Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KASUS

Adult Otogenic Tetanus Managment


Grace Farinthska Natalia Sulaeman
Department of Ear, Nose and Throat
Christian University of Indonesia
Hospital of Christian University of Indonesia

ABSTRACT
Tetanus is an acute infectious disease caused by gram-positive anaerobic
bacterium Clostridium tetani. When the entrance of the disease through the
ears, called autogenic tetanus. This paper reports autogenic tetanus cases in
men aged 29 years with Chronic Otitis Media supurativa right ear with
discharge.
Clinical symptoms appear is trismus and muscle stiffness. Patients with
incomplete immunization history. Washing the ear experiencing chronic
suppurativa otitis media (CSOM) with a 3% H2O2 solution regularly until
secretions is reduced, giving Anti Tetanus Serum (ATS) of 20,000 units over
five days, antibiotics and acid Amoxillin clavulanat oral and Penicillin injections
Procain. Treatment causes trismus reduced and eventually the patient can
open the mouth normally.

Keywords: Otitis media chronic supuratiffa, tetanus autogenic

Penanganan Tetanus Otogenik pada Orang Dewasa


Grace Farinthska Natalia Sulaeman
Departemen Telinga Hidung Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indoesia RS UKI Cawang Jakarta

ABSTRAK
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri anaerob
gram positif Clostridium tetani. Bila pintu masuk penyakit melalui telinga,
disebut tetanus otogenik. Tulisan ini melaporkan kasus tetanus otogenik pada
pria berusia 29 tahun dengan Otitis Media Supurativa Kronik telinga kanan
disertai keluarnya cairan.
Gejala klinik yang muncul adalah trismus dan kekakuan otot. Riwayat
imunisasi pasien tidak lengkap. Dilakukan pencucian pada telinga yang
mengalami otitis media supurativa kronik (OMSK) dengan larutan H 2O2 3%
secara teratur hingga sekret berkurang, pemberian Anti Tetanus Serum (ATS)
sebanyak 20.000 unit selama lima hari, antibiotik Amoxillin dan asam
clavulanat oral dan suntikan Penicilin Procain. Pengobatan menyebabkan
trismus berkurang dan akhirnya pasien dapat membuka mulut secara normal.
Kata Kunci

: Otitis media supuratiffa kronik , tetanus otogenik

Grace Farinthska Natalia Sulaeman, Penulis Koresponden, email :


grace_farinthska@yahoo.com

Pendahuluan
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
anaerob gram positif Clostridium tetani.1 Manifestasi klinis disebabkan oleh
eksotoksin tetanospamin dan tetanolisin yang diproduksi bakteri tersebut.
Error: Reference source not found Tetanospamin ini menyerang sistem saraf
dan menimbulkan manifestasi klinis berupa trismus, disfagi, rigiditas pada otot
dan spasme.

Masuknya kuman tetanus adalah melalui luka yang

terkontaminasi. Error: Reference source not found


Namun, bila diketahui satu-satunya pintu masuk kuman adalah telinga
dengan infeksi supuratif, maka disebut dengan tetanus otogenik.
source not found

Error: Reference

Jaringan nekrotik telinga tengah atau mastoid pada otitis media

kronik supurativa, bila dalam keadaan anaerob, dapat menjadi medium


tumbuhnya kuman. Error: Reference source not found
Kasus pertama tetanus otogenik dilaporkan pada tahun 1934 oleh
Hyman dkk.

Error:

Reference

source

not

found

WHO sudah merencanakan untuk

mengeradikasi penyakit tetanus sejak tahun 1995, tetapi tetanus masih tetap
merupakan penyebab kematian di negara-negara berkembang seperti Nigeria
sampai hari ini.

Error: Reference source not found

Di Afrika Selatan, sekitar 300 kasus

terjadi setiap tahun dan antara 50 dan 70 kasus di Amerika Serikat. Error: Reference
source not found

Tetanus merupakan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi,


walaupun demikian angka kejadian tetanus, termasuk tetanus otogenik,
masih tetap ada.

Laporan Kasus
Seorang laki-laki berusia 29 tahun datang berobat ke Poliklinik Telinga Hidung
Tenggorokan Rumah Sakit Umum UKI (THT RSU UKI) Cawang, dengan
keluhan tidak bisa membuka mulut sejak dua hari. Dari telinga kanan keluar
cairan berwarna coklat yang berbau. Sejak usia 9 tahun telinga kanan sering
mengeluarkan cairan berbau dan penderita sering mengorek-ngorek telinga

dengan benda tumpul, seperti peniti dan bulu ayam. Riwayat imunisasi pasien
tidak diketahui.
Pada pemeriksaan telinga kanan, ditemukan sekret yang jumlahnya
cukup banyak, berwarna kecoklatan serta berbau busuk. Membrana timpani
mengalami perforasi sentral dan uji pemeriksaan pendengaran Rinne negatif,
uji Weber menunjukkan lateralisasi ke kanan dan uji Schwabach memanjang.
Hasil tiga pemeriksaan di atas ini memberi kesan tuli konduktif. Pemeriksaan
hidung dalam batas normal, dan pemeriksaan tenggorok tidak dapat
dilakukan karena hanya dapat membuka mulut 1cm.
1a

1b

Gambar 1a. Risus sardonikus pada perawatan hari pertama. Ditandai oleh spasme otot
wajah, alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, dan bibir tertekan kuat
pada gigi. Gambar 1b. Perbaikan pada hari ketiga ditandai trismus 2 cm.

Penegakan Diagnosis
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis ditemukan pasien tidak bisa membuka
mulut dan telinga kanan mengeluarkan cairan sejak lama. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan spasme pada otot wajah dengan alis tertarik keatas, sudut
mulut tertarik keluar bawah, bibir tertekan kuat pada gigi dan ditemukan
trismus yang disimpulkan sebagai risus sardonikus

yang

khas

untuk

tetanus. Dari telinga kanan keluar cairan berbau.


Berdasarkan semua hasil anamnesis dan pemeriksaan di atas
ditegakkan diagnosis tetanus otogenik. Penegakan diagnosis tetanus dapat
dilakukan hanya dari manifestasi klinis. Pemeriksaan mikrobiologis untuk
menemukan Clostridium tetani, tidak dilakukan karena alasan biaya.

Penatalaksanaan
Pasien dirawat selama 10 hari di RSU UKI, ditangani oleh staf
Departemen THT bekerjasama dengan staf Departemen Bedah serta staf
Departemen Penyakit Gigi dan Mulut. Dilakukan pencucian telinga dengan
larutan H2O2 3%, 3 5 tetes per hari secara teratur selama tujuh hari.
Diberikan suntikan intramuskular anti tetanus serum 20,000 IU/hari selama
lima hari untuk mengatasi spasme, kombinasi

amoksisilin dan asam

klavulanat kaplet 3 500 mg selama 10 hari, dan injeksi penisilin prokain 3


1,5 juta unit intramuskular selama tiga hari. Obat tetes telinga kombinasi
fluorokortison asetat 1mg, polimiksin B sulfat 1000 IU, neomisin sulfat 5mg,
lidokain HCl 40 mg (Otopraf

TM

) diberikan 3 2 tetes per hari untuk mengatasi

infeksi lokal. Anti spasme diazepam 5 ml intra vena diberikan jika pasien

kejang. Selama pasien dalam keadaan trismus diberikan diet saring lunak
tinggi kalori tinggi protein. Pemeriksaan radiologi mastoid dan CT- scan
kepala dan leher dilakukan untuk mengetahui komplikasi. Pasien dirujuk ke
Departemen penyakit Gigi dan Mulut untuk mencari fokus infeksi dan
dinyatakan tidak ditemukan fokus infeksi.

Tabel 1. Evaluasi dan Perkembangan Penyakit :


Hari
Pertama

Kedua

Ketiga

Keempat

Kelima

Tindakan yang diberikan


Lokal :
- Cuci telinga dengan
H2O2 3%
- Tetes telinga kombinasi
(Otopraf TM)
Sistemik :
- amoksilin + asam
clavulanat (3500 mg)
- penisilin prokain
- ATS 20.000 IU
Lokal :
- cuci telinga dengan
H2O2 3%
- Tetes telinga
kombinasi (Otopraf TM)
Sistemik :
- Diteruskan
Lokal :
- Pencucian telinga
dengan larutan H2O2
3%
- Tetes telinga kombinasi
(Otopraf TM)
Sistemik :
- Diteruskan
Lokal:
- Tetes telinga kombinasi
(Otopraf TM)
Sistemik :
- Diteruskan
Lokal :
- Tetes telinga kombinasi
(Otopraf TM)
Sistemik :
- Diteruskan

Gejala Klinis
1.Trismus 1 cm
2.Sekret (+)
3.Pasien makan
makanan saring

1.Trismus 2 cm
2.Sekret mulai kering
3.Pasien masih makan
makanan saring

1.Trismus 4 cm
2.Sekret 3.Pasien mulai makan
makanan lunak

1.Trismus 2.Sekret 3.Pasien masih makan


makanan lunak
1.Trismus 2.Pasien sudah makan
makanan biasa

Pada Tabel 1 di atas juga terlihat bahwa pada hari yang ketiga kondisi pasien
membaik, trismus menjadi 4 cm, sekret telinga sudah tidak ada dan pasien
sudah makan makanan lunak, namun

penanganan pasien

masih sama

seperti penangan pada hari pertama dan kedua. Pada hari keempat, trismus
dan sekret pada telinga pasien sudah tidak ada sehingga penanganan lokal
yang dilakukan adalah memberi tetes telinga kombinasi, antibiotik sistemik,
dan suntikan anti tetanus. Pada hari ke 6 9 pasien semakin membaik dan
pemeriksaan THT memperlihatkan perbaikan nyata berupa berkurangnya
sekret dan trismus. Pada hari ke sepuluh

pasien di perbolehkan pulang,

dalam keadaan trismus sudah tidak ada, sudah bisa makan makanan biasa.

Diskusi
Pada kasus ini, status imunisasi pasien tidak diketahui. Padahal
imunisasi merupakan hal yang penting diketahui dalam kasus tetanus, karena
tetanus sendiri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Hal ini
dapat dibandingkan dengan penelitian di Nigeria, yang merupakan negara
berkembang sama dengan Indonesia, dari seluruh penderita tetanus
otogenik

yang

mendapatkan

menjadi

vaksin

responden

lengkap

pada

penelitian,
masa

hanya

anak-anak,

21,2%
36,3%

yang
hanya

mendapatkan sebagian vaksin, 42,5% tidak mendapatkan vaksin tetanus dan


tidak satupun mendapat vaksin tetanus pada 5 tahun terakhir. Hal ini
berkaitan dapat dengan keterjangkauan dengan sarana kesehatan dan status
sosial ekonomi resonden, dimana rata-rata merupakan status sosial ekonomi
rendah.Error: Reference source not found
Berdasarkan anamnesis juga didapatkan kebiasaan pasien yang suka
mengorek telinga dengan benda berupa peniti dan bulu ayam. Melalui
kebiasaan ini dapat dilihat bahwa pasien seringkali memasukan barang yang
kemungkinan besar terdapat kuman tetanusnya, yaitu bulu ayam. Karena
kuman tetanus sendiri hidupnya sebagian besar di tanah.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus dan rhisus sardonicus. Hal


ini sesuai dengan tanda khas pada tetanus, dimana toksin tetanospamin dari
kuman tetanus menghambat dilepaskannya neurotransmiter dari neuron
inhibit presinaptik sehingga menimbulkan trismus, rigiditas pada otot dan
spasme.Error: Reference source not found, Error: Reference source not found

Kesimpulan
Pada laporan kasus ini dapat disimpulkan bahwa status imunisasi tetanus
pasien itu penting, sehingga diperlukan adanya bukti baik berupa rekam
medis ataupun catatan yang dapat dipegang oleh pasien, sehingga baik
pasien maupun tenaga kesehatan yang menangani dapat mengetahui
dengan jelas status imunisasi pasien.
Pasien dengan tetanus otogenik memiliki kebiasaan mengorek telinga dengan
benda yang tidak bersih, misalnya peniti atau bulu ayam pada pasien ini.
Pada dasarnya penatalaksaan sama dengan tetanus pada umumnya,
ditambah dengan penatalaksanaan OMSK.

Daftar Pustaka
1.

Jyoti VK, Anil SJ, Rashmi B, Suhas J. Otogenic tetanus: A challnge for
anesthetic management. International Journal of Case Reports and
Images. 2013; 4(4): p.232-35

2.

SA Ogunkeyede, et al. Otogenic Tetanus Continuing Clinical Challenge


in the Develope Country. Nigeria. Jorunal of Rhinolaryngo-Otoloies.
2013; 1: p. 87-90

Jyoti VK, Anil SJ, Rashmi B, Suhas J. Otogenic tetanus: A challnge for anesthetic management.
International Journal of Case Reports and Images. 2013; 4(4): p.232-35
2

SA Ogunkeyede, et al. Otogenic Tetanus Continuing Clinical Challenge in the Develope


Country. Nigeria. Jorunal of Rhinolaryngo-Otoloies. 2013; 1: p. 87-90

Anda mungkin juga menyukai