2. HBeAg , anti HBe +
inflamasi
3. HBV DNA serum <105copies/ml
yang signifikan
4.Kadar ALT/AST normal
5. Biopsi hati menunjukkan tidak
adanya hepatitis yang signifikan (skor
nekroinflamasi < 4

HBsAg
inaktif

Diagnostik pasti didapatkan dengan Biopsi hati, dengan klasifikasi Histological


Activity Index (HAI), system ini digunakan selain untuk diagnosis pasti juga digunakan
untuk menilai progresifitas penyakit, prognosis, dan tatalaksana yang sesuai.
Aktivasi peradangan Portal dan lobular (Ludwig, 1993)
Skor yang menunjukkan intensitas nekrosis (grade)
Grade

Patologi

peradangan portal tidak ada atau minimal

Peradangan portal tanpa nekrosis atau peradangan lobular tanpa nekrosis

Limiting plate necrosis ringan (interface hepatitis ringan) dan atau nekrosis
lobular fokal

Limiting plate necrosis sedang (interface hepatitis sedang) dan atau


nekrosis fokal berat (confluent necrosis)

Limiting plate necrosis berat (interface hepatitis berat) dan atau bridging
necrosis

Fibrosis (Ludwig, 1993)


Progresi structural penyakit hati (stage)

Stage

Patologi

Tidak ada fibrosis

Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar

Pembentukan septa periportal atau septa portal portal dengan arsitektur


yang masih utuh

Distorsi arsitektur (fibrosis septa bridging) tanpa sirosis yang jelas

Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis

Evaluasi Pasien HBV


Parameter
Evaluasi awal

Keterangan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai penyakit hati :
darah rutin dan fungsi hati
Pemeriksaan replikasi virus : HBeAg, antiHBe dan
HBV DNA
Pemeriksaan untuk menyisihkan penyakit hati lainnya :
anti HCV, anti HDV (khususnya pengguna narkoba
injeksi, atau daerah endemis)
Skrining karsinoma hepatoselular :kadar alfa feto
protein dan ultrasonografi
Biopsi hati pada pasien yang memenuhi kriteria
hepatitis B kronis.

5
Follow up pasien yang belum Pasien HBeAg positif dan HBV DNA > 10 copies/ml
dan kadar ALT normal :
diterapi
Pemeriksaan ALT setiap 3 6 bulan
Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa ulang setiap 1-3 bulan
Bila ALT > 2 x BANN selama 3-6 bulan,
pertimbangkan biopsi dan terapi
Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular
Pasien carrier HBsAg inaktif :
Pemeriksaan ALT setiap 6 12 bulan
Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa HBV DNA dan
singkirkan penyebab penyakit hati lainnya
Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular

2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Indikasi Terapi

Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari 4


kriteria, yaitu:
1. Nilai DNA VHB serum
- Pasien dengan kadar DNA VHB antara 300 1000 kopi/ml memiliki risiko
relative 1,4 kali lebih tinggi untuk terjadinya sirosis pada 11,4 tahun bila
dibandingkan dengan pasien dengan DNA VHB tidak terdeteksi.
- Pasien dengan DNA VHB antara 103 104 kopi/mL memiliki risiko relative 2,4
- Pasien dengan DNA VHB antara 104 105 kopi/mL memiliki risiko relative 5,4
- Pasien dengan DNA VHB antara >105 kopi/mL memiliki risiko relative 6,7
2. Status HBeAg
3. Kadar ALT serum
4. Gambaran histologist hati
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg positif
HBeAg
positif
DNA VHB <2 x 1o6
IU/mL

ALT
Normal

ALT
normal

DNA VHB <2 x 1o6


IU/mL

ALT 1-2 x
batas
atas

Tidak
diberikan
pengobata
n

Tidak
diberikan
pengobata
n

Tidak
diberikan
pengobata
n

Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT

Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT

Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT

Surveilans KHS
dengan USG
maupun AFP/6
bulan bagi
kelompok risiko

Pertimbangkan biopsy hepar


atau pemeriksaan fibrosis non
invasive pasa pasien >30
tahun atau <30 tahun dengan
riwayat KHS atau sirosis dalam
keluarga
Bila terdapat inflamasi atau
fibrosis derajat sedang atau

ALT 2 5
x batas
atas
normal

ALT >5 x
batas
atas
normal

Pengobatan
diberikan
bila
kenaikan
ALT
menetap
>3 bulan
atau
terdapat

Terdapat
indikasi mulai
terapi
Bila DNA VHB
<2 x 103 IU/mL
dan tidak ada
tanda
dekompensasi,
bisa dipantau 3
6 bulan untuk
timbulnya
serokonversi

Respon

Tidak
respon

Pantau DNA
VHB,
HBeAg, dan
ALT 1 3
bulan

Pertimbangka
n strategi
terapi lain

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg negatif


HBeAg
negatif
DNA VHB <2 x 1o6
IU/mL

ALT
Normal

DNA VHB <2 x 1o6


IU/mL

ALT
normal

Tidak
diberikan
pengobata
n

Tidak
diberikan
pengobata
n

Tidak
diberikan
pengobata
n

Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT

Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT

Pantau
DNA VHB,
HBeAg,
dan ALT

Surveilans KHS
dengan USG
maupun AFP/6
bulan bagi
kelompok risiko

ALT >2 x
batas
atas
normal

ALT 1-2 x
batas
atas

Pengobatan
diberikan
bila
kenaikan
ALT
menetap
>3 bulan
atau
terdapat

Pertimbangkan biopsy hepar


atau pemeriksaan fibrosis non
invasive pasa pasien >30
tahun atau <30 tahun dengan
riwayat KHS atau sirosis dalam
keluarga

Respon
Pantau DNA
VHB,
HBeAg, dan
ALT 1 3
bulan

Bila terdapat inflamasi atau


fibrosis derajat sedang atau

Tidak
respon
Pertimbangka
n strategi
terapi lain

Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B pada Pasien dengan Sirosis


Sirosis hati
Kompensata

DNA VHB <2 x 1o6


IU/mL

Dekompensata

Terapi dengan
analog
nukleos(t)ida,
pertim-bangkan

ALT >5 x batas


atas normal

Pantau DNA VHB,


HBeAg, dan ALT
setiap 3 6 bulan
Surveilans KHS
dengan USG
maupun AFP/6
bulan bagi
kelompok risiko

Terapi
suportif

DNA VHB <2 x 1o6


IU/mL

Ya

Tidak

Terapi dengan
analog
nukleos(t)ida

Terapi dengan
analog
nukleos(t)ida atau
interferon

Pemeriksaan histologist hati pada pasien hepatitis B kronik tidak dilakukan secara
rutin. Indikasi dilakukannya pemeriksaan histologist hati adalah pasien yang tidak
memenuhi criteria pengobatan dan berumur >30 tahun atau <30 tahun dengan riwayat
KHS dan sirosis dalam keluarga.
2.8.2. Hasil Terapi Terkini
Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, yaitu golongan interferon
dan golongan nukleos(t)ida
Tabel 1. Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleos(t)ida
Durasi terapi
Cara pemberian
Dapat digunakan pada
sirosis dekompensata
Efek samping
Kemampuan menekan
DNA VHB dalam 1
tahun

Interferon
Dibatasi (maksimal 48
minggu
Injeksi subkutan
Tidak

Analog nukleos(t)ida
Sering kali harus jangka
panjang (seumur hidup)
Oral 1 kali per hari
Ya

Banyak
Sedikit lebih rendah

Minimal
Sedikit lebih tinggi,
pemakaian > 1 tahun akan
meningkatkan angka ini
lebih jauh
Sedikit lebih tinggi,
pemakaian > 1 tahun akan
meningkatkan angka ini
lebih jauh
Lebih rendah, dapat
menyamai IFN pada
pemakain > 1 tahun
Seimbang
Seimbang
Cukup tinggi pada
beberapa jenis
Cukup sering kambuh bila
terapi tidak dilanjutkan
jangka panjang

Kemampuan
serokonversi HBeAg
dalam 1 tahun (pada
HBeAG positif
Kemampuan
serokonversi HBsAg
dalam 1 tahun
Respon biokimia
Respon histopatologik
Resistensi

Sedikit lebih rendah

Respon jangka panjang

Cenderung membaik bila


target terapi tercapai

Lebih tinggi

Seimbang
Seimbang
Tidak ditemukan

2.8.3. Strategi Terapi dan Pemantauan Selama Terapi

Interferon
Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam
pertahanan terhadap virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah singkat, yaitu
sekitar 3 8 jam. Pengikatan interferon pada molekul polyethylene glycol (disebut
dengan pegylation) akan memperlambat absorbsi pembersihan, dan mempertahankan
kadar dalam serum dalam waktu lama sehingga memungkinkan pemberian mingguan.
Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yakni pegylated-interferon -2a (PegIFN -2a) dan pegylated-interferon -2b (Peg-IFN -2b).
Bukti-bukti terbaru menunjukkan pemberian Peg-IFN -2a dengan dosis 180
g/minggu selama 48 minggu menunjukkan hasil lebih baik.
Selama pemberian interferon, pemeriksaan darah tepi harus dilakukan setiap bulan
untuk menilai efek samping terapi. Pemantauan adanya sepresi berat juga harus
dilakukan pada setiap kunjungan pasien.
Analog Nukleos(t)ida
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polymerase virus,
bekompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan
rantai DNA.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah lamivudin, adefovir dipivoxil,
entecavir, telbivudin, dan tenofovir disoproxil fumarate. Dari lima obat tersebut,
hanya entecavir dan tenofovir yang masih memiliki efektivitas tinggi dengan tingkat
resistensi yang relative rendah, sehingga obat-obat golongan nukleos(t)ida lainnya
sudah mulai ditinggalkan.
Pada prinsipnya, terapi analog nukleos(t)ida harus diteruskan sebelum tercapai
indikasi penghentian terapi atau timbul kemungkinan resistensi dan gagal terapi. Perlu
diperhatikan bahwa sebagian pasien terbukti tidak bisa mempertahankan respon
virologist ataupun serologis setelah penghentian terapi analog nukleos(t)ida, maka
pemantauan terhadap indicator-indikator hepatitis B harus dilakukan secara berkala.
2.8.4. Terapi pada Penyakit Hati Lanjut
Pada fase immune clearance, system imun penderita akan bereaksi melawan infeksi
VHB. Fasi ini ditandai dengan peningkatan ALT sampai lebih dari lima kali batas atas
nilai normal. Semakin tinggi ALT, maka semakin tinggi aktivitas imun penderita
terhadap infeksi VHB. Kerusakan hepatosit yang terjadi pun semakin ekstensif.

Insiden sirosis dilaporkan meningkat pada HBeAg negates dibandingkan dengan


HBeAg positif.
Terapi pada Sirosis Kompensata
IFN dan Peg-IFN aman dan efektif digunakan pada pasien hepatitis B dengan sirosis
kompensata yang terkaitinfeksi VHB. Pada pasien yang mempunyai kontraindikasi
atau tidak berespon pada pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian
analog nukleos(t)ida dapat diperimbangkan sebagai terapi jangka panjang. Entecavir
dan tenofovir direkomendasikan pada pasien sirosis kompensata yang tidak dapat
menggunakan terapi berbasis interferon atau tidak memberikan respon terhadap terapi
berbasis interferon.
Terapi pada Sirosis Dekompensata
Penggunaan IFN pada pasien dengan sirosis dekompensata terkait VHB dapat
menyebabkan dekompensasi dan meningkatkan risiko infeksi bakteri, bahkan pada
dosis kecil, sehingga penggunaan IFN dikontraindikasikan pada pasien dengan sirosis
dekompensata. Saat ini, analog nukleos(t)ida seperti lamivudin, entecavir, telbivudin,
dan tenofovir telah disetujui sebagai terapi pada sirosis dekompensata terkait VHB.
2.8.5. Terapi pada Populasi Khusus
Ko-infeksi dengan VHC atau VHD
Tatalaksana pasien infeksi VHB kronik dengan koinfeksi virus hepatits D atau
hepatits C sebaiknya disesuaikan dengan virus yang dominan. Koinfeksi behubungan
dengan peningkatan kejadian hepatitis yang fulminan dan insiden sirosis yang lenih
tinggi bila dibandingkan dengan monoinfeksi.
Peg-IFN adalah satu-satunya obat yang efektif terhadap VHD. Pemberian Peg-IFN
1,5 g/kg/minggu selama 12 bulan menunjukkan hasil yang cukup baik. Sedangkan
dalam terapi koinfeksi dengan VHC, Peg-IFN dan ribavirin merupakan pilihan utama.
Ko-infeksi dengan HIV
Langkah pertama dalam menatalaksana koinfeksi HIV-VHB adalah mengevaluasi
apakah pasien tersebut membutuhkan terapi anti HIV. Pada pasien yang tidak
termasuk dalam criteria indikasi anti-HIV, pilihan utama terapi VHB adalah IFN, PegIFN, dan adefovir.

Pada pasien HIV positif dengan indikasi terapi anti-HIV, pilihan utama pengobatan
VHB adalah tenofovir dengan lamivudin atau emtricitabine. Pada pasien dengan VHB
resisten lamivudin, maka regimen terapi anti-HIV harus ditambahakn dengan
tenofovir atau mengganti salah satu HRTI dengan tenofovir.
Wanita Hamil
Pada wanita hamil yang telah didiagnosis mengidap infeksi VHB kronik pada awal
kehamilan, keputusan dimulainya terapi harus melihat risiko dan keuntungan
pengobatan tersebut. Terapi VHB pada wanita hamil biasanya ditunda sampai
trimester 3 untuk menghindari transmisi perinatal.
Peg-IFN dikontraindikasikan pada kehamilan. Sedangakn lamivudin, entecavir, dan
adofovir dikategorikan dalam pregnancy safety class C. telbivudin dan tenofovir
dikategorikan pregnancy safety claa B. tenofovir lebih direkomendasikan sebagai
terapi karena ririsko resistensi yang rendah.
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi tentang kelompok yang mendapat
keuntungan paling tinggi dengan pemberian terapi antiviral selama kehamilan. Namun
panduan yang ada menunjukkan batasan DNA VHB > 2 x 10 6 IU/mL sebagai indikasi
pemberian terapi antiviral.
Pasien dengan Terapi Imunosupresi
Reaktivasi replikasi VHB dengan dekompensasi hati pada pasien imunosupresi
dilaporkan pada 20 50 % pasien dengan infeksi VHB kronik yang menjalani
kemoterapi atau terapi imunosupresi.
Karena risiko reaktivasi yang tinggi ini, maka seluruh pasien yang akan menjalani
kemoterapi disarankan untuk menjalani pemeriksaan HBsAg dan anti-HBc. Pada
pasien dengan HBsAg positif, pemeriksaan DNA VHB harus dilakukan dan pasien
harus mendapat terapi profilaksis sejak 1 minggu sebelum menjalani kemoterapi
sampai 12 bulan setelah kemoterapi. Penggunaan lamivudin sebagai terpai profilaksis
menurunkan risiko reaktivasi VHB serta menurunkan insiden gagal hati dan kematian
terakit infeksi VHB. EASL merekomendasikan pada pasien dengan DNA VHB tinggi
atau akan menjalani sesi kemoterapi yang panjang dan repetitive, antiviral potensi
tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir atau tenofovir digunakan
sebagai profilaksis.

Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan dengan HBsAg positif dan DNA VHB >2000 IU/ml dapat
diberikan antiviral potensi tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir
atau tenofovir.
Hepatitis Akut
Pemberian lamivudin 100-150 mg/hari menyebabkan hilangnya HBsAg pada 82,4%
pasien hepatitis akut fulminan selama kurang dari 6 bulan. Panduan dari EASL
merekomendasikan pemberian lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi atau
setelah munculnya anti-HBe pada pasien HBsAg positif.
Pasien yang akan Menjalani Transplantasi Hati
Terapi profilaksis untuk menurunkan muatan virus sebelum tranplantasi dilakukan
perlu diberikan untuk mencegah rekurensi post transplantasi. Terapi profilaksis yang
dapat diberikan adalah analog nukleos(t)ida dengan ambang resistensi yang tinggi.
Profilaksis pre tramsplantasi yang dgabungkan dengan kombinasi lamivudin dan
HBIG dosis tinggi setelah transplatasi hati dapat menurunkan risiko rekurensi sampai
90%.

BAB III
KESIMPULAN

1. Hepatitis B kronik merupakan masalah kesehatan yang besar, terutama dengan


banyaknya penderita hepatitis B kronik tidak bergejala.
2. Makin dini terinfeksi HBV risiko menetapnya infeksi hepatitis B makin besar.
3. Diagnosis, evaluasi dan keputusan pemberian terapi anti virus didasarkan pada
pemeriksaan serologi, virologi, kadar ALT dan pemeriksaan biopsi hati.
4. Pasien hepatitis B kronis yang belum mendapatkan terapi HBeAg positif dan
HBV DNA > 105 copies/ml dan kadar ALT normal) dan pasien carrier HBsAg
inaktif perlu di evaluasi secara berkala.
5. Saat ini, 2 golongan obat yang direkomendasikan untuk terapi hepatitis B, yaitu
golongan interferon dan golongan analog nukleos(t)ida. Dari golongan analog
nukleos(t)ida, pemakain obat lamivudin dan adefovir mulai ditinggalkan karena
keefektivitasannya yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cahyono SB. Hepatitis B. Yogyakarta: Kanisius, 2010; 20-33

2. Anonim. Hepatitis B. Diakses dari www.totalkesehatananda.com


3. Lenny.Indonesia Peringkat ke-3 Jumlah Penderita Hepatitis. Diakses
www.technology-indonesia.com
4. Anonim.Hepatitis B, Menyerang Tanpa Pandang Bulu. Diakses tanggal
www.jakartalantern.com
5. Soemoharjo S. Hepatitis Virus B. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2008 ; 20-23
6. Hadi S. Gastroenterologi. Bandung : Alumni, 2002 ; 487-571
7. Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Dalam :
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, editor. Patofisiologi. Volume I.
Jakarta : EGC, 2006 ; 472-515
8. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B Kronik. Dalam : Aru W.Sudoyo dkk,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : Internal Publishing,
2009 ; 653 661
9. Siregar FA. Hepatitis B di tinjau Dari Kesehatan Masyarakat Dan Upaya
Pencegahan. Di akses www.library.usu.ac.id
10. Green CW. Hepatitis Virus dan HIV. Jakarta : Yayasan Spiritia, 2005 ; 10-23
11. Nusi IA dkk. Hepatitis Kronis. Dalam : Askandar Tjokroprawiro dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Surabaya: Airlangga University, 2007 ; 1258
12. Anonim

Hepatitis

diaksess

dari

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/
13. Buster, dkk. Antiviral Treatmeant For chronic Hepatitis B virus infection
Immune Modulation or Viral Suppression . Dalam : Netherlands The Journal
of Medicine , volume 64, nomor 6. Tahun 2006
14. Lok, Anna. S.F, dkk. Practice Guideline of Chronic Hepatitis B : Update 2009.
American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
15. Suharjo, JB, dkk. Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronik. Dalam jurnal
: Cermin Dunia Kedokteran, No. 150. 2006
16. Gani, Rino. A, dkk. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di
Indonesia. 2012. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)

Anda mungkin juga menyukai